Rabu, 24 Agustus 2022

Belajar dari Anak-anak



Oleh: Krismanto Atamou

Farel Prayoga, bocah penyanyi itu mendadak viral. Pasalnya ia meramaikan upacara Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia di Istana Merdeka dengan menyanyikan lagu Ojo Dibandingke (victorynews.id, 18/8/2022).

Farel Prayoga sebelumnya adalah pengamen jalanan di kawasan Banyuwangi dan sekitarnya. Ia berhasil memeriahkan momentum proklamasi dengan lagu Ojo Dibandingke. Tampilnya Farel Prayoga dengan lagu ini cukup menghibur di situasi negeri yang sedang “mendung” gegara kasus Sambo.

Presiden Jokowi dan Anak Indonesia

Selama kepemimpinan Presiden Jokowi, saya melihat ada kedekatan beliau dengan anak-anak se-Indonesia. Dalam berbagai kunjungan beliau ke daerah-daerah, kerap beliau menghampiri anak-anak lalu merangkul, berfoto bersama, atau menggendong anak-anak itu. 

Di Papua misalnya, Presiden Jokowi menggendong beberapa anak di Sorong, Papua Barat, tahun 2018 lalu. Videonya dapat disaksikan di channel YouTube CNN Indonesia tanggal 13 April 2018 lalu. Dengan nyamannya anak-anak itu digendong dalam pelukan beliau. 

Masih di tahun 2018, tepatnya 17 Agustus 2018, seorang anak dari perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) akhirnya dipanggil ke istana gegara menyelamatkan bendera Merah Putih. Bocah tersebut adalah Yohanes Ande Kala alias Joni Kala. Ia dipanggil ke istana Negara dan bertemu Presiden Jokowi.

Terkadang pula Pak Jokowi memberikan kuis, lalu menghadiahkan sepeda kepada anak-anak. Melihat fenomena kedekatan Pak Jokowi dengan anak-anak, saya kira, beliau secara tidak langsung mengajak orang dewasa untuk tidak abai memperhatikan anak, dan bahkan bisa belajar dari anak-anak.

Dalam isi kitab Nasrani pada Lukas 18:16 tertulis: “Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: ‘Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Sikap seperti anak kecil, yang percaya sepenuhnya tanpa rasa takut perlu kita miliki supaya kita bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah (e-Santapan Harian). Yesus meminta orang dewasa untuk belajar dari anak-anak.

Pembelajaran

Dari anak, orang dewasa bisa belajar banyak hal. Salah satunya tentang ketulusan mereka dalam kemanusiaan. Semisal yang ditampilkan pada film berjudul “The Boy in the Striped Pajamas”. Film ini diangkat dari novel berjudul sama karya penulis John Boyne asal Irlandia. 

Film dengan akhir menyedihkan ini seolah menampar keangkuhan dan keserakahan orang dewasa. Tokoh utamanya ialah seorang anak Yahudi bernama Schmuel di kamp konsentrasi NAZI. Ia berteman dengan Bruno, seorang anak dari petinggi NAZI. 
Schmuel dan Bruno saling membantu dan bermain bersama. Di akhir cerita Bruno tewas karena membantu Schmuel mencari ayahnya di kamp konsentrasi. Keduanya dimasukkan oleh NAZI ke ruang gas lalu tewas karena proses Holocaust itu. Bruno tak sengaja menjadi korban kekejaman ayah dan kaumnya sendiri.

Demikian pula pada buku kumpulan cerita pendek (cerpen) kemanusiaan karya Fanny J. Poyk berjudul “Tanah Warisan Leluhur”, ada cerpen berjudul “Rumah”. Cerpen ini menggambarkan kondisi ideal sebuah rumah tangga dengan dua orang anak. Keharmonisan rumah tangga itu sayangnya kandas gegara suami istri yang membangunnya mempertahankan ego masing-masing. Alhasil, anak menjadi korban. Namun di akhir cerpen, kedua anak itu bertekad akan membangun kembali suasana harmonis kelak saat mereka dewasa.

Dalam hal kemanusiaan, anak ternyata tidak sungkan-sungkan untuk berteman, berbagi, mengusahakan, dan mencita-citakan kemanusiaan itu. Bahkan meski tidak saling kenal, meski kondisi sekitar tidak memungkinkan atau sulit, anak-anak terus mengupayakan kehidupan yang bahagia bersama sesamanya.

Salah satu sikap yang patut dicontoh dari anak-anak adalah sikap rela berkorban. Joni Kala pada 17 Agustus 2018 lalu misalnya, mengabaikan rasa sakit perutnya dan memanjat tiang bendera demi mengambil ujung tali bendera yang putus. Selain Joni Kala, ada banyak bocah lain yang melakukan penyelamatan bendera, semisal Akhyar, pelajar SMPN 3 Mutiara, Pidie, Provinsi Aceh pada 17 Agustus 2022 lalu.

Dari bocah Farel Prayoga kita dapat belajar bahwa ada kebaikan di balik setiap pengorbanan. Kala ia mengorbankan kesenangan bermain lalu membantu orang tua mencari nafkah dengan mengamen, ia sebenarnya sedang diproses untuk menjadi penyanyi yang baik. Alhasil Tuhan memberkatinya lewat nasib baik. Ia mendapat restu presiden Jokowi untuk ke istana Negara dan tampil pada perayaan 17 Agustus 2022 lalu.

Rosyid H. Dimas pada 24 Juli 2022 lalu menulis sebuah cerpen di harian Kompas. Cerpen berjudul “Lelaki Aneh di Perpustakaan” itu diakhiri dengan kalimat “Ah, la verite sort de la bouche des enfants, kebenaran keluar dari mulut anak-anak.” Begitulah, di titik tertentu dalam kehidupan ini, saya rasa, orang dewasa perlu juga belajar perihal kehidupan dari anak-anak. Kehadiran anak-anak nyatanya dapat menghibur, menghadirkan suasana riang, dan juga dapat mencerahan sekaligus.

Minggu, 14 Agustus 2022

Bersih-bersih di Kemendikbudristek


Oleh : Krismanto Atamou

 

Sekelas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa salah cetak buku? Saya tidak habis pikir. Begitu reaksi saya tatkala merespon postingan teman facebook terkait buku yang viral akhir-akhir ini.

Buku yang viral itu adalah buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) untuk SMP kelas tujuh. Penulisnya ialah Zaim Uchrowi dan Ruslinawati. Editornya ialah Sunan Hasan dan penyelia ialah Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Basan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, cetakan pertama tahun 2021, dengan ISBN 978-602-244-312-4.

Hal yang disorot dari berbagai postingan di media sosial terkait buku ini ialah kesalahan fatal terkait Tuhan yang disembah oleh agama Kristen Protestan dan Katolik. Sang penulis buku ini menulis Ketritunggalan Tuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan maupun Katolik. Sangat fatal.

Protes terhadap buku ini datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya guru-guru, tetapi juga rohaniawan, dan penulis. Tidak hanya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, tetapi juga dari agama lainnya.

Sebagai guru, saya sangat menyayangkan induk institusi pendidikan nasional ini. Entah bagaimana, istitusi semulia itu bisa diisi oleh oknum-oknum yang dapat memecah-belah bangsa lewan konten-konten tulisan yang sangat menyinggung agama tertentu.

Tidak seperti kasus Holywings dimana nama tokoh agama dipakai dalam iklan, dalam kasus buku pelajaran PKn ini jelas-jelas menyesatkan ajaran agama. Sesuatu yang keliru dan sesat. Dan sebagaimana komentar saya di awal tadi, saya tidak mengira kesalahan ini bisa terjadi, tapi sudah terjadi, dan kekeliruan soal konten Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) ini bukan baru sekali terjadi.

Meski kemudian Kemendikbudristek menarik peredaran buku tersebut dan merevisinya, bagaimana pun saya rasa para penulis buku dan pihak Kemendikbudristek mesti meminta maaf atas kesalahan tersebut. Dan bila perlu, oknum penulis yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak dipakai lagi ke depannya.

Sudah cukup isu SARA berupaya merongrong keharmonisan berbangsa dan bernegara kita selama ini. Sayang sangat disayang, ketika Mendikbudristek sedang menggelorakan kurikulum merdeka untuk kemajuan pendidikan Indonesia, upayanya itu terganggu oleh oknum penulis yang saya duga tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis.

 

Asas Kehati-hatian

Nova Nansie Tiwa, pemosting pertama kekeliruan buku ini di facebook akhirnya mendapatkan jawaban dari Kemendikbudristek. Ada empat poin jawaban Kemendikbudristek. Pertama, Kemendikbudristek mengapresiasi masukan, saran, dan koreksi untuk perbaikan berkelanjutan terkait buku pendidikan. Buku pendidikan yang diterbitkan Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan.

Dua, terkait konten dalam buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMP kelas tujuh terbitan 2021, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek tengah melakukan kajian dan menindaklanjuti dengan memperbaiki sesuai masukan yang diterima, khususnya mengenai penjelasan tentang Trinitas dalam agama Kristen Protestan dan Katolik.

Tiga, dalam proses melakukan perbaikan, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek akan melibatkan pakar dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja-gereja Indonesia. Buku yang beredar akan ditarik dan diganti dengan edisi revisi. Untuk versi cetak, Kemendikbudristek sudah menghentikan proses pencetakan versi lama, dan pencetakan selanjutnya akan menggunakan edisi revisi. Kemendikbudristek akan segera mengedarkan suplemen perbaikannya bagi yang sudah menerima buku.

Empat, Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima masukan, koreksi, dan saran untuk memperbaiki kualitas buku-buku pendidikan. Masukan, koreksi, dan saran dapat dialamatkan kepada penulis atau melalui alamat surel buku@kemdikbud.go.id.

Kejadian buku PKn kelas tujuh yang viral ini ibarat nila setitik, rusak air sebelanga. Ulah satu dua penulis, seluruh Kemendikbudristek terimbas getahnya. Tini Pasrin pada postingan novelis Felix Nesi berkomentar: “Kementerian Riset yang tidak Riset.” Ini hanya salah satu komentar dari berbagai komentar lain di berbagai postingan yang saya ikuti. Beginilah hasilnya jika sekelas Kemendikbudristek kurang berhati-hati.

Untuk itu, saya kira Kemendikbudristek perlu menggunakan asas kehati-hatian dalam merilis produk apa pun, termasuk buku. Dan jika poin tiga dari jawaban Kemendikbudristek di atas telah dilakukan sebelumnya, saya kira hal seperti ini sedapat mungkin bisa dihindari.

Saya menduga bahwa oknum tertentu memanfaatkan disclaimer yang ada juga di laman awal setiap buku produk Kemendikbudristek. Disclaimer itu menyatakan: buku produk Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. Dengan disclaimer ini, membuka peluang oknum nakal yang diduga sengaja menyalah-nyalahkan atau (lebih parah) menyimpangkan isi buku cetakan pertama untuk menguras keuangan negara demi proyek cetakan revisi, atau untuk kepentingan pribadi tertentu, atau untuk kepentingan dan tujuan golongan tertentu.

Untuk itu, Kemendikbudristek perlu mengambil tindakan tegas. Apalagi pada buku-buku yang menyinggung dan mengandung unsur SARA. Isu-isu ini sangat sensitif dan perlu penanganan sangat hati-hati. Oknum-oknum yang terbukti mengambil untung dari “celah disclaimer”, saya kira perlu “dibersihkan” dari tubuh Kemendikbudristek.

Bravo POLRI





Oleh: Krismanto Atamou

 

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) saat sedang menghadapi masalah besar. Saking besarnya sehingga menjadi atensi publik, menjadi sorotan media dan para pengamat, bahkan mendapat respon dari Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD.

Tidak main-main, kasus yang menewaskan Brigadir J. ini menyeret banyak oknum petinggi POLRI. Brigadir J. tewas diduga ditembak di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo di kompleks POLRI, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022) sore. Diketahui, Brigadir J merupakan personel kepolisian yang ditugaskan sebagai sopir istri Ferdy Sambo (detik.com, 06/08/2022).

Beberapa hari belakangan ini, di beranda media sosial saya, berseliweran berita mengenai peristiwa tewasnya Brigadir J., juga viralnya Si Pesulap Merah. Namun peristiwa tewasnya Brigadir J. lebih mendominasi postingan teman-teman, tautan media online, reels, juga video-video YouTube. Bagaimana tidak, institusi dimana masyarakat menaruh harapan akan upaya penegakan hukum, justru sedang terjadi kasus hukum.

 

Pertaruhan

Melalui pengusutan kasus tewasnya Brigadir J., saya kira akan menjadi pertaruhan bagi nama baik, kredibilitas, dan profesionalitas institusi POLRI. Dan sebagai salah satu masyarakat Indonesia, saya sangat berharap POLRI dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik dan benar. Bagaimana pun, institusi POLRI sangat dicintai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bukti kecintaan itulah yang disampaikan melalui perhatian yang lebih kepada institusi ini.

Beberapa saat lalu, Iqbal Aji Daryono, mentor menulis saya di Kelas Menulis Online menulis sebuah buku terkait kinerja POLRI. Buku tersebut berjudul: Berjuang di Sudut-sudut Tak Terliput. Menurutnya, buku yang tidak dijual untuk umum ini, isinya adalah dokumentasi kisah-kisah humanis Bapak Ibu personel POLRI yang bertugas di seluruh pelosok Indonesia. Bagaimana dalam kondisi sulit, jauh dari jangkauan liputan media, ternyata Bapak Ibu personel POLRI tetap menjalankan tugas secara humanis, bahkan berkorban bagi pelayanan kemanusiaan di masyarakat.

Meminjam diksi “sudut-sudut tak terliput” dari Iqbal Aji Daryono untuk menjudulkan buku dokumentasi kinerja personel Polisi di pelosok Indonesia, nampaknya kali ini, pada tubuh POLRI di Jakarta juga ada “sudut-sudut tak terliput” yang perlu “diliput” jika tidak berkaitan dengan rahasia tertentu yang perlu dijaga demi kepentingan bangsa dan negara. Tujuannya ialah untuk mengenal lebih dekat bagaimana anggota dan petinggi POLRI di Jakarta menjalankan amanat dalam bekerja bagi masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.

 

Refleksi

Saya yakin, masyarakat Indonesia masih mencintai dan mempercayai institusi POLRI. Ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan positif dari publik, khususnya dari pengguna media sosial Indonesia. Dukungan ini diberikan terutama setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan jabatan Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Kombes Budhi Herdi Susianto, dan sebelumnya menonaktifkan Kadiv Propam POLRI Irjen Ferdy Sambo (Tribun-Medan.com, 20/07/2022).

Melihat apa yang dialami oleh beberapa petinggi POLRI kali ini, saya secara pribadi merasa sedih. Bahkan dalam angan, saya berharap kejadian seperti ini tidak terjadi. Saya membayangkan para petinggi POLRI, juga pejabat tinggi lainnya di negeri Indonesia ini adalah penerus Jenderal Besar Sudirman, yaitu mereka yang rela meninggalkan urusan dan kepentingan pribadi lalu memberi diri bagi bangsa dan Negara.

 

Gugur Bunga

Yonetha Reo Thong, teman facebook saya memosting ulang video dari akun YouTube VIVACOID pada 8 Agustus 2022, dengan tambahan latar suara lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Dalam video itu Irjen Ferdy Sambo berbicara tentang keberadaan Divisi Propam POLRI.

Menghayati lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki dalam keadaan seperti sekarang ini, saya kira, siapa pun warga negara Indonesia, apalagi aparat negara, akan merasa sedih. Pasalnya, kita mesti “kehilangan” prajurit dalam peristiwa yang viral belakangan ini.

 

Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri

 

Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati

 

Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti

 

Jika dulu, para pahlawan gugur di medan pertempuran oleh senjata dan strategi musuh agar Indonesia merdeka, maka kini, para pahlawan (aparatur negara dan petinggi di negeri ini) mesti berhati-hati agar tidak “gugur” gegara urusan dan kepentingan yang menjauhkan diri dari menjalankan amanat yang telah diberikan oleh bangsa dan negara Indonesia.

Untuk itu, melalui peristiwa tewasnya Brigadir J., saya kira POLRI perlu berani berbenah, “mengintrospeksi diri”, bahkan berani “bersih-bersih” di tubuh POLRI. Hingga saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah melakukan langkah maju dalam menangani kasus ini. Langkah Kapolri ini perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh dari masyarakat untuk mengawal kasus ini.

Seiring pengusutan kasus ini, saya rasa POLRI perlu juga berefleksi untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa. Sebab sangat disayangkan bila ada aparat POLRI di negeri ini akhirnya mesti “gugur” gegara hal yang semestinya bisa dielakkan.

Meminjam diksi pada lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki tadi, saya masih percaya bahwa aparat POLRI adalah pahlawan yang gagah perkasa dan pembela bangsa sejati. Bravo POLRI. Salam Presisi.

Minggu, 31 Juli 2022

Perang Atensi terhadap Reels


Oleh : Krismanto Atamou






 

Perlahan tapi pasti, beberapa musik atau lagu latar dari video-video singkat media sosial (reels) telah terinternalisasi dalam alam bawah sadar saya. Beberapa lagu itu misalnya: entah siapa yang salah …kutak tahu, hiduplah denganku duer … dengarkanlah,  dan masih banyak lagi.

Terekamnya lagu-lagu itu di alam bawah sadar saya membuktikan: telah banyak waktu yang saya lewati untuk menonton reels. Saya kira, terkait hal ini, saya tidak sendiri. Bahkan seorang kerabat saya tidak tahu bahwa konten video itu adalah reels, padahal dia sudah lama menontonnya.

Sadar atau tidak, reels telah menghisap atensi kita dari berbagai hal lain yang perlu juga kita lakukan sehari-hari. Dee Lestari dalam podscad bersama Gita Wirjawan, memiliki istilah khusus untuk konten-konten media sosial seperti reels ini. Dee Lestari menyebutnya seolah “vampir” yang menghisap atensi kita.

Seorang teman menyebut reels sebagai cara membunuh waktu untuk segera tua. Bayangkan kita menonton reels di setiap waktu senggang atau waktu yang “disenggang-senggangkan”, tidak terasa, banyak waktu telah berlalu. Tanpa sadar, umur kita telah bertambah dan melaju begitu cepat.

Tere Liye dalam postingan facebook berjudul “Kita orang tua gagal?” mengkritisi orang tua yang sibuk bermain handphone. “Mending buka HP dulu ah, buka gadget, scroll, scroll, klik, klik. Menatap layar HP. Sibuk nih, banget, mana sempat sih ngurusin anak2,” tulisnya. Dapat dibayangkan, betapa banyak waktu yang semestinya dipakai orang tua untuk mengasuh anak, dirampas oleh media sosial, termasuk oleh reels.

Jika waktu pengasuhan orang tua terhadap anak tersita oleh atensi pada reels, jangan heran kemudian pertumbuhan sikap dan moral anak-anak terabaikan. Lalu muncullah berbagai kasus perundungan terhadap anak yang juga dilakukan oleh sesamanya. Semisal kasus yang menimpa korban anak F (11), siswa kelas V SD di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tragisnya anak itu mengalami depresi hingga meninggal dunia pada 18 Juli 2022 lalu.

 

Manajemen Waktu dan Jari

Saat ini, saya rasa kita sedang berada di medan perang atensi. Kita seolah sedang berperang antara hidup di dunia nyata atau di dunia maya. Hal yang sebenarnya bukan sebuah pilihan ganda untuk dipilih salah satunya. Di era digitalisasi, saya kira kedua dunia ini mesti berjalan beriringan dan saling melengkapi. PR besarnya ialah bagaimana mengatur atensi kita agar sedapat mungkin tidak ada yang dikorbankan.

Semisal dalam keluarga, orang tua tidak mengorbankan waktu pengasuhan anak demi kehidupan di dunia maya. Demikian juga anak, tidak mengorbankan waktu belajar, bersosialisasi, dan waktu berkualitasnya bersama keluarga demi bermain game atau aktivitas dunia maya lainnya. Apakah kita sanggup untuk itu? Saya kira sulit.

Saat tubuh kita sudah terpola untuk lekat dengan gawai dan berkehidupan maya, saat tangan kita sudah refleks untuk meraih gawai setiap sempat, saat kepala dan mata kita sudah refleks tertuju pada gawai daripada melihat kehidupan riil, lalu kita ingin mengubahnya karena sadar ada hal penting lain yang telah abai dari perhatian kita, itu pastinya tidak mudah.

Karena tidak mudah inilah, saya menggunakan kata “perang” untuk menggambarkan betapa sulitnya memenangkan perang atensi kita terhadap konten reels. Apalagi ketika media sosial selalu menawarkan hal-hal baru untuk melayani ketidakpuasan manusia. Format konten reels di facebook yang baru dirilis tahun 2022 ini ternyata diminati oleh banyak netizen.

Beberapa postingan teks panjang saya di facebook setelah seharian baru dilihat dua puluhan orang, tapi ketika saya membuat konten reels, baru beberapa jam sudah ditonton lebih dari 100 orang. Saya terkejut. Kok bisa secepat itu? Ya, mungkin karena rata-rata manusia cepat bosan dan menyukai hal-hal baru, terutama hal-hal yang diminatinya. Dan artifisial inteligensi facebook selalu tahu bahwa kita menyukai hal-hal tertentu itu. Bahkan terkadang, hal-hal yang baru saja kita pikirkan, eh rupa-rupanya sudah nongol di beranda media sosial kita.

Pertanyaannya: bagaimana kita lepas dari jeratan reels, lalu memenangkan perang atensi terhadapnya? Bagaimana tubuh dan pikiran kita dapat terus sadar lalu menghindari gerak refleks yang mengarahkan kita pada reels?  Lalu, apakah reels adalah momok yang perlu kita hindari?

Saya kira jawabannya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah benar-benar reels telah merampok waktu berkualitas kita? Apakah reels telah mengalahkan kita dalam perang atensi terhadap hal-hal lain yang lebih penting dalam hidup kita? Semisal waktu untuk membaca buku, menjalankan ibadah, bersosialisasi, belajar via internet, dan hal-hal positif lainnya?

Sampai di titik ini, saya duga akan ada pembaca yang menyanggah: bukankah di reels pun ada konten-konten mendidik? Ya, benar. Beberapa pembuat konten yang mendidik juga telah memosting konten-konten mereka di reels. Untuk itu, sebaiknya kita mampu menahan refleks jari, yang kemungkinan besar akan melewatkan perhatian kita dari konten-konten mendidik itu.

Kamis, 28 Juli 2022

Harga Komodo sebagai Keajaiban Dunia


Oleh: Krismanto Atamou

 



“Komodo sebagai salah satu keajaiban dunia kok dihargai murah?” Pertanyaan satir ini dilontarkan seorang pemandu wisata lokal asal Labuan Bajo. Ia mengatakan itu pada tim dari nusaku.id milik PT. Telkom Indonesia pada tahun 2018 lalu.

Kala itu tim nusaku.id menyelenggarakan lomba menulis ulasan tempat wisata alternatif di website nusaku.id. Saya ikut lomba dan menang. Hadiahnya ialah paket perjalanan wisata ke Labuan Bajo dan Wae Rebo selama seminggu. Di Labuan Bajo Tim dari nusaku.id sempat mensosialisasikan aplikasi nusaku.id kepada sebagian pemandu wisata lokal asal Labuan Bajo. Saya pun ikut.

Melalui aplikasi itu, pemandu lokal bisa merancang paket perjalanan wisata dengan rute dan biaya yang bisa mereka tentukan sendiri. Juga pemandu lokal bisa menentukan jumlah peserta perjalanan. Aplikasi nusaku.id hanya akan menarik sekira 5% dari akumulasi biaya perjalanan itu. Besaran penarikan itu ditentukan bersama pemandu lokal di Labuan Bajo. Sayangnya, aplikasi nusaku.id kini telah ditutup.

 Saat membahas tentang biaya aplikasi nusaku.id itulah, pertanyaan di awal tadi terlontar dari seorang perempuan pemandu wisata. Ia juga mengeluhkan beberapa agen yang membanting harga layanan wisata sehingga marjin keuntungan semakin tipis. Begitu juga pendapatan pemandu wisata ikut turun.

Begitulah ketika harga tiket masuk kawasan wisata kini pemerintah tetapkan naik, dan bagi sebagian pihak disebut mahal, ada asa yang terjawab dari beberapa pelaku pariwisata. Pasalnya, menurut Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Timur (NTT), Dr. Zet Soni Libing, biaya masuk Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar Rp.3.750.000,- per orang per tahun (jadi tidak hanya untuk sekali datang per tahun) itu, salah satunya juga dimanfaatkan untuk pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia para pelaku pariwisata (merdeka.com, 4/7/2022).

 

Konservasi Komodo

Senada dengan Dr. Zet Soni Libing, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno juga menjelaskan: penerapan kenaikan biaya masuk ke pulau Komodo dan Pulau Padar adalah berkaitan dengan upaya konservasi komodo. Bagaimanapun, upaya konservasi sangat penting untuk menjaga kelestarian habitat dan populasi komodo di TNK.

Upaya konservasi komodo sebenarnya telah lama dilakukan. Sultani di kompas.id menulis bahwa upaya untuk melindungi komodo telah dilakukan sejak tahun 1915 oleh Sultan Bima. Upaya yang sama kemudian dilakukan oleh Residen Manggarai, Residen Flores, Residen Timor. Selanjutnya pada tahun 1938, pemerintah kolonial Belanda menjadikan Pulau Rinca dan Pulau Padar yang berada di sekitar Pulau Komodo sebagai bagian dari kawasan suaka satwa.

Berbagai upaya perlindungan terhadap komodo ini dilakukan dalam rangka menghentikan ekspedisi perburuan komodo. Hingga tahun 1960, akhirnya ekspedisi perburuan komodo hampir tidak dilakukan lagi. Demikianlah hingga 6 Maret 1980 didirikan Taman Nasional Komodo untuk melindungi komodo, juga habitatnya.

Sewaktu saya masih kecil, sekira tahun 1990-an, ada sebuah film tentang perburuan komodo. Judulnya adalah “Menerjang Prahara di Komodo” dengan produser Robert Samara. Dari film ini dapat diketahui betapa serakahnya sekelompok orang yang tega mengeksploitasi komodo demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sebagai hewan liar, upaya konservasi terhadap komodo mesti dengan cara in situ. Untuk itu, saya kira langkah pemerintah membatasi pengunjung dan menaikkan biaya masuk ke dua pulau yang menjadi wilayah konservasi komodo tepat.

 “Harta” yang mahal tentu membutuhkan perawatan yang mahal pula. Demikianlah saya kira, komodo sebagai “harta” yang mahal bagi kita, membutuhkan “perawatan” yang mahal pula. Kemahalan tersebut tidak hanya dalam hal biaya (uang) konservasi, tetapi juga membutuhkan kesadaran dan kerelaan kita untuk menjaga lingkungan hidup sebagai habitat komodo.

Kita bersyukur, komodo telah ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang baru pada tahun 2011 lalu. Untuk mempertahankan keberadaan dan apresiasi terhadap keajaiban dunia ini, perlu upaya konservasi, bahkan mitigasi dari kepunahannya. Membatasi kunjungan wisatawan ialah upaya membatasi beban lingkungan yang perlu ditanggung habitat komodo.

Sewaktu berkunjung ke TNK, saya melihat sendiri bagaimana wisatawan dalam kunjungan ke pulau komodo, lalu mengikuti trayek didampingi petugas jagawana TNK, terkadang keluar jalur jalan dan memasuki kawasan hutan. Meski tindakan yang terlihat sepele, saya kira akan mengancam tumbuh dan kembangnya flora (tumbuhan). Dan dalam jejaring makanan, akan mengancam kelestarian herbivora (semisal rusa), lalu akan mengancam komodo sebagai karnivora (pemakan daging, termasuk rusa). Hal ini tidak boleh terjadi.

Namun di sisi lain, dalam menerapkan pembatasan kunjungan ke pulau Padar dan pulau Komodo ini, pemerintah perlu juga memperhatikan dampaknya kepada ekonomi masyarakat lokal. Setidaknya mereka perlu mendapat kompensasi. Semisal dari biaya konservasi tadi, ada alokasi untuk mengatasi dampak ekonomi yang mereka alami. Atau pemerintah mengambil kebijakan lain yang dapat mengompensasi dampak ekonomi yang dialami warga kedua pulau ini.

Bagaimana pun, ada rupa, ada harga. Demikianlah jika ingin rupa komodo tidak sekadar gambar di kertas, di gawai, atau di komputer, tetapi berupa sosok asli komodo dan yang dapat terus dilihat di habitat aslinya hingga zaman anak cucu kita, maka mesti ada harga yang perlu kita bayar. 

Minggu, 24 Juli 2022

Memanfaatkan Teknologi Digital


Oleh: Krismanto Atamou






 

Dalam rapat dewan guru, komite sekolah, dan para orang tua murid hari Rabu, 20 Juli 2022 lalu di sekolah, Kepala Sekolah saya Dapa Ngailo, S.Pd menyampaikan bahwa kini sudah saatnya digitalisasi dunia pendidikan. Begitulah pada ujian semester kali lalu kami sudah menggunakan gawai untuk melaksanakan ujian.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana murid harus menggunakan kertas sebagai lembar jawaban, kali ini murid hanya mengisi data di laman awal mesin pencari di gawai, lalu tampil soal dan pilihan jawaban di aplikasi penilaian. Mudah dan cepat.

Kemajuan teknologi digital dalam dunia pendidikan dimana gawai menjadi alatnya, ternyata juga menyimpan resiko yang dikhawatirkan para orang tua dan guru. Dalam rapat Rabu lalu, teman guru matematika menyampaikan bahwa dari dua puluh lima nomor soal yang harus melalui proses cakar untuk mendapatkan jawaban, ternyata hanya sedikit murid yang mencakar. Hal ini kelihatan melalui lembaran kertas cakar yang dikumpulkan oleh sang guru matematika.

Ketika murid tidak mencakar dalam menjawab soal cakaran, setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, murid tersebut mampu mencakar dalam imajinasi atau pikirannya, tidak perlu menggunakan kertas dan bolpoin. Kedua, murid tersebut malas untuk mencakar karena pada dasarnya tidak suka dengan matematika, alhasil murid hanya menebak jawaban atau menjawab dengan membabi buta.

Untuk menguji murid manakah yang dominan dari kedua kemungkinan tadi, dapat diketahui lewat hasil ujian yang langsung dapat terlihat setelah murid selesai mengerjakan soal. Sayangnya, hanya sebagian kecil anak yang berhasil. Lagu lama terdengar kembali: matematika masih menjadi pelajaran yang menakutkan dan tidak disukai banyak murid.

Sebagai guru IPA yang sebagian besar materi berhubungan dengan matematika, saya pun terkadang harus mengulang pelajaran matematika bagi murid. Di titik ini, untuk meningkatkan motivasi dan daya serap murid terhadap pelajaran yang selama ini momok, perlu kerja sama orang guru dan orang tua. Guru tidak bisa berjalan sendiri.

Semisal di rumah anak dibiasakan dengan game-game matematika untuk anak yang bisa diinstal di gawai. Sebab bagaimana pun, kini sudah zamannya anak-anak menggunakan gawai, tapi dengan catatan ada batasan umur, ada durasi pemakaian, dan ada kontrol orang tua.

Bagaimanapun, informasi di internet tidak bisa dibendung. Daripada anak mencari tahu sendiri lalu tersesat, alangkah lebih baik anak dipersiapkan untuk menjalani era internet ini. Orang tua dan guru bermitra untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam hati dan pikiran anak sehingga anak punya “alat saring” informasi yang diterimanya di internet, termasuk membiasakan anak mengakses konten pembelajaran matematika agar kelak matematika tidak lagi menjadi momok.

 

Hari Anak Nasional

Dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2022 ini, dari segi digitalisasi pendidikan, masih ada catatan panjang yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana mendorong anak untuk menggunakan gawai secara efektif dan efisien untuk pendidikan.

Diketahui bahwa saat ini ada banyak aplikasi, platform, dan website yang dapat dipakai untuk kepentingan pendidikan anak. Namun pertanyaannya, seberapa besar gawai tersebut benar-benar dipakai untuk pendidikan? Jangan-jangan hanya dipakai untuk hiburan semata.

Kedua, memenangkan perang atensi demi tenang mengakses konten-konten mendidik di internet. Bahaya terbesar saat ini ialah kita mudah teralihkan dari konten pendidikan kepada konten hiburan, bahkan konten “beracun”. Misalnya saja sedang membaca buku di aplikasi perpustakaan digital I-pusnas lalu muncul notifikasi whatsapp, facebook, dan aplikasi lainnya.

Jika sudah terbiasa merespon notifikasi media sosial, maka biasanya jari kita seolah bergerak sendiri untuk membuka notifikasi-notifikasi tersebut. Di titik inilah perang atensi terjadi. Syukurlah beberapa gawai telah dilengkapi fitur ‘jangan ganggu’ yang jika diaktifkan maka segala notifikasi akan ‘diredam’.

Ketiga, pentingnya pendidikan bermedia sosial bagi anak. Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengusulkan batasan usia untuk memiliki akun media sosial adalah 17 tahun. Mungkin karena belum disahkan, hingga kini anak di bawah 17 tahun ada yang sudah memiliki media sosial.

Bahkan jika RUU PDP ini disahkan, masih ada kemungkinan anak di bawah usia 17 tahun bisa memiliki media sosial dengan memanipulasi data, merengek meminjam gawai orang tuanya saat orang tua sedang berbicara dengan tamu,  dan cara lainnya. Oleh karena itu, saya kira, alih-alih mengontrol anak dari luar dirinya, alangkah lebih baik fungsi kontrol itu ditanamkan di dalam hati dan pikiran anak. Caranya yaitu melalui pendidikan dan pembiasaan oleh orang tua maupun guru, tentu dengan memperhatikan batasan umur anak.

Bagi anak SMP di sekolah saya, beberapa kali kami menyampaikan kiat bermedia sosial yang benar, aman, dan positif. Semisal kiat menghindari konten hoax dan konten dewasa, kiat mengamankan akun media sosial, kiat berkomunikasi di media sosial dan mengakses konten positif yang mendidik.

Selamat Hari Anak Nasional.

Selasa, 19 Juli 2022

Kebutuhan Guru SLB di NTT

Oleh : Samu Rambunita Sandy, S.Pd
Guru SLBN Oelmasi – Kab. Kupang

Pemerintah provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan yang telah membuka beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) baru di NTT. Ada SLB baru di Amarasi dan Semau-Kab. Kupang, di Pulau Pantar-Kab.Alor, dan beberapa SLB di tempat lain. Kehadiran SLB ini membuktikan kepedulian pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di NTT. Dan ini patut diapresiasi.

Langkah maju pemerintah ini perlu juga diikuti dengan kehadiran jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) pada Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di NTT. Sebab dari jurusan PLB-lah kelak menghasilkan tenaga guru bagi SLB.

Selama ini, ketersediaan guru berlatar akademik PLB pada SLB di NTT masih terbatas. Datanya dapat dilihat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sementara, kebutuhan guru SLB semakin meningkat karena beberapa faktor, antara lain: pertambahan jumlah penduduk, bertambahnya jumlah murid berkebutuhan khusus, dan bertambahnya jumlah SLB baru tadi.

Anak-anak berkebutuhan khusus idealnya disekolahkan di SLB. Meski di sekolah reguler bisa memiliki kelas inklusi yang dapat menampung mereka, dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Belum lagi, untuk menyelenggarakan kelas inklusi, sekolah reguler perlu memenuhi beberapa syarat. Selain adanya murid berkebutuhan khusus, sekolah reguler juga mesti memiliki izin untuk menyelenggarakan kelas inklusi dari Dinas Pendidikan Provinsi. Diperlukan juga guru reguler yang bersedia dipersiapkan untuk membimbing anak berkebutuhan khusus.

Pada beberapa kasus, sekolah reguler akhirnya memperlakukan anak berkebutuhan khusus sebagaimana anak normal. Ini tentu tidak adil. Setiap ketunaan anak semestinya membutuhkan guru yang sesuai sebagai pembimbing.

Seorang teman guru di sekolah reguler pernah bercerita kepada saya perihal kunjungannya ke rumah orang tua anak tunagrahita. Ia bermaksud mengajak orang tua tersebut untuk mau menyekolahkan anaknya di SLB, pindah dari reguler.

Singkatnya teman saya menjelaskan: “Anak bapak memiliki ketunaan dan sebaiknya disekolahkan di SLB. Jika kelak saat belajar di SLB anak bapak mengalami perkembangan yang baik, anak bapak bisa dipindahkan kembali ke sekolah reguler untuk melanjutkan pendidikannya.”

Sang bapak mengakui ketunaan anaknya kemudian mengatakan: “Anak saya sudah kelas delapan SMP, tinggal setahun lagi selesai SMP. Biarlah dia selesaikan pendidikan di sekolah reguler. Saya pasrah.”

Sebagaimana bapak dari anak tunagrahita ini, saya duga ada banyak orang tua lain yang memasrahkan pendidikan anak berkebutuhan khususnya di sekolah reguler. Mungkin mereka merasa bahwa menyekolahkan anak di SLB seolah membuka aib kekurangan/ ketunaan anak. Itu pemahaman yang salah. Ketunaan anak bukanlah aib yang perlu ditutupi, tetapi adalah keterbatasan anak yang perlu diakui dan ditangani secara baik.

Sayangnya sampai saat ini belum ada data terkait jumlah riil anak berkebutuhan khusus di NTT, selain yang sudah terdata di Dapodik SLB. Apabila dilakukan survei pada anak-anak usia sekolah di NTT, saya menduga kita akan menemukan banyak anak berkebutuhan khusus yang belum tersentuh layanan SLB.

Hal yang lebih miris ialah: anak-anak berkebutuhan khusus ini, oleh oknum tertentu diberi stigma bodoh lalu diterlantarkan, tidak disekolahkan. Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus ini punya kompetensi yang bisa dikembangkan bahkan dilombakan. Semisal di SLBN Oelmasi, ada banyak anak didik yang telah berhasil menjuarai berbagai even pertandingan, baik di tingkat provinsi, nasional, hingga di even internasional.

Kebutuhan PLB di NTT

Setiap SLB idealnya memiliki rasio jumlah guru PLB dan murid berkebutuhan khusus yang ideal. Satu jenis ketunaan, satu jenjang kelas, minimal satu guru pembimbing yang perofesional. Tujuannya ialah agar pelayanan yang diberikan kepada anak didik benar-benar maksimal.

Untuk itu, dengan ketimpangan tenaga guru PLB selama ini, kehadiran jurusan PLB pada LPTK di NTT sangat diperlukan. Sedangkan guru SLB berlatar akademik non-PLB yang sudah mengabdi selama ini, perlu diberi solusi tersendiri, semisal diberi kesempatan kuliah PLB jarak jauh. Dengan begitu, mereka bisa kuliah sambil mengabdi. Setelah kuliah PLB, mereka perlu diberi kesempatan lagi untuk mengikuti Program Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG Daljab).

Secara empiris, dalam mengabdi, guru berlatar non-PLB di SLB tidak terlalu mengalami kesulitan. Mereka secara autodidak ternyata bisa menyesuaikan dengan tuntutan dan tanggung jawab pelayanan sebagai guru di SLB. Akan tetapi dari sisi akademis dan jenjang karier guru (misalnya sertifikasi guru) ke depan tentu tidak mudah.

Untuk menjadi guru bersertifikasi, awalnya guru mesti mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) PLB. Itu jika guru tidak memilih PPG jalur mandiri. Setelah lulus UKG, guru mesti mengikuti PPG Daljab. Setelah PPG guru mengikuti Ujian Tulis Nasional (UTN) sebagai penentu akhir. Jika guru lulus UTN maka akan menjadi guru bersertifikat pendidik. 

Proses ini tidak akan mudah jika guru SLB tidak memiliki kemampuan akademik PLB. Sementara di sisi lain, masyarakat mengharapkan adanya guru-guru profesional di SLB yang bisa menghasilkan anak-anak didik unggul meski dengan ketunaan yang dimiliki.

Oleh karena itu, sekali lagi, kehadiran jurusan PLB pada LPTK di NTT sangat dibutuhkan, termasuk untuk melayani kebutuhan guru berlatar non-PLB yang selama ini telah mengabdi di SLB. Semoga.

Sumber: https://www.victorynews.id/opini/pr-3312662747/kebutuhan-guru-slb-di-ntt