Sabtu, 28 November 2020

Matilda (Novel)

#Novel_Roald_Dahl



Baru kali ini saya membaca novel karya penulis Spanyol (ketinggalan saya 😄). Saya membaca atas rekomendasi dari seorang penulis senior, youtuber dan pengajar kelas novel. Namanya Benny Rhamdani.

Ia menyarankan novel ini sebagai referensi bagi saya. Semoga saya mendapatkan inspirasi untuk menulis novel dengan tokoh utama ialah anak kecil yang terkucilkan.

Setelah membaca novel ini seharian hingga selesai, saya terkagum-kagum. Novel ini mendobrak sistem pendidikan yang kaku, juga mendobrak pola asuh orang tua yang tidak berperike-anakmanusia-an.

Kondisi ini tentu akan sangat berseberangan jika kita membaca buku Toto Chan dari Jepang karya Ibunda Tetsuko Kuroyanagi.

Selanjutnya saya akan mencari dan menemukan buku-buku dari penulis Roald Dahl untuk dibaca. Tulisan Roald Dahl ringan dibaca dan bergaya komedi.  

Asik dan menghibur.

Sabtu, 24 Oktober 2020

NTT (sebuah cerpen)

Judul: NTT
Oleh : Krismanto Atamou

“Kau tahu, apa itu NTT?” tanya Yakob pada Niko tetangganya.
“Nusa Tenggara Timur, kan?”
 
“Benar, itu memang nama provinsi kita. Tapi, ada akronim lain lagi. Coba kau tebak?”

Niko menjawab tidak tahu. Ia heran melihat Yakob begitu bersemangat dengan NTT sebagai sebuah akronim. Pasti ada sesuatu akronim baru yang mengasikkan baginya. Orang ini, entah kenapa, selalu suka dengan akronim aneh-aneh dan bangga dengan itu, pikirnya. Niko mempersilakan Yakob duduk lalu berkata, “Ah, pasti kau sudah tahu akronim NTT yang lain kan? Apa itu?”

“Nasib Tidak Tentu.”

“Jangan sembarang kau bicara! Kalau nasib tidak tentu berarti kita sebagai warga NTT sudah pengangguran semua tanpa harapan yang jelas. Nyatanya, kau. Kau seorang PNS, Ketua RT lagi! Nasibmu sudah tentu, kan?”

“Ia. Tapi tidak semua kita bernasib baik. Masih banyak saudara-saudari kita warga NTT yang nasibnya tidak tentu. TKW kita misalnya, ada yang pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Seakan tidak ada jaminan mereka selamat di negeri orang dan pulang sebagai pahlawan devisa.”

“Ya, waktu kematian kita adalah rahasia Ilahi, Yakob. Mungkin jalan hidup beberapa TKI itu sudah begitu, tak peduli berdokumen resmi atau tidak, lewat jalan tikus atau jalan manusia.”

“Ah ..., kau terlalu menyederhanakannya, Niko!” sanggah Yakob. Yakob berupaya mempertahankan argumennya dengan menceritakan nasib para guru honorer di NTT. Ia mengambil contoh kisah guru honorer yang paling legendaris yaitu Asnat Bell. Katanya Asnat Bell mengajar di daerah terpencil dengan jumlah jam mengajar yang sangat padat tapi honornya hanya dibayar Rp.50.000,-/ bulan. Dan masih banyak Asnat Bell lain di seluruh penjuru NTT. Setahun lalu ia mendengar cerita bahwa ada guru honorer di Ende yang sampai menangisi nasibnya di depan anggota DPRD. “Sungguh nasib tidak tentu,” ujar Yakob terdengar haru.

“Aku pikir, masalah yang kau sampaikan itu juga adalah masalah negara kita pada umumnya. Berdoa sajalah! Nanti Tuhan tolong.”

“Nah, itu, kau baru saja membuat istilah baru untuk NTT.”

“Apa?”

“Tadi kau katakan, nanti Tuhan tolong. NTT. Ia, kan?”

“Ia.”

Sementara mereka berbicara, suara guntur terdengar. Menggelegar. Awan gelap mulai menyelimuti langit kota Kupang kemudian berlalu, cepat sekali. Ini sudah terjadi beberapa hari. Hujan turun pun sedikit sekali. Sumur-sumur warga kering semua. Hampir semua orang mengeluh soal kekeringan. Saban hari oto-oto tangki air bersiliwaran hingga ada yang mengalami kecelakaan maut. Miris.

“Sumurmu masih ada air?” tanya Yakob sambil berupaya melihat ke dasar sumur milik Niko.

“Tinggal sedikit. Untuk menimba air harus menunggu beberapa jam, itu pun hanya dapat seember lebih. Dengan terpaksa kami melarang tetangga datang mengambil air.”

“Aih ..., kau pelit, Niko! Nanti kalau kau susah, tidak ada tetangga yang akan mempedulikanmu.”

“Habis mau bagaimana lagi? Ini pertaruhan hidup dan mati.”

“Apa kau tidak percaya, nanti Tuhan tolong? Bukankah pepatah mengatakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” kata Yakob sambil bergeser dari tempat duduk semula mencari tempat yang lebih sejuk. Sinar mentari yang menembus tajuk pohon nangka seakan mengejar-ngejar dirinya sedari tadi.  

Sumur milik Niko digali tepat di sebelah pohon nangka. Batang pohon nangka itu berfungsi juga sebagai salah satu tiang penyangga bagi gantungan katrol untuk menimba air di sumur.

Niko membuat balai-balai di sisi lain pohon nangka untuk tempat berteduh saat siang nan panas. Beberapa tetangga juga sering ikut menumpang ngadem di bawah pohon nangka. Jika buah nangka sudah bisa dijadikan sayur atau ada buah yang masak, Niko membaginya pada tetangga. Lumayan untuk mengurangi keluhan tetangga karena saban hari dapat kiriman daun nangka yang berguguran. Tapi sebenarnya, dengan membagi hasil buah nangka, Niko ingin membangun hubungan sosial dengan tetangganya.

“Bagaimana dengan sumurmu?” Niko balik bertanya pada Yakob.

“Ya ... masih ada cukup air. Aku mengambilnya menggunakan dinamo air.”

“Wah, berarti tergantung listrik.”

“Ia. Jadi tetanggaku patungan mengisi pulsa meteran listrik di rumah lalu mengambil selang panjang untuk mengalirkan air lewat dinamo ke rumah-rumah mereka.”

“Kalau dipakai terus menerus seperti itu, dinamo airmu bisa jebol, Yakob!”

“Ah, tidak, Niko. Setiap sejam sekali aku istirahatkan mesin sekira setengah jam, barulah lanjut lagi. Yang penting kan kita saling membantu. Gotong royong.”

“Tepa selira mungkin istilah yang lebih tepat.”

“Mungkin? Ah ..., apapun istilahnya, yang penting saling membantu dalam keadaan susah itulah bukti bahwa kita saling mengasihi sesama manusia.”

 “Wah ..., kau membuat aku tersinggung.”
“Maaf kalau begitu.”
“Tidak apa-apa, Yakob.”

“Kalau kau mau, ambil saja air di rumah. Jangan sungkan! Toh nanti kalau aku susah, kau juga yang akan membantu dengan tetangga lainnya. Aku bahkan berencana membuat bak air besar milik kita bersama. Jadi, kalau sampai sumur kita kering, kita patungan lalu isi air tangki di situ, kita pakai air bersama secara hemat. Yang penting kan bisa menyambung hidup sehari-hari sampai hujan turun dengan normal dan sumur-sumur kita memiliki cukup air, sampai air yang mengalir lewat pipa dari perusahaan penyedia jasa air itu mengalir dengan normal, tidak tersendat-sendat seperti sekarang. Sampai ....”

“Sampai nanti Tuhan tolong,” sambung Niko.
“Ya, kau benar. Hehe ....”
“Itu ide bagus, Yakob. Tapi dari mana dana untuk membuat bak air itu? Siapa tukang untuk mengerjakannya?”

“Sebagian besar dananya akan aku berikan.”
“Tapi dana itu bukan hasil korupsi kan?”
“Aku masih  punya iman untuk tidak korupsi, Niko.”

“Nanti kalau ada kekurangan saat pengerjaan bak, silakan teman-teman patungan. Tenaga kerjanya ialah kita semua yang ada di lingkungan ini. Kita kerja secara gotong royong. Warga yang bisa tukang, kita minta sebagai kepala tukangnya. Kita yang lain jadi buruh dan menyumbang makanan ala kadarnya. Bagaimana? Kau setuju?”

“Ah, kalau untuk kebaikan, aku selalu setuju, Yakob! Kalau warga yang sudah punya bak air bagaimana? Apa mereka tidak dilibatkan?”

“Ya, kita undang saja. Ini kan aksi sosial, siapa tahu mereka mau menyumbang. Setiap manusia itu diciptakan sebagai makhluk sosial juga kan?”

“Tapi jangan dipaksakan, Yakob!”
“Maksud kamu?”
“Maksudnya jangan paksa setiap pribadi harus menyumbang. Namanya sumbangan itu kerelaan, Yakob! Kecuali iuran, baru wajib.”
“Oh, itu pasti.”

“Tapi kau harus hati-hati saat menyampaikan ini dalam rapat. Jangan sampai ada pihak yang mendompleng lalu menjual namamu untuk memungut pungutan liar kepada warga. Namamu juga yang rusak.”

“Masukan bagus itu, Niko. Akan aku perhatikan.”

“Lalu, lokasi bak airnya di mana? Zaman sekarang ini hampir mustahil seperti dulu, orang dengan mudahnya berderma lahan untuk kepentingan umum. Harga tanah semakin mahal, apalagi hampir semua orang sudah tahu, ada ganti untung jika lahannya dipakai untuk pembangunan fasilitas umum, walaupun fasilitas umum itu nantinya dipakai juga oleh pemilik lahan, semisal jalan.”

“Nah, itu yang akan kita musyawarahkan. Di satu sisi kita perlu ruang untuk layanan publik dari kerelaan pemilik lahan, akan tetapi, kita juga harus menghormati hak pemilik lahan yang membutuhkan ruang untuk kebutuhan pribadinya. Aku yakin, untuk kebaikan nanti Tuhan tolong. Pasti akan ada yang bersedia menyediakan lahannya. Kita harus mengambil contoh dari para pendiri bangsa ini, juga para pendiri provinsi kita ini, Niko!”

“Contoh apa itu?”
“Teladan yang baik. Para pendiri provinsi kala itu rela berkorban demi terbentuknya provinsi NTT ini.”
“Kau sudah pernah baca sejarahnya?”
“Sudah,” jawab Yakob.
“Kau sendiri?”
“Belum.”
“Kemarin aku berupaya mencari buku referensi sejarah pembentukan provinsi NTT. Lumayan pusing.”
“Kenapa?”

“Coba dari awal aku langsung ke perpustakaan mungkin cepat untuk mendapatkannya. Tapi, tidak. Aku mulai dari museum, disitu tidak ada kata pegawai. Aku diarahkan ke dinas pariwisata, tidak ada. Dari situ aku diarahkan ke Biro Umum Kantor Gubernur, terus ke Biro Organisasi, terus ke Protokol, dan terus ke Humas. Di Humas aku dijamu dengan segelas kopi. Lumayan.”

“Wah, kau enak sekali menikmati uang pajak yang aku bayar!”
“Memangnya kau sendiri yang bayar pajak? Aku juga, Niko!”
“Oh, iya. Terus?”

“Nah, dari Humas aku diantar ke perpustakaan setda provinsi NTT dan mendapatkan dua buku referensi. Buku pertama produk masa orde baru cetakan tahun 1992, buku kedua produk masa reformasi cetakan kedua tahun 2007.”

“Kenapa kau tidak mencari dari Opa Serba Tahu saja?”
“Opa itu tinggal di mana?”
“Tinggal di dunia maya, nama lainnya Opa Google.”
“Oh ..., kau ini bagaimana, Niko? Aku lagi serius kau malah bercanda.”
“Jangan bercanda, ya! Aku cuma tersinggung.”
“Nah, itu lagi, terbalik!”
“Oh, iya. Jadi kenapa kau tidak tanya Opa Google?”
“Ada juga di situ, tapi aku mau mengecek ulang di buku resmi dari pemerintah. Buku dari pemerintah sudah melalui kajian dan lebih valid.”
“Apa yang kau dapat?”
“Aku dapat sejarah dan jas merah.”
“Mana jas merah itu?”
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
“Oh, maksudmu itu akronim?”

“Iya. Semboyan Presiden Soekarno itu aku dapat di cover belakang buku kedua yang dinarasikan untuk mengajak seluruh warga NTT berubah ke arah yang lebih baik. Ke arah istilah NTT yang berikutnya.”

“Apa itu?”
“NTT, nikmat tiada tara.”
“Haha ..., kau ada-ada saja, Yakob.”

“Tidak, Niko!” sanggah Yakob. Tawa Niko itu lebih terdengar sebagai sindiran di telinga Yakob. Seakan berpidato ia menyampaikan bahwa kalau warga NTT serius berusaha dan menata kehidupan menjadi lebih baik, tidak pesimis, maka akan ada perubahan yang berarti. NTT punya potensi alam dan daya manusia yang memadai. Bahkan sudah sejak dahulu NTT punya banyak orang cerdas. Ia memberi contoh antara lain Bpk. Adrianus Mooy sebagai mantan Gubernur BI, Bpk W. Z. Yohannes sebagai ahli radiologi pertama Indonesia, sastrawan Gerson Poyk, dan masih banyak yang lain termasuk para tokoh di balik berdirinya provinsi NTT.

Dengan semangat Yakob bercerita tentang kunjungannya ke pameran arsip publik yang diselenggarakan oleh Sekolah Musa di gedung bekas Pabrik Es Minerva Kupang. Di situ ia melihat sebuah foto tahun 1950 yang memperlihatkan kunjungan Presiden Soekarno ke Kupang dan disambut oleh Raja Nisnoni. Pada keterangan di bawah foto tertulis bahwa baru tahun 1950 keresidenan NTT memilih bersatu dengan NKRI, sebelumnya masih sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur. Ia membayangkan NTT ibarat gadis yang memilih bersatu dengan Indonesia sebagai pria yang meminangnya. Hasilnya, NKRI sebagai nama keluarga, Pancasila sebagai ikrar cinta, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai cincin simbol pemersatu kedua mempelai.

“Kau tahu, Niko? Sejak gubernur pertama Bpk. W. J. Lalamentik hingga sekarang Bpk. Viktor B. Laiskodat, sudah ada perubahan yang terjadi, itu tidak bisa dinafikan. Kita hanya perlu mendukung dengan aksi nyata sesuai latar belakang kita masing-masing.”

“Ya, ya, ya .... Kau kan RT, PNS pula. Pantaslah kau bicara begitu. Seandainya kau aktivis sosial atau rakyat jelata, mungkin kau akan punya persepsi yang berbeda.”

“Itulah masalahnya persepsi, pola pikir, pro-kontra memang selalu ada. Tapi apakah kita biarkan itu menjadi masalah? Bukankah lebih baik menjadikan perbedaan itu kekayaan untuk saling mendukung, bahkan kritik untuk saling melengkapi, bukan saling menyerang. Hingga pada akhirnya, kita bisa menikmati NTT sebagai Nikmat Tiada Tara.”

“Ya. Idealnya begitu, Yakob.”

Tak terasa hari sudah menjelang malam. Yakob pamit. Ia pulang. Niko berupaya menimba air di sumurnya yang tinggal sedikit.

Sekian.

Senin, 12 Oktober 2020

Ancaman Punahnya Bahasa Daerah Abui Alor



"Eyala he a mei?" tanya Paman ketika melihat saya duduk di bawah gudang bersama sanak keluarga yang lain.
"Ya," jawab saya menggunakan bahasa Indonesia dengan perasaan canggung.

Paman baru saja pulang berburu rusa yang nyasar di dalam Kampung. Ia lalu duduk di bawah gudang dan kami berbicara tentang banyak hal. Salah satunya ialah tentang bahasa daerah.



Saya mengeluhkan tentang mulai adanya jarak antara saya dengan bahasa daerah. Saya mulai menjadi penutur pasif_yang sangat pasif.

Saya hanya mengerti bahasa daerah namun sulit untuk berbicara secara aktif. Ini sudah terjadi di zaman saya. Entah bagaimana nanti di zaman anak-anak saya.

Seorang ponakan yang duduk dekat kami ikut menyela. Ia bercerita tentang kondisi berbahasa di SMP tempatnya bersekolah.

Ponakan bercerita bahwa anak-anak dari Mataru lebih mencintai bahasa daerah dibanding anak-anak seputaran Mainang, katanya.


Anak-anak dari Mataru hampir selalu menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan saat jam istirahat di sekolah, dalam perbincangan dengan sesama teman, mereka menggunakan bahasa daerah.

Dia juga menilai bahwa ada temannya yang merasa rendah diri ketika berbicara bahasa daerah. Temannya itu merasa lebih tinggi derajatnya ketika berbicara bahasa Indonesia.

Timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah pilihan berbahasa mesti menunjukkan derajat? Apakah berbahasa daerah berarti kita adalah orang kampung? Apakah kampung mesti dipandang rendah dibandingkan kota?

Sebagai guru di sekolah, menurut saya, akan berdosa kepada leluhur ketika melarang penggunaan bahasa daerah di sekolah. Anak-anak sejak kecil yang harusnya dekat dengan bahasa Ibu, dipaksa keluar untuk terpisah dari bahasa ibunya sendiri. Bagi saya itu adalah proses alienasi seseorang dari jati dirinya sendiri.


Saya secara pribadi tidak akan lagi melarang murid berbicara berbahasa daerah di sekolah. Nasionalisasi tidak harus memisahkan orang dari jati dirinya sebagai pewaris bahasa daerah, bahasa ibunya.

Saya berencana membuat channel YouTube budaya lalu merekam pembicaraan bahasa daerah yang mungkin kelak menjadi museum bahasa daerah secara audio visual. Saya juga berencana membuat buku kamus sederhana untuk bahasa ibu saya.

Sekian.

Selasa, 15 September 2020

Efek Paranoid di Hari Kedua Isolasi



Tadi siang sekira jam 11 gegara lupa makan pagi, lambung kumat. Bagian sekitar diafragma kiri rasa seperti tertikam-tikam. Denyut jantung agak cepat, sedikit berkeringat walau tidak panas. Pikiran jadi panik/ paranoid.

Mau makan, istri sudah berangkat kerja, pintu dapur dia kunci. Saya diisolasi di kamar yang terpisah dari rumah.

Saya baca masa inkubasi Covid-19 dan ciri-cirinya. Itu malah membuat saya merasa-rasa, jangan-jangan batuk dan rasa tertikam dekat jantung ini tanda-tandanya.

Segera saya telepon adik yang perawat. Dia bilang jangan panik, segera makan, minum suplemen, mandi, dan istirahat/ tidur.

Saya ikuti. Segera saya pergi membeli roti, minuman suplemen dan segera mengkonsumsinya. Syukurlah, sekarang saya sudah tenang.

Jantung sudah normal. Batuk berdahak sehari cuma maksimal 3 kali (itu sudah terjadi sebelum ke Bandung), saya minum OBH combi.

Sepulang dia kerja, saya sampaikan ke istri. Mulai besok dia sediakan makan pagi. 


Rupanya kemarin pagi saya sudah ditawari makan, tapi saya menolak, dan itu tidak saya sadari karena menjawab tawaran sambil konsentrasi menulis. Jadi saya jawab tanpa fokus (asal).

Begitu siang saya sampaikan ke istri baru ketahuan kalau saya yang menolak tanpa sadar. Dan itu kadang terjadi.

Otak saya tidak bisa konsentrasi pada hal lain jika sudah menulis.


Nanti tepat seminggu saya mau rapid test. Kalau swab mahal.

Senin, 14 September 2020

Resiko Kembali dari Zona Merah

Sekembalinya dari zona merah, untuk dua Minggu saya mesti jauh-jauhan dengan orang lain, juga keluarga. Mesti karantina mandiri. Hari ini hari kedua.

Jika dalam dua Minggu saya tidak demam tinggi atau menunjukkan gejala positif Covid-19 lainnya berarti:
1. Saya tidak terpapar.
2. Saya terpapar tapi sembuh sendiri.
Itu menurut saya.

Saya mau tes swab tapi biayanya mahal yaitu 1,5 juta di RSU. Ah, seandainya untuk perjalanan dinas dimurahkan.

Sudahlah, nikmati karantina mandiri, semoga melahirkan karya, atau diet biar langsung eh langsing.

Jadi tau kenapa teman saya menolak kesempatan Diklat ke Jawa. Mungkin karena dia mesti dekat dengan istri anak yang baru lahir.

Ketika saya kembali dari zona merah, auto mulutgram menyampaikan kabar ke sekitar lingkungan rumah. Terima kasih basudara di sekitar yang sudah tahu dan sudah memberitahu. Ini modal untuk mencegah daripada mengobati. Untuk yang belum tahu, ini informasinya.

1. Perjalanan dinas ini sudah ada koordinasi dengan kementerian kesehatan RI untuk protokol kesehatan benar-benar diikuti.

Untuk informasi lengkapnya silahkan klik tautan dari P4TK IPA Bandung di bawah ini:

https://www.facebook.com/1828085724093497/posts/2708092966092764/

2. Selama perjalanan dinas saya membeli oleh-oleh di pasar baru Bandung, ke Cimahi, ke Jln. Asia Afrika, lalu kembali ke hotel dan berangkat besok pagi jam 6. Dalam perjalanan ada protokol kesehatan semisal jaga jarak, ukur suhu saat masuk pasar, pakai masker dan face Shield. Di pesawat juga begitu. Ada pemeriksaan hasil rapid test sebelum masuk check in dan ukur suhu.

3. Untuk dua Minggu ke depan saya karantina mandiri di rumah. Di kamar khusus dan tersendiri. Barang bawaan saya saat tiba semalam di rumah langsung dicuci menggunakan deterjen dan disemprot desinfektan, lalu disetrika (jika berupa pakaian).

Mohon doanya agar kita semua sehat selalu.

Klo menurut ramalan/ nubuatan yang sudah berulang kali saya dengar, saya umur panjang.

Kata "kamu umur panjang," saya dengar saat orang ingat saya atau sedang membicarakan saya, kemudian saya muncul. Itu nubuatan yang saya Amini.

Jadi jika berdasarkan iman, saya lolos dan tidak terkena Covid-19. Tapi secara protokol kesehatan, saya mesti melakukan karantina mandiri untuk membuktikan kepercayaan saya.

Terpujilah Nama-Mu Tuhan. Amin.
 

Rabu, 02 September 2020

Diskusi Perihal KKM

Tiba-tiba saya terbangun dari mimpi sebelum membahas sebuah topik menarik yang saya ajukan pada forum diskusi bersama orang-orang luar biasa di NKRI ini. Ada Pak Lody Paat dan Mbak Nana.


Sebelum memori mimpi menguap, saya patrikan dalam tulisan ini. Ini pertama kalinya saya bermimpi untuk diskusi tentang pendidikan. Pernah dulu bermimpi diskusi singkat dengan Pak Jokowi tentang pembangunan di sebuah titik kota Kupang.

Dalam mimpi kali ini, setelah tuntas membahas sebuah topik pendidikan lain yang pematerinya ialah Pak Lody Paat dan Mbak Nana sebagai moderator, saya mengacungkan tangan untuk bertanya. Mbak Nana memberi kesempatan. Lalu saya mulai bicara.

"Terimakasih untuk kesempatan ini. Topik ini sudah pernah saya diskusikan bersama senior saya Pak Beny Mauko  beberapa saat lalu. Ini menyangkut kualitas pendidikan di Indonesia.

"Setelah keberhasilan menghapus ujian Nasional sebagai standar dan ketentuan kelulusan peserta didik, hal berikut yang mesti juga dibenahi ialah KKM. Bagi saya KKM adalah salah satu batu sandungan pendidikan di Indonesia.

"Mirip dengan UN yang tidak memandang keunikan dan kekhasan individu peserta didik, KKM juga demikian. KKM dan UN adalah bentuk pendidikan pukul rata (dengan dalil adil). Ibarat kata, kita memakai satu obat ampuh untuk semua jenis penyakit. Nonsens.

"Setiap individu peserta didik berbeda satu sama lain. Mulai dari identitas, preferensi, asumsi, dan lain-lain, berbeda. Pendidikan mesti menyentuh sampai ke area (dan pertimbangan) itu.

"Saking berbedanya, perbedaan itu tidak bisa  ditarik-tarik kesamaannya untuk diberi pendekatan/ strategi/ metode pendidikan yang sama untuk semua individu peserta didik. Saya beri satu contoh.

"Peserta didik yang memiliki keunggulan visual (spasial) dan tidak unggul dalam aspek kinestetik, tidak bisa dituntut memiliki capaian ketuntasan bagus (tinggi) dalam aspek kinestetik. Begitu pula sebaliknya.

"Kita tidak bisa menyamaratakan semua peserta didik. Kita tidak bisa mem-profil-kan semua orang menurut profil kita. Kata Ibu Dosen saya, Ibu Andam Ardan : jangan ukur semua orang menurut ukuran kita. Ukuran baju kita tentu berbeda dengan ukuran baju orang lain.

"Selama ini yang terjadi ialah KKM hanya menyentuh sampai ke level kelas, meski dalam perhitungannya menyentuh daya serap setiap peserta didik namun kemudian hanya diambil rerata nilai KKM kelas sebagai standar acuan pencapaian."

Itu isi aduan saya pada forum diskusi dalam mimpi malam ini. Terlihat Pak Lody Paat telah siap-siap akan menjawab, Mbak Nana sedang mencatat inti pertanyaan, lalu saya sadar dan bangun dari tidur.

Ah, seandainya mimpi berlanjut dan saya mendapatkan tanggapan dari pemateri Pak Lody Paat, juga forum diskusi. Tentu ada banyak pencerahan yang saya dapatkan.

Dihubungkan dengan slogan merdeka belajar, dengan pola KKM yang terjadi sekarang, saya bisa menilai bahwa individu peserta didik tidak akan mengalami merdeka belajar sepenuhnya. Sistem penilaian kurikulum dengan keberadaan KKM membuat guru berorientasi pada ketuntasan kelas dan (cenderung) mengabaikan ketuntasan individu.

Mohon tanggapan dan pencerahannya teman-teman. Abaikan mimpinya dan tanggapi substansi menyangkut KKM mengabaikan pencapaian individu peserta didik dalam proses pendidikan.

Sila.

Rabu, 05 Agustus 2020

Cerpen: Sampah

Oleh : Krismanto Atamou

Sinar mentari pagi berupaya menyusup masuk di antara celah-celah pinus seakan pena Ilahi yang menari-nari memberi warna cerah pada bagian tajuk-tajuk pohon yang berhasil ditembusinya. Kicau burung perkutut belum lagi terdengar, hanya suara pipit yang mencicit dari sarang merindu induknya kembali membawa makanan.
Suhu udara masih dingin seiring angin dingin dan kering dari Australia. Begitu menurut siaran dari BMKG yang Jitro dengar dari radio tua peninggalan mendiang ayahnya. Meski dingin, ia terus bergerak mencari keringat dengan menggali keladi dan petatas. Siapa tahu wisatawan hari ini ada yang mau membeli seperti kemarin.
Untuk pembungkus jualannya, Jitro memesan tempat anyaman dari daun lontar yang dibuat masyarakat pesisir pantai. Selain menambah pemasukan ekonomi masyarakat pesisir, juga menghindari sampah plastik yang menjadi masalah global.
“Asap di dapur tak akan mengepul kalau kau berpangku tangan, Nak.” Nasihat mendiang ayahnya itu selalu dikenang meski sudah tak lagi didengarnya semenjak dua tahun lalu.
Ayah Jitro petani ladang tulen. Setiap musim tanam, ayahnya punya lebih dari dua kebun sekaligus. Hasil panen bisa menghidupi anggota keluarga selama tiga tahun mendatang. Jika ada keperluan mendadak, hasil panen dapat dijual untuk menutupinya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, keuletan ayahnya kini menurun pada Jitro.
Jitro masih menggali petatas dan keladi di kebun dekat rumah ketika istrinya memanggil untuk menemani sang ibunda minum kopi dan rebusan singkong. “Sebentar!” teriak Jitro sembari berhati-hati mencabut umbi petatas yang merambat dan tumbuh tepat di bawah anakan pohon mahoni yang baru ditanamnya tiga bulan lalu.
Jika dulu Jitro hanya menghadapi gulma dan hama demi kesuburan tanamannya, kini ia harus menghadapi masalah baru. Kebunnya warisan ayahnya yang berada di tepi jalan menuju tempat ekowisata itu sering menjadi tempat sampah bagi para wisatawan. Sampah plastik menjadi masalah utama baru yang menutupi tanamannya.
Kening Jitro berkerut dan peluh bercucuran. Langkah kakinya berhenti di belakang rumah. Ia menaruh karung berisi petatas dan keladi serta karung berisi sampah plastik dekat pancuran air dari bambu. Setelah membersihkan diri ia menuju emperan.
Hawa kopi panas yang mengepul di pagi hari itu berupaya melawan sapuan kabut tipis yang tertiup angin pegunungan melewati emperan. Kokok ayam dari pohon jeruk di samping rumah mulai jarang terdengar.
“Ma, kenapa?” tanya Jitro setelah melihat sang ibunda menatap nanar pada kumpulan karung berisi sampah plastik hasil pengumpulannya. “Ayo, Ma, Mama minum kopi dulu,” lanjut Jitro setelah yakin ibunya tak akan menjawab, mungkin sedang merenungi sesuatu.
“Aku heran, Jit. Mereka yang datang kan pengagum alam, tapi kenapa mereka merusak alam dengan membuang sampah sembarangan?”
“Kalau itu Mama tanya saja pada para pedagang. Seharusnya mereka sediakan tempat sampah agar pembeli tidak buang sampah sembarangan. Kebetulan, Ma. Itu salah satu pedagang ada di sana.” Jitro menunjuk istrinya yang sedang berada di dapur tak jauh dari emperan. Ia memang suka usil mengorek-ngorek emosi dan perasaan istrinya. Senang melihat ekspresi istrinya kalau sedang marah. Tambah cantik dan bikin gemas, katanya.
Umpannya berhasil ditotok. Sang istri mengomelinya. “Kalau begitu jangan kau minum kopi itu. Kau tahu gula itu datangnya dari mana? Itu dari hasilku berjualan di kios kecil-kecilan kita di pintu masuk tempat wisata sana. Sudah baik aku mendukungmu bekerja mencari nafkah.”
Jitro puas. Ia memandangi istrinya lekat-lekat lalu menyeruput kopinya. “Hm ..., kopimu enak, sayang! Apalagi sambil melihat kau marah, wajahmu memerah, waduh cantiknya,” kata Jitro sambil terkekeh.
Sebuah kerikil kecil melayang menuju wajah Jitro, ia mengelak, tidak kena. Jitro tahu, itu lemparan sayang. Sejak pacaran juga sudah begitu. Jitro sering dilempar menggunakan biji pinus kering yang jatuh sepanjang jalan setapak, hadiah menggoda sang nona saat mereka beramai-ramai berjalan untuk menimba air. Saat itu hutan masih lebat nan asri. Bahkan rumput ilalang dipelihara demi bangunan rumah. Sekarang, hampir semua warga membangun rumah permanen. Ilalang, tali-temali hutan, dan ramuan rumah alami mulai dilupakan.
“Awas kena mama!” protes Jitro. “Tenang saja, Ma. Jangan marah-marah, nanti penyakit darah tinggi mama kambuh lagi. Itu malah memperparah masalah. Dulu aku juga emosi pada wisatawan yang buang sampah sembarangan. Aku pernah mengeluarkan makian pada mereka. Tapi, istriku yang cantik itu menegur bahwa makian adalah mengeluarkan kata-kata kotor, sampah dalam bahasa. Jangan. Emosional negatif bukan solusi,” kata Jitro pada sang ibunda sembari melirik istrinya. Sang istri membuang muka, menyembunyikan senyum sipu.
“Aku sudah sediakan tempat sampah. Di pintu masuk tempat wisata juga sudah ada tulisan besar-besar: Jangan Buang Sampah Sembarang! Ada juga tulisan sindiran: Bertahun-tahun sekolah tapi masih buang sampah sembarangan, sekolah buat apa saja? Tapi apa? Tidak ada pengaruhnya, bosku! Mungkin tulisan itu tidak dibaca. Mungkin tingkat literasi kita rendah. Mungkin sekolahnya gagal mengajari kebersihan. Mungkin pribadinya sudah begitu. Mungkin.” Sang istri menjelaskan panjang lebar.
“Pernyataan kamu seolah membela diri, istriku. Hehe ....” Jitro terkekeh untuk mendinginkan suasana. “Menurutku tergantung kita memandang masalah sebagai apa. Aku ingat kata teman pengusahaku dulu: masalah adalah peluang. Justru dengan masalah sampah ini, ada peluang yang timbul. Semisal menaikkan retribusi wisata untuk dana kebersihan, sampah didaur ulang lalu dijadikan souvenir, ekobrik, atau produk lain lalu dijual.
“Menurutku itu lebih baik daripada memaki-maki wisatawan pengotor lalu mengurangi minat calon wisatawan lain datang ke sini karena ketidakramahan kita. Keramahan adalah salah satu daya tarik dan pendukung wisata selain faktor lain.”
“Kau benar, Jitro. Tapi kita masyarakat di sini adalah petani dan peternak yang tidak pernah terlibat dalam industri kreatif untuk mengubah sampah menjadi bernilai jual. Jangan-jangan kau akan kecewa. Kau boleh bermimpi demikian. Namun bagaimana jika usaha yang kau rintis kemudian berhenti di tengah jalan? Bangkrut!” sang ibunda mewanti-wanti.
“Tenang, Ma. Aku akan berusaha sendiri dulu. Jika berhasil, pasti banyak orang akan tertarik dan ikut. Sebagian orang ingin mengambil hikmah keberhasilan dari orang lain sebelum ikutan. Orang akan mau mengikuti jika sudah melihat hasilnya.
“Itu sudah aku kumpuli botol-botol air mineral besar. Akan aku cuci, isi dengan sampah plastik lain menjadi ekobrik, lalu kubuat menjadi sofa, lalu kujual.”
“Aku siap bantu menjualnya, sayangku,” sela istri Jitro.
“Ah, nanti uangnya tak kau berikan padaku.”
“Ya, iyalah. Secara istri adalah bendahara rumah tangga. Uang suami, istri yang kelola. Begitu kan, ibunda?”
“Ya. benar.” Mendengar ibunda mendukungnya, sang istri tersenyum lebar, mengangkat alisnya tinggi-tinggi sembari memandangi Jitro. Senyum kemenangan.
“Mama jangan bela dia. Nanti kepalanya besar. Aku tak dihormatinya sebagai kepala rumah tangga.”
“Kau jangan berpikiran negatif, Jitro. Ia kelola uangmu, juga demi kamu. Coba kamu lihat isi rumah ini, sebagian besar dia yang beli. Ia berhasil menghemat keuangan keluarga dan tahu mana yang prioritas untuk dibeli. Kau harus berterima kasih padanya.”
“Ah, Mama. Sesama perempuan memang saling membela.”
Ternyata Jitro tidak sendiri dalam menangkap peluang sampah menjadi barang bernilai. Yusak temannya saat belajar di SMK dulu turut memulung sampah tempat wisata untuk didaur ulang. Alih-alih berkelahi memperebutkan sampah, keduanya bekerja sama untuk menciptakan produk yang berbeda, mencari peluang pasar, membuat badan hukum UKM, mencari modal pinjaman untuk mengembangkan usaha, bekerjasama dengan pemerintah dan pengelola tempat wisata. Bahkan sampah dari kota mereka impor ke desa untuk usaha daur ulang. Kini sampah mereka cari ibarat emas, bernilai bagi kehidupan.

Catatan : Cerpen ini adalah refleksi penulis menyikapi berbagai aksi protes pecinta lingkungan terhadap pengotoran kawasan ekowisata yang marak di media sosial akhir-akhir ini.

Selasa, 04 Agustus 2020

Tren Ekowisata, Sampah, dan Kesadaran Menjaga Lingkungan


Oleh : Krismanto Atamou

Gairah dunia pariwisata kembali mulai menggeliat seiring diberlakukannya new normal saat ini. Salah satunya ialah wisata ekologi atau ekowisata. Bentang alam Indonesia yang luas dan beragam sangat cantik memukau untuk dinikmati paska lockdown.

Di NTT, seiring Gubernur Viktor Laiskodat menyatakan bahwa parawisata merupakan prime mover, tren ekowisata alternatif baru semakin viral akhir-akhir ini. Bukit Samapta Afliug di Desa Oh'Aem Kab. Kupang, Bukit Famaisa di Desa Kelaisi Tengah Kab. Alor, Fatukopa dan berbagai tempat di Kab. TTS, dan masih banyak lagi di tempat lain.

Berbagai tagar nama tempat wisata baru bertaburan di dinding media sosial. Seiring viralnya tempat-tempat itu, viral juga protes keras para pemerhati lingkungan terkait sampah dari para wisatawan. Protes tersebut bahkan menyebut secara kasar sang pembuang sampah sembarangan.

Hal yang dituntut pemerhati lingkungan sebenarnya hanya satu: kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak menyampahi lingkungan. Itu saja. Soal menikmati alam, itu adalah hak setiap penghuni alam sepanjang sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Pada tren destinasi ekowisata baru, manusia mulai melihat alam sebagai sebuah kebanggaan Ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih nan agung. Namun di sisi lain ada kemunduran, dan yang paling umum yaitu sampah. Hampir selalu begitu, bahwa kemajuan apapun yang manusia buat di muka bumi ini selalu meninggalkan jejak sampah.

Berikut ini beberapa tawaran solusi dari penulis untuk masalah sampah di kawasan ekowisata demi kelestarian lingkungan. Pertama yaitu melalui pendidikan untuk menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan alam. Diharapkan dengan pendidikan, ada kesadaran dan kebiasaan untuk menjaga lingkungan.

Dalam konteks pendidikan, setiap pengelola, pemerintah, wisatawan, dan berbagai stakeholder ekowisata mesti memahami konsep ekowisata dengan benar. Pemahaman yang benar terhadap konsep ekowisata diharapkan dapat menimbulkan kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan hidup.

Menurut pengertian Panduan Ekowisata yang dikeluarkan oleh UNESCO, ekowisata merupakan jenis wisata yang bertanggung jawab pada tempat alami serta memberi kontribusi terhadap kelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sedangkan menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Ekowisata merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.

Dari kedua definisi di atas dapat ditarik dua intisari tentang konsep ekowisata yaitu: pertama, tanggung jawab terhadap kelestarian alam, dan kedua, pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Di satu sisi lingkungan hidup mesti lestari dan di sisi lain kegiatan parawisata tetap jalan dengan dukungan dan kerjasama lintas sektoral.

Kedua, penegasan aturan dan manajemen hingga sangat mengikat wisatawan. Semisal, sebelum memasuki kawasan wisata, semua barang bawaan wisatawan yang berpotensi menyisakan sampah didata agar saat pulang (check-out) dicek lagi. Apa sampah sudah dibawa pulang atau tidak. Jika tidak maka ada denda yang dikenakan dengan memperhatikan efek jera.

Ketiga, menaikkan retribusi penanganan sampah untuk membayar pihak ketiga menangani sampah. Dengan demikian wisatawan tahu bahwa sampah yang dibuangnya sangat mahal untuk ditebus dampak (bahaya) dan pemulihannya.
Empat, setiap pengelolaan wisata alam perlu ada kajian AMDAL dan melibatkan LSM pemerhati lingkungan semisal WALHI. Pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 05 Tahun 2015 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/ Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup cukup jelas mewanti-wanti tentang dampak lingkungan dari setiap pengelolaan kawasan hutan atau lingkungan.

Perlu ada standarisasi pengelolaan lingkungan yang mesti sangat diperhatikan dan ditaati. Setiap pelanggarannya mesti dikenakan snksi atau berdampak hukum yang menimbulkan efek jera. Hal ini penting mengingat bahwa bumi bukanlah warisan leluhur melainkan titipan anak cucu kita. Setiap keserakahan dalam mengelola atau menikmati lingkungan hidup secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan/ kelestariannya sama saja membunuh eksistensi generasi yang akan datang.

Dalam pengamatan penulis, selama ini dampak lingkungan dari pabrik dan tambang lebih ditakuti hingga kita lalai untuk memperhatikan dampak lingkungan dari sampah orang pribadi. Kita sibuk memperhatikan hal besar, akhirnya lupa bahwa hal kecil bisa berdampak lebih buruk bagi lingkungan.

Lima, tergantung cara melihat kawasan ekowisata sebagai apa. Kalau hanya melihat kawasan ekowisata sebagai lahan bisnis atau komoditas ekonomi semata memang berbahaya. Kita mesti melihat kawasan ekowisata sebagai bagian dari kehidupan, bukan hanya keindahan alam yang dibisniskan.

Setiap titik ekosistem yang menjadi kawasan ekowisata saling terhubung dengan titik ekosistem lainnya. Gangguan pada satu titik dapat berdampak pada keseluruhan eksistem. Sebagaimana kata pepatah: nila setitik, rusak air sebelanga. Sampah plastik yang dibuang di pantai Amerika Serikat dapat melewati samudera pasifik dan mengotori pantai Maluku yang dijaga dengan adat sasi, misalnya.

Enam, pengelola dan wisatawan ekowisata mesti mulai membiasakan gaya hidup sayang lingkungan, salah satunya ialah dengan gaya hidup tanpa kantong plastik atau meminimalisir penggunaan plastik. Barang belanjaan yang dapat ditenteng tidak perlu kantong plastik. Dengan rela berlelah menenteng paling tidak telah berkontribusi mengurangi laju penggunaan kantong plastik di bumi.

Sudah berapa kali sang penjual terkejut ketika penulis menolak menggunakan kantong plastik. Mungkin karena tidak biasa sehingga terkesan aneh. Dalam keheranan penjual, penulis berkomentar, "Sayang lingkungan."

Jika kita coba kalkulasikan bahwa setiap kali seseorang berbelanja satu jenis barang lalu diisi dalam kantong plastik, lalu plastiknya dibuang. Sehari kalau ada 10 plastik yang dibuang, dikali setahun (365 hari), maka ada 3.650 kantong plastik yang dibuang oleh satu orang setiap tahun. Jumlah itu belum dikali jumlah penghuni bumi yang terus bertambah. Dalam 50 tahun mendatang apa jadinya bumi ini? Ini baru sampah plastik, belum jenis sampah berbahaya lainnya. Jika kebiasaan kita menggunakan kantong plastik berlebihan tetap dipelihara, maka dapat diprediksi anak cucu kita nanti akan tinggal di atas sampah plastik.

Untuk itu, penulis mengajak kita semua agar mengurangi laju akumulasi sampah plastik di lingkungan. Biasakan diri membawa botol minum dan tempat makan  sendiri jika keluar rumah agar tidak membeli minuman atau makanan kemasan sekali pakai. Jika berbelanja ke pasar atau supermarket, bawalah keranjang belanja.  Memang sebagian toko atau supermarket telah mengenakan biaya penggunaan kantong plastik, tapi sayang, harganya sangat-sangat murah sehingga tidak berdampak sama sekali bagi untuk membangkitkan inisiatif mengurangi penggunaan kantong plastik.

Ayo sayang lingkungan hidup kita dengan mengurangi sampah plastik dan menangani sampah dengan benar! Semoga kelak anak-cucu kita dapat berterimakasih kepada pendahulunya karena telah mewariskan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. Semoga.

*Penulis adalah guru IPA, pemerhati lingkungan, dan memperoleh juara satu saat mengikuti kompetisi menulis ulasan ringkas pariwisata Indonesia pada tahun 2017 lalu di website NUSAKU.ID (milik PT. Telkomsel).

Senin, 06 Juli 2020

Pencapaian


Kali ini saya menulis di ruang tunggu Bandara Internasional El Tari Kupang. Di belakang saya ada Borneo (Pulau Kalimantan, penulis) Art Shop yang menjual aneka makanan, pakaian, dan aksesoris tradisional NTT.

Saya tertarik untuk menulis topik ini karena biasanya pada pertengahan usia seseorang_menurut saya_orang tersebut akan mendefinisikan ulang pencapaiannya secara pribadi maupun kelompok. Ibarat orang yang berada di tengah perjalanan lalu berhenti sejenak untuk merenung dan memutuskan jalan mana dan ke mana.

Menurut KBBI, kata pencapaian berarti proses. Kata dasarnya capai berarti raih/ sampai.

Setiap orang (pribadi atau kelompok)) tentu memiliki definisi pencapaian masing-masing. Untuk mencapai pencapaian itu, setiap orang juga memiliki caranya masing-masing. Ada unsur kehendak bebas.

Pencapaian tersebut tidak selamanya berupa titik akhir (hasil) yang perlu dicapai. Pencapaian bisa berupa proses tertentu. Semisal pecinta kuliner yang menikmati sensasi mengunyah makanan dengan citarasa dan tekstur tertentu. Kenyang bukanlah pencapaian baginya.

Definisi dan standar pencapaian yang berbeda dapat dilihat pada obrolan (sedikit tak nyambung) di pasar antara dua orang berikut. Sebut saja penjual garam eceran bernama X dan mahasiswa S2 peneliti bernama Y.

Obrolan di bawah ini saya beri topik : #itu_apa? Setelah saling sapa dan salam, Y memperkenalkan diri.

Y: Saya Y, mahasiswa S2 peneliti. Saya lulusan dengan nilai terbaik di tiap jenjang pendidikan yang saya tempuh. IPK saya saat S1 4,00.
X: Kamu omong apa?
Y: Saya memperkenalkan diri, Pak.
X: Oh, mau beli garam?
Y: Tidak, Pak. Saya mau penelitian tentang penjualan garam eceran.
X: Itu apa?
Y: ??? 
X: Saya jual garam. Kamu kalau tidak beli jangan ganggu saya.

Dari obrolan di atas, menurut saya, pencapaian penjual garam eceran ialah dagangannya laku. Pencapaian mahasiswa S2 peneliti ialah sang penjual garam eceran bisa berpartisipasi dalam penelitiannya. Beda pencapaian.

Saat mengakhiri tulisan ini, saya sedang di atas pesawat terbang melihat ke bawah. Pencapaian saya saat ini adalah dapat turun ke darat dan bertemu keluarga. Mungkin di bawah sana ada seseorang yang memiliki pencapaian untuk ada di atas pesawat terbang. Beda pencapaian.

Salam.

Jumat, 03 Juli 2020

Kemuliaan para ToLo


Kali ini saya tertarik untuk menulis topik ini. Menurut KBBI kemuliaan dengan kata dasar mulia berarti hal (keadaan) mulia; keluhuran; keagungan. Sedangkan ToLo yang saya maksudkan di sini adalah akronim dari kata Tokoh Lokal, bukan kata makian seperti yang dipakai pada kalangan tertentu.

Para ToLo selayaknya mulai atau agung dalam tutur kata, tindak tanduk, dan seluruh kesehariannya. Tokoh menurut KBBI berarti 1. rupa; 2. bentuk badan, perawakan; 3. orang terkemuka dan kenamaan. Sesuai topik ini pada arti yang ketiga para ToLo adalah orang terkemuka dan kenamaan.

Untuk menjadi terkemuka dan kenamaan tentu tidaklah mudah, ada harga yang harus dibayar, semisal bersikap mulia dalam keseharian dan bertanggung jawab dalam tindakan serta pemikiran. Di bumi tokoh sangat langka, hal ini mengingat sulitnya manusia melawan diri sendiri_sebagai musuh terbesar_ untuk kepentingan yang lebih mulia menurut berbagai standar kemuliaan.

Bagi tujuan yang mulia tertentu, setiap orang cenderung membutuhkan tokoh yang menjadi teladan kemuliaan. Sulit. Hal ini mengingat tak ada manusia yang sempurna. Namun terlepas dari ketidaksempurnaannya, para tokoh patutlah diteladani sebagai standar minimal kemuliaan tertentu.

Untuk kemuliaan tertentu tersebut, para tokoh juga mesti berhati-hati agar tidak menimbulkan makian seperti kata tolo pada komunitas tertentu. Biarlah ToLo menjadi akronim dan bukan makian.

Salam.

Jumat, 12 Juni 2020

Obrolan Opa Peter dan Cucunya


Oleh : Krismanto Atamou

“Pada persimpangan kritis dalam sejarah, orang akan melihat berbagai kerinduan. Kerinduan yang terpendam, kerinduan yang terobati, dan kerinduan yang terus dijalani ibarat ayunan Newton yang sekali digerakkan akan terus bergerak hingga dihentikan.

“Film Mortal Engines yang diproduksi pada tahun 2018 lalu, disutradarai oleh Christian Rivers, misalnya. Film yang mengisahkan tentang 1000 tahun dari sekarang ketika kemajuan teknologi mengakibatkan kepunahan dan orang di masa depan rindu untuk mempertahankan zona nyamannya mirip seperti yang kita pertahankan sekarang.

“Kita mempertahankan ego, cinta, benci, kekuasaan, kejayaan, nafsu, juga kebijaksanaan. Seribu tahun dari sekarang sejarah manusia masih menjaga kerinduan alami manusia.

“Wasiat, amanah, dan harapan adalah ekspresi kerinduan dimana orang berupaya menjangkau yang dirindukan dan berharap itu tersampaikan.  Sebut saja di akhir masa kehidupan seseorang. Pada saat seperti itu orang cenderung akan menyampaikan banyak wasiat. Itulah kerinduan.

“Kau seorang mahasiswa sains. Kau tentu tahu tentang tingkatan error dalam sebuah penelitian sains. Itu adalah kerinduan dari sains yang rasional untuk mendekati kebenaran dan berupaya menjelaskannya. Suatu kerinduan sains untuk sempurna, namun menyisakan sedikit persentasi error yang terus dirindukan kesempurnaannya.

“Kerinduan sains terus berlanjut seiring kerinduan untuk sempurna. Sains, teknologi, teknik, matematika, semuanya sama saja, merindukan kesempurnaan.  Di ujung semua usahanya mereka masih merindukan entah.

“Ideologi pun demikian. Semula ideologi manusia adalah untuk mempertahankan hidup. Dengan caranya sendiri kehidupan purba terus berkembang hingga sekarang. Ideologi berkembang dari mempertahankan hidup berlanjut hingga memaknai hidup.

“Dalam perkembangan ideologi, orang berupaya mencari tatanan yang terbaik demi khalayak, demi kosmos. Lalu muncullah penghalang-penghalang ideologi. Lalu muncullah perlawanan-perlawanan.

“Setiap usaha membutuhkan pengorbanan. Demikianlah dalam sejarah kemajuan ideologi yang menemui halangan dan rintangan menyisakan kemunduran berupa sampah, berupa pemaksaan sebagai ekspresi hawa nafsu, menyisakan korban harta benda dan jiwa raga manusia. Setiap pencapaian kemajuan ideologi adalah kerinduan yang sama dalam bentuk yang berbeda.

“Ah ..., cucuku. Maafkan Opa terus berbicara tentang kerinduan yang tiada habis-habisnya. Apalah yang akan Opa wariskan padamu? Semuanya hanyalah kerinduan.

“Pun tentang kepercayaan. Orang-orang mengklaim kebenaran dari kepercayaannya masing-masing. Orang-orang rindu surga, rindu kepastian hidup kekal di tempat abadi.

“Untuk itu ada banyak syarat yang mesti dipenuhi, ada banyak pengorbanan yang mesti dilakukan. Orang mulai bertanya-tanya: Mengapa kita mewarisi agama ini? Mengapa kita harus melakukan syarat dan pengorbanan seperti ini? Bentuk pertanyaan tabu dalam tatanan kepercayaan. Lalu muncullah aliran baru dengan klaim penyempurnaan. Semuanya tentang kerinduan untuk sempurna.

“Jangan kau tanya mana yang benar. Saintis selalu menjawab secara rasional lewat bukti dan saksi. Filsuf menjawab sesuai permenungannya. Setiap orang memiliki identitas dan preferensinya masing-masing. Kita mesti saling menghargai dalam kemanusiaan.”

Angin dingin sore itu berhembus sepanjang gang kecil di Kampung Malang, Surabaya, masuk melewati celah jendela. Andre duduk menghadap Opa Peter yang berbaring di tempat tidurnya. Andre menarik selimut ke arah dada Opa Peter yang bergerak turun ke pinggang seiring gerakan tangan Opa Peter sebagai gesture untuk mendukung penjelasannya tentang kerinduan akan kesempurnaan.

“Dulu, Opa adalah salah satu komandan pasukan KKO. Opa memilih berhenti tanpa pensiun lalu menjadi wartawan. Itulah persimpangan kritis dalam kehidupan Opa dimana dunia wartawan menyimpan kerinduan bagi diri Opa sendiri.”

Pandangan Opa Peter yang sudah kabur sempat memotret kerutan di dahi Andre, cucunya. Nalurinya mengatakan: Pasti ada sesuatu yang ingin ditanyakan Andre mengenai hal yang baru saja disampaikannya.

“Kau jangan tanya KKO itu apa? Sebab di zaman sekarang, kau harus lebih terampil daripada sekedar menguasai informasi yang sudah cenderung menjadi domainnya teknologi.

“Semasa menjadi komandan KKO, Opa mengerti apa itu perintah, apa itu komando, apa itu ketakutan dan bagaimana menghadapinya, apa itu keberanian dan bagaimana mencegahnya untuk berubah menjadi ketololan.”

Begitu kata ketololan sampai ke kepala Andre, sekali lagi dahi Andre berkerut. Meski tanpa belajar ilmu mikro ekspresi, Opa Peter tahu bahwa ia mesti berupaya menjawab kerinduan sang cucu untuk mengerti penjelasannya.

“Suatu saat kau akan tahu bahwa keberanian yang berlebihan adalah ketololan. Dalam perang hal itu sering terjadi. Orang berdiri menenteng senjata, menganggap diri berani, kurang waspada, merindukan bahwa itu adalah hal yang sempurna untuk dilakukan, lalu mati diberondong senjata musuh. Tolol.”

"Berarti, apakah kita harus sedikit takut, Opa?" Andre yang sedari tadi hanya menunjukkan mikro ekspresinya, kini bersuara mengungkapkan rasa penasarannya.

Tidak langsung menjawab, Opa Peter menceritakan sepintas kisah hidupnya. Ibarat kata: Alih-alih memberi ikan, Opa Peter memberi kail agar Andre bisa mengetahui jawaban atas pertanyaannya tadi.

“Opa lahir 75 tahun lalu di Pulau Sabu, NTT. Sebuah pulau yang indah dengan pesona Kelabba Maja-nya, dengan gula aer-nya, dengan nona hitam manis-nya, dan masih banyak lagi pesona yang lain. Opa tumbuh dan besar di sana. Lalu Opa masuk tentara, bergabung dengan KKO, menjadi komandan pasukan, lalu berhenti, lalu  Opa memilih menjadi wartawan.”

Wajah Andre sedikit tersenyum. Opa Peter senang, menyangka bahwa cucunya itu sedang menyukai penjelasannya. Padahal, selain itu, Andre tersenyum karena Opa Peter sedang mengulang sejarah hidupnya yang telah Andre dengar berkali-kali. Dalam hati Andre berkata: "Mungkin suatu saat aku pun akan seperti Opa. Gejala orang tua."

"Tahukah kau Andre, apa yang menyebabkan Opa menjadi wartawan?"
Andre menggeleng pelan.

"Keberanian, Andre. Keberanian. Hanya orang berani yang memilih jalan berbeda dari biasanya. Jika untuk hal baik yang kita perjuangkan, untuk apa takut dengan ancaman? Teguhlah pada pendirian, Andre!”

"Oh, berarti kita tidak perlu takut kan, Opa?"

"Silakan kau simpulkan sendiri, Andre."

Opa Peter tersenyum menatap mata cucunya. Senyum yang manis dari seorang Do Hawu.
"Saya lihat di YouTube, Opa pernah mewawancarai Opa Gerson Poyk."

"Ya, beliau adalah sastrawan besar Indonesia asal NTT."

"Saya kagum, Opa memilih hidup sederhana dengan tinggal di rumah sempit dalam gang ini. Opa juga bergaul dengan siapa saja," ujar Andre.

"Sebelum meninggal ..., Opa ingin mengenalkan bahwa tanah lahir Soekarno itu di Surabaya, bukan di Blitar seperti yang kau pelajari di sekolahan. Itu salah satu kerinduan yang Opa jalani. Masalah nanti kerinduan itu tercapai atau tidak, biarlah waktu yang menjawabnya.
“Opa yakin, Soekarno lahir di Kampung Pandean, Surabaya. Opa sudah melakukan penelitian panjang sebelum mengambil kesimpulan itu.”

"Ada kemungkinan Opa akan dimusuhi oleh orang yang memiliki pendapat berbeda," sela Andre.

"Bukan akan, tapi Opa memang sudah dimusuhi sejak dulu. Lalu apa? Balas memusuhi? Tidak! Opa ikhlas. Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan rasa permusuhan, Andre.”

Catatan: Cerpen ini adalah upaya menambah bumbu fiksi untuk mengenang sekelebat kisah Alm. Peter A. Rohi, wartawan senior asal Pulau Sabu-NTT yang meninggal di RS RKZ Surabaya pada Rabu, 10 Juni 2020 lalu. Turut berdukacita.

Kamis, 11 Juni 2020

Jagung dan Prestise



Berdasarkan preferensi dan budaya seseorang, jagung dinilai dengan standar tertentu. Sebagian orang menjadikannya makanan pokok. Sebagian lain menjadikannya makanan tambahan. Namun, ada sebagian lain lagi yang tidak menjadikannya bahan makanan bagi manusia melainkan bagi hewan peliharaan.

Tersebutlah suatu cerita lucu tentang jagung ini. Dalam sebuah perjalanan dengan kapal feri yang begitu lama bertemulah dua orang. Sebut saja si a dan si b.

Keduanya berkenalan lalu berbagi cerita untuk membunuh waktu dalam perjalanan yang begitu lama. Si a melihat si b membawa sebuah karung maka terjadilah percakapan sebagai berikut.

A: Apa isi karung itu?
B: Oh, itu jagung.
A: Untuk apa kamu bawa jagung dari kampung ke kota?
B: Untuk bekal makanan saya.
A: Oh, jadi kamu makan jagung?
B: Ia. Kenapa kamu bertanya seperti itu?
A: Ah, tidak. Aku heran saja kamu makan jagung. Di kampungku, jagung adalah makanan babi.

Si b menjadi jengkel karena si a menganggap bahwa si b makan makanan babi. Tak lama berselang laut menjadi sedikit ganas dan bergelombang. Kapal feri oleng.

Si a mabuk laut lalu muntah. Dari muntahan itu keluar jagung rebus yang dimakannya di darat. Si B kaget. Ternyata orang yang menganggapnya memakan makanan babi tadi juga makan jagung. Si b menilai si a sombong dan penipu.

Sehabis muntah si a terbaring lemas. Muntahan si a yang tadinya diarahkan ke laut sebagian tertiup angin melewati pagar pembatas Feri dan jatuh ke lorong.

Seorang pelintas menanyakan kepada si b yang berdiri tak jauh dari muntahan itu. "Muntahan siapa ini?"

B: "Oh, itu tadi ada babi yang muntah."
Si B berupaya menjawab dengan suara keras agar didengar si a sebagai jawaban sindiran.

Nah, dari cerita ini, bagi si a, jagung bukanlah makanan manusia, prestisenya akan jatuh jika mengakui makan jagung walaupun faktanya ia memakannya. Bagi si b jagung adalah makanan manusia dan ia tidak malu untuk mengakuinya.

Ya, semoga saja dalam kenyataan, kisah tentang jagung dan prestise manusia tadi tidak terjadi. Hanya fiksi.

Kalau saya hobi makan jagung muda rebus, bakar, atau goreng. Enak sekali.🙂

Sekian.

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 12 Juni 2020

Note: Gambar ini diambil dari Grup WA KGP NTT.

Rabu, 10 Juni 2020

Menghadapi_Tsundoku



Tulisan di bawah adalah milik dosen saya saat kuliah di Prodi Biologi Pendidikan MIPA, FKIP Undana Kupang sekira tahun 2002 lalu, Ibu Doktor Andam Ardan. Setelah mendapat izin dari Ibu Doktor, saya membagikannya dengan menambahkan sedikit ulasan yang berfokus pada bagian #Tsundoku.

Ini link tulisannya:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10220335496930951&id=1635347704

Bagi para pecinta buku mengoleksi buku adalah hal yang istimewa, apalagi untuk buku edisi terbatas (langka). Sebagian lagi suka mengoleksi buku keluaran terbaru (semisal buku serial) atau buku baru yang sesuai identitas dan preferensi diri.

Tujuan mengoleksi buku tentunya adalah untuk dibaca dan menambah pengetahuan. Hal ini wajar mengingat sebagai homo sapiens kita adalah makhluk pemikir. Knowledge konsumer.

Ada sebuah gejala yang menghantui dan membayangi para pecinta buku yaitu Tsundoku. Menumpuk atau mengoleksi buku dalam jumlah banyak namun tidak pernah membacanya atau membacanya namun tidak selesai. Saya pun sekarang mulai merasakan gejala Tsundoku.

Dalam permenungan saya ada beberapa hal penyebab Tsundoku antara lain:

1. Jenuh atau Bosan

Jenuh atau bosan adalah sifat alami manusia mengingat secara alami manusia butuh istirahat atau refreshing. Itulah alasan sehingga para pebisnis menyediakan jasa hiburan bagi yang membutuhkan. pebisnis tahu bahwa pada satu titik manusia pasti jenuh dan membutuhkan hiburan atau membutuhkan sesuatu (wahana dan aktivitas) yang baru.

2. Kepuasan Untuk Sekedar Memiliki

Bagi para pemula isi buku, puncak kepuasan terletak pada berhasil memiliki buku dan mengoleksinya. Membaca buku hasil koleksi tidak lagi menjadi target kepuasan.

3. Terjawabnya Kebutuhan Atas Rasa Penasaran

Sebelum memiliki sebuah buku secara utuh, seseorang yang akan terjebak Tsundoku selalu merasa penasaran terhadap buku yang ingin dicari dan dimiliki. Setelah memiliki buku tersebut atau membaca sebagian isinya rasa penasaran tersebut terjawab. Dengan terjawabnya kebutuhan atas rasa penasaran tersebut maka berakhir sudah segala ekspektasi dari orang yang mengalami Tsundoku. Jika hidup seperti putaran roda maka terjawabnya rasa penasaran adalah titik tertinggi dari roda (Jika tidak mau dikatakan banal).

4. Beratnya materi bacaan

Beberapa buku memang berat untuk dibaca mengingat memerlukan analisis yang tinggi dalam membaca. Tanpa analisis atau daya berpikir yang tinggi materi bacaan tersebut akan sulit untuk dicerna dan dimengerti, apalagi untuk dipahami. Nah, untuk materi bacaan yang berat seperti ini, bagi orang yang tidak terbiasa, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan bacaan dan mengerti isinya.

Sebagai contoh 2 bulan lalu saya membaca buku berjudul PENDIDIKAN karya Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara (KHD). Buku tersebut ditulis beliau pada zaman dulu sehingga menggunakan ejaan dulu. 

Sebagai generasi masa kini yang membaca buku KHD, saya perlu memahami beberapa kosakata yang diberi catatan kaki dan memahami ejaannya. Otak saya mesti bekerja dua kali sebelum memahami buku KHD. Dengan bacaan berat seperti ini otak lebih cepat lelah dan membutuhkan banyak istirahat.

5. Kesibukan

Kesibukan adalah alasan yang paling klasik dan umum untuk menyelesaikan sebuah bacaan (juga agenda lain yang tidak terjamah😀). Alasan ini pun cenderung dicari-cari mengingat bahwa membaca seharusnya menjadi bagian dari kesibukan.

6. Kesempatan membaca (buku atau teks panjang) yang dicuri oleh Mayanisasi.

Digitalisasi dan dunia maya menawarkan tsunami atau badai informasi yang terus menggempur setiap pengakses internet di setiap milidetiknya. Hal ini mengakibatkan fokus untuk membaca sebuah buku terampas.

Sebenarnya digitalisasi dan dunia maya juga menawarkan sangat banyak buku digital untuk dibaca. Ini (membaca buku hingga tuntas) bisa terjadi jika kita tidak mudah teralihkan untuk membaca atau menyaksikan berjibun materi lain yang hadir melalui notifikasi.

Jadi, manajemen waktu di era mayanisasi perlu diatur agar bisa fokus menyelesaikan bacaan teks panjang yang membutuhkan banyak waktu. Jika bacaan itu berupa buku fisik maka kita perlu mengambil jarak dengan internet agar terhindar dari notifikasi yang mungkin membuat kita teralihkan.

***

Apa yang dialami Ibu Doktor (yang juga penulis alami), yaitu tersendatnya membaca buku hingga tuntas tentu perlu ditelisik lebih jauh. Apakah karena keenam alasan di atas, atau ada alasannya yang lain, sebagaimana yang Ibu Doktor duga yaitu faktor usia.

Untuk menghadapi Tsundoku tentu kita mesti menyadari siapa diri kita. Jika kita adalah orang yang suka mengoleksi buku dan menjadikan hobi tersebut sebagai pencapaian tertinggi maka Tsundoku bukanlah masalah. Namun jika kita sebenarnya tidak berniat mengoleksi buku tanpa dibaca maka kenalilah apa penyebab kita tidak menyelesaikan bacaan lalu cari solusinya. Enam hal di atas hanyalah dugaan sementara, bisa jadi ada hal lain sebagai penyebabnya.

Sekian.

Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.

Note: This picture taken from https://www.google.com/amp/s/www.grid.id/amp/04905260/selain-bacaan-kepribadian-kamu-juga-bisa-dinilai-dari-cara-menata-rak-buku

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 11 Juni 2020

Selasa, 09 Juni 2020

Antre dan Korupsi





Relasi antara Budaya Antre dan  Korupsi sepintas memang tidak kelihatan. Begitulah kalau kita lihat dari kamus besar Bahasa Indonesia.

Dalam KBBI kata Antre berarti berdiri berderet-deret ke belakang menunggu untuk mendapat giliran.  Kata korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari juga kalau berbicara korupsi pikiran orang langsung tertuju pada uang negara yang disalahgunakan dan para pejabat sebagai pelakunya. Padahal korupsi juga bisa dilakukan oleh rakyat kecil seperti menyogok demi kemudahan tertentu.

Budaya antre dan korupsi punya hubungan. Dari asal katanya (di Wikipedia) korupsi (atau rasuah) berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Nah, dari asal kata ini kita bisa tahu bahwa hubungan antara antre dan korupsi terletak pada makna memutarbalik atau berjalan tidak semestinya. Antre berarti tidak memutarbalik (menunggu kesempatan sesuai giliran).

Jadi dalam makna ini jika seseorang tidak bisa antre maka dia sudah melakukan korupsi karena tidak menunggu kesempatan/ giliran antre dan menyebabkan barisan antre menjadi rusak/ tidak teratur/ tidak berjalan semestinya. Jadi tidak antre sama dengan korupsi.

Sekian.

Note: This picture taken from https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost%2Fxview&id=3670

Oleh: Krismanto Atamou
Oelamasi, 10 Juni 2020

Jumat, 05 Juni 2020

Didaktik, Ilmu Mendidik Yang Dilupakan



Tulisan saya kemarin tentang Triangle Pedagogik (Pengetahuan, Guru, dan Murid) akhirnya membawa saya untuk tahu bahwa ada satu ilmu yang sudah dilupakan di LPTK. Ilmu Didaktik.

Pada kamus besar bahasa Indonesia online, kata didaktik berarti ilmu tentang masalah mengajar dan belajar secara efektif; ilmu mendidik.

Ketika saya menjelaskan relasi antara guru dan pengetahuan sebagai proses mendidik, oleh Sang Mentor, Pak Jimmy Paat dan Pak Lody Paat, saya diingatkan bahwa relasi itu adalah didaktik.

Berikut ini penjelasan beliau berdua_dalam diskusi di grup WA Sakti (Sekolah Antikorupsi Guru) 2019 yang diselenggarakan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch)_tentang tulisan saya kemarin (The Triangle Pedagogic):

Dari Pak Lody Paat

http://www.norssiope.fi/norssiope/mentoring/orientation/identity_iamateacher2.html

Bung Kris, komentar pertama saya tulisan bung KEREN.

Segitiga didaktik diajukan oleh  Johan Friedrich Herbart. Herbart mengembangkan dari segitiga retorika.

Didaktik bisa diterjemahkan menjadi ilmu mengajar. Ilmu ini dipelajari oleh calon guru pada era penjajahan di Kweekschool sampai dengan era merdeka di B1 dan B2, dan di IKIP. Saya perkirakan didaktik tidak dipelajari di IKIP setelah tahun 1975.

Sejak tahun 80an, calon guru di IKIP mempelajari cara mengajar dalam kerangka teknologi pendidikan atau teknologi instruksional.

Dalam segitiga didaktik, sudut atas bisa apa atau siapa saja, bisa guru atau murid atau pengetahuan. Terpenting, saya pikir adalah hubungan atau relasi guru-murid, guru-pengetahuan, dan  murid-pengetahuan. Dengan kata lain, dalam segitiga didaktik, penekanannya pada konsep relasi. Mungkin, bisa dikatakan tanpa relasi tidak ada segitiga didaktik.

Terakhir, saya pikir kita perlu mencari sumber yang membahas sejarah segitiga didaktik agar kita kapan dan mengapa segitiga didaktik hadir.

Dari Pak Jimmy Paat

"Pada Triangle pédagogique Jean Houssaye, hubungan antara sisi pengetahuan dan sisi guru itu disebut proses didaktik. Didaktik sebagai  konsep mungkin sudah lenyap di kamus guru. (Lihat pak Kris sendiri tidak menggunakan konsep tersebut). Didaktik itu sendiri berkembang pesat di Perancis, kususnya didaktik matematik di awal tahun 80-an, melalui kerja Guy Brousseau dan Yves Chevallard. Melalui yang tetakhir ini lahir transposisi didaktik. Melalui konsep ini kita, guru diberitahu bahwa ilmu pengetahuan dari ilmuwan harus ditranspos (dipindahkan) untuk sampai ke buku teks, kemudian dipindahkan lagi untuk sampai ke kelas agar pengetahuan itu diserap murid. Nah konsep transposisi didaktik sepengetahuan saya tidak atau belum banyak dikenal (diperkenalkan) di lptk. Mungkin karena ilmu pengetahuan kita yang berkaitan dengan pedagogik dan didaktik didominasi yang dari Anglo-American.

"Kembali ke segitiga pedagogik Houssaye. Kita bisa atau mungkin perlu dan penting kaitkan dengan didaktik (di Perancis dikenal juga segitiga didaktik melalui Brousseau dan Chevallard). Agar kita melihat lebih jelas hubungan tiga sisi pedagogis Houssaye."

Demikian penjelasan beliau berdua.

Memang konsep didaktik yang pernah ada dulu, kini telah dilupakan oleh LPTK. Pada akhirnya mahasiswa dan produk LPTK zaman now tidak mengenal konsep didaktik ini. Bahkan saya sendiri baru dengar kata didaktik baru dari cerita ayah saya yang pensiunan guru SD setelah tamat kuliah. Katanya beliau sewaktu SPG dulu, dia mendapatkan mata pelajaran Didaktik Metodik (bahkan dengan metode imlah😊).

Sekian.

Tulisan ini akan saya perbaiki kemudian jika ada koreksi dari para mentor atau teman-teman. Salam.

Note: This picture taken from http://www.norssiope.fi/norssiope/mentoring/orientation/identity_iamateacher2.html

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 06 Juni 2020

Kamis, 04 Juni 2020

Relasi antara Guru, Pengetahuan, dan Murid



Relasi antara Guru, Pengetahuan, dan Murid
(#The_Triangle_Pedagogic)

Relasi antara guru, pengetahuan, dan murid dalam proses belajar, mengajar, dan mendidik sangatlah perlu demi terselenggaranya pendidikan yang baik. Mengapa ini perlu?

Kita tahu bahwa yang dikejar dari sebuah proses pendidikan adalah pencapaian pengetahuan (soft and hard) yang berimbas pada kecerdasan/keberdayaan seseorang. 

Di atas telah saya sampaikan diagram segitiga pedagogik (Triangle Pedagogik) hubungan antara guru, murid, dan pengetahuan. Ini merupakan diagram segitiga pedagogis yang digagas oleh Jean Houssaye, pedagog Perancis. 

Triangle Pedagogik ini saya ketahui dari paparan Pak Jimmy Ph Paat saat diskusi buku Critical Pedagogy for Early Childhood and Elementary Educators karya Lois McFadyen Christensen and Jerry Aldridge waktu lalu. Saya belum pernah baca bukunya Jean Houssaye.

Dari diagram tersebut terlihat bahwa pengetahuan tidak dimonopoli oleh guru atau siswa. Pengetahuan berada di atas (puncak) segitiga hubungan guru dan murid agar dicapai bersama-sama. 

Dengan menempatkan pengetahuan di bagian atas dan guru murid di bagian dasar menunjukkan bahwa relasi guru-murid dalam mencapai pengetahuan adalah suatu relasi yang setara. Kata setara dapat dibaca sebagai tidak saling mendominasi.

Pengetahuan adalah milik bersama yang dapat diakses oleh murid sebagai proses belajar dan oleh guru sebagai proses mengajar. Jadi guru hanya bisa mengajar kalau memiliki akses terhadap pengetahuan demi menyalurkan pengetahuan tersebut kepada murid.

Perlu dicatat bahwa pengetahuan perlu ditinjau juga lebih lanjut mengingat beragamnya preferensi, asumsi, dan identitas guru, terutama murid. Meski pengetahuan tidak mungkin netral tapi paling tidak sesuai dengan identitas murid agar ia tidak teralienasi dari identitasnya semula.

Relasi mendidik antara guru siswa juga menarik. Saya menggunakan kata 'antara' karena berdasarkan paragraf tadi setiap murid memiliki preferensi dan identitas yang berbeda. Guru belum tentu (dan tidak mungkin) mengetahui semua preferensi dan identitas murid. 

Untuk itu dalam mendidik, guru perlu beri kesempatan kepada murid menjadi 'guru' untuk memaparkan preferensi dan identitasnya. Jadi dalam satu titik, murid bisa menjadi 'guru' bagi murid lain juga bagi gurunya. 

Jadi dalam hal mendidik juga terdapat relasi yang setara karena guru perlu juga 'berguru' pada murid untuk mengenal identitas dan preferensinya. Pada realitanya (dalam beberapa kasus), kesetaraan dalam mendidik cenderung diabaikan mengingat guru dianggap yang paling tahu, apalagi kalau sampai dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

Sekian.

Oleh: Krismanto Atamou
Diler Wahana-Oebufu-Kupang, 05 Juni 2020

Cipta Janda





Cipta janda adalah kata yang diucapkan oleh seorang teman untuk mengkritisi playboy yang suka membangun hubungan tidak resmi (kumpul kebo) dengan seorang perempuan, lalu menghasilkan anak dari hubungan tersebut, lalu meninggalkan anak hasil hubungan gelap beserta ibunya. Miris.

Di dunia ini, cerita seperti di atas sudah basi. Tapi anehnya, sejarah terus berulang. Masih banyak kita temui kisah yang sama.

Sang korban yaitu wanita mengeluh, sang pelaku yaitu pria berbangga diri dengan menganggap kejahatan seperti itu adalah kejantanan. Oh, no!

Alih-alih mengakui bahwa dirinya adalah seorang bajingan, sang pria malah menceritakan semua itu sebagai kehebatan. Anehnya, sebagian masyarakat menganggap itu hal yang wajar dibanding seorang wanita yang memiliki banyak mantan pria sebagai kekasihnya.

Apakah itu pengaruh budaya paternalis? Apakah itu hanya stereotip? Ataukah memang sebagian masyarakat itu sedang sakit dengan mengalami pergeseran nilai luhur nan mulia?

Saya hanya bertanya. Jika pertanyaannya tidak tepat, mohon dikoreksi. Silakan.

Sekian.

Note: This picture taken from https://www.google.com/amp/s/cantik.tempo.co/amp/1049099/alasan-anak-di-bawah-umur-harus-ikut-ibu-pasca-perceraian

Kupang, 04 Juni 2020

Rabu, 03 Juni 2020

From Mother to Mother



Pada adegan film Home Alone yang disutradarai Chris Columbus, seorang Ibu berbicara pada Ibu yang lain. "Help me please, from mother to mother." Sang ibu memohon dengan wajah penuh kepasrahan.

Dalam adegan itu diceritakan bahwa sang ibu yang memohon tersebut sedang mengalami kesulitan keuangan untuk biaya perjalanan menemui anaknya di tempat yang jauh. Sang ibu (saya lupa namanya, sebut saja namanya Meri) berupaya mendapatkan uang dengan menjual barang-barang berharga yang dimilikinya pada ibu yang lain (saya lupa namanya, sebut saja namanya Maria).

Maria sebenarnya agak berat hati untuk menolong Meri karena uang yang dipegangnya sekarang adalah hasil tabungan bertahun-tahun untuk biaya perjalanannya dengan suami pergi berwisata. Suami Maria yang berdiri di sampingnya memperingatkan Maria bahwa tidak perlu menolong Meri karena mereka harus segera berangkat sesuai jadwal.

Meski sekali dua usahanya gagal, Merry terus berusaha untuk mendapatkan pertolongan dari Maria. Akhirnya Maria jatuh hati pada Meri dan memberi pertolongan keuangan. Jumlahnya cukup untuk perjalanan Meri ke rumah menemui anaknya.

Nah ... yang akan saya ulas di sini adalah bukan tentang bagaimana berusaha meyakinkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan. Tapi mengenai bagaimana seorang ibu memiliki naluri, refleks, dan keinginan yang kuat untuk melindungi anaknya. 

From mother to mother bukankah kata sakti untuk mempengaruhi ibu yang lain. From mother to mother ialah berbicara tentang menyentuh lubuk hati nurani yang paling dalam. Menyentuh ketulusan sebagai manusia yang saling membutuhkan pertolongan. Inilah kemanusiaan yang sebenarnya. Bertindak dengan juga melibatkan hati nurani.

Sekian.

Note: This picture taken from https://today.line.me/ID/article/Apa+Kabar+Aktor+Home+Alone+Ada+yang+Sudah+Meninggal-EBwY2k

Oleh Krismanto Atamou
Nefoteas, 03 Juni 2020

Selasa, 02 Juni 2020

Kata 'ini' dan 'Itu'


Menganalisis kata 'ini' dan 'itu' dalam budaya tutur beberapa orang di seputaran tempat tinggal saya. Dalam bahasa Indonesia kata ini dan itu memiliki arti tersendiri.

Ini merupakan kata penunjuk terhadap sesuatu yang letaknya tidak jauh dari pembicara. Sedangkan itu merupakan kata penunjuk terhadap sesuatu benda (waktu atau hal) yang letaknya jauh dari pembicara.

Meski artinya demikian menurut kamus bahasa Indonesia, pemakaian kata 'ini' dan 'itu' dalam budaya tutur beberapa orang di sekitar saya, telah berubah penggunaannya untuk menyatakan sesuatu hal yang dimaksud oleh pembicara namun tidak dinyatakan secara gamblang. Pembicara menginginkan pendengar untuk bisa menganalisis dan menerjemahkan maksud kata 'ini' dan 'itu' yang pembicara sampaikan.

Contoh penggunaan kata ini.

Si Pembicara mengatakan lewat telepon kepada pendengar: "Habis ini, baru saya datang ke rumahmu." (Setelah ini, saya akan ke rumahmu).

Kata ini dalam kalimat di atas tidak sedang menunjukkan sesuatu yang letaknya dekat dengan pembicara. Kata ini yang dimaksudkan ialah sesuatu hal yang akan dikerjakan oleh pembicara sebelum pergi ke rumah pendengar.

Contoh penggunaan kata ini dan itu.

Misalnya dua orang sedang berbicara tentang rencana yang sudah disepakati untuk dilakukan segera. Namun salah seorang dari mereka mau melakukan sesuatu sebelum melakukan rencana yang disepakati itu. Maka orang itu akan berkata: "Tunggu ya, habis ini baru itu."

Kata 'itu' dalam kalimat di atas tidak menunjukkan sesuatu yang jauh dari pembicara tapi menunjukkan rencana yang sudah disepakati berdua namun belum dilakukan.

Biasanya dalam budaya tutur seperti ini, sang pembicara yakin bahwa pendengar mengerti apa yang dikatakan atau dimaksudkannya melalui kata 'ini' dan 'itu'.

Masih banyak contoh yang lain. Silakan para pembaca 'ini' baru 'ini' lagi 😀. (Silakan para pembaca berpikir lalu beri contoh yang lain).

Sekian.

Oleh Krismanto Atamou
Nefoteas, 02 Juni 2020

Minggu, 31 Mei 2020

Pancasila dan NTT



Mendengar kata Pancasila pikiran kita langsung tertuju pada dasar Negara Indonesia. Mungkin langsung juga teringat pada presiden pertama RI yaitu Bpk. Ir. Soekarno.

Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu kutipan terkenal dari pendiri bangsa kita yaitu Ir. Soekarno. Tentu sejarah yang tidak boleh dilupakan yaitu sejarah yang objektif paling tidak mendekati objektif, bukan versi tertentu.

Oleh karena itu mengingat Pancasila maka mengingat bagaimana Bapak Ir Soekarno bermenung di bawah sebuah pohon, di rumah pembuangan, di Ende NTT. Tentu itu suatu permenungan yang tidak main-main. Bapak Ir Soekarno berupaya merumuskan sebuah dasar negara dari berbagai nilai dan idealisme yang dipelajari dan diketahuinya.

Itulah sejarah singkat versi saya.

Nah, sisi lain yang ingin saya sampaikan disini ialah bahwa bukan suatu kebetulan Bapak Ir Soekarno bisa merumuskan kelahiran dasar negara di provinsi NTT. Tentu semesta pun tahu bahwa di NTT lah pantas Pancasila dirumuskan.

Alasannya menurut (analisa dan tebakan) saya ialah nilai-nilai Pancasila tersebut oleh Bapak Ir Soekarno ada pada keseharian orang NTT sehingga turut mendorong beliau untuk menuliskan rumusan Pancasila. Paling tidak seperti itu sebab bagi saya lingkungan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam menulis.

Jika benar seperti itu maka menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga NTT untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasilais yang sudah ada bahkan sebelum Pancasila itu ada. Mungkin saja sebagian atau semua nilai-nilai Pancasila itu sudah dipelajari bapak Ir Soekarno sebelum datang ke NTT, tapi sebagai semesta tempat beliau merumuskan Pancasila, NTT tetap memiliki peranan dan andil untuk itu.

Sebagaimana setiap karya memiliki proses kreatif yang dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat hidup penulisnya. Sebagaimana Pramudya Ananta Toer menulis tetralogi pulau buru buku pertama bumi manusia memakai setting tempat Surabaya karena memang dia pernah sekolah di Surabaya.

Untuk itu ketika bapak Ir Soekarno merumuskan Pancasila paling tidak NTT sebagai semesta saat beliau menulis turut memberikan andil.

Tulisan ini hanya sedikit permenungan. Jika ada tulisan lain yang lebih akurat maka tulisan ini hanya sebagai sayap baginya.

Sekian.

Note: This picture taken from https://ppid.nttprov.go.id/tentang-provinsi-ntt/

#Selamat_Hari_Pancasila

Oebufu, 01 Juni 2020
Oleh Krismanto Atamou

Syalom.

Sabtu, 30 Mei 2020

Mencuri Barang Umum (Privatisasi Barang Publik)



Pagi ini saat mengantar anak ke rumah sakit untuk berobat ada sesuatu yang unik dalam pemandangan saya. Pada botol sanitizer tertera tulisan peringatan untuk tidak mencuri.

"Silakan curi nanti Tuhan yang atur lu (kamu) deng (dengan) lu pu (punya) keluarga."

Kalimat ini sebagai peringatan dan bisa sekalian sebagai ancaman terhadap pelaku pencurian. Peringatan dan ancaman tentu tidak datang begitu saja. Pasti ada penyebabnya.

Ada kemungkinan sebelumnya sudah terjadi kasus pencurian botol sanitizer. Ada kemungkinan lagi, kasus pencurian tersebut terjadi berulang-ulang kali sehingga membuat manajemen atau security rumah sakit murka.

Terlihat seolah memang sepele. Toh hanya sebuah botol sanitizer. Berapa harganya? Mungkin mahal, mungkin juga tidak.

Namun terlepas dari permasalahan harga ada permasalahan nilai karena fungsinya. Dalam keadaan darurat Pandemi Corona seperti sekarang, bahkan setetes cairan sanitizer sangat berfungsi melawan penyebaran virus selain dengan menjaga jarak dan menggunakan APD.

Dapat dibayangkan ketika kita berada di ruang publik, apalagi tanpa menggunakan APD, lalu tanpa sanitizer, maka resiko penularan akan semakin tinggi.

Ada kemungkinan, di akhirat kelak, sang pencuri tidak hanya dikenakan pasal pencurian, tetapi juga pasal mengakibatkan kematian orang lain (secara tidak langsung) karena memudahkan penyebaran Pandemi sebab perbuatannya.

Tadi saya sengaja mengambil judul yang umum yakni Mencuri Barang Umum agar menjadi refleksi tersendiri. Bahwa dengan memprivatisasi barang publik akan memiliki dampak ikutan yang luar biasa rusaknya, termasuk kematian orang lain secara sia-sia.

Tulisan ini terkesan saya seorang penganut fatalisme, atau juga terlalu hiperbola, melebih-lebihkan sesuatu. Tapi memang tidak menutup kemungkinan akan terjadi seperti itu.

Silakan protes, kritik, atau memberikan saran. Kalau tidak pun tidak masalah 😀.

Jumat, 27 Maret 2020

MENYIKAPI BATALNYA UJIAN NASIONAL 2020


Oleh : Krismanto Atamou
Wakil Ketua Ikatan Guru Indonesia Provinsi NTT

Gebrakan Mendikbud untuk meniadakan ujian nasional (UN) pada tahun 2021 ternyata berubah menjadi lebih cepat. Wabah Covid-19 telah menjadi penyebabnya. Jumlah korban wabah Covid-19 yang semakin melonjak mau tidak mau membuat pemerintah harus mengambil kebijakan lock down.
Pertemuan warga dibatasi demi memutus mata rantai penyebaran atau tranmisi Covid-19. Hajatan atau perkumpulan massa pun dilarang atau dibatalkan, termasuk yang akan dilaksanakan oleh pemerintah semisal pelaksanaan UN 2020. Ada pihak yang mengapresiasi pembatalan UN, tetapi ada juga yang menolak. Terkait pembatalan UN ini, sebagai salah satu pegiat pendidikan, saya ingin mengajukan beberapa catatan di bawah ini. 
Pertama; Bagi sebagian SMK yang telah menyelenggarakan UN, mungkin merasa diperlakukan tidak adil. Namun dalam keadaan darurat, tentu kebijakan Mendikbud ini perlu diapresiasi apalagi demi kemaslahatan bersama. 
Sebelumnya, pada 10 Desember 2019, Mendikbud telah menandatangani Permendikbud No. 43 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional. Ujian Nasional sendiri dipandang sebagai penguji kinerja pemerintah dibanding penentu kelulusan murid sebagaimana yang selama ini terjadi. Untuk itu, bagi SMK yang sudah melaksanakan UN tahun ini tidak perlu merasa didiskreditkan karena hasil UN tersebut hanyalah untuk pemetaan sebagaimana disebut pada pasal 10 ayat 1 Permendikbud No. 43 tahun 2019 tadi.
Kedua; Pada UN sebelumnya hanya menguji pengetahuan murid. Padahal pada kurikulum 2013―yang masih berlaku―jelas harus mencakup empat kompetensi inti yang diringkas menjadi sikap religius, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kehadiran Permendikbud No. 43 tahun 2019 telah menjawab persoalan ini pada bagian keempat tentang kelulusan murid. 
Pada pasal 6 ayat 2 melimpahkan penetapan kelulusan murid pada satuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa satuan pendidikan diberikan otoritas untuk menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pendidikannya. Untuk itu, ada tidak adanya UN harusnya tidak menjadi masalah bagi satuan pendidikan manapun. Hal ini tentu sesuai dengan gerakan merdeka belajar yang mulai dicanangkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim.
Ketiga; Sulit untuk mempercayai bahwa rasio kecerdasan intelektual murid yang tercermin dari hasil UN akan selaras dengan perilakunya dalam keseharian. Oleh karena itu, penilaian sikap dan keterampilan oleh guru pada satuan pendidikan adalah pilihan yang tepat dibandingkan UN format lama yang hanya menjadi evaluasi akhir proses pembelajaran, apalagi tanpa adanya tindak lanjut.
Keempat; Adanya perbedaan situasi dan kondisi sarana-prasarana pendidikan, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan topografi di Indonesia. Perbedaan itu bahkan ibarat langit dan bumi. Sangat tidak adil jika dengan berbagai latar belakang yang berbeda itu, kemudian muridnya diuji menggunakan UN berstandarnya sama dari pusat. Ini menjadi PR besar bagi pemerintah untuk menyetarakan sarana-prasarana pendidikan―termasuk kualitas, kuantitas, dan sebaran guru di Indonesia. Jika tidak, maka bagi sekolah-sekolah di pedalaman yang serba terbatas fasilitas belajarnya tentu sulit mencapai standar nilai yang ditentukan pemerintah. 
Kelima; Di abad 21, ada fenomena milenial kill dimana pekerjaan yang menuntut keterampilan rutin dan kecakapan menghafal informasi semata mulai tergantikan dengan komputer, robot, internet, e-commers, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya. Ini perlu  diantisipasi sejak dini agar murid tidak ketinggalan jauh ke belakang. 
Murid perlu disiapkan dengan kecakapan abad 21 yang meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, berpikir kritis atau HOTS (High Order Thinking Skill) dalam menyelesaikan masalah, dan kreatif serta inovatif. 
Untuk itu, keberadaan UN yang hanya menguji kecakapan menghafal informasi semata sudah tidak kompatibel lagi dengan tuntutan abad 21 ini. Perlu ada pembaruan format ujian. Patut disyukuri bahwa Permendikbud No. 43 tahun 2019 telah memberi ruang dan legal standing bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan ujian atau evaluasi yang sesuai tuntutan abad 21 ini.
Keenam; Format soal UN kita selama ini adalah pilihan ganda (PG). Bentuk soal PG memberi ruang pada jawaban yang spekulatif. Jawaban murid yang benar atau salah bisa jadi merupakan suatu kebetulan atau tebakan yang tepat. Guru tidak bisa mengetahui proses atau langkah murid dalam menyelesaikan soal. 
Beberapa murid bahkan tidak merasa perlu memiliki kemampuan membaca karena secara tidak langsung diberi peluang menebak dalam menjawab soal PG. Maka jangan heran bila skor PISA yang baru dirilis 3 Desember 2019 lalu melaporkan Indonesia berada di posisi 10 terbawah dengan skor membaca ada di peringkat 72 dari 78 negara. Padalah Kemendikbud sedang mencanangkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai implementasi Permendikbud No.23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. 
Untuk itu, kiranya melalui berbagai pembaruan dan program merdeka belajar yang dilaksanakan oleh Mendikbud Nadiem Makarim sekarang sekiranya juga menggugah organisasi penggerak, sekolah penggerak, dan guru-guru pengerak untuk mengampanyekan dan membuat suatu format soal ujian yang betul-betul menguji seluruh kompetensi murid secara valid, komprehensif, dan akuntabel. Termasuk di dalamnya menguji kemampuan membaca murid.
Ketujuh: Pada tanggal 24 Maret 2020 lalu Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Poin dalam SE ini jelas menyatakan: 1) pembatalan UN 2020; 2) pembelajaran daring dengan evaluasi kualitatif; 3&4) ujian sekolah dan ujian kenaikan kelas tidak dilakukan dengan mengumpulkan siswa; 5) PPDB tanpa berkumpul di sekolah dan mengikuti protokol kesehatan; 6) penggunaan dana BOS/ BOP disesuaikan dengan situasi dan kondisi termasuk pencegahan pendemi covid-19.
SE ini tentu bagi guru yang menuntut masteri learning akan limbung sebab sebagian materi semester genap ini belum tuntas. Solusinya ialah pembelajaran daring tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum (poin 2a). 
Pembelajaran daring kemudian menjadi tantangan bagi guru yang selama ini  belum menguasai teknologi informasi karena faktor internal guru atau eksternal seperti sarana prasarana. Solusinya ialah guru mesti belajar meningkatkan kompetensinya mengikuti tuntutan zaman era disrupsi 4.0 ini. Usaha guru ini kemudian didukung dengan pengalokasian dana BOS/ BOP sesuai kebutuhan pembelajaran daring (poin 6).
Akhir kata, ada plus minus pembatalan UN, US, UAS gegara pendemi Covid-19 yang menyebabkan lock down dan pembelajaran daring sesuai SE Mendikbud tadi. Mungkin sebagian murid dan guru senang karena merasa liburan di rumah, padahal sebenarnya tidak libur karena pembelajaran tetap berlangsung secara daring demi menghadapi tuntutan zaman yang menanti hari esok. Mungkin sebagian pihak merasa tidak maksimal dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasinya sebagaimana yang telah saya ulas tadi. Akan tetapi inilah keadaan darurat. Sebuah pilihan bijak harus diambil pemerintah demi kemaslahatan bersama. Saya yakin badai pasti berlalu. Dari badai kita belajar mengambil hikmah untuk hari esok yang lebih baik.
*Penulis adalah guru IPA pada SMP N. 2 Amabi Oefeto Timur-Kab. Kupang.

Minggu, 09 Februari 2020

Pelajaran dari Ayah dan Ibuku

Pelajaran dari Ayah dan Ibuku
Oleh : Krismanto Atamou
Aku masih mengingat suatu kali di pedalaman Kalimantan dengan hutannya yang sangat lebat. Saat itu musim hujan. Kami tinggal di desa yang perumahan penduduknya tersusun di sepanjang sisi sungai. Tanahnya kekuningan.

Siang itu hujan deras turun. Ketika hujan itu reda sore harinya, banjir hampir ada di mana-mana, termasuk di depan rumahku yang langsung menghadap sungai. Hanya beberapa tempat di ketinggian yang tidak banjir. Banjir mengalir dari pedalaman hutan di belakang rumah dan masuk ke sungai. Di sepanjang bibir sungai ke arah depan rumah warga terdapat jalanan desa yang membentang sepanjang perkampungan desa. 
Banjir masih setinggi lutut orang dewasa ketika ayah mengajakku berjalan ke kios yang berjarak sekira 100 meter dari rumah. Ayah berjalan di depan tanpa memegang tanganku. Aku dibiarkannya berjalan sendiri. 

Ketika akan melewati jalan yang berbanjir, aku mulai ragu. Saat itu aku masih berusia lima tahun. Ketika berada di tengah-tengah banjir yang paling dalam airnya, kakiku mulai gemetar. Langkahku mulai gontai. 

Aku terisak dan mau menangis, namun ayah di depanku hanya menoleh ke belakang dan memberi semangat. Tangannya terulur padaku, namun tidak memberi jarak yang bisa kuraih. Bahkan setiap langkah majuku, diikuti dengan langkahnya yang menjauhiku. Aku mempercepatkan langkah hingga akhirnya melewati lembah berbanjir itu.
Sejak itulah aku mulai berpikir, mengapa ayah tega membiarkanku menghadapi banjir seorang diri? Pertolongannya hanyalah memberi semangat dan uluran tangannya seakan hanya memberi harapan palsu. 

Pemikiran itu terendap di dalam alam bawah sadarku hingga kini. Aku tak pernah mengungkapkannya pada ayah. Seakan ada godaan untuk memprotes tindakan ayah saat itu dan menilai bahwa ayahku jahat, namun semua itu kupendam. Aku hanya memikirkannya.

Begitulah waktu berlalu hingga aku telah dewasa dan lepas dari pengawasan orang tua secara langsung karena tinggal terpisah dengan mereka. Aku tinggal di Kupang, Kota Karang untuk menuntut ilmu sedang kedua orang tuaku tinggal di kampung.
“Di antara hiruk-pikuknya kota dan kesibukan kuliah, kau harus bisa menjaga diri.” Begitu nasihat ayah ketika aku melepaskan diri dari pelukannya di dermaga saat akan berangkat ke kota Kupang.

Wajah ayah terlihat tegar, namun aku tahu, ayah sedang menyembunyikan kekhawatirannya padaku. Aku tahu itu dari pancaran matanya. Mata beralis tebal di atas bola mata berwarna coklat itu terlihat tenang namun tak bisa menyembunyikan getaran saat aku mengangkat tas dan hendak membalikan badan.

Sejenak aku menghentikan langkah dan membalas pandangan itu dengan memberikan tatapan yang teduh seakan ingin mengatakan: “Tenang saja, ayah! Aku akan memegang teguh segala nasihatmu.”

Kuberikan ayah senyuman terbaik. “Doakan aku, ayah,” kataku sambil membalikkan badan dan berjalan menuju tangga kapal. Saat membalikkan badan itulah aku merasa seluruh tantangan dan hambatan dunia yang berat sedang menantiku di seberang sana.
Seolah ada hujan tanda tanya di kepalaku. Apa yang akan terjadi? Bagaimana aku menyikapi semua rintangan atau hambatan itu? Untuk pertanyaan terakhir aku tak begitu khawatir karena didikan orang tua selama ini, bekal nasihat, dan ajaran menurutku sudah sangat cukup.

“Rambu, bangun!” Begitulah ibu dan ayah setiap pagi membangunkanku untuk memulai hari dengan berdoa bersama kala di rumah. Biasanya jam empat pagi aku sudah dibangunkan untuk bekerja di dalam rumah. Mulai dari memasak, mencuci, hingga membersihkan rumah. Kebiasaan itu kubawa hingga hidup berpisah dari mereka. 
Sesampainya di kota karang, aku langsung menuju rumah keluarga sebagaimana petunjuk ayah. Di rumah keluarga aku menumpang selama pendaftaran kuliah, ikut tes masuk perguruan tinggi, dan mengawali semester satu. 
Ayah belum berani melepaskanku tinggal sendiri di kos-kosan. Ia mau aku benar-benar mengenal keadaan kota sebaik mungkin sebelum tinggal sendiri. Alhasil aku harus bersabar tinggal bersama keluarga. 

Saban hari aku bangun subuh sekali, mengerjakan tugasku di rumah hingga selesai agar punya cukup waktu mempersiapkan diri ke kampus. Belum lagi jarak kampus dan rumah keluarga cukup jauh. Aku harus berjalan kaki ke jalan utama untuk menunggu kendaraan umum. Rutinitas harian itu membuat aku mulai hafal nama jalanan, trayek kendaraan umum, dan juga nama-nama tempat di kota. 

Suatu kali ada seorang bapak menumpak angkutan umum bersamaku. Sesampainya di suatu titik dalam perjalanan itu, ia meminta supir berhenti dan marah-marah. “Stop-stop, Pak Supir! Kamu pasti mau tipu saya.”

“Saya orang jujur, Pak. Mana mungkin menipu.”
“Alaah ..., mengaku saja. Kalau pencuri jujur pasti penjara sudah penuh. Sekarang penjara belum penuh karena kamu tidak mengaku. Ayo, kamu mau menipu saya, kan?”
“Tipu apa, Pak?”

“Kemarin di sini tidak ada laut. Selama perjalanan saya lihat tidak ada laut. Lha sekarang, kenapa ada laut di sini? Kalian jelas-jelas menipu.”
Mendengar itu, Pak Supir pusing tujuh keliling. Wajah di antara mata hingga dahinya mengkerut. Matanya yang lebar itu menyipit dan bola matanya naik ke arah kiri atas. Mungkin ia sedang mengingat-ingat perihal bapak yang membingungkan ini. Matanya mengikuti gerture bapak itu.

Menyaksikan kebingungan si bapak dan kegalauan si supir, aku berupaya menolong dengan menjelaskan keadaan sesuai pemahamanku. Sikap suka menolong ini kupelajari dari ayah. Karena kebaikan ayah, selalu saat ditawari imbalan dari orang lain selalu ditolaknya.
“Pak Supir, bolehkan aku bantu menjelaskan?”
“Boleh, silakan.”

“Bapak mau ke mana?” tanyaku kepada bapak itu.
“Saya mau ke Naikoten, nona. Saya dari terminal Kupang tadi. Sudah dua hari saya di Kota Kupang untuk urusan dinas. Kemarin saya numpang mikrolet tidak pernah melihat laut, sekarang ada. Ini supir pasti tipu saya!”

“Maaf, Bapak. Sebenarnya Bapak yang salah menumpang mikrolet. Harusnya Bapak menumpang mikrolet lampu satu atau dua. Bukan mikrolet jurusan kampus-penfui ini. Jalur mikrolet ini memang sudah benar, melewati daerah dekat pinggir pantai. Makanya kita bisa lihat laut sekarang,” kataku pada bapak itu. 

“Mikrolet ini juga lampunya satu, kan? Kenapa arahnya lain?” Bapak itu menyanggahku keheranan sambil tangannya menunjuk lampu yang ada di atas depan bodi mikrolet, tepat di atas kiri kepala Pak Supir.

“Oh, yang dimaksud lampu satu bukan itu, Bapak. Petunjuk lampu satu adalah tulisan angka yang ada di bagian atas depan bodi mikrolet. Kalau mikrolet jurusan ini tidak pakai lampu, hanya tulisan di depan.” Aku berupaya menjelaskan dengan lemah lembut agar bapak itu tidak tersinggung dan marah lagi. Kelemah lembutan aku pelajari dari ibu.
“Wah, berarti aku yang salah.” Akhirnya bapak itu bisa menerima penjelasanku. Ketegangan mereda dan bapak itu menumpang kendaraan lain kembali ke terminal Kupang untuk mencari kendaraan ke arah Naikoten.

Mengingat kepadatan tugas-tugas kuliah, rasa-rasanya aku sulit membagi waktu antara mengerjakan tugas kampus dan tugas harian di rumah. Aku sampaikan keluhanku pada ayah lewat telepon. Ayah menyarankan agar aku menyampaikan keluhan dan keinginan langsung pada keluarga.

Saran itu kuikuti. Aku langsung menyampaikan pada keluarga perihal kesulitanku membagi waktu dan keinginanku untuk mengekos dekat kampus. Aku juga meminta bantuan mereka agar mencari kos-kosan yang aman bagi perempuan dan ada pengawasan ketat. Aku ingin tetap hidup disiplin terutama terhadap diri sendiri, sebagaimana ajaran ayah dan ibu. Keluarga memahami dan menerima permintaanku. Akhirnya aku mulai tinggal di kamar kos.
Tidak mudah memang menjadi anak perawan dan tinggal sendiri di kamar kos pilihan aku dan keluarga. Ada banyak tawaran dari teman-teman sekampus agar tinggal sekos dengan mereka. Katanya agar lebih bebas.

“Tidak,” jawabku tegas. Ketegasan itu aku pelajari dari ayah. 
Semester satu aku lewati dengan banyak penyesuaian. Lingkungan baru, teman baru, komunitas belajar yang baru, hingga dialek yang baru. Beberapa kata dari bahasa Kupang aku harus pelajari untuk memudahkan berinteraksi dengan pemilik kios dekat rumah kos, dengan supir, dengan penjaga konter pulsa, atau juga dengan teman-teman yang berasal dari kota.

“Jagalah nama baik keluarga,” kata ayah melalui telepon. Setiap minggu sekali ayah menelepon, hanya untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Setiap nasihat diselip menjelang akan mengakhiri sambungan telepon. 
Nasihat itulah yang aku pegang terus hingga menyelesaikan kuliah dan diwisuda dengan masih tetap berstatus single alias jomblo. Beberapa temanku berperilaku ibarat rusa lepas kandang, begitu bebas tanpa batas pergaulan mereka. Mungkin karena jauh dari orang tua dan tidak ada pengawasan. Ya, setiap orang punya kehendak bebas untuk memilih jalan hidupnya. Aku memilih menuruti nasihat orang tua.
Aku sendiri harus puas dianggap aneh oleh teman-teman karena dinilai kaku dalam bergaul. Penilaian itu kudapatkan setelah menolak tawaran menginap di kosan teman hingga pagi, menolah minuman keras, menolak menonton dan mengakses pornografi, menolak pacaran, dan menolak mengobrol ngidul atau menghabiskan waktu dengan bergosip yang tidak penting.

“Bodoh amat dengan segala gemerlap kehidupan bebas itu,” kataku dalam hati. Bagiku waktu adalah kesempatan mempersiapkan diri dan berkarya. Aku tak mau membuangnya sia-sia. 
Segala pelajaran dari ayah dan ibu itu sangat bermanfaat hingga aku melewati segala tantangan dan rintangan selama kuliah. Aku bahkan meraih nilai yang baik dan dipercaya menjadi asisten dosen.

Dalam acara wisuda ayah dan ibu tidak hadir. Agak sedih karena aku berharap mereka berdua datang dan menyaksikan hasil jerih lelahku.  Nyaris aku tanpa pendamping wisuda jika keluarga tidak hadir. Alih-alih merajuk, aku justru menyadari bahwa ayah dan ibu sedang melepaskanku ke dalam kehidupan orang dewasa untuk bisa mandiri tanpa mereka.
“Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda,” kata kitab Mazmur 127: 4. Dari ayat ini aku tahu, sebagai anak panah, aku sedang dilepas oleh orang tua untuk berjalan sendiri. Bahkan secara perlahan ayah sudah mulai melepaskanku saat aku berjalan menyusuri banjir ketika berusia lima tahun.
Pelajaran ini mirip dengan induk burung rajawali. Pada suatu ketika ia sengaja merusak sarang dan menjatuhkan anaknya agar anaknya itu bisa belajar terbang. Dari sini aku tahu bahwa saat aku melewati banjir dulu, ayah bukanlah bermaksud jahat ketika membiarkanku berjalan sendiri.

Setelah bertahun-tahun fokus kuliah dan tidak pulang bertemu ayah dan ibu, aku sangat rindu. Aku mengemasi barang bawaanku dan terutama ijazah untuk pulang ke kampung.
Sesampainya di rumah aku turunkan jinjingan dan memeluk ayah dan ibu erat-erat. Mereka juga memelukku erat. “Hehehe ...,” aku dengar ayah tertawa senang, sementara ibu meneteskan air mata bahagia. 

Kini aku berdiri di hadapan ayah dan ibu dengan perasaan lega. Uang tabungaku dari hasil beasiswa dan menjadi asisten dosen ternyata lumayan untuk membuka usaha baru di kampung. Aku ingin membangun kampung dan berada di dekat orang tua di usia senja mereka.

Sebuah artikel yang aku baca dari internet tentang usaha alternatif rumahan menampilkan beberapa tawaran. Ada usaha lele, tanaman hidroponik, kerajinan tangan, laundry, minimarket, juga berbagai waralaba. Ada waralaba makanan, minuman, toko kelontong, dan apotik.

Untuk sementara aku menaruh tabunganku di koperasi. Lumayan, dari bunga satu persen saja cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama sebulan dan membantu membiayai kebutuhan rumah. 

Di suatu sore aku menanyakan kondisi kesehatannya ayah. Ia bercerita bahwa minggu lalu adalah waktu kontrolnya di dokter. Dokter menyatakan bahwa ia sudah sehat untuk bisa berkendara lagi. Dari nada bicaranya aku tahu, ayah berbohong.
Dalam beberapa hal ayahku memang berbohong. Ketika ayah mengatakan bahwa ia baik-baik saja di telepon saat aku berada di kota yang jauh, aku tahu ayah sedang berbohong agar aku tidak mengkhawatirkan kondisinya. 

Ketika aku akan berhenti kuliah karena mengetahui kondisi keuangan orang tua tidak memungkinkan, ayah justru memotivasi agar menyelesaikan kuliah. Katanya, ayah masih ada tabungan yang cukup. Aku tahu ayah berbohong karena sebagai pensiunan, bahkan gajinya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Aku tahu, pasti ayah berutang untukku.

Ibuku juga pernah berbohong. Ibu bekerja sama dengan ayah untuk mengatakan bahwa mereka selalu dalam keadaan sehat-sehat saja. Padahal firasatku mengatakan bahwa salah satu dari mereka pasti sakit. Dan itu terbukti benar. Beberapa saat kemudian adikku keceplosan mengupload di media sosialnya bahwa ayah sakit. Postingan itu segera dihapus. Aku yakin itu atas perintah ibu.

Meski ayah dan ibu berbohong, aku tahu, itu karena mereka tak ingin mengganggu konsentrasiku dalam belajar. Mereka berbohong demi kebaikan. Ibarat beasiswa atau program afirmasi, yaitu sebuah ketidakadilan yang dilakukan demi keadilan. Aneh bukan?
Ayah dan ibu begitu baik padaku. Aku ingat semasa aku kecil ayah menggendongku, menyuapiku, membelaiku saat aku menangis, menungguiku saat aku tantrum, dan memandikanku saat ibu sibuk memasak di dapur. Demikian juga ibu. Ah, rasa-rasanya lembaran ini tidak akan cukup untuk menceritakan semua kebaikan mereka. 
Ayah, ibu, aku mencintaimu.

*Dipersembahkan kepada Bpk. Paulus Atamou dan Ibu Maria Jenmakani yang berdomisili dekat Paroki Yesus Gembala Yang Baik, Lipa, Kalabahi-Alor.