Senin, 13 Desember 2021

Potensi Pariwisata Situs Purbakala



(Catatan Perjalanan ke Situs Yoi Bileni-Alor)
Oleh : Krismanto Atamou
 
Meski berasal dari zaman lampau, situs purbakala bukanlah tempat yang usang dan tidak menarik. Justru karena kepurbakalaannya itulah, situs purbakala dapat menjadi semacam dokumen, laboratorium, dan sumber ilmu sejarah.  
Situs purbakala dapat menjadi tempat pariwisata sejarah yang menarik. Di NTT, hal ini senada dengan gebrakan Gubernur NTT yang menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama pembangunan. Dugaan saya, saat ini masih banyak situs-situs purbakala yang terlupakan. Salah satunya situs purbakala Yoi Bileni yang belum banyak diketahui publik.
Untuk itu, kali ini saya ingin menyampaikan catatan perjalanan ke ceruk Yoi Bileni. Situs ini berupa ceruk atau gua bergambar hasil karya manusia zaman dahulu. Sudah dua kali saya ke tempat ini.  
Nama Yoi Bileni berasal dari kata ‘yoi’ dalam bahasa Abui-Alor artinya gua dan ‘bileni’ artinya tulisan atau gambar. Jadi Yoi Bileni diartikan gua bergambar. Situs ini berada di Desa Fanating yang berbatasan dengan Desa Welai Selatan dan wilayah Kecamatan Mataru, Kabupaten Alor.
Kunjungan saya pertama kali ke situs ini bermula sekira dua puluh tahun lalu. Saat itu sedang liburan sekolah dan saya pergi mengunjungi kakek-nenek yang tinggal di kampung lama Desa Fanating. Kampung lama ini dicapai dengan tiga jam berjalan kaki dari pusat desa melewati hutan, kali, gunung, dan lembah. Di kampung lama, kakek saya yaitu Paulus Jenmakani menceritakan adanya situs ini, dan sejarah yang melatarinya.
Penasaran dengan cerita kakek, saya bertekad mengajak salah satu kerabat bernama Endi Atakari. Sebagai pemburu yang sering berkeliaran di hutan, Endi tahu seluk beluk medan perjalanan ke Yoi Bileni. Ia berdomisili di Mainang. Setelah menyiapkan bekal, kami berangkat.  
Sebagian besar perjalanan menelusuri hutan sabana. Dengan berjalan kaki dari Mainang, kami menuju ke arah barat. Ada jalan mendaki gunung sekira 200 meter. Sisanya perjalanan menyusuri punggung gunung dan lereng dengan trayek melandai. Karena sulitnya medan, kami menempuh perjalanan sekira dua jam lamanya.  
Saat ini sudah ada jalan perkerasan tanah dari dana desa. Meski tidak langsung sampai ke lokasi, jalan perkerasan tanah ini sudah mencapai sebagian perjalanan ke sana. Oleh karena itu, saat ini kendaraan bermotor dapat dipakai sampai ke ujung jalan perkerasan tanah ini.
Sesampainya di ceruk Yoi Bileni, kelihatanlah mulut ceruk dengan tinggi sekira empat meter dan lebar sekira tujuh meter. Dalamnya sekira empat meter. Dengan kondisi seperti ini maka ceruk ini sangat aman untuk berteduh. Para pemburu hewan liar terkadang datang ke sini untuk berteduh atau menginap di malam hari.  
Di dinding ceruk Yoi Bileni, hampir empat puluh persen dipenuhi gambar-gambar pahatan tangan dari manusia zaman dahulu. Menurut Endi, nama pemahatnya ialah Padakari. Ada corak berbentuk rasi bintang dengan latar belakang diarsir hitam. Entah bagaimana Padakari melakukannya. Ada corak reptil, ikan, manusia, mata, bulan, dan masih banyak lagi.  
Sayangnya beberapa pengunjung ceruk Yoi Bileni melakukan vandalisme. Mereka membuat api di bawah ceruk yang mengakibatkan batu dinding ceruk memuai lalu terbelah dan jatuh ke tanah. Ada tumpukan sisa-sisa kayu bakar di lokasi. Sebagian batu yang jatuh itu berisi gambar karya Padakari. Ada juga pengunjung yang membuat torehan baru di dinding batu tersebut, menulis nama menggunakan arang, dan merusak gambar-gambar asli. Jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan situs ini bisa sirna.
Saking terpencilnya tempat situs ini dan jarang diceritakan di kalangan masyarakat, hanya sedikit orang yang mengetahuinya. Bahkan sepupu saya yang lahir dan besar di Desa Fanating pun belum tahu hingga saya mengajaknya ke Yoi Bileni beberapa tahun lalu. Itulah kunjungan kedua saya. Pada kunjungan kedua ini saya membuat dokumentasi video dan foto. Video tersebut dapat ditonton di YouTube dengan mengetik kata pencarian ‘Yoi Bileni’.
Demi melestarikan tempat ini, saya menghubungi beberapa orang tua dan tokoh masyarakat. Dari mereka, saya menemukan beberapa versi cerita sejarah dibalik keberadaan Yoi Bileni. Saya juga menghubungi bagian purbakala pada Museum NTT. Di situ saya mendapat prosedur untuk mendaftarkan situs ini. Prosedurnya, pengusul ialah warga atau pemerintah setempat dengan melampirkan deskripsi dan dokumentasi ceruk Yoi Bileni.  
Sampai saat ini, ceruk Yoi Bileni belum terdaftar di bagian purbakala Dinas Kebudayaan NTT. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa warga yang mengetahuinya menganggap biasa dan mungkin tidak bernilai untuk dikelola sebagai tempat wisata. Ibarat permata, Yoi Bileni belum disepuh dan dikemas dengan baik dan menarik.
Selain sebagai situs pariwisata,  situs-situs purbakala seperti ceruk Yoi Bileni memiliki banyak potensi lain. Ada cerita rakyat yang merupakan kekayaan budaya Indonesia. Ada nilai-nilai dari leluhur peradaban bangsa. Sebagaimana corak yang terdapat pada dinding ceruk Yoi Bileni. Itu menunjukkan bahwa ternyata leluhur kita telah memiliki nilai estetika melalui karya seni lukis atau pahatan.  
Jika situs ceruk Yoi Bileni diteliti lebih jauh, semisal melalui penggalian oleh arkeolog (seperti di Gua Nuat Bkau-Kabupaten Kupang), bukan tidak mungkin akan ditemukan benda-benda peninggalan lainnya. Dan jika dikemas dengan menarik, bukan tidak mungkin situs ini kelak menjadi destinasi pariwisata pendidikan dan budaya yang terkenal. Semoga.


Selasa, 07 Desember 2021

Usaha Baru

Usaha Baru
Oleh : Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang
 
 


 

Suatu saat saya dan beberapa teman sedang sok sibuk membahas perkara-perkara besar bangsa. Tiba-tiba Ande, seorang teman, menyela: “Dari pada kalian bicara oknum pejabat ‘makan uang’ dan kita ‘makan angin’, lebih baik kalian kasi masukan supaya saya bisa buka bisnis kios di depan rumah.”
Saking besarnya perhatian kami terhadap topik yang sedang dibahas, selaan Ande kami anggap kecil dan ingin mengabaikannya. Lalu sekali lagi ia menyela: “Hari-hari kalian duduk bicara jaringan korupsi dan konflik kepentingan antara oknum pejabat. Kamu dapat apa? Jatuh-jatuhnya gibah dan menambah dosa. Habis bicara, perut lapar, dan tidak berguna. Lebih baik kalian bantu saya dengan ide bagus agar kios saya nantinya tidak maju-mundur atau hanya panas-panas tahi ayam.”
Saking jengkel karena ucapan Ande akan mengganti topik pembicaraan, saya segera mengajukan pertanyaan nakal. Apa kamu yakin bisa memutuskan aliran uang ke kios yang sudah lebih dahulu besar di sebelah sana? Apa kamu bisa bersaing dengan mereka? Ingat bahwa mereka sudah lebih dahulu. Mereka telah memiliki bekingan jaringan perdagangan besar. Modal mereka sudah banyak. Kalau kamu perang harga, kamu tidak akan mampu besaing.
Sebelum Ande menjawab, saya sudah lebih dahulu mengambil kesimpulan negatif. Hal ini mirip orang baru membaca judul berita online lalu terburu-buru memvonis orang lain tanpa cek dan ricek. “Saya tidak mau menyerah sebelum mencoba. Bukankah rezeki itu, Tuhan yang atur?” jawab Ande singkat. Mendengar itu, saya tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya mengacungkan jempol tangan kanan padanya. Mantap.  
Sebelumnya, ada beberapa usaha sampingan yang Ande geluti, semisal bertani dan beternak. Namun seiring waktu ia menyadari ada peluang usaha baru yang lebih menjanjikan. Wilayah sekitar tempat tinggalnya belum memiliki kios sembako. Selama ini jika ingin berbelanja, para tetangganya mesti pergi ke wilayah desa lain. Ini peluang.
Perlahan-lahan Ande mengumpulkan modal dari bertani dan beternak untuk membuka kiosnya. Bangunan kios ia dapatkan sebagai warisan orang tua.  Etalase ia buat sendiri memanfaatkan material seadanya. Setelah etalase siap, ia kembali mengumpulkan modal untuk mengisi kios dengan barang dagangan yang didominasi oleh sembako.
Paulo Coelho dalam novelnya berjudul “The Alchemist” menulis: saat kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan bersatu membantumu meraihnya. Demikianlah yang dialami Ande. Saat pusing memikirkan penambahan modal untuk mencukupi volume dan item barang kios sesuai permintaan pasar, datanglah berita baik. Pihak pemerintah Kecamatan Amabi Oefeto Timur sedang mencari pelaku usaha untuk diberikan pinjaman penambahan modal usaha. Pinjaman ini pengembaliannya dicicil tiap bulan dengan bunga kecil.  
Tidak menyianyiakan kesempatan, Ande mengajukan pinjaman dan disetujui. Saat ini setiap bulan Ande mencicil dan bertekad untuk melunasi pinjaman lebih cepat atau sebelum jatuh tempo. Untuk itu, Ande selalu menyisihkan keuntungan kios setiap minggu demi melunasi pinjaman.
Ande berharap, setelah uang panas dari pinjaman ini lunas, ia ingin mengembangkan usahanya. Untuk itulah setiap sempat, ia selalu meminta ide atau saran yang dari sahabat dan kenalan. Ada beberapa usul seperti menambah ukuran kios dan menambah volume barang dagangan. Ada juga saran untuk menambah jenis usaha baru, seperti membuka jasa tambal ban, menyediakan paket WiFi, membuka warung kopi lengkap dengan penganannya.
Semua ide ini, dalam bayangan Ande adalah seperti iklan surga. Ide yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Ada sedikit keraguan Ande jika semua ide indah tersebut hanya akan tetap menjadi mimpi semata.  
Meski sulit rasanya merealisasikan semua ide pengembangan usahanya itu, Ande tidak menyerah. Ia mengingat kembali bagaimana awal merintis kiosnya. Ada banyak bahasa miring alias bully-an yang ia dapatkan. Tak patah arang Ande terus berupaya mengabaikan setiap pengaruh negatif tersebut, termasuk berupaya melawan keraguan dalam dirinya. Sebaliknya, ia membuka diri bagi energi positif dari orang-orang yang mendukung dan menyemangatinya.
***
Dalam dunia wirausaha, beberapa orang mundur ketika sudah dekat dengan keberhasilan. Ada orang yang terus mencoba di jalan yang salah hingga akhirnya menyerah dan kembali ke zona nyaman. Ada orang yang terus mencoba hingga mendapatkan formula tepat dan pantang menyerah.  
Begitulah kondisi dunia usaha. Ada cerita sukses, namun ada pula cerita kegagalan. Lebih miris ialah ketika pengusaha pemula sudah menyerah sejak awal, bahkan sebelum ide kewirausahaan tersebut dijalankan. Berbagai pikiran negatif lebih mendominasi isi kepala hingga membesarkan keraguan dan ketakutan untuk melangkah. Ini sejenis sindrom bagi pelaku usaha baru.
Seorang pengusaha pernah berkata: jika angka 10 itu adalah level tertinggi kesuksesan seorang pengusaha, untuk mencapainya tidaklah mudah. Ada tantangannya. Dalam perjuangan selalu ada naik-turun. Turunnya bisa sampai nol, lalu naik lagi jika tidak menyerah.  
Tantangan inilah yang sedang dilewati oleh Ande. Ia berhasil membuka sebuah kios di depan rumahnya. Kios yang berada di bilangan Desa Pathau, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang itu diberi nama Kios Usaha Baru.
Penghasilan dari “Usaha Baru” Ande ini cukup untuk menutup kurangnya penghasilan sebagai guru honorer. Sebab kalau tidak, bagaimana bisa memenuhi tuntutan biaya hidup sehari-hari yang terus meningkat? Sudah menjadi rahasia umum: rata-rata gaji guru honorer di pedalaman sangat memprihatinkan. Alih-alih mengeluh dan terus menuntut pemerintah yang lagi pusing mengatasi pagebluk corona, Ande memutuskan untuk mencari tambahan penghasilan dengan membuka “Usaha Baru”.
“Kan, Ande bisa ikut tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)? Kalau dia lulus, lumayan bisa dapat penghasilan setara Upah Minimum Regional (UMR).” Mungkin bisa begitu sanggahan para pembaca. Jawabannya: Ia, dia sudah ikut dua kali dan tidak lulus.  
Entah bagaimana nanti nasib dia dan semua honorer lain yang tidak lulus. Intinya, Ande sekarang sedang membangun “Usaha Baru”. Urusan nasib mereka ke depan, Ande serahkan kepada pemerintah dan anggota dewan yang telah ia beri amanat.  

Jumat, 26 November 2021

Kupu-Kopi, Membangun UMKM dari Kampung



Oleh : Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang
 
Salah satu ciri orang sukses ialah mampu melihat peluang usaha ketika orang lain belum atau tidak mampu melihatnya. Begitulah kira-kira filosofi awal Kupu-Kopi lahir di bumi Nusa Kenari-Alor. Kupu-Kopi adalah nama sebuah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Apui Kecamatan Alor Selatan Kabupaten Alor. Sengaja penulis mengangkat cerita UMKM Kupu-Kopi untuk melihat bagaimana perjuangan dari pendirinya.  


Sosok dibalik UMKM Kupu-Kopi ialah seorang gadis bernama Maria Maisal yang biasa disapa Ria. Ria lahir dan besar di Alor lalu melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan pendidikan guru sejarah, di kampus PGRI Kupang. Saat akan menamatkan pendidikan tingginya, kampus PGRI memiliki gejolak dan akhirnya Ria harus menunda wisudanya. Selama proses menunggu selama tiga tahun, Ria memilih bekerja di tempat cuci pakaian (laundry). 


Kata gengsi jauh dari kamus kehidupannya. “Orang tidak akan maju kalau terus menjaga gengsi,” katanya. Untuk itulah Ria mau bekerja di lini yang bagi orang lain mungkin dipandang sebelah mata. Berkat keuletan dan kejujurannya, Ria dipercaya mengurus keuangan perusahaan tempat Ria bekerja.  
Menaiki tangga karir dari anak buah menjadi manager keuangan tak membuat Ria berpuas diri. Beberapa ajaran tentang bisnis dan pendidikan finansial semisal dari Bob Sadino dan Robert T. Kiyosaki mempengaruhinya. 


“Setinggi apapun pangkat yang anda miliki, anda tetap seorang pegawai. Sekecil apapun usaha yang Anda punya, Anda adalah bosnya,” kata Bob Sadino. “Untuk mencapai kebebasan finansial, kita perlu belajar mengurus bisnis kita sendiri,” begitu tulis Robert T. Kiyosaki dalam bukunya berjudul “Rich Dad Poor Dad.”

 
Dua pelajaran inilah kemudian membuat Ria mengambil keputusan berani. Ria segera menyelesaikan perkuliahannya lalu pulang ke kampung halaman di Apui-Alor. Ria melawan tren urbanisasi dan mengadu nasib dari kampung sendiri. Tentu keputusannya ini sudah dengan kesadaran segala akan konsekuensi yang akan diterimanya. Sebuah pepatah lama mengatakan: “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.”
 
Tantangan dan Peluang  


Bagi sebagian orang masalah adalah sumber kesulitan dan penderitaan namun bagi Ria, masalah juga adalah peluang untuk berwirausaha. Dalam pengamatan Ria, selama ini kopi biji di kampungnya hanya memiliki dua nasib. Pertama, jika biji kopi tidak dijual tanpa diolah lebih lanjut, maka kedua, biji kopi hanya diolah dan dikonsumsi skala rumahan. Dan sayangnya, sebagian masyarakat pemilik kebun kopi malah mengonsumsi kopi dari luar daerah yang dijual di kios-kios. Kopi lokal praktis terabaikan dan malah dianggap kopi kelas bawah. Hal inilah yang menyebabkan Ria bertekad untuk menaikkan nilai jual biji kopi di kampungnya.  


Dengan belajar otodidak dan berguru pada beberapa pegiat kopi, alhasil Ria bisa menghasilkan bubuk kopi dengan beraneka rasa. Ada rasa coklat, rasa jahe, original, dan rasa fanila. Semua varian rasa ini lahir dari bahan-bahan alami. Untuk menguji peruntungan di pasar lokal, Ria membuka warung kopi di depan rumah setiap sore. Awalnya sepi pengunjung tapi lama-kelamaan ramai pengunjung.  
Tidak berpuas diri dengan pasar lokal, Ria mencoba peruntungan dengan pasar nasional. Meski belum sesempurna produk kopi ternama, Kupu-Kopi berhasil melakukan penjualan ke beberapa kota besar di Indonesia seperti ke Solo dan Semarang. 


Setelah sekian lama mengumpulkan modal sendiri, akhirnya Ria bisa memiliki mesin roasting kopi manual. Demi menghasilkan satu kilogram kopi, Ria mesti mengeluarkan tenaga untuk memutar poros mesin roasting kopi selama satu setengah jam. Sangat melelahkan, namun Ria rela menahan rasa lelah demi memenuhi permintaan Kupu-Kopi.
 
 
Sinergitas 


Permintaan banyak namun stok kopi terbatas karena sebelumnya Ria hanya mengandalkan kopi dari kebun orang tuanya. Demi memenuhi permintaan kopi, Ria mulai mengumpulkan biji kopi dari petani kopi sekitaran Apui. Ria nekat membeli dengan harga sedikit diatas harga pasar namun dengan persyaratan bahwa biji kopi yang dibeli benar-benar sesuai standar. 


Pada beberapa kesempatan Ria mengajak petani kopi untuk melakukan pengolahan biji kopi paska panen sesuai standar. Tujuannya ialah agar biji kopi yang dihasilkan berkualitas bagus. Namun petani mengeluhkan soal harga jual biji kopi yang dirasa tidak seberapa dibanding dengan usaha dan pengorbanan mereka untuk menghasilkan biji kopi sesuai standar tersebut. Tidak menyerah, Ria terus bersinergi dengan petani kopi, mensosialisasikan pentingnya pengolahan paska panen, menaikkan kualitas sebagai upaya promosi, hingga akhirnya nilai jual biji kopi terapresiasi oleh pasar secara otomatis. 


Untuk memperkenalkan produk Kupu-Kopi kepada khalayak, Ria mengikuti beberapa event pameran UMKM di Kota Kalabahi. Selain itu Ria juga menitipkan produknya di beberapa warung kopi yang ada di sekitaran Kota Kalabahi. Sebagian produknya laris, namun ada juga yang tidak laku. Tidak berkecil hati Ria terus mengusahakan peningkatan kualitas produk dan legalitas UMKM Kupu-Kopi. Selain izin ke BPOM, dokumen perizinan lain seperti PIRT, SIUP/ SITU, dan NPWP telah ia kantongi. Berbekal NPWP, beberapa tahun ini ia telah berkontribusi untuk membayar pajak ke negara.  


Penulis sempat berbincang dengan Ria terkait Kupu-Kopi. Ria menyampaikan perihal keterbatasan  dana untuk membeli alat pengolahan kopi yang harganya mencapai belasan juta rupiah. Mengetahui itu, penulis menginformasikan tentang adanya beberapa layanan urun dana (Crowdfunding) dari pihak swasta dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari pemerintah yang bisa diperolehnya. Ria menanggapi: “Sampai saat ini, saya belum menyerah dan meminta bantuan. Biarkan saya terus berusaha mandiri. Saya akan memanfaatkan tekanan kesulitan ini sebagai the power of kepepet, tetap mandiri,  menjadi kreatif, dan berkontribusi bagi negara dalam memutar roda ekonomi melalui UMKM Kupu-Kopi.” Jawaban Ria ini kurang lebih mirip dengan kalimat dari mantan presiden Amerika John F. Kennedy: Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu. Belajar dari Kupu-Kopi, sepanjang ada keinginan untuk berusaha (berwirausaha) pasti Semesta akan turut bekerja untuk memberikan solusi. Sebab dimana ada kemauan, pasti ada jalan.

Minggu, 15 Agustus 2021

Menjadi Orang Lain

(Ulasan Singkat Novel Aimuna dan Sobori) 

Krismanto Atamou 

Guru di Kabupaten Kupang  

 


Saya baru saja selesai membaca novel berjudul “Aimuna dan Sobori” karya Hanna Rambe terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta 2013 lalu. Novel ini oleh Gerson Poyk disebut mengandung ilham untuk mengadakan perlawanan kreatif yang ditopang oleh bumi subur laut kaya terhadap wabah kapitalisme buas yang menyebabkan pengangguran dan kemiskinan.  

 

“Aimuna dan Sobori” adalah sebuah novel sejarah yang mengisahkan nasib pribumi pada masa pendudukan Belanda di negeri kaya rempah Maluku. Dimulai dengan adegan peperangan yang menyebabkan sebuah keluarga tercerai-berai, lalu luntang-lantung melarikan diri, berpindah-pindah tempat, dan bergantung pada belas kasihan kenalan di tempat pelarian. 

 

Hal yang menyentuh ialah ketika Aimuna dan Sobori harus mengaburkan identitas diri sebagai pelarian kepada khalayak agar tidak dilaporkan kepada pihak Belanda yang disebut “Pani-pani”. Mereka menjadi “orang lain” yang bukan musuh Pani-pani agar “aman”. Kamuflase. Demi keamanan, mereka mesti sejenak melupakan identitas asli yang mengalir di dalam darah mereka. 

 

Ini bukan sikap oportunis. Atau sikap yang penting untung seperti yang dikisahkan terjadi pada orang-orang Belanda di Nusantara Timur kala itu. Dari petinggi hingga buruh yang paling rendah bermain serong dan mengorupsi sistem besar Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), persekutuan dagang asal Belanda. Bahkan Lucas, seorang tokoh Belanda yang dididik dengan agama yang kuat pun akhirnya terjerat sistem keserakahan kapitalis VOC. Lucas yang mengabdi sebagai pegawai VOC mesti menahan hati untuk tega melihat penderitaan buruh perkebunan pala, fuli, dan cengkeh. Para buruh mesti makan seadanya, menahan panas bekerja di siang hari, dan menahan dingin saat tidur di barak tanpa beralaskan tikar.

 

 Orang-orang VOC kala itu dikisahkan bersikap dan bertindak jauh dari ajaran agama mereka yang berlandaskan kasih. Mereka lebih terlihat “beragama” kapitalis yang mementingkan tujuan dan menghalalkan segala cara, termasuk pembunuhan yang dilarang keras oleh agama mereka. Hal ini mengingatkan penulis pada pernyataan Menkeu RI Sri Mulyani: orang boleh beragama, tapi kalau soal uang, ia bisa lupa agama. Di hadapan uang, orang beragama bisa menjadi “orang lain”. 

 

Aimuna, Sobori, dan kakeknya Gamati sebagai orang pelarian tertolong berkat semangat tepa salira. Hal ini terlihat dalam kalimat berikut: “Kita tetap orang Nusantara Timur dalam hati dan pikiran. Torang tetap basudara, sama-sama susa deng sanang, dalam masohi.” 

 

Membaca bagian akhir novel ini lebih menyentuh lagi. Rombongan pelarian sekira 20 orang berperahu menjauh dari daerah kekuasaan Pani-pani. Menjelang tiba mereka mencakapkan perihal tatanan baru masyarakat mereka nantinya. Pasalnya mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda. Mereka berbeda adat-istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan. Bagaimana mereka akan bersatu dalam perbedaan?

 

 “Kita ini asal dari banyak tempat. Kalau kita mau upacara lamar anak orang, mau kawin, adat mana yang dipakai?” tanya seorang pemuda kepada Gamati.

 

 “Seng jadi susa. Katorang pakai adat yang biasa. Dari Manipa, pakai adat Manipa. Dari Embong, pakai adat Embong. Sama-sama saja. Katorang di timur ini samua baku sudara. Adat hampir sama. Tapi, tatanan adat kita semua hilang dihancurkan Pani-pani. Orang dari gunung dipaksa ke pante. Dari desa satu gabung deng desa laeng. Dolo torang manyanyi deng katapa. Sekarang torang su lupa katapa. Katorang samua bicara deng bahasa Malayo. Siapa yang masih ingat bahasa Bandang? Bahasa Manipa?” 

 

Membaca bagian ini membuat saya gundah dan merasa bersalah. Sebagai pewaris dua bahasa daerah di Alor, saya hanyalah penutur sangat pasif dari salah satunya, yakni bahasa daerah ibu. Sedangkan bahasa daerah ayah, saya tidak bisa sama sekali. Kondisi ini seolah membuat saya menjadi tamu di negeri sendiri. Seakan saya menjadi orang lain, menjadi Pani-pani yang menghancurkan eksistensi bahasa daerah. Saya mulai terpisah dari identitas leluhur karena berbagai faktor, semisal perkawinan campur, asimilasi kebudayaan, dan modernisasi. 

 

“Gamati, ale jadi orang yang dituakan di kampung baru nanti. Apa ada orang laeng yang juga percaya laeng-laeng, bukang nenek moyang, bukang Muslim, yang iko katorang?” tanya Makalogo kepada Gamati. 

 

“Beta belum tahu lai. Bolei jadi ada yang jadi Sarani? Siapa di sini yang sudah jadi Sarani?” 

Tidak ada yang menyahut.

 

 Makalogo, “Di Pulo Embong di Tutua ada orang kita yang sudah jadi Sarani. Dorang pakai celana deng baju samadeng orang puti. Dorang juga manyanyi. Dorang seng samba moyang-moyang lai. Dorang bekeng ruma sambayang par bakudapa.” 

 

Gamati manggut-manggut. Lalu, “Seing apa-apa, saudaraku. Katorang lari dari Pani-pani mau idop bebas. Idop sama deng moyang-moyang dulu. Pi tukar cengkei deng pala di pante. Dapat alat-alat kabung, garang, gula, baju-baju, piring deng guci adat dari Taibencu. Yang torang seng suka, paksa katorang masuk dorang pu parcaya. Begitu dolo, saudaraku.”

 

 Di saat itulah kebijaksanaan kakek Gamati tampil. Sebagai orang yang memiliki banyak pengalaman hidup di lautan, menemui banyak orang, ia tahu bahwa setiap orang bisa tetap berbeda dalam persatuan. Tidak perlu menjadi orang lain untuk bersatu. 

 

Pesan tokoh Gamati di novel ini setali tiga uang dengan pesan budayawan sekaligus rohaniawan Frans Magnis Suseno. “Untuk menjadi orang Indonesia, setiap orang tidak perlu melepas identitasnya masing-masing apakah itu suku, apalagi mengompromikan agama atau keyakinan” (Victory News, 20/06/2021). Tetaplah ber-Bhinneka Tunggal Ika. Selamat Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-76.  

Rabu, 28 Juli 2021

Pendidikan Karakter Tanpa Kekerasan

Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang

Kasus kekerasan ternyata belum juga sirna dari dunia pendidikan Indonesia. Kali ini kekerasan secara verbal terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Deo Gloriam Wanno Muttu, Desa Lagalete, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya. Seorang siswa baru di-bully dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan viral di media sosial beberapa hari belakangan ini (Victory News, 16/7/2021).

Alasan pembentukan karakter sayangnya pada beberapa kasus justru dipakai untuk melangsungkan praktek kekerasan. Padahal, apapun bentuknya (secara fisik atau non fisik) kekerasan telah dilarang terjadi di dunia pendidikan. Larangan ini tertera dalam Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Pendidikan Karakter

Untuk mengantisipasi praktik kekerasan di dunia pendidikan, pemerintah juga telah mengupayakannya penguatan karakter generasi muda melalui Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pada pasal dua, nilai-nilai pendidikan karakter yang diupayakan tersebut antara lain yaitu nilai religius, jujur, toleran, disiplin, semangat kebangsaan, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.

Tiap nilai karakter ini tentu tidak dapat dikembangkan secara cepat dan segera (instant) dalam diri anak karena harus melewati suatu proses yang panjang, cermat, dan sistemik. Untuk itulah pendidikan karakter seyogyanya sudah dimulai sejak anak usia dini. Dalam rangka itu, psikolog Kohlberg dan pakar pendidikan Marlene Lockheed mengemukakan empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan. Pertama ialah tahap “pembiasaan” sebagai awal perkembangan karakter anak. Di rumah anak dibiasakan untuk melakukan karakter yang baik dan benar sesuai adat kebiasaan atau hukum yang berlaku.

Kedua ialah tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter anak.  Ketiga tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan anak dalam kenyataan sehari-hari. Keempat ialah tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi anak melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan. Dalam melaksanakan nilai karakter, tentu sebagai manusia yang tak sempurna, ada saja kekurangan. Nah, kekurangan tersebut sebaiknya direfleksikan untuk diperbaiki pada kesempatan selanjutnya.

Jika keempat tahap ini telah dilalui, maka pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter peserta didik akan berdampak secara berkelanjutan (sustainable). Hal ini senyawa dengan Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 pasal empat ayat tiga yang menyebutkan bahwa muatan karakter diimplementasikan melalui kurikulum dan pembiasaan pada satuan pendidikan.

Sinergi antara Orang Tua dan Guru

Dalam Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 pasal lima yang menyebut bahwa selain peran sekolah, peran orang tua atau wali dan peran masyarakat juga sangat diharapkan. Kala pandemi seperti sekarang, praktis orang tua lebih banyak berperan dalam pendidikan nilai karakter anak. Meski peran orang tua akan lebih banyak diperlukan karena sehari-hari anak berada di rumah, peran guru tidak bisa diabaikan. Diperlukan kerja sama antara guru dan orang tua/ wali anak didik agar anak tetap didukung dan diarahkan mencapai nilai karakter yang diharapkan.

Semisal guru meminta anak didik untuk membuat tugas yang menghasilkan produk tertentu sesuai tingkat perkembangan anak didik. Pada nilai karakter peduli lingkungan misalnya, guru meminta anak didik memilih salah satu bentuk produk yang sesuai kemampuannya. Produk tersebut bisa berupa puisi, cerita pendek, video, animasi, rekaman, lagu, poster, lukisan, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa ia telah peduli terhadap lingkungan.

Dengan demikian, pembelajaran nilai karakter peduli lingkungan tidak sebatas teori semata (learning to know), tetapi juga dilakukan dalam kehidupan anak didik (learning to do). Kemudian ketika karakter peduli lingkungan itu menginspirasi orang lain atau lingkungan sekitar tempat tinggal anak didik, maka sang anak telah berhasil membangun gerakan masyarakat peduli lingkungan (learning to live together).

Contoh lain misalnya pada nilai kedisiplinan dan peduli sosial, guru meminta anak untuk memberikan laporan tentang ketaatannya atau ketaatan anggota keluarganya dalam mematuhi protokol kesehatan. Pada nilai kesantunan dan tanggung jawab misalnya, guru meminta anak melaporkan tindakannya sehubungan dengan nilai tersebut melalui bentuk laporan yang mampu dibuatnya. Dengan begitu, anak dilatih, diarahkan, dan dibiasakan melakukan nilai-nilai yang diamanatkan Permendikbud RI No. 20 tahun 2018 tadi. Untuk memudahkan anak, guru bisa memberikan contoh laporan sebagai referensi, baik itu berupa teks naskah maupun berupa video.
Bagi anak yang berhasil melakukan nilai karakter yang baik dan benar, perlu diapresiasi. Dari guru, apresiasi tersebut bisa berupa capaian nilai, predikat, atau promosi. Sedangkan apresiasi dari orang tua dapat berupa hadiah yang dapat dipakai anak untuk mengembangkan bakatnya atau mendukung proses pendidikan selanjutnya.

Ketika pendidikan karakter (tanpa kekerasan) telah tertanam dalam diri anak secara baik maka kelak ia tidak akan mudah untuk melakukan kekerasan kepada pihak lain. Meski begitu, pengawasan dan perhatian dari orang tua, guru, dan masyarakat tetap selalu diperlukan untuk menjaga anak berada pada koridor nilai karakter yang benar. Sebagaimana kata Bapak Pendidikan Nasional Indonesia Ki Hadjar Dewantara bahwa setiap anak harus mendapat tuntunan agar bertambah baik budi pekertinya.


Jumat, 23 Juli 2021

Upaya Bersama Pemberantasan Korupsi


Oleh : Krismanto Atamou
Alumni SAKTI Guru 2019 oleh ICW 

 


 
Korupsi di negeri ini bukanlah masalah baru. Upaya mengatasinya pun sudah lama dilakukan, bahkan sejak masa presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno. Namun sebagaimana kata penyair Chairil Anwar dalam penggalan salah satu larik puisi “Karawang-Bekasi” : kerja belum selesai. Masalah korupsi seolah tidak pernah selesai di republik ini.  
Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penanganan kasus korupsi meningkat tajam di tahun 2018, lalu  melandai hingga tahun 2021 (kpk.go.id per 08 Mei 2021). Data ini dapat dibaca pada dua hal. Pertama: kinerja KPK yang sedang menurun untuk menangani kasus korupsi. Kedua (yang diharapkan) yaitu saat ini kasus korupsi jarang terjadi sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah kasus yang ditangani KPK.  
Di lain pihak Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di tiga tahun terakhir hingga saat ini (2021) mengalami peningkatan. IPAK di tahun 2021 ini mencapai angka 3,88 dari skala 0 – 5. Semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa perilaku masyarakat semakin anti terhadap korupsi. Sebaliknya, semakin mendekati nol menunjukkan bahwa masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.  
Jika data dari BPS tersebut dihubungkan dengan data dari KPK tadi, maka kita akan mendapatkan korelasi positif. Bahwa peningkatan IPAK saat ini mengakibatkan jumlah kasus korupsi menurun. Meski data-data ini cukup menggembirakan, bukan berarti bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak lagi diperlukan.  
 
 Gerakan Bersama Anti Korupsi
Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Kupang untuk menggelar Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) kepada kalangan jurnalis. Sebanyak 26 peserta jurnalis media cetak dan elektronik di Kota Kupang, Kabupaten TTU, Kabupaten Rote Ndao, serta perwakilan mahasiswa Undana Kupang (Victory News, 16/7/2021).
Peran jurnalis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi mengingatkan penulis pada film berjudul “Ism”. “Ism” adalah sebuah film India produksi Nandamuri Kalyan Ram tahun 2016. Film ini menceritakan peran wartawan yang berani mengungkap kasus korupsi skala nasional. Keberadaan sang jurnalis sangat mengusik “perselingkuhan” antara mafia perbankan, politikus, birokrat, dan aparat penegak hukum. Sang jurnalis kemudian dicintai oleh rakyat banyak, namun dimusuhi oleh penguasa korup.  
Sebagaimana cerita film “Ism”, tak pelak dalam kehidupan nyata, jurnalis pun mengalami hal yang sama. Memberitakan kejahatan korupsi dan tidak disukai penguasa korup. Meski begitu, demi kemaslahatan bersama, gerakan antikorupsi tidak boleh berhenti. Sebagai alumni Sakti Guru 2019, penulis mengapresiasi ICW dan AJI Kota Kupang yang turut berperan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sporadis dan sektoral. Sebagaimana kasus korupsi yang cenderung terjadi merata di seluruh lini kehidupan (masif), pencegahan dan pemberantasannya pun perlu gerakan kolaboratif serta berkesinambungan. Oleh karena itu, upaya ICW dan AJI Kota Kupang mesti dilihat sebagai upaya kolaboratif untuk menumbuhkan, menjaga, dan mengupayakan gerakan anti korupsi.
Sebagai insan media, jurnalis memegang peranan penting dalam memberitakan kasus korupsi dan berbagai upaya pencegahannya, terutama kasus korupsi pada sektor pelayanan publik. Sektor ini menurut Bambang Widjojanto, mantan pimpinan KPK, kerapkali membuka celah terjadinya korupsi karena kebijakan yang longgar dan menguntungkan para pembuat kebijakan dan mengakibatkan kemiskinan yang semakin tinggi (VN, 16/7/2021).  
Sebagai pelanggan, penulis mengapresiasi VN yang kerap memberitakan berbagai kasus korupsi dan upaya pencegahannya di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa bulan belakangan VN memberitakan upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kajari) Timor Tengah Utara (TTU). Di bawah kepemimpinan Roberth Jimmy Lambila, Kajari TTU banyak menerima laporan masyarakat terkait dugaan korupsi dana desa. Selain itu, VN juga memberitakan dugaan pungutan liar hingga penggelapan dana beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) dari beberapa sekolah di NTT yang sudah dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Dari berbagai pemberitaan ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat (penerima manfaat layanan publik) untuk mengungkap atau melaporkan kasus korupsi mulai meningkat.
Saat mengikuti kegiatan SAKTI Guru di Jakarta 2019 lalu, tim ICW membawa penulis dan sekira 25 rekan guru lain menemui pimpinan KPK di gedung Merah-Putih. Saat itu penulis menyampaikan aspirasi agar di seluruh ruang kerja pejabat publik dipasang kamera pengawas milik KPK demi memantau kinerja pejabat publik. Jawaban dari Pak Alexander Marwata, pimpinan KPK yang menemui kami kala itu bahwa KPK lebih mempercayai masyarakat sebagai mata dan telinga KPK untuk mengawasi pelayanan publik dan mengungkap kasus korupsi.  
Menanggapi jawaban beliau, penulis menyampaikan bahwa ada banyak kasus korupsi yang tidak berani diungkap masyarakat karena pelapor takut dikriminalisasi. Jika pelapor adalah ASN, ada kemungkinan besar ia takut dimutasi ke tempat sulit, dimasukkan ke daftar hitam, dan dihambat promosi jabatannya. Pak Alexander Marwata menjawab bahwa untuk laporan ke KPK, pelapor dijamin kerahasiaan identitasnya. Selain secara offline, setiap warga negara dapat melapor dugaan tindak pidana korupsi secara online ke KPK melalui link kws.kpk.go.id.  
Dengan kemudahan pelaporan seperti ini, apalagi didukung upaya kolaboratif semua pihak dan keberanian untuk mengungkap kasus korupsi (delik aduan), celah-celah kebocoran uang negara yang selama ini dinikmati oleh koruptor dapat ditutup. Uang negara dapat dipakai semata-mata bagi kemakmuran rakyat.


Selasa, 29 Juni 2021

Opa, Milenial Pegiat Kopi dari Lembah Mainang


Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang 

 

 



 
Sejujurnya, tak banyak milenial yang mau bergelut di sektor pertanian dan (apalagi) kembali ke desa untuk membangun kampung. Urbanisasi masih dilihat sebagai peluang sukses bagi banyak orang. Belum lagi kemajuan layanan dan modernisasi kehidupan yang lebih menjanjikan di kota daripada di desa.
Meski begitu, masih ada juga beberapa anak muda penggerak yang memiliki gairah untuk membangun Indonesia (bahkan dunia) dari kampung. Beberapa di antara mereka memfokuskan diri pada pangan lokal. Sebut saja Dicky Senda di Desa Taiftob, Kabupaten Timur Tengah Selatan. Dicky berupaya membangun kembali kejayaan pangan lokal lewat melalui Komunitas Lakoat Kujawas  dan event makan baru (Mnahat Fe’u). Ada juga Felix K. Nesi, penulis Novel Orang-orang Oetimu, yang pulang kampung di Kabupaten Timur Tengah Utara lalu membangun produksi sopi skala rumahan.
Sebagaimana kedua tokoh tadi, kali ini penulis ingin memaparkan seorang pemuda Alor yang sedang mengupayakan hal serupa. Namanya ialah Wiliam Weni Ratu yang biasa dipanggil Opa. Opa yang bisa dihubungi melalui nomor 081337738547 adalah pengusaha kopi milenial dari Lembah Mainang, Kabupaten Alor. Berikut ini beberapa catatan yang lahir dari obrolan penulis dengan Opa.
 
Peluang
Peluang usaha kopi lokal sangat menjanjikan saat ini. Sebagai komoditi pertanian, kopi merupakan produk yang diminati semua kalangan masyarakat. Produk yang semula hanya dikuasai brand-brand besar tanah air, kini mulai ‘terdesentralisasi’ ke berbagai daerah dengan brand lokalnya masing-masing. Produk-produk lokal ini kemudian turut bersaing dalam hal kualitas, cita rasa, kemasan, juga jaringan pemasaran.  
Upaya pemerintah untuk membangun ekonomi kerakyatan mendukung hadirnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), termasuk UMKM produk kopi lokal dari berbagai daerah di Indonesia. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam postingan di akun Facebooknya 18 Juni 2021 lalu menulis tentang “Dunia Kopi Pak Suradi”. Tulisan dengan tagar BanggakopiIndonesia itu diakhiri dengan kalimat: Di setiap seruput kopimu, ada berjuta cerita tentang Indonesia yang baik dan mengagumkan. Beberapa penulis sastra Indonesia juga menggambarkan kopi sebagai bagian dari karya mereka. Semisal ada penulis yang mengasosiasikan kopi dengan senja sebagai hubungan yang romantis dan menginspirasi.
Di era globalisasi saat ini, sudah tidak mustahil untuk produk kopi lokal bisa menembus pasar luar negeri. Sudah banyak kisah sukses ekspor kopi. Salah satu contohnya ialah kisah Pak Suradi yang ditulis Menkeu tadi. “Coffe or Tea”, sebuah film Mandarin yang diproduksi tahun 2020 lalu mengisahkan hal yang sama. Dalam film ini dikisahkan ternyata kopi lokal bisa bersaing dan menjuarai event kompetisi kopi internasional. Jadi, sekali lagi, peluang usaha kopi lokal sangat menjanjikan bila dikelola secara baik.
 
Tantangan
Meski prospeknya menjanjikan, startup kopi lokal tidak lepas dari tantangan. Tantangan paling utama ialah pola pikir pelaku usaha kopi dan berbagai pihak terkait. Mulai dari persiapan lahan, pembibitan, hingga paska panen, petani kopi perlu dibekali dengan standar pengolahan kopi yang baik. Dengan demikian produk kopi yang dihasilkan dapat memenuhi syarat aturan untuk memperoleh merek dagang dan dapat masuk ke pasar yang lebih luas, semisal pasar luar negeri.  
Selain itu diperlukan juga dukungan pemerintah daerah (Pemda) dan investor. Meski regulasi, skema perizinan, dan akses pembiayaan modal usaha telah dipermudah oleh pemerintah pusat, namun pada eksekusi di daerah, terkadang masih jauh panggang dari api. Sulitnya pematenan merek dagang dan izin usaha akan berdampak pada sulitnya mendapatkan bantuan modal. Untuk mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) misalnya, sebuah startup mesti memiliki Akta Pendirian Usaha dan persyaratan administrasi lainnya yang bersumber dari Pemda. Oleh karena itu, jika ada oknum Pemda yang mempersulit pengurusan dokumen administrasi ini, maka jangan harap startup kopi lokal bisa mengakses KUR atau investor lalu berkembang.  
 
Sinergitas
Mendongkrak kehadiran brand-brand kopi lokal adalah selaras dengan semangat otonomi daerah. Keberhasilan di sektor ini, apalagi yang dirintis oleh milenial, mesti dilihat sebagai upaya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Selain dapat mengentaskan angka kemiskinan dan pengangguran, usaha kopi lokal dapat turut mendukung sektor pariwisata lokal, menguatkan sektor ekonomi kerakyatan, mendistribusikan keadilan sosial, mengangkat profil kinerja Pemda, menarik animo milenial urban untuk pulang dan membangun dari kampung, dan masih banyak dampak ikutan positif lainnya.
Untuk mencapai berbagai tujuan mulia ini, dibutuhkan dukungan dan kerja sama berbagai pihak. Pemda perlu memiliki keinginan politik paling tidak untuk memberi ruang kepada kemudahan izin usaha kopi lokal. Petani kopi perlu memperhatikan standar pengolahan kopi. Pengusaha kopi milenial perlu membuka diri untuk berjejaring dengan sesamanya, dengan petani kopi, dengan jarigan pasar lokal, nasional, dan internasional, dengan Pemda, investor, media, anggota parlemen, dan berbagai pihak lain. Dengan begitu, pengusaha kopi milenial dapat mengembangkan usahanya secara luas dan memperkenalkan Indonesia melalui produk kopi lokal berkualitas.

Jumat, 25 Juni 2021

Digitalisasi dan Sinergitas Sektor Pariwisata NTT


Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang, NTT 

 


 
Sektor pariwisata di Nusa Tengara Timur (NTT) perlahan bangkit kembali. Meski tantangan Pandemi Covid-19 dan badai Seroja menghadang, sektor pariwisata tetap memiliki peluang untuk bertumbuh. Ini dikarenakan orang selalu membutuhkan tempat untuk melepas kejenuhan, misalnya kejenuhan akibat Pandemi yang menyebabkan sebagian orang mesti selalu sekolah atau bekerja dari rumah. Saat seseorang melakukan suatu rutinitas yang cenderung menjenuhkan, maka dia butuh piknik/ wisata untuk mengurangi atau melepas kejenuhan.
Oleh karena itu beberapa tempat wisata mulai dikunjungi oleh wisatawan. Di Kabupaten Kupang destinasi alam menjadi salah satu pilihan pengunjung. Semisal air terjun Hono di Dusun Sublele, Desa Silu, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang mulai ramai dikunjungi. Para pengunjung berfoto ria lalu foto-foto itu mulai menghiasi banyak postingan di media sosial. Postingan di media sosial ini kemudia menarik minat netizen lainnya untuk turut berkunjung.
 
Promosi Digital
Dunia digital, semisal sosial media menjadi media yang sangat menjanjikan untuk mempromosikan sektor pariwisata NTT. Ini didukung dengan sangat banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Menangkap peluang ini, beberapa netizen secara sukarela membuat beberapa grup facebook untuk mempromosikan pariwisata di NTT, semisal: Promosi Wisata TTS, Promosi Wisata Kab. Kupang, Pesona Flobamora, dan masih banyak lainnya. Para anggota grup dengan sukarela memosting dokumentasi kunjungan mereka ke beberapa tempat pariwisata lengkap dengan keterangan tempatnya. Aksi spontanitas netizen seperti ini selain aktualisasi diri, juga wujud kebanggaan terhadap aset pariwisata lokal NTT.
Saat memenangkan kompetisi menulis ulasan pariwisata lokal di Nusaku.id pada 2017 lalu, penulis dihadiahi tour ke Labuan Bajo selama seminggu bersama tim PT Telkom Indonesia dari  Jakarta. Saat itu kami mengunjungi kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat dan bertemu dengan Kepala Dinas. Sang kepala Dinas mengakui pentingnya promosi digital. Ia mengisahkan bahwa ada penyedia penginapan skala kecil (rumahan) yang terkejut ketika tiba-tiba dikunjungi tamu dari warga negara asing. Ia mengakui itu tidak terlepas dari peran para travel blogger, para penulis ulasan wisata yang men-digitalisasi tempat-tempat pariwisata.
Kompetisi di Nusaku.id yang penulis ikuti kala itu bertujuan untuk menghimpun data dan ulasan berbagai tempat dan event pariwisata lokal alternatif. Dengan begitu, calon pengunjung bisa memiliki gambaran awal mengenai destinasi wisatanya. Data ini akan saling melengkapi dengan data dari penyedia paket wisata atau pemandu wisata. Jadi ada simbiosis mutualisme atau sinergitas untuk membangun sektor pariwisata lokal.  
Saat ini situs Nusaku.id sudah tidak aktif, sebagai gantinya PT Telkom Indonesia membuat portal cerita yang mirip Nusaku.id yaitu Wonderin.id. Wonderin.id merupakan platform digital untuk travel dan tourism Indonesia. Wonderin.id berperan sebagai penunjang Jaringan Pariwisata (JP) Hub yang dikembangkan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Republika.co.id, 27/5/2021).
 
Sinergitas
Dalam Konferensi Pers Gerakan Bangga Buatan Indonesia (GBBI) Flobamora di Gua Batu Cermin, Labuan Bajo (18/6/2021), Menkominfo Johnny G.Plate menyatakan pemerintah telah menyiapkan aplikasi super JPHub untuk mempercepat pelaku pariwisata, UMKM, dan Ultra Mikro masuk ke marketplace. JPHub akan terhubung dengan metode pembayaran digital cashless yang bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT (kominfo.go.id). Sebelumnya (21/2/2021) Presiden Jokowi menyatakan bahwa JPHub akan menjadi pintu pengetahuan, pencarian, hingga pemesanan destinasi mulai dari tingkat provinsi hingga desa serta dilengkapi dengan atraksi wisatanya. Jadi dengan konektivitas yang merata di seluruh Indonesia, kerja-kerja sektor pariwisata tidak lagi menjadi kerja parsial yang sulit mendapatkan dukungan dari sektor lainnya, lalu tidak bisa berkembang.
Sudah waktunya sektor pariwisata dikembangkan bersinergi dengan sektor lainnya. Tidak bisa berdiri sendiri. Untuk itulah kita patut mengapresiasi kerja pemerintah yang berupaya mewujudkan sinergitas berbagai sektor. Sebagaimana diberitakan Victory News (VN), 18/6/2021 lalu bahwa BPD NTT mengembangkan UMKM melalui Festival Desa Binaan di Pulau Ternate, Kabupaten Alor. Event seperti ini tentunya dapat disinergikan dengan sektor pariwisata untuk menambah pemasukan ekonomi masyarakat. Dalam hal menyediakan penginapan wisata saja, paling tidak membutuhkan ratusan jenis industri atau jasa pendukung. Mulai dari penyedia data (informasi), transportasi, jaringan telekomunikasi, jasa berbagai tukang, jasa keamanan, kuliner, pangan, aksesoris, produk budaya semisal pakaian tradisional, kontraktor, investor, layanan birokrasi, pemandu wisata, penyedia paket wisata, dan masih banyak lainnya.  
Bayangkan kalau semua sektor pendukung ini, memanfaatkan semangat otonomi daerah, lalu “didomestikasi”. Semua sektor pendukung (yang mungkin), diatur agar disediakan dari produk lokal/ daerah. Jangan datangkan dari luar, sebagaimana penyampaian Gubernur NTT baru-baru ini bahwa semua hotel dan penginapan di Labuan Bajo mesti memakai kopi lokal, berapa banyak potensi peningkatan ekonomi masyarakat? Sangat banyak. Bahkan bisa surplus ekonomi. Oleh karena itu, menjadi masuk akal jika Gubernur NTT menyatakan sektor pariwisata sebagai penggerak utama ekonomi NTT.  
Maukah kita bersinergi lalu menangkap semua peluang itu?  
 


Senin, 07 Juni 2021

Perempuan Papua dan Budayanya


Krismanto Atamou
Guru di Kabupaten Kupang, NTT
 



Panitia Besar Pekan Olahraga Nasional (PB PON) telah menunjuk Nagita Slavina menjadi duta PON XX Papua. Apapun pertimbangannya, penunjukkan ini telah menyinggung asas keterwakilan perempuan Papua dalam merepresentasikan budayanya sendiri. Selain itu, penunjukkan ini menguatkan penilaian bahwa ternyata perempuan Papua masih mendapatkan peran sampingan di antara semangat otonomi daerah. 


Polemik ini bermula dari protes komika Arie Kriting. Mengutip Kompas.com, Arie Kriting merasa bahwa duta PON XX Papua seharusnya direpresentasikan oleh perempuan yang memang berasal dari Papua. Ia berpendapat bahwa penunjukan Nagita Slavina sebagai duta PON XX Papua dapat mendorong terjadinya apropriasi budaya.
 
Apropriasi Budaya 

 
Apropriasi budaya merupakan perbuatan yang mengacu pada meminjam atau mencuri budaya dari kelompok minoritas untuk digunakan sebagai keuntungan pribadi (Jaja Grays). Sedangkan dalam dictionary.cambridge.org apropriasi budaya berarti tindakan mengambil atau menggunakan hal-hal dari budaya yang selain budaya dari orang itu sendiri. 


Dalam penunjukan Nagita Slavina sebagai duta PON XX Papua, tidak menutup kemungkinan terjadi apropriasi budaya Papua. Nagita Slavina mendapat keuntungan sebagai duta, sementara perempuan Papua yang budayanya direpresentasikan oleh Nagita Slavina akan dirugikan. Kesempatan perempuan Papua untuk merepresentasikan budayanya sendiri, terenggut oleh penunjukan Nagita Slavina.
 
Hegemoni Terhadap Perempuan Melanesia 


Mau tak mau, penunjukan Nagita Slavina sebagai duta PON XX Papua akan menyulut isu hegemoni. Penunjukan ini tidak hanya menghegemoni budaya Papua tetapi juga menghegemoni pemilik budaya Papua. Tidak hanya menghegemoni perempuan Papua, tetapi juga menghegemoni perempuan Melanesia atau perempuan Indonesia Timur pada umumnya. Hal ini patut disayangkan.

 
Penunjukkan Nagita Slavina seolah menguatkan gambaran kecantikan ideal masih didominasi oleh ciri kulit putih, rambut lurus, tubuh tinggi dan langsing, serta sifat feminim dalam pandangan patriarki. Dengan gambaran kecantikan yang seolah Standar Nasional Indonesia (SNI) ini, perempuan Melanesia dengan ciri sebaliknya tentu tidak akan masuk kategori.  


Hal-hal inilah yang mendorong sebagian perempuan Melanesia menjadi tidak percaya diri, malu, lalu melakukan rebonding (meluruskan) rambut untuk beradaptasi dengan standar kecantikan SNI tadi. Bahkan, dalam beberapa pandangan, meluruskan rambut dianggap sebagai kemajuan, sedangkan rambut yang tetap keriting dianggap terbelakang. Hal ini sangat tidak manusiawi dan tidak menghargai perbedaan sebagai anugerah Tuhan. 


Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) NTT via channel YouTube LetSS Talk baru saja melaksanakan diskusi online tentang gerakan perempuan dari Indonesia Timur. Pergumulan bersama yang diungkap dalam diskusi ini, salah satunya ialah perlunya dukungan pemerintah untuk menangani persoalan perempuan di Indonesia Timur, termasuk perempuan Papua. Untuk itu, dalam konteks PON XX Papua, pemerintah perlu melibatkan perempuan Papua sebagai tuan rumah event tersebut. Jangan sampai perempuan Papua menjadi penonton bagi pertunjukkan budayanya sendiri.

 
Meike Lusye Karolus menulis di platform magdalena.co (27/8/2019) dengan judul “Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik”. Meike menulis bahwa persoalan rasialisme kepada orang Papua, yang mengerucut pada persoalan ras Melanesia, menjadi persoalan besar karena menodai semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika. Perempuan Melanesia kerap digambarkan sebagai perempuan yang terbelakang. 


Padahal, perempuan Indonesia Timur bukanlah perempuan lemah dan tidak bisa berdaya. Ini stereotip yang keliru. Cora du Bois, antropolog Amerika, saat melakukan penelitian di Alor sekira tahun 1937 menyebut dalam bukunya “The People of Alor” bahwa perempuan Alor adalah sosok yang kuat. Penilaian ini berdasarkan pengamatannya terhadap perempuan Alor yang mampu melakukan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Perempuan Alor lebih banyak melakukan pekerjaan dibanding laki-laki. Ini sebuah kondisi yang rata-rata dialami perempuan Indonesia Timur.

 
Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan Indonesia Timur telah tampil secara nasional dan berprestasi dalam berbagai lini di bangsa ini. Sebut saja ada Nowela dan Marion Jola dalam industri seni, ada pejabat negara Yohana S. Yembise, bahkan sebelum negara Indonesia merdeka, telah ada Martha Christina Tiahahu sebagai pahlawan nasional.
 
Pemberdayaan 


Melihat potensi perempuan Indonesia Timur yang begitu besar, sudah saatnya mereka diberi ruang untuk lebih mengembangkan diri. Biarkan perempuan Indonesia Timur tampil sebagai pewaris dan tuan atas budayanya sendiri. Mengambil budaya yang telah melekat sebagai jati diri perempuan Indonesia Timur dan memberikan atau meminjamkannya kepada pihak lain tentu seolah mendiskreditkan pewarisnya.  


Bara diskriminasi rasial yang selama ini masih menyala dalam stereotip dan hegemoni terhadap perempuan Indonesia Timur perlu segera diakhiri. Perempuan Indonesia Timur perlu diberdayakan bagi Indonesia, apalagi bagi daerahnya sendiri.  
Di bawah payung ideologi Pancasila, seharusnya perempuan Indonesia Timur juga mendapat tempat dalam lakon-lakon kebangsaan. Terkhusus pada ajang PON XX Papua kali ini, semoga PB PON memberikan kesempatan juga kepada perempuan Papua untuk merepresentasikan budayanya sendiri.
 

Sabtu, 29 Mei 2021

Korupsi Mengepung Dana Desa

Oleh : Krismanto Atamou

Alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Guru 2019 oleh ICW

 

Kasus korupsi dana desa mulai marak terjadi akhir-akhir ini di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di halaman empat perihal HUKRIM harian Victory News (VN) beberapa minggu belakangan ini nyaris tak pernah luput dari berita tentang korupsi dana desa.

Dana desa ternyata rawan dikorupsi. Padahal regulasi telah jelas mengatur tatakelola dana desa. Dalam Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 29f jelas melarang kepala desa untuk melakukan, kolusi, korupsi, nepotisme, dan menerima gratifikasi.

Pemerintah telah berupaya menutup celah korupsi dengan mengeluarkan regulasi yang begitu ketat, namun dalam realita di desa-desa, lagi dan lagi korupsi dana desa masih terjadi. Upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh beberapa lembaga penegak hukum sepertinya tak digubris pelaku korupsi. Pelaku korupsi seolah buta terhadap dampak negatif yang timbul dari laku korupsi, termasuk dampak hukum bagi dirinya sendiri.

 

Dampak Ikutan

Selain dampak hukum bagi pelaku atau merugikan uang negara, ada banyak dampak ikutan lain sebagai akibat tindakan korupsi dana desa. Saya membagi dampak ikutan tersebut ke dalam dua kategori. Pertama, dampak jangka pendek yang langsung terasa. Misalnya di proyek fisik pembangunan infrastruktur publik. Sebagai penerima manfaat, publik akan langsung merasakan bagaimana jalan yang baru dibangun tidak sesuai volume semestinya atau kualitas bangunan yang dibawah standar. Begitu masa pemeliharaan proyek pembangunan berakhir, berakhir pula umur bangunan. Terkena dampak bencana kecil saja, bangunan infrastruktur tersebut cepat rusak. Korupsi dana desa juga menyebabkan beberapa layanan publik terbengkalai. Semisal dana untuk penanggulangan kemiskinan, jika dikorupsi maka sampai kapan pun angka kemiskinan tidak akan pernah menurun dari data sensus penduduk provinsi NTT.

Kedua, dampak jangka panjang yang tidak langsung terasa. Misalnya, kemiskinan yang terus terjadi akan menyebabkan angka kriminalitas meningkat. Sebuah cerpen berjudul “Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling” karya Zaidinoor yang terbit di harian Kompas 14/02/2021 lalu menceritakan bagaimana seorang tokoh berperilaku baik akhirnya putus asa dengan kemiskinannya lalu menjadi maling bersama sahabat masa kecilnya. Meski kisah ini fiksi, tak pelak dalam kehidupan nyata, itulah yang terjadi. Semua orang, bisa menjadi maling (baca: koruptor), mulai dari oknum pejabat tinggi negara, perangkat desa, hingga rakyat jelata. Tak peduli latar belakang atau status sosial seseorang, semua orang rentan menjadi maling, meski mungkin hanya maling waktu beberapa menit untuk tidak melakukan kewajiban tertentu.

 

Motif

Motif korupsi pun nyaris itu-itu lagi. Semisal karena terdesak (biaya politik atau setoran ke “bos”), karena pertimbangan rasional (sanksi yang diterima karena korupsi lebih ringan dibanding keuntungan korupsi), karena pragmatisme untuk menjadi kaya dengan mudah, karena pada dasarnya serakah, atau alasan pembenaran lainnya.

Ada juga pelaku yang nekat melakukan korupsi dana desa karena melihat bahwa banyak kasus korupsi jarang dilaporkan atau terdeteksi aparat penegak hukum. Atau, kalau pelaku sampai tertangkap, kelak bisa lolos dari jerat hukum dengan cara tertentu, semisal menggunakan dukun, lobi di belakang meja atau mengorupsi upaya penegakan hukum. Hal ini senada dengan yang disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PAKU) Undana, Bill Nope pada 4/5/2021 lalu dalam diskusi bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Jusrnalis Indonesia (AJI), lihat VN edisi 5/5/2021. Pada kesempatan itu Bill Nope menyampaikan: “Berbagai kasus korupsi di NTT melibatkan kalangan ASN, aparat desa, serta kontraktor/ swasta, namun masih banyak kasus korupsi yang tidak terungkap bahkan menghilang karena aparat penegak hukum tidak serius menanganinya.”

Selian itu, sebagian pelaku korupsi dana desa merasa aman karena mungkin berpikir bahwa ia memiliki “jaringan besar” atau “orang kuat” yang akan melindunginya kelak. Hal-hal inilah yang menyebabkan data kasus korupsi saya rasa mirip fenomena gunung es. Kasus korupsi yang dilaporkan, diberitakan di media, dan diusut tuntas hanya sebagian kecil dibanding yang tertutup rapat atau sekedar menjadi rahasia umum oleh karena kepentingan tertentu.

 

Digitalisasi

Digitalisasi dapat menjadi salah satu solusi mencegah korupsi dana desa. Dengan digitalisasi dana desa, maka mulai dari perencanaan, pencairan, penggunaan, hingga pertanggungjawaban dan pelaporan mudah dipantau masyarakat, pemerintah pusat, dan pihak terkait lainnya. Dengan demikian ada transparansi melalui jejak digital penggunaan anggaran dana desa. Ini sesuai dengan amanat UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

April 2021 lalu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmingrasi (Kemendesa, PDTT) Abdul H. Iskandar menyampaikan bahwa pihaknya sedang melakukan pemutakhiran data desa dalam rangka digitalisasi pengelolaan dana desa (Bisnis.com). Jajaran Kemendesa, PDTT bahkan telah memulai digitalisasi dengan menghadirkan website kemendesa.go.id.

Ada banyak fitur di website  kemendesa.go.id, salah satunya ialah fitur pengaduan masyarakat desa yang disingkat menjadi SIPEMANDU DESA. Selain itu tersedia juga pengaduan via SMS ke nomor 087788990040/ 081288990040, call center ke nomor 1500040, dan beberapa media sosial. Untuk mengadu lewat form pengaduan di SIPEMANDU DESA, diperlukan identitas pelapor, obyek terlapor, dan file pendukung. Pelapor akan mendapat tiket pelaporan dan dapat memantau langsung kemajuan laporannya.

Digitalisasi dengan segala mesin digitalnya akan tetap berkata A jika memang A yang terjadi. Mesin digital akan tetap melakukan A jika memang A yang diperintahkan padanya. Oleh karena itu, saat moral/ nurani dan nalar bahkan keimanan manusia tak lagi menjadi penjaga untuk mencegah laku korupsi, mungkin di titik ini kita butuh mesin digital yang lebih jujur dan akuntabel, meski menyisakan pertanyaan: Tidak malukah manusia (dalam hal kejujuran dan amanah) terhadap mesin yang diciptakannya sendiri?

Selasa, 23 Maret 2021

Bandara Pantar dan Pengembangan Pariwisata

Krismanto Atamou
Warga Alor,  Menjuarai Kompetisi Menulis Review  
Pariwisata Lokal (2017) di Nusaku.id
 
Hadirnya bandar udara Pantar telah menjadi sejarah baru bagi warga Pantar, Kab. Alor. Setelah sekian lama hanya menggunakan transportasi laut jika ingin ke luar Pulau Pantar, sekarang sudah bisa menggunakan moda transportasi udara. Ini suatu kebanggaan.  
 

Kemajuan moda transportasi ini patut disyukuri sebagai terbukanya Pantar bagi kemajuan di bidang lainnya. Pada kemajuan yang terjadi di setiap daerah, lazim dimulai dengan terbukanya konektivitas dari dan ke daerah tersebut. 

Sebagaimana dirilis oleh Victory News (VN) pada Minggu, 21/03/2021 bahwa bandar udara (bandara) Pantar diresmikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia pada Kamis, 18/03/2021 lalu. Penerbangan perdana ke bandara Pantar dilakukan pada Sabtu, 20/03/2021.  
 

Setelah pendaratan penerbangan perdana itu tampak tampak sambutan hangat dan sukacita dari warga dan pemerintah Alor kepada Wakil Gubernur (Wagub) Nusa Tenggara Timur (NTT) Bpk Josef Adrianus Nae Soi (JNS) dan rombongan. Turut hadir juga Bpk Ima Blegur, mantan anggota DPR RI, putra Alor, yang oleh pengakuan Wagub JNS merupakan perintis bandara Pantar ini semasa masih aktif di lembaga parlemen.
 

Sambutan hangat dan sukacita itu ditunjukkan lewat tarian penyambutan dari tarian tradisional Pantar. Di channel YouTube La’huin Anainfar Official dapat kita saksikan setiap orang dalam rombongan Wagub NTT yang datang masing-masing diberi hadiah kain tenun khas Pantar. Ini menunjukkan keramahan yang telah menjadi kekayaan adat dan budaya di Alor-Pantar. Sebuah akronim menyebutkan Alor sebagai Alamnya Lestari Orangnya Ramah. 


Tidak berhenti pada euforia sukacita kehadiran bandara baru, Pemerintah Kabupaten Alor dan Pemerintah Provinsi NTT akan terus bekerja sama dengan pihak terkait untuk memperpanjang landasan bandara Pantar menjadi 1.400 bahkan 1.500 meter. Tentu ini semata-mata untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat di masa depan.
 
Peluang Pengembangan Pariwisata 

 
Setelah bandara Pantar beroperasi, pertanyaan selanjutnya ialah: apakah bandara ini hanya berperan sebagai konektivitas dari dan ke Pantar? Apakah kehadiran bandara Pantar semata-mata memajukan moda transportasi warga Pantar sebagaimana yang telah penulis sebutkan di awal? Jawabannya tentu tidak.  


Keberadaan layanan transportasi hanyalah jembatan penghubung bagi kemajuan di bidang lainnya. Salah satunya ialah di bidang pariwisata. Pantar yang pernah diusulkan menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) memiliki banyak kekayaan alam, adat istiadat, bahasa, budaya, dan memiliki sumber daya manusia yang mumpuni.

 
Berikut ini penulis ingin menampilkan beberapa dari sekian banyak destinasi wisata di Pantar. Satu, Pantai Pasir Tiga Warna di Puntaru Desa Tude Kecamatan Pantar Tengah. Pantai yang berdekatan dengan gunung Sirung ini memiliki butiran pasir beraneka warna. Warna-warni dari butiran pasir ini akan berganti pada musim-musim tertentu. Sering beberapa pengunjung (termasuk penulis) membawa pulang bungkusan pasir warna-warni ini sebagai oleh-oleh. 


Dua, Bergeser ke arah barat dari Puntaru terdapat Pantai Diddi dengan pesona pasir putih yang membentang luas. Tiga, Pantai Delaki, Kec. Pantar Tengah. Gulungan ombak yang tinggi di Pantai Delaki sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi tempat olahraga surfing.  


Empat, Taman Laut Pulau Pantar. Keindahan alam bawah laut Pulau Pantar ini tak kalah dengan yang ada di Raja Ampat, Bunaken, atau laut di Kepulauan Karibia. Aneka spesies terumbu karang hidup dan menjadi habitat hidup dari banyak spesies ikan. Dalam buku “Underwater Indonesia” dan “East of Bali”, penulis, fotografer, dan antropolog Kal Muller telah mengenalkan surga bawah laut Alor ini kepada dunia. 


Lima, Pulau Kangge di Kec. Pantar Barat memiliki pesona water blow, Batu Petti, dan pasir berwarna pink. Warna pasir ini mirip Pink Beach di Taman Nasional Komodo (TNK). Enam, Taman Wisata Alam Pulau Lapang. Pulau ini memiliki pantai pasir putih nan indah. Di sekitar pulau Lapang terdapat pulau pasir yang mirip Taka Makassar di TNK. Tujuh, Pulau Rusa, sesuai namanya pulau ini merupakan habitat bagi rusa. Delapan, Gunung Sirung, merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 862 mdpl dan dapat diakses lewat Desa Mauta Kec. Pantar Tengah. Gunung Sirung memiliki pesona kaldera yang menakjubkan.  Sembilan, pariwisata kesehatan di kolam pemandian air panas Desa Tubbe. 


Pada kesempatan kali ini penulis lebih banyak menyebutkan destinasi wisata alam, namun sesungguhnya Pantar memiliki beragam jenis wisata lainnya yang bisa dikembangkan. Misalnya saja pariwisata budaya berupa kekayaan cerita rakyat dengan bukti-bukti yang mendukung cerita. Salah satunya ialah cerita rakyat dari Puntaru tentang dua tokoh kuno yaitu Bumanema dan Kallangburi. Cerita rakyat ini selengkapnya telah dikisahkan oleh Bpk. Jitro Allu dalam buku berjudul Alor Bangkit karya Bpk Pestus Lawangdonu, S.Pd. Bukti yang mendukung cerita yaitu adanya sisa-sisa perkampungan kuno berupa tiang gudang kuno, patung Bumanema dan anaknya, serta pagar halaman dari batu yang tersusun rapi di bawah laut. 


Sebelumnya, Gubernur NTT Bpk. Viktor B. Laiskodat telah menyatakan bahwa sektor pariwisata merupakan penggerak utama roda ekonomi di NTT. Pernyataan ini sangat tepat  mengingat potensi pariwisata di NTT (termasuk Pantar) sangat menjanjikan jika dikelola dengan baik. Ir. Ans Takalapeta, mantan bupati Alor dua periode pernah mengatakan: Alor memang indah asal kita pandai menikmatinya. Bupati Amon Djobo yang sedang menjabat saat ini mencetus tagline: Alor, surga di timur matahari. 

 
Penulis berharap, dengan kehadiran bandara Pantar, tidak sekedar membuka konektivitas. Apalagi sekedar euforia bahwa saat ini, Kab. Alor ialah kabupaten di Indonesia yang memiliki dua bandara. Perlu langkah nyata selanjutnya, sebab kehadiran bandara Pantar adalah juga peluang untuk mengembangkan potensi pariwisata di Pantar. Dengan berkembangnya sektor pariwisata, maka praktis sektor ekonomi pun akan berkembang dan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat.  
 

Sabtu, 20 Maret 2021

Asa Guru Honorer Melalui PPPK

Krismanto Atamou
Guru dan Pemerhati Pendidikan

Sudah lama guru honorer memperjuangkan hak mereka. Ada yang melalui jalur mandiri, ada pula melakukan gerakan organisasi massa semisal GTKHNK35+. Suara mereka yang dititipkan melalui wakil-wakil rakyat untuk diperjuangkan di Senayan, hingga kini mulai menemui titik terang. Meski begitu, mereka tak pernah berhenti bersuara, sebagaimana yang dilakukan oleh Ofni Neparasi, guru honorer di SMAN 1 Amarasi (Victory News, Kamis 18 Maret 2021).

 Beberapa aturan pemerintah sebelumnya memang menghadang langkah juang guru honorer dalam memperjuangkan kesejahteraannya. Semisal aturan menyangkut batasan umur untuk direkrut menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu maksimal usia 35 tahun saat melamar, lihat PP No. 11 tahun 2017 pasal 23 ayat 1a.

Melihat permasalahan ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/ 2018 untuk menjamin nasib honorer melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Skema ini oleh pemerintah dinilai sebagai jalan tengah diantara tuntutan guru honorer untuk menjadi PNS dan UU RI No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berita tentang skema PPPK ini diharapkan menjawab harapan guru honorer, terutama yang sudah tua sekali dalam pengabdiannya.

Sebelum adanya rasionalisasi jam mengajar guru melalui Permendikbud No.15/ 2018, jumlah guru honorer di sekolahan tidak terkontrol jumlah dan spesifikasinya. Ini terjadi karena sistem perekrutan guru honorer berlangsung tanpa standar atau prosedur yang jelas. Kepala sekolah, dinas pendidikan, komite sekolah, atau ‘orang kuat’ tertentu dengan mudahnya memasukkan seseorang ke sekolah untuk menjadi guru honorer. Seseorang bisa menjadi guru honorer di sekolah sepanjang ada lowongan, memiliki koneksi orang dalam, atau anak ‘penguasa’ wilayah tempat sekolah berada.

Lowongan guru honorer di daerah pedalaman lebih terbuka lebar mengingat para PNS yang ditempatkan di daerah pedalaman (termasuk Guru Garis Depan dari program Kemdikbud semasa Mendikbud Anis Baswedan), cenderung tidak bisa bertahan lama lalu mengurus mutasi ke daerah sekitar kota atau ke daerah asal mereka. Alhasil sekolah-sekolah di pedalaman terpaksa merekrut guru honorer yang ‘tahan banting’ untuk mengisi kekurangan tenaga guru. Buka saja Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) Dikdasmen KEMDIKBUD, ada banyak penumpukan guru PNS di kota dibanding di desa atau daerah pedalaman.

Ironisnya, meski telah lama dihargai dengan penghasilan yang tak wajar, jauh dari kata cukup, guru honorer tetap setia mengabdi dengan harapan kelak nasib mereka akan diperhatikan pemerintah. Harapan ini sangat wajar mengingat peran penting mereka yang menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia melalui pendidikan dan pengajaran di ruang-ruang kelas.

Perihal skema PPPK ini, seminggu belakangan pemerintah melalui Kemdikbud telah melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan anggota DPR RI Komisi X sebagai tindak lanjut dari pengumuman rencana seleksi guru PPPK pada November 2020 lalu. Pembukaan seleksi ini berdasarkan analisis kebutuhan tenaga guru melalui data DAPODIK yang mencapai satu juta guru.

Pemerintah berencana mengadakan ujian seleksi PPPK pada bulan Agustus, Oktober, dan Desember 2021. Formasi kapasitas yang diusulkan Kemdikbud tidak main-main yaitu mencapai maksimum satu juta tenaga guru berdasarkan pertimbangan analisis kebutuhan tadi. Untuk membayar gaji tenaga PPPK yang lolos seleksi nantinya, pemerintah akan menyiapkan dana alokasi umum (DAU), hal yang sebelumnya dibebankan kepada APBD.

Dalam rapat dengar pendapat itu, Mendikbud Nadiem A. Makarim menyampaikan beberapa poin kebijakan afirmatif antara lain; guru agama, seni, dan olahraga bisa ikut seleksi PPPK, guru umur 40 tahun mendapat bonus poin passing grade 75 (15%) pada soal teknis, guru honorer di sekolah negeri akan menjadi prioritas seleksi PPPK 2021, guru yang telah memiliki sertifikat pendidik (bersertifikasi) akan mendapat nilai 100% untuk bidang teknis (soal profesional).

Bagi guru honorer di atas 40 tahun, item bonus passing grade pada soal teknis di atas cukup membantu. Betapa tidak, pengalaman mereka selama pengabdian juga adalah suatu proxy dari mutu guru.

Di bulan Maret 2021 ini, pemerintah menargetkan untuk menyusun formasi final dari Kemenpan RB, melakukan sinkronisasi formasi oleh BKN, dan melakukan validasi data formasi PPPK yang akan dilakukan oleh Pemda dan Kemdikbud. Hingga kini, berdasarkan usulan dari pemerintah daerah, sudah ada 513 ribu formasi PPPK bagi guru honorer. Jumlah ini baru setengah dari analisa kebutuhan guru di Indonesia oleh Kemdikbud. Ternyata masih ada pemerintah daerah yang belum maksimal mengusulkan formasi PPPK sesuai analisis kebutuhan tenaga guru di daerah.

Sebagai wujud dukungan kepada peserta tes PPPK agar bisa lulus tes, Kemdikbud telah menyediakan materi untuk persiapan pembelajaran tes PPPK secara online melalui situs guru belajar. Per 19 Maret 2021 jumlah peserta yang melakukan pembelajaran mandiri calon guru ASN PPPK mencapai 406.558 orang (gurubelajardanberbagi.kemdikbud.go.id). Ini menunjukkan kehausan belajar guru yang tinggi demi mengikuti seleksi massal perekrutan tenaga PPPK.

Dari skema PPPK yang terus diperbaiki sistemnya, kelihatan sekali niat pemerintah untuk menyelesaikan masalah guru honorer yang sudah terkatung-katung sekian lama. Diharapkan kelak, sistem perekrutan tenaga guru di sekolah lebih tegas, teratur, dan terukur agar tak ada lagi status guru honorer di sekolah.

Meski skema PPPK menjadi angin segar bagi guru honorer, namun penulis melihat keberlangsungan nasib guru honorer yang lolos PPPK nantinya tak dapat dimungkiri akan tergantung juga pada kondisi politik dan kinerja pemerintah daerah. PP No. 49/2018 Pasal 37 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa masa hubungan perjanjian kerja tenaga PPPK minimal satu tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan penilaian kinerja melalui persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Untuk itu, tentu kita berharap yang terbaik. Guru honorer yang kelak menjadi PPPK dapat menjaga netralitasnya sebagai ASN. Sedangkan PPK yang notabene merupakan produk politik di daerah dapat menjalankan tanggung jawabnya sesuai amanat peraturan dan UU yang berlaku, terbebas dari politik SARA dan polarisasi politik semasa kampanye.