Sabtu, 28 November 2020
Matilda (Novel)
Baru kali ini saya membaca novel karya penulis Spanyol (ketinggalan saya 😄). Saya membaca atas rekomendasi dari seorang penulis senior, youtuber dan pengajar kelas novel. Namanya Benny Rhamdani.
Ia menyarankan novel ini sebagai referensi bagi saya. Semoga saya mendapatkan inspirasi untuk menulis novel dengan tokoh utama ialah anak kecil yang terkucilkan.
Setelah membaca novel ini seharian hingga selesai, saya terkagum-kagum. Novel ini mendobrak sistem pendidikan yang kaku, juga mendobrak pola asuh orang tua yang tidak berperike-anakmanusia-an.
Kondisi ini tentu akan sangat berseberangan jika kita membaca buku Toto Chan dari Jepang karya Ibunda Tetsuko Kuroyanagi.
Selanjutnya saya akan mencari dan menemukan buku-buku dari penulis Roald Dahl untuk dibaca. Tulisan Roald Dahl ringan dibaca dan bergaya komedi.
Asik dan menghibur.
Sabtu, 24 Oktober 2020
NTT (sebuah cerpen)
Oleh : Krismanto Atamou
“Kau tahu, apa itu NTT?” tanya Yakob pada Niko tetangganya.
“Nusa Tenggara Timur, kan?”
“Benar, itu memang nama provinsi kita. Tapi, ada akronim lain lagi. Coba kau tebak?”
Niko menjawab tidak tahu. Ia heran melihat Yakob begitu bersemangat dengan NTT sebagai sebuah akronim. Pasti ada sesuatu akronim baru yang mengasikkan baginya. Orang ini, entah kenapa, selalu suka dengan akronim aneh-aneh dan bangga dengan itu, pikirnya. Niko mempersilakan Yakob duduk lalu berkata, “Ah, pasti kau sudah tahu akronim NTT yang lain kan? Apa itu?”
“Nasib Tidak Tentu.”
“Jangan sembarang kau bicara! Kalau nasib tidak tentu berarti kita sebagai warga NTT sudah pengangguran semua tanpa harapan yang jelas. Nyatanya, kau. Kau seorang PNS, Ketua RT lagi! Nasibmu sudah tentu, kan?”
“Ia. Tapi tidak semua kita bernasib baik. Masih banyak saudara-saudari kita warga NTT yang nasibnya tidak tentu. TKW kita misalnya, ada yang pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Seakan tidak ada jaminan mereka selamat di negeri orang dan pulang sebagai pahlawan devisa.”
“Ya, waktu kematian kita adalah rahasia Ilahi, Yakob. Mungkin jalan hidup beberapa TKI itu sudah begitu, tak peduli berdokumen resmi atau tidak, lewat jalan tikus atau jalan manusia.”
“Ah ..., kau terlalu menyederhanakannya, Niko!” sanggah Yakob. Yakob berupaya mempertahankan argumennya dengan menceritakan nasib para guru honorer di NTT. Ia mengambil contoh kisah guru honorer yang paling legendaris yaitu Asnat Bell. Katanya Asnat Bell mengajar di daerah terpencil dengan jumlah jam mengajar yang sangat padat tapi honornya hanya dibayar Rp.50.000,-/ bulan. Dan masih banyak Asnat Bell lain di seluruh penjuru NTT. Setahun lalu ia mendengar cerita bahwa ada guru honorer di Ende yang sampai menangisi nasibnya di depan anggota DPRD. “Sungguh nasib tidak tentu,” ujar Yakob terdengar haru.
“Aku pikir, masalah yang kau sampaikan itu juga adalah masalah negara kita pada umumnya. Berdoa sajalah! Nanti Tuhan tolong.”
“Nah, itu, kau baru saja membuat istilah baru untuk NTT.”
“Apa?”
“Tadi kau katakan, nanti Tuhan tolong. NTT. Ia, kan?”
“Ia.”
Sementara mereka berbicara, suara guntur terdengar. Menggelegar. Awan gelap mulai menyelimuti langit kota Kupang kemudian berlalu, cepat sekali. Ini sudah terjadi beberapa hari. Hujan turun pun sedikit sekali. Sumur-sumur warga kering semua. Hampir semua orang mengeluh soal kekeringan. Saban hari oto-oto tangki air bersiliwaran hingga ada yang mengalami kecelakaan maut. Miris.
“Sumurmu masih ada air?” tanya Yakob sambil berupaya melihat ke dasar sumur milik Niko.
“Tinggal sedikit. Untuk menimba air harus menunggu beberapa jam, itu pun hanya dapat seember lebih. Dengan terpaksa kami melarang tetangga datang mengambil air.”
“Aih ..., kau pelit, Niko! Nanti kalau kau susah, tidak ada tetangga yang akan mempedulikanmu.”
“Habis mau bagaimana lagi? Ini pertaruhan hidup dan mati.”
“Apa kau tidak percaya, nanti Tuhan tolong? Bukankah pepatah mengatakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” kata Yakob sambil bergeser dari tempat duduk semula mencari tempat yang lebih sejuk. Sinar mentari yang menembus tajuk pohon nangka seakan mengejar-ngejar dirinya sedari tadi.
Sumur milik Niko digali tepat di sebelah pohon nangka. Batang pohon nangka itu berfungsi juga sebagai salah satu tiang penyangga bagi gantungan katrol untuk menimba air di sumur.
Niko membuat balai-balai di sisi lain pohon nangka untuk tempat berteduh saat siang nan panas. Beberapa tetangga juga sering ikut menumpang ngadem di bawah pohon nangka. Jika buah nangka sudah bisa dijadikan sayur atau ada buah yang masak, Niko membaginya pada tetangga. Lumayan untuk mengurangi keluhan tetangga karena saban hari dapat kiriman daun nangka yang berguguran. Tapi sebenarnya, dengan membagi hasil buah nangka, Niko ingin membangun hubungan sosial dengan tetangganya.
“Bagaimana dengan sumurmu?” Niko balik bertanya pada Yakob.
“Ya ... masih ada cukup air. Aku mengambilnya menggunakan dinamo air.”
“Wah, berarti tergantung listrik.”
“Ia. Jadi tetanggaku patungan mengisi pulsa meteran listrik di rumah lalu mengambil selang panjang untuk mengalirkan air lewat dinamo ke rumah-rumah mereka.”
“Kalau dipakai terus menerus seperti itu, dinamo airmu bisa jebol, Yakob!”
“Ah, tidak, Niko. Setiap sejam sekali aku istirahatkan mesin sekira setengah jam, barulah lanjut lagi. Yang penting kan kita saling membantu. Gotong royong.”
“Tepa selira mungkin istilah yang lebih tepat.”
“Mungkin? Ah ..., apapun istilahnya, yang penting saling membantu dalam keadaan susah itulah bukti bahwa kita saling mengasihi sesama manusia.”
“Wah ..., kau membuat aku tersinggung.”
“Maaf kalau begitu.”
“Tidak apa-apa, Yakob.”
“Kalau kau mau, ambil saja air di rumah. Jangan sungkan! Toh nanti kalau aku susah, kau juga yang akan membantu dengan tetangga lainnya. Aku bahkan berencana membuat bak air besar milik kita bersama. Jadi, kalau sampai sumur kita kering, kita patungan lalu isi air tangki di situ, kita pakai air bersama secara hemat. Yang penting kan bisa menyambung hidup sehari-hari sampai hujan turun dengan normal dan sumur-sumur kita memiliki cukup air, sampai air yang mengalir lewat pipa dari perusahaan penyedia jasa air itu mengalir dengan normal, tidak tersendat-sendat seperti sekarang. Sampai ....”
“Sampai nanti Tuhan tolong,” sambung Niko.
“Ya, kau benar. Hehe ....”
“Itu ide bagus, Yakob. Tapi dari mana dana untuk membuat bak air itu? Siapa tukang untuk mengerjakannya?”
“Sebagian besar dananya akan aku berikan.”
“Tapi dana itu bukan hasil korupsi kan?”
“Aku masih punya iman untuk tidak korupsi, Niko.”
“Nanti kalau ada kekurangan saat pengerjaan bak, silakan teman-teman patungan. Tenaga kerjanya ialah kita semua yang ada di lingkungan ini. Kita kerja secara gotong royong. Warga yang bisa tukang, kita minta sebagai kepala tukangnya. Kita yang lain jadi buruh dan menyumbang makanan ala kadarnya. Bagaimana? Kau setuju?”
“Ah, kalau untuk kebaikan, aku selalu setuju, Yakob! Kalau warga yang sudah punya bak air bagaimana? Apa mereka tidak dilibatkan?”
“Ya, kita undang saja. Ini kan aksi sosial, siapa tahu mereka mau menyumbang. Setiap manusia itu diciptakan sebagai makhluk sosial juga kan?”
“Tapi jangan dipaksakan, Yakob!”
“Maksud kamu?”
“Maksudnya jangan paksa setiap pribadi harus menyumbang. Namanya sumbangan itu kerelaan, Yakob! Kecuali iuran, baru wajib.”
“Oh, itu pasti.”
“Tapi kau harus hati-hati saat menyampaikan ini dalam rapat. Jangan sampai ada pihak yang mendompleng lalu menjual namamu untuk memungut pungutan liar kepada warga. Namamu juga yang rusak.”
“Masukan bagus itu, Niko. Akan aku perhatikan.”
“Lalu, lokasi bak airnya di mana? Zaman sekarang ini hampir mustahil seperti dulu, orang dengan mudahnya berderma lahan untuk kepentingan umum. Harga tanah semakin mahal, apalagi hampir semua orang sudah tahu, ada ganti untung jika lahannya dipakai untuk pembangunan fasilitas umum, walaupun fasilitas umum itu nantinya dipakai juga oleh pemilik lahan, semisal jalan.”
“Nah, itu yang akan kita musyawarahkan. Di satu sisi kita perlu ruang untuk layanan publik dari kerelaan pemilik lahan, akan tetapi, kita juga harus menghormati hak pemilik lahan yang membutuhkan ruang untuk kebutuhan pribadinya. Aku yakin, untuk kebaikan nanti Tuhan tolong. Pasti akan ada yang bersedia menyediakan lahannya. Kita harus mengambil contoh dari para pendiri bangsa ini, juga para pendiri provinsi kita ini, Niko!”
“Contoh apa itu?”
“Teladan yang baik. Para pendiri provinsi kala itu rela berkorban demi terbentuknya provinsi NTT ini.”
“Kau sudah pernah baca sejarahnya?”
“Sudah,” jawab Yakob.
“Kau sendiri?”
“Belum.”
“Kemarin aku berupaya mencari buku referensi sejarah pembentukan provinsi NTT. Lumayan pusing.”
“Kenapa?”
“Coba dari awal aku langsung ke perpustakaan mungkin cepat untuk mendapatkannya. Tapi, tidak. Aku mulai dari museum, disitu tidak ada kata pegawai. Aku diarahkan ke dinas pariwisata, tidak ada. Dari situ aku diarahkan ke Biro Umum Kantor Gubernur, terus ke Biro Organisasi, terus ke Protokol, dan terus ke Humas. Di Humas aku dijamu dengan segelas kopi. Lumayan.”
“Wah, kau enak sekali menikmati uang pajak yang aku bayar!”
“Memangnya kau sendiri yang bayar pajak? Aku juga, Niko!”
“Oh, iya. Terus?”
“Nah, dari Humas aku diantar ke perpustakaan setda provinsi NTT dan mendapatkan dua buku referensi. Buku pertama produk masa orde baru cetakan tahun 1992, buku kedua produk masa reformasi cetakan kedua tahun 2007.”
“Kenapa kau tidak mencari dari Opa Serba Tahu saja?”
“Opa itu tinggal di mana?”
“Tinggal di dunia maya, nama lainnya Opa Google.”
“Oh ..., kau ini bagaimana, Niko? Aku lagi serius kau malah bercanda.”
“Jangan bercanda, ya! Aku cuma tersinggung.”
“Nah, itu lagi, terbalik!”
“Oh, iya. Jadi kenapa kau tidak tanya Opa Google?”
“Ada juga di situ, tapi aku mau mengecek ulang di buku resmi dari pemerintah. Buku dari pemerintah sudah melalui kajian dan lebih valid.”
“Apa yang kau dapat?”
“Aku dapat sejarah dan jas merah.”
“Mana jas merah itu?”
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
“Oh, maksudmu itu akronim?”
“Iya. Semboyan Presiden Soekarno itu aku dapat di cover belakang buku kedua yang dinarasikan untuk mengajak seluruh warga NTT berubah ke arah yang lebih baik. Ke arah istilah NTT yang berikutnya.”
“Apa itu?”
“NTT, nikmat tiada tara.”
“Haha ..., kau ada-ada saja, Yakob.”
“Tidak, Niko!” sanggah Yakob. Tawa Niko itu lebih terdengar sebagai sindiran di telinga Yakob. Seakan berpidato ia menyampaikan bahwa kalau warga NTT serius berusaha dan menata kehidupan menjadi lebih baik, tidak pesimis, maka akan ada perubahan yang berarti. NTT punya potensi alam dan daya manusia yang memadai. Bahkan sudah sejak dahulu NTT punya banyak orang cerdas. Ia memberi contoh antara lain Bpk. Adrianus Mooy sebagai mantan Gubernur BI, Bpk W. Z. Yohannes sebagai ahli radiologi pertama Indonesia, sastrawan Gerson Poyk, dan masih banyak yang lain termasuk para tokoh di balik berdirinya provinsi NTT.
Dengan semangat Yakob bercerita tentang kunjungannya ke pameran arsip publik yang diselenggarakan oleh Sekolah Musa di gedung bekas Pabrik Es Minerva Kupang. Di situ ia melihat sebuah foto tahun 1950 yang memperlihatkan kunjungan Presiden Soekarno ke Kupang dan disambut oleh Raja Nisnoni. Pada keterangan di bawah foto tertulis bahwa baru tahun 1950 keresidenan NTT memilih bersatu dengan NKRI, sebelumnya masih sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur. Ia membayangkan NTT ibarat gadis yang memilih bersatu dengan Indonesia sebagai pria yang meminangnya. Hasilnya, NKRI sebagai nama keluarga, Pancasila sebagai ikrar cinta, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai cincin simbol pemersatu kedua mempelai.
“Kau tahu, Niko? Sejak gubernur pertama Bpk. W. J. Lalamentik hingga sekarang Bpk. Viktor B. Laiskodat, sudah ada perubahan yang terjadi, itu tidak bisa dinafikan. Kita hanya perlu mendukung dengan aksi nyata sesuai latar belakang kita masing-masing.”
“Ya, ya, ya .... Kau kan RT, PNS pula. Pantaslah kau bicara begitu. Seandainya kau aktivis sosial atau rakyat jelata, mungkin kau akan punya persepsi yang berbeda.”
“Itulah masalahnya persepsi, pola pikir, pro-kontra memang selalu ada. Tapi apakah kita biarkan itu menjadi masalah? Bukankah lebih baik menjadikan perbedaan itu kekayaan untuk saling mendukung, bahkan kritik untuk saling melengkapi, bukan saling menyerang. Hingga pada akhirnya, kita bisa menikmati NTT sebagai Nikmat Tiada Tara.”
“Ya. Idealnya begitu, Yakob.”
Tak terasa hari sudah menjelang malam. Yakob pamit. Ia pulang. Niko berupaya menimba air di sumurnya yang tinggal sedikit.
Sekian.
Senin, 12 Oktober 2020
Ancaman Punahnya Bahasa Daerah Abui Alor
"Eyala he a mei?" tanya Paman ketika melihat saya duduk di bawah gudang bersama sanak keluarga yang lain.
"Ya," jawab saya menggunakan bahasa Indonesia dengan perasaan canggung.
Paman baru saja pulang berburu rusa yang nyasar di dalam Kampung. Ia lalu duduk di bawah gudang dan kami berbicara tentang banyak hal. Salah satunya ialah tentang bahasa daerah.
Saya mengeluhkan tentang mulai adanya jarak antara saya dengan bahasa daerah. Saya mulai menjadi penutur pasif_yang sangat pasif.
Saya hanya mengerti bahasa daerah namun sulit untuk berbicara secara aktif. Ini sudah terjadi di zaman saya. Entah bagaimana nanti di zaman anak-anak saya.
Seorang ponakan yang duduk dekat kami ikut menyela. Ia bercerita tentang kondisi berbahasa di SMP tempatnya bersekolah.
Ponakan bercerita bahwa anak-anak dari Mataru lebih mencintai bahasa daerah dibanding anak-anak seputaran Mainang, katanya.
Anak-anak dari Mataru hampir selalu menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan saat jam istirahat di sekolah, dalam perbincangan dengan sesama teman, mereka menggunakan bahasa daerah.
Dia juga menilai bahwa ada temannya yang merasa rendah diri ketika berbicara bahasa daerah. Temannya itu merasa lebih tinggi derajatnya ketika berbicara bahasa Indonesia.
Timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah pilihan berbahasa mesti menunjukkan derajat? Apakah berbahasa daerah berarti kita adalah orang kampung? Apakah kampung mesti dipandang rendah dibandingkan kota?
Saya secara pribadi tidak akan lagi melarang murid berbicara berbahasa daerah di sekolah. Nasionalisasi tidak harus memisahkan orang dari jati dirinya sebagai pewaris bahasa daerah, bahasa ibunya.
Saya berencana membuat channel YouTube budaya lalu merekam pembicaraan bahasa daerah yang mungkin kelak menjadi museum bahasa daerah secara audio visual. Saya juga berencana membuat buku kamus sederhana untuk bahasa ibu saya.
Sekian.
Selasa, 15 September 2020
Efek Paranoid di Hari Kedua Isolasi
Tadi siang sekira jam 11 gegara lupa makan pagi, lambung kumat. Bagian sekitar diafragma kiri rasa seperti tertikam-tikam. Denyut jantung agak cepat, sedikit berkeringat walau tidak panas. Pikiran jadi panik/ paranoid.
Mau makan, istri sudah berangkat kerja, pintu dapur dia kunci. Saya diisolasi di kamar yang terpisah dari rumah.
Saya baca masa inkubasi Covid-19 dan ciri-cirinya. Itu malah membuat saya merasa-rasa, jangan-jangan batuk dan rasa tertikam dekat jantung ini tanda-tandanya.
Segera saya telepon adik yang perawat. Dia bilang jangan panik, segera makan, minum suplemen, mandi, dan istirahat/ tidur.
Saya ikuti. Segera saya pergi membeli roti, minuman suplemen dan segera mengkonsumsinya. Syukurlah, sekarang saya sudah tenang.
Jantung sudah normal. Batuk berdahak sehari cuma maksimal 3 kali (itu sudah terjadi sebelum ke Bandung), saya minum OBH combi.
Sepulang dia kerja, saya sampaikan ke istri. Mulai besok dia sediakan makan pagi.
Rupanya kemarin pagi saya sudah ditawari makan, tapi saya menolak, dan itu tidak saya sadari karena menjawab tawaran sambil konsentrasi menulis. Jadi saya jawab tanpa fokus (asal).
Begitu siang saya sampaikan ke istri baru ketahuan kalau saya yang menolak tanpa sadar. Dan itu kadang terjadi.
Otak saya tidak bisa konsentrasi pada hal lain jika sudah menulis.
Nanti tepat seminggu saya mau rapid test. Kalau swab mahal.
Senin, 14 September 2020
Resiko Kembali dari Zona Merah
Jika dalam dua Minggu saya tidak demam tinggi atau menunjukkan gejala positif Covid-19 lainnya berarti:
1. Saya tidak terpapar.
2. Saya terpapar tapi sembuh sendiri.
Itu menurut saya.
Saya mau tes swab tapi biayanya mahal yaitu 1,5 juta di RSU. Ah, seandainya untuk perjalanan dinas dimurahkan.
Sudahlah, nikmati karantina mandiri, semoga melahirkan karya, atau diet biar langsung eh langsing.
Jadi tau kenapa teman saya menolak kesempatan Diklat ke Jawa. Mungkin karena dia mesti dekat dengan istri anak yang baru lahir.
Ketika saya kembali dari zona merah, auto mulutgram menyampaikan kabar ke sekitar lingkungan rumah. Terima kasih basudara di sekitar yang sudah tahu dan sudah memberitahu. Ini modal untuk mencegah daripada mengobati. Untuk yang belum tahu, ini informasinya.
1. Perjalanan dinas ini sudah ada koordinasi dengan kementerian kesehatan RI untuk protokol kesehatan benar-benar diikuti.
Untuk informasi lengkapnya silahkan klik tautan dari P4TK IPA Bandung di bawah ini:
https://www.facebook.com/1828085724093497/posts/2708092966092764/
2. Selama perjalanan dinas saya membeli oleh-oleh di pasar baru Bandung, ke Cimahi, ke Jln. Asia Afrika, lalu kembali ke hotel dan berangkat besok pagi jam 6. Dalam perjalanan ada protokol kesehatan semisal jaga jarak, ukur suhu saat masuk pasar, pakai masker dan face Shield. Di pesawat juga begitu. Ada pemeriksaan hasil rapid test sebelum masuk check in dan ukur suhu.
3. Untuk dua Minggu ke depan saya karantina mandiri di rumah. Di kamar khusus dan tersendiri. Barang bawaan saya saat tiba semalam di rumah langsung dicuci menggunakan deterjen dan disemprot desinfektan, lalu disetrika (jika berupa pakaian).
Mohon doanya agar kita semua sehat selalu.
Klo menurut ramalan/ nubuatan yang sudah berulang kali saya dengar, saya umur panjang.
Kata "kamu umur panjang," saya dengar saat orang ingat saya atau sedang membicarakan saya, kemudian saya muncul. Itu nubuatan yang saya Amini.
Jadi jika berdasarkan iman, saya lolos dan tidak terkena Covid-19. Tapi secara protokol kesehatan, saya mesti melakukan karantina mandiri untuk membuktikan kepercayaan saya.
Terpujilah Nama-Mu Tuhan. Amin.
Rabu, 02 September 2020
Diskusi Perihal KKM
Tiba-tiba saya terbangun dari mimpi sebelum membahas sebuah topik menarik yang saya ajukan pada forum diskusi bersama orang-orang luar biasa di NKRI ini. Ada Pak Lody Paat dan Mbak Nana.
Sebelum memori mimpi menguap, saya patrikan dalam tulisan ini. Ini pertama kalinya saya bermimpi untuk diskusi tentang pendidikan. Pernah dulu bermimpi diskusi singkat dengan Pak Jokowi tentang pembangunan di sebuah titik kota Kupang.
Dalam mimpi kali ini, setelah tuntas membahas sebuah topik pendidikan lain yang pematerinya ialah Pak Lody Paat dan Mbak Nana sebagai moderator, saya mengacungkan tangan untuk bertanya. Mbak Nana memberi kesempatan. Lalu saya mulai bicara.
"Terimakasih untuk kesempatan ini. Topik ini sudah pernah saya diskusikan bersama senior saya Pak Beny Mauko beberapa saat lalu. Ini menyangkut kualitas pendidikan di Indonesia.
"Setelah keberhasilan menghapus ujian Nasional sebagai standar dan ketentuan kelulusan peserta didik, hal berikut yang mesti juga dibenahi ialah KKM. Bagi saya KKM adalah salah satu batu sandungan pendidikan di Indonesia.
"Mirip dengan UN yang tidak memandang keunikan dan kekhasan individu peserta didik, KKM juga demikian. KKM dan UN adalah bentuk pendidikan pukul rata (dengan dalil adil). Ibarat kata, kita memakai satu obat ampuh untuk semua jenis penyakit. Nonsens.
"Setiap individu peserta didik berbeda satu sama lain. Mulai dari identitas, preferensi, asumsi, dan lain-lain, berbeda. Pendidikan mesti menyentuh sampai ke area (dan pertimbangan) itu.
"Saking berbedanya, perbedaan itu tidak bisa ditarik-tarik kesamaannya untuk diberi pendekatan/ strategi/ metode pendidikan yang sama untuk semua individu peserta didik. Saya beri satu contoh.
"Peserta didik yang memiliki keunggulan visual (spasial) dan tidak unggul dalam aspek kinestetik, tidak bisa dituntut memiliki capaian ketuntasan bagus (tinggi) dalam aspek kinestetik. Begitu pula sebaliknya.
"Kita tidak bisa menyamaratakan semua peserta didik. Kita tidak bisa mem-profil-kan semua orang menurut profil kita. Kata Ibu Dosen saya, Ibu Andam Ardan : jangan ukur semua orang menurut ukuran kita. Ukuran baju kita tentu berbeda dengan ukuran baju orang lain.
"Selama ini yang terjadi ialah KKM hanya menyentuh sampai ke level kelas, meski dalam perhitungannya menyentuh daya serap setiap peserta didik namun kemudian hanya diambil rerata nilai KKM kelas sebagai standar acuan pencapaian."
Itu isi aduan saya pada forum diskusi dalam mimpi malam ini. Terlihat Pak Lody Paat telah siap-siap akan menjawab, Mbak Nana sedang mencatat inti pertanyaan, lalu saya sadar dan bangun dari tidur.
Ah, seandainya mimpi berlanjut dan saya mendapatkan tanggapan dari pemateri Pak Lody Paat, juga forum diskusi. Tentu ada banyak pencerahan yang saya dapatkan.
Dihubungkan dengan slogan merdeka belajar, dengan pola KKM yang terjadi sekarang, saya bisa menilai bahwa individu peserta didik tidak akan mengalami merdeka belajar sepenuhnya. Sistem penilaian kurikulum dengan keberadaan KKM membuat guru berorientasi pada ketuntasan kelas dan (cenderung) mengabaikan ketuntasan individu.
Mohon tanggapan dan pencerahannya teman-teman. Abaikan mimpinya dan tanggapi substansi menyangkut KKM mengabaikan pencapaian individu peserta didik dalam proses pendidikan.
Sila.
Rabu, 05 Agustus 2020
Cerpen: Sampah
Sinar mentari pagi berupaya menyusup masuk di antara celah-celah pinus seakan pena Ilahi yang menari-nari memberi warna cerah pada bagian tajuk-tajuk pohon yang berhasil ditembusinya. Kicau burung perkutut belum lagi terdengar, hanya suara pipit yang mencicit dari sarang merindu induknya kembali membawa makanan.
Suhu udara masih dingin seiring angin dingin dan kering dari Australia. Begitu menurut siaran dari BMKG yang Jitro dengar dari radio tua peninggalan mendiang ayahnya. Meski dingin, ia terus bergerak mencari keringat dengan menggali keladi dan petatas. Siapa tahu wisatawan hari ini ada yang mau membeli seperti kemarin.
Untuk pembungkus jualannya, Jitro memesan tempat anyaman dari daun lontar yang dibuat masyarakat pesisir pantai. Selain menambah pemasukan ekonomi masyarakat pesisir, juga menghindari sampah plastik yang menjadi masalah global.
“Asap di dapur tak akan mengepul kalau kau berpangku tangan, Nak.” Nasihat mendiang ayahnya itu selalu dikenang meski sudah tak lagi didengarnya semenjak dua tahun lalu.
Ayah Jitro petani ladang tulen. Setiap musim tanam, ayahnya punya lebih dari dua kebun sekaligus. Hasil panen bisa menghidupi anggota keluarga selama tiga tahun mendatang. Jika ada keperluan mendadak, hasil panen dapat dijual untuk menutupinya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, keuletan ayahnya kini menurun pada Jitro.
Jitro masih menggali petatas dan keladi di kebun dekat rumah ketika istrinya memanggil untuk menemani sang ibunda minum kopi dan rebusan singkong. “Sebentar!” teriak Jitro sembari berhati-hati mencabut umbi petatas yang merambat dan tumbuh tepat di bawah anakan pohon mahoni yang baru ditanamnya tiga bulan lalu.
Jika dulu Jitro hanya menghadapi gulma dan hama demi kesuburan tanamannya, kini ia harus menghadapi masalah baru. Kebunnya warisan ayahnya yang berada di tepi jalan menuju tempat ekowisata itu sering menjadi tempat sampah bagi para wisatawan. Sampah plastik menjadi masalah utama baru yang menutupi tanamannya.
Kening Jitro berkerut dan peluh bercucuran. Langkah kakinya berhenti di belakang rumah. Ia menaruh karung berisi petatas dan keladi serta karung berisi sampah plastik dekat pancuran air dari bambu. Setelah membersihkan diri ia menuju emperan.
Hawa kopi panas yang mengepul di pagi hari itu berupaya melawan sapuan kabut tipis yang tertiup angin pegunungan melewati emperan. Kokok ayam dari pohon jeruk di samping rumah mulai jarang terdengar.
“Ma, kenapa?” tanya Jitro setelah melihat sang ibunda menatap nanar pada kumpulan karung berisi sampah plastik hasil pengumpulannya. “Ayo, Ma, Mama minum kopi dulu,” lanjut Jitro setelah yakin ibunya tak akan menjawab, mungkin sedang merenungi sesuatu.
“Aku heran, Jit. Mereka yang datang kan pengagum alam, tapi kenapa mereka merusak alam dengan membuang sampah sembarangan?”
“Kalau itu Mama tanya saja pada para pedagang. Seharusnya mereka sediakan tempat sampah agar pembeli tidak buang sampah sembarangan. Kebetulan, Ma. Itu salah satu pedagang ada di sana.” Jitro menunjuk istrinya yang sedang berada di dapur tak jauh dari emperan. Ia memang suka usil mengorek-ngorek emosi dan perasaan istrinya. Senang melihat ekspresi istrinya kalau sedang marah. Tambah cantik dan bikin gemas, katanya.
Umpannya berhasil ditotok. Sang istri mengomelinya. “Kalau begitu jangan kau minum kopi itu. Kau tahu gula itu datangnya dari mana? Itu dari hasilku berjualan di kios kecil-kecilan kita di pintu masuk tempat wisata sana. Sudah baik aku mendukungmu bekerja mencari nafkah.”
Jitro puas. Ia memandangi istrinya lekat-lekat lalu menyeruput kopinya. “Hm ..., kopimu enak, sayang! Apalagi sambil melihat kau marah, wajahmu memerah, waduh cantiknya,” kata Jitro sambil terkekeh.
Sebuah kerikil kecil melayang menuju wajah Jitro, ia mengelak, tidak kena. Jitro tahu, itu lemparan sayang. Sejak pacaran juga sudah begitu. Jitro sering dilempar menggunakan biji pinus kering yang jatuh sepanjang jalan setapak, hadiah menggoda sang nona saat mereka beramai-ramai berjalan untuk menimba air. Saat itu hutan masih lebat nan asri. Bahkan rumput ilalang dipelihara demi bangunan rumah. Sekarang, hampir semua warga membangun rumah permanen. Ilalang, tali-temali hutan, dan ramuan rumah alami mulai dilupakan.
“Awas kena mama!” protes Jitro. “Tenang saja, Ma. Jangan marah-marah, nanti penyakit darah tinggi mama kambuh lagi. Itu malah memperparah masalah. Dulu aku juga emosi pada wisatawan yang buang sampah sembarangan. Aku pernah mengeluarkan makian pada mereka. Tapi, istriku yang cantik itu menegur bahwa makian adalah mengeluarkan kata-kata kotor, sampah dalam bahasa. Jangan. Emosional negatif bukan solusi,” kata Jitro pada sang ibunda sembari melirik istrinya. Sang istri membuang muka, menyembunyikan senyum sipu.
“Aku sudah sediakan tempat sampah. Di pintu masuk tempat wisata juga sudah ada tulisan besar-besar: Jangan Buang Sampah Sembarang! Ada juga tulisan sindiran: Bertahun-tahun sekolah tapi masih buang sampah sembarangan, sekolah buat apa saja? Tapi apa? Tidak ada pengaruhnya, bosku! Mungkin tulisan itu tidak dibaca. Mungkin tingkat literasi kita rendah. Mungkin sekolahnya gagal mengajari kebersihan. Mungkin pribadinya sudah begitu. Mungkin.” Sang istri menjelaskan panjang lebar.
“Pernyataan kamu seolah membela diri, istriku. Hehe ....” Jitro terkekeh untuk mendinginkan suasana. “Menurutku tergantung kita memandang masalah sebagai apa. Aku ingat kata teman pengusahaku dulu: masalah adalah peluang. Justru dengan masalah sampah ini, ada peluang yang timbul. Semisal menaikkan retribusi wisata untuk dana kebersihan, sampah didaur ulang lalu dijadikan souvenir, ekobrik, atau produk lain lalu dijual.
“Menurutku itu lebih baik daripada memaki-maki wisatawan pengotor lalu mengurangi minat calon wisatawan lain datang ke sini karena ketidakramahan kita. Keramahan adalah salah satu daya tarik dan pendukung wisata selain faktor lain.”
“Kau benar, Jitro. Tapi kita masyarakat di sini adalah petani dan peternak yang tidak pernah terlibat dalam industri kreatif untuk mengubah sampah menjadi bernilai jual. Jangan-jangan kau akan kecewa. Kau boleh bermimpi demikian. Namun bagaimana jika usaha yang kau rintis kemudian berhenti di tengah jalan? Bangkrut!” sang ibunda mewanti-wanti.
“Tenang, Ma. Aku akan berusaha sendiri dulu. Jika berhasil, pasti banyak orang akan tertarik dan ikut. Sebagian orang ingin mengambil hikmah keberhasilan dari orang lain sebelum ikutan. Orang akan mau mengikuti jika sudah melihat hasilnya.
“Itu sudah aku kumpuli botol-botol air mineral besar. Akan aku cuci, isi dengan sampah plastik lain menjadi ekobrik, lalu kubuat menjadi sofa, lalu kujual.”
“Aku siap bantu menjualnya, sayangku,” sela istri Jitro.
“Ah, nanti uangnya tak kau berikan padaku.”
“Ya, iyalah. Secara istri adalah bendahara rumah tangga. Uang suami, istri yang kelola. Begitu kan, ibunda?”
“Ya. benar.” Mendengar ibunda mendukungnya, sang istri tersenyum lebar, mengangkat alisnya tinggi-tinggi sembari memandangi Jitro. Senyum kemenangan.
“Mama jangan bela dia. Nanti kepalanya besar. Aku tak dihormatinya sebagai kepala rumah tangga.”
“Kau jangan berpikiran negatif, Jitro. Ia kelola uangmu, juga demi kamu. Coba kamu lihat isi rumah ini, sebagian besar dia yang beli. Ia berhasil menghemat keuangan keluarga dan tahu mana yang prioritas untuk dibeli. Kau harus berterima kasih padanya.”
“Ah, Mama. Sesama perempuan memang saling membela.”
Ternyata Jitro tidak sendiri dalam menangkap peluang sampah menjadi barang bernilai. Yusak temannya saat belajar di SMK dulu turut memulung sampah tempat wisata untuk didaur ulang. Alih-alih berkelahi memperebutkan sampah, keduanya bekerja sama untuk menciptakan produk yang berbeda, mencari peluang pasar, membuat badan hukum UKM, mencari modal pinjaman untuk mengembangkan usaha, bekerjasama dengan pemerintah dan pengelola tempat wisata. Bahkan sampah dari kota mereka impor ke desa untuk usaha daur ulang. Kini sampah mereka cari ibarat emas, bernilai bagi kehidupan.
Catatan : Cerpen ini adalah refleksi penulis menyikapi berbagai aksi protes pecinta lingkungan terhadap pengotoran kawasan ekowisata yang marak di media sosial akhir-akhir ini.
Selasa, 04 Agustus 2020
Tren Ekowisata, Sampah, dan Kesadaran Menjaga Lingkungan
*Penulis adalah guru IPA, pemerhati lingkungan, dan memperoleh juara satu saat mengikuti kompetisi menulis ulasan ringkas pariwisata Indonesia pada tahun 2017 lalu di website NUSAKU.ID (milik PT. Telkomsel).
Senin, 06 Juli 2020
Pencapaian
Kali ini saya menulis di ruang tunggu Bandara Internasional El Tari Kupang. Di belakang saya ada Borneo (Pulau Kalimantan, penulis) Art Shop yang menjual aneka makanan, pakaian, dan aksesoris tradisional NTT.
Saya tertarik untuk menulis topik ini karena biasanya pada pertengahan usia seseorang_menurut saya_orang tersebut akan mendefinisikan ulang pencapaiannya secara pribadi maupun kelompok. Ibarat orang yang berada di tengah perjalanan lalu berhenti sejenak untuk merenung dan memutuskan jalan mana dan ke mana.
Menurut KBBI, kata pencapaian berarti proses. Kata dasarnya capai berarti raih/ sampai.
Setiap orang (pribadi atau kelompok)) tentu memiliki definisi pencapaian masing-masing. Untuk mencapai pencapaian itu, setiap orang juga memiliki caranya masing-masing. Ada unsur kehendak bebas.
Pencapaian tersebut tidak selamanya berupa titik akhir (hasil) yang perlu dicapai. Pencapaian bisa berupa proses tertentu. Semisal pecinta kuliner yang menikmati sensasi mengunyah makanan dengan citarasa dan tekstur tertentu. Kenyang bukanlah pencapaian baginya.
Definisi dan standar pencapaian yang berbeda dapat dilihat pada obrolan (sedikit tak nyambung) di pasar antara dua orang berikut. Sebut saja penjual garam eceran bernama X dan mahasiswa S2 peneliti bernama Y.
Obrolan di bawah ini saya beri topik : #itu_apa? Setelah saling sapa dan salam, Y memperkenalkan diri.
Y: Saya Y, mahasiswa S2 peneliti. Saya lulusan dengan nilai terbaik di tiap jenjang pendidikan yang saya tempuh. IPK saya saat S1 4,00.
X: Kamu omong apa?
Y: Saya memperkenalkan diri, Pak.
X: Oh, mau beli garam?
Y: Tidak, Pak. Saya mau penelitian tentang penjualan garam eceran.
X: Itu apa?
Y: ???
X: Saya jual garam. Kamu kalau tidak beli jangan ganggu saya.
Dari obrolan di atas, menurut saya, pencapaian penjual garam eceran ialah dagangannya laku. Pencapaian mahasiswa S2 peneliti ialah sang penjual garam eceran bisa berpartisipasi dalam penelitiannya. Beda pencapaian.
Saat mengakhiri tulisan ini, saya sedang di atas pesawat terbang melihat ke bawah. Pencapaian saya saat ini adalah dapat turun ke darat dan bertemu keluarga. Mungkin di bawah sana ada seseorang yang memiliki pencapaian untuk ada di atas pesawat terbang. Beda pencapaian.
Salam.
Jumat, 03 Juli 2020
Kemuliaan para ToLo
Kali ini saya tertarik untuk menulis topik ini. Menurut KBBI kemuliaan dengan kata dasar mulia berarti hal (keadaan) mulia; keluhuran; keagungan. Sedangkan ToLo yang saya maksudkan di sini adalah akronim dari kata Tokoh Lokal, bukan kata makian seperti yang dipakai pada kalangan tertentu.
Para ToLo selayaknya mulai atau agung dalam tutur kata, tindak tanduk, dan seluruh kesehariannya. Tokoh menurut KBBI berarti 1. rupa; 2. bentuk badan, perawakan; 3. orang terkemuka dan kenamaan. Sesuai topik ini pada arti yang ketiga para ToLo adalah orang terkemuka dan kenamaan.
Untuk menjadi terkemuka dan kenamaan tentu tidaklah mudah, ada harga yang harus dibayar, semisal bersikap mulia dalam keseharian dan bertanggung jawab dalam tindakan serta pemikiran. Di bumi tokoh sangat langka, hal ini mengingat sulitnya manusia melawan diri sendiri_sebagai musuh terbesar_ untuk kepentingan yang lebih mulia menurut berbagai standar kemuliaan.
Bagi tujuan yang mulia tertentu, setiap orang cenderung membutuhkan tokoh yang menjadi teladan kemuliaan. Sulit. Hal ini mengingat tak ada manusia yang sempurna. Namun terlepas dari ketidaksempurnaannya, para tokoh patutlah diteladani sebagai standar minimal kemuliaan tertentu.
Untuk kemuliaan tertentu tersebut, para tokoh juga mesti berhati-hati agar tidak menimbulkan makian seperti kata tolo pada komunitas tertentu. Biarlah ToLo menjadi akronim dan bukan makian.
Salam.
Jumat, 12 Juni 2020
Obrolan Opa Peter dan Cucunya
Kamis, 11 Juni 2020
Jagung dan Prestise
Berdasarkan preferensi dan budaya seseorang, jagung dinilai dengan standar tertentu. Sebagian orang menjadikannya makanan pokok. Sebagian lain menjadikannya makanan tambahan. Namun, ada sebagian lain lagi yang tidak menjadikannya bahan makanan bagi manusia melainkan bagi hewan peliharaan.
Tersebutlah suatu cerita lucu tentang jagung ini. Dalam sebuah perjalanan dengan kapal feri yang begitu lama bertemulah dua orang. Sebut saja si a dan si b.
Keduanya berkenalan lalu berbagi cerita untuk membunuh waktu dalam perjalanan yang begitu lama. Si a melihat si b membawa sebuah karung maka terjadilah percakapan sebagai berikut.
A: Apa isi karung itu?
B: Oh, itu jagung.
A: Untuk apa kamu bawa jagung dari kampung ke kota?
B: Untuk bekal makanan saya.
A: Oh, jadi kamu makan jagung?
B: Ia. Kenapa kamu bertanya seperti itu?
A: Ah, tidak. Aku heran saja kamu makan jagung. Di kampungku, jagung adalah makanan babi.
Si b menjadi jengkel karena si a menganggap bahwa si b makan makanan babi. Tak lama berselang laut menjadi sedikit ganas dan bergelombang. Kapal feri oleng.
Si a mabuk laut lalu muntah. Dari muntahan itu keluar jagung rebus yang dimakannya di darat. Si B kaget. Ternyata orang yang menganggapnya memakan makanan babi tadi juga makan jagung. Si b menilai si a sombong dan penipu.
Sehabis muntah si a terbaring lemas. Muntahan si a yang tadinya diarahkan ke laut sebagian tertiup angin melewati pagar pembatas Feri dan jatuh ke lorong.
Seorang pelintas menanyakan kepada si b yang berdiri tak jauh dari muntahan itu. "Muntahan siapa ini?"
B: "Oh, itu tadi ada babi yang muntah."
Si B berupaya menjawab dengan suara keras agar didengar si a sebagai jawaban sindiran.
Nah, dari cerita ini, bagi si a, jagung bukanlah makanan manusia, prestisenya akan jatuh jika mengakui makan jagung walaupun faktanya ia memakannya. Bagi si b jagung adalah makanan manusia dan ia tidak malu untuk mengakuinya.
Ya, semoga saja dalam kenyataan, kisah tentang jagung dan prestise manusia tadi tidak terjadi. Hanya fiksi.
Kalau saya hobi makan jagung muda rebus, bakar, atau goreng. Enak sekali.🙂
Sekian.
Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 12 Juni 2020
Note: Gambar ini diambil dari Grup WA KGP NTT.
Rabu, 10 Juni 2020
Menghadapi_Tsundoku
Selasa, 09 Juni 2020
Antre dan Korupsi
Jumat, 05 Juni 2020
Didaktik, Ilmu Mendidik Yang Dilupakan
Kamis, 04 Juni 2020
Relasi antara Guru, Pengetahuan, dan Murid
Cipta Janda
Rabu, 03 Juni 2020
Selasa, 02 Juni 2020
Kata 'ini' dan 'Itu'
Minggu, 31 Mei 2020
Pancasila dan NTT
Mendengar kata Pancasila pikiran kita langsung tertuju pada dasar Negara Indonesia. Mungkin langsung juga teringat pada presiden pertama RI yaitu Bpk. Ir. Soekarno.
Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu kutipan terkenal dari pendiri bangsa kita yaitu Ir. Soekarno. Tentu sejarah yang tidak boleh dilupakan yaitu sejarah yang objektif paling tidak mendekati objektif, bukan versi tertentu.
Oleh karena itu mengingat Pancasila maka mengingat bagaimana Bapak Ir Soekarno bermenung di bawah sebuah pohon, di rumah pembuangan, di Ende NTT. Tentu itu suatu permenungan yang tidak main-main. Bapak Ir Soekarno berupaya merumuskan sebuah dasar negara dari berbagai nilai dan idealisme yang dipelajari dan diketahuinya.
Itulah sejarah singkat versi saya.
Nah, sisi lain yang ingin saya sampaikan disini ialah bahwa bukan suatu kebetulan Bapak Ir Soekarno bisa merumuskan kelahiran dasar negara di provinsi NTT. Tentu semesta pun tahu bahwa di NTT lah pantas Pancasila dirumuskan.
Alasannya menurut (analisa dan tebakan) saya ialah nilai-nilai Pancasila tersebut oleh Bapak Ir Soekarno ada pada keseharian orang NTT sehingga turut mendorong beliau untuk menuliskan rumusan Pancasila. Paling tidak seperti itu sebab bagi saya lingkungan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam menulis.
Jika benar seperti itu maka menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga NTT untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasilais yang sudah ada bahkan sebelum Pancasila itu ada. Mungkin saja sebagian atau semua nilai-nilai Pancasila itu sudah dipelajari bapak Ir Soekarno sebelum datang ke NTT, tapi sebagai semesta tempat beliau merumuskan Pancasila, NTT tetap memiliki peranan dan andil untuk itu.
Sebagaimana setiap karya memiliki proses kreatif yang dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat hidup penulisnya. Sebagaimana Pramudya Ananta Toer menulis tetralogi pulau buru buku pertama bumi manusia memakai setting tempat Surabaya karena memang dia pernah sekolah di Surabaya.
Untuk itu ketika bapak Ir Soekarno merumuskan Pancasila paling tidak NTT sebagai semesta saat beliau menulis turut memberikan andil.
Tulisan ini hanya sedikit permenungan. Jika ada tulisan lain yang lebih akurat maka tulisan ini hanya sebagai sayap baginya.
Sekian.
Note: This picture taken from https://ppid.nttprov.go.id/tentang-provinsi-ntt/
#Selamat_Hari_Pancasila
Oebufu, 01 Juni 2020
Oleh Krismanto Atamou
Syalom.
Sabtu, 30 Mei 2020
Mencuri Barang Umum (Privatisasi Barang Publik)
Pagi ini saat mengantar anak ke rumah sakit untuk berobat ada sesuatu yang unik dalam pemandangan saya. Pada botol sanitizer tertera tulisan peringatan untuk tidak mencuri.
"Silakan curi nanti Tuhan yang atur lu (kamu) deng (dengan) lu pu (punya) keluarga."
Kalimat ini sebagai peringatan dan bisa sekalian sebagai ancaman terhadap pelaku pencurian. Peringatan dan ancaman tentu tidak datang begitu saja. Pasti ada penyebabnya.
Ada kemungkinan sebelumnya sudah terjadi kasus pencurian botol sanitizer. Ada kemungkinan lagi, kasus pencurian tersebut terjadi berulang-ulang kali sehingga membuat manajemen atau security rumah sakit murka.
Terlihat seolah memang sepele. Toh hanya sebuah botol sanitizer. Berapa harganya? Mungkin mahal, mungkin juga tidak.
Namun terlepas dari permasalahan harga ada permasalahan nilai karena fungsinya. Dalam keadaan darurat Pandemi Corona seperti sekarang, bahkan setetes cairan sanitizer sangat berfungsi melawan penyebaran virus selain dengan menjaga jarak dan menggunakan APD.
Dapat dibayangkan ketika kita berada di ruang publik, apalagi tanpa menggunakan APD, lalu tanpa sanitizer, maka resiko penularan akan semakin tinggi.
Ada kemungkinan, di akhirat kelak, sang pencuri tidak hanya dikenakan pasal pencurian, tetapi juga pasal mengakibatkan kematian orang lain (secara tidak langsung) karena memudahkan penyebaran Pandemi sebab perbuatannya.
Tadi saya sengaja mengambil judul yang umum yakni Mencuri Barang Umum agar menjadi refleksi tersendiri. Bahwa dengan memprivatisasi barang publik akan memiliki dampak ikutan yang luar biasa rusaknya, termasuk kematian orang lain secara sia-sia.
Tulisan ini terkesan saya seorang penganut fatalisme, atau juga terlalu hiperbola, melebih-lebihkan sesuatu. Tapi memang tidak menutup kemungkinan akan terjadi seperti itu.
Silakan protes, kritik, atau memberikan saran. Kalau tidak pun tidak masalah 😀.