Jumat, 26 November 2021

Kupu-Kopi, Membangun UMKM dari Kampung



Oleh : Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang
 
Salah satu ciri orang sukses ialah mampu melihat peluang usaha ketika orang lain belum atau tidak mampu melihatnya. Begitulah kira-kira filosofi awal Kupu-Kopi lahir di bumi Nusa Kenari-Alor. Kupu-Kopi adalah nama sebuah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Apui Kecamatan Alor Selatan Kabupaten Alor. Sengaja penulis mengangkat cerita UMKM Kupu-Kopi untuk melihat bagaimana perjuangan dari pendirinya.  


Sosok dibalik UMKM Kupu-Kopi ialah seorang gadis bernama Maria Maisal yang biasa disapa Ria. Ria lahir dan besar di Alor lalu melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan pendidikan guru sejarah, di kampus PGRI Kupang. Saat akan menamatkan pendidikan tingginya, kampus PGRI memiliki gejolak dan akhirnya Ria harus menunda wisudanya. Selama proses menunggu selama tiga tahun, Ria memilih bekerja di tempat cuci pakaian (laundry). 


Kata gengsi jauh dari kamus kehidupannya. “Orang tidak akan maju kalau terus menjaga gengsi,” katanya. Untuk itulah Ria mau bekerja di lini yang bagi orang lain mungkin dipandang sebelah mata. Berkat keuletan dan kejujurannya, Ria dipercaya mengurus keuangan perusahaan tempat Ria bekerja.  
Menaiki tangga karir dari anak buah menjadi manager keuangan tak membuat Ria berpuas diri. Beberapa ajaran tentang bisnis dan pendidikan finansial semisal dari Bob Sadino dan Robert T. Kiyosaki mempengaruhinya. 


“Setinggi apapun pangkat yang anda miliki, anda tetap seorang pegawai. Sekecil apapun usaha yang Anda punya, Anda adalah bosnya,” kata Bob Sadino. “Untuk mencapai kebebasan finansial, kita perlu belajar mengurus bisnis kita sendiri,” begitu tulis Robert T. Kiyosaki dalam bukunya berjudul “Rich Dad Poor Dad.”

 
Dua pelajaran inilah kemudian membuat Ria mengambil keputusan berani. Ria segera menyelesaikan perkuliahannya lalu pulang ke kampung halaman di Apui-Alor. Ria melawan tren urbanisasi dan mengadu nasib dari kampung sendiri. Tentu keputusannya ini sudah dengan kesadaran segala akan konsekuensi yang akan diterimanya. Sebuah pepatah lama mengatakan: “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.”
 
Tantangan dan Peluang  


Bagi sebagian orang masalah adalah sumber kesulitan dan penderitaan namun bagi Ria, masalah juga adalah peluang untuk berwirausaha. Dalam pengamatan Ria, selama ini kopi biji di kampungnya hanya memiliki dua nasib. Pertama, jika biji kopi tidak dijual tanpa diolah lebih lanjut, maka kedua, biji kopi hanya diolah dan dikonsumsi skala rumahan. Dan sayangnya, sebagian masyarakat pemilik kebun kopi malah mengonsumsi kopi dari luar daerah yang dijual di kios-kios. Kopi lokal praktis terabaikan dan malah dianggap kopi kelas bawah. Hal inilah yang menyebabkan Ria bertekad untuk menaikkan nilai jual biji kopi di kampungnya.  


Dengan belajar otodidak dan berguru pada beberapa pegiat kopi, alhasil Ria bisa menghasilkan bubuk kopi dengan beraneka rasa. Ada rasa coklat, rasa jahe, original, dan rasa fanila. Semua varian rasa ini lahir dari bahan-bahan alami. Untuk menguji peruntungan di pasar lokal, Ria membuka warung kopi di depan rumah setiap sore. Awalnya sepi pengunjung tapi lama-kelamaan ramai pengunjung.  
Tidak berpuas diri dengan pasar lokal, Ria mencoba peruntungan dengan pasar nasional. Meski belum sesempurna produk kopi ternama, Kupu-Kopi berhasil melakukan penjualan ke beberapa kota besar di Indonesia seperti ke Solo dan Semarang. 


Setelah sekian lama mengumpulkan modal sendiri, akhirnya Ria bisa memiliki mesin roasting kopi manual. Demi menghasilkan satu kilogram kopi, Ria mesti mengeluarkan tenaga untuk memutar poros mesin roasting kopi selama satu setengah jam. Sangat melelahkan, namun Ria rela menahan rasa lelah demi memenuhi permintaan Kupu-Kopi.
 
 
Sinergitas 


Permintaan banyak namun stok kopi terbatas karena sebelumnya Ria hanya mengandalkan kopi dari kebun orang tuanya. Demi memenuhi permintaan kopi, Ria mulai mengumpulkan biji kopi dari petani kopi sekitaran Apui. Ria nekat membeli dengan harga sedikit diatas harga pasar namun dengan persyaratan bahwa biji kopi yang dibeli benar-benar sesuai standar. 


Pada beberapa kesempatan Ria mengajak petani kopi untuk melakukan pengolahan biji kopi paska panen sesuai standar. Tujuannya ialah agar biji kopi yang dihasilkan berkualitas bagus. Namun petani mengeluhkan soal harga jual biji kopi yang dirasa tidak seberapa dibanding dengan usaha dan pengorbanan mereka untuk menghasilkan biji kopi sesuai standar tersebut. Tidak menyerah, Ria terus bersinergi dengan petani kopi, mensosialisasikan pentingnya pengolahan paska panen, menaikkan kualitas sebagai upaya promosi, hingga akhirnya nilai jual biji kopi terapresiasi oleh pasar secara otomatis. 


Untuk memperkenalkan produk Kupu-Kopi kepada khalayak, Ria mengikuti beberapa event pameran UMKM di Kota Kalabahi. Selain itu Ria juga menitipkan produknya di beberapa warung kopi yang ada di sekitaran Kota Kalabahi. Sebagian produknya laris, namun ada juga yang tidak laku. Tidak berkecil hati Ria terus mengusahakan peningkatan kualitas produk dan legalitas UMKM Kupu-Kopi. Selain izin ke BPOM, dokumen perizinan lain seperti PIRT, SIUP/ SITU, dan NPWP telah ia kantongi. Berbekal NPWP, beberapa tahun ini ia telah berkontribusi untuk membayar pajak ke negara.  


Penulis sempat berbincang dengan Ria terkait Kupu-Kopi. Ria menyampaikan perihal keterbatasan  dana untuk membeli alat pengolahan kopi yang harganya mencapai belasan juta rupiah. Mengetahui itu, penulis menginformasikan tentang adanya beberapa layanan urun dana (Crowdfunding) dari pihak swasta dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari pemerintah yang bisa diperolehnya. Ria menanggapi: “Sampai saat ini, saya belum menyerah dan meminta bantuan. Biarkan saya terus berusaha mandiri. Saya akan memanfaatkan tekanan kesulitan ini sebagai the power of kepepet, tetap mandiri,  menjadi kreatif, dan berkontribusi bagi negara dalam memutar roda ekonomi melalui UMKM Kupu-Kopi.” Jawaban Ria ini kurang lebih mirip dengan kalimat dari mantan presiden Amerika John F. Kennedy: Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu. Belajar dari Kupu-Kopi, sepanjang ada keinginan untuk berusaha (berwirausaha) pasti Semesta akan turut bekerja untuk memberikan solusi. Sebab dimana ada kemauan, pasti ada jalan.