Selasa, 19 Juli 2022

Kebutuhan Guru SLB di NTT

Oleh : Samu Rambunita Sandy, S.Pd
Guru SLBN Oelmasi – Kab. Kupang

Pemerintah provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan yang telah membuka beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) baru di NTT. Ada SLB baru di Amarasi dan Semau-Kab. Kupang, di Pulau Pantar-Kab.Alor, dan beberapa SLB di tempat lain. Kehadiran SLB ini membuktikan kepedulian pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di NTT. Dan ini patut diapresiasi.

Langkah maju pemerintah ini perlu juga diikuti dengan kehadiran jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) pada Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di NTT. Sebab dari jurusan PLB-lah kelak menghasilkan tenaga guru bagi SLB.

Selama ini, ketersediaan guru berlatar akademik PLB pada SLB di NTT masih terbatas. Datanya dapat dilihat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sementara, kebutuhan guru SLB semakin meningkat karena beberapa faktor, antara lain: pertambahan jumlah penduduk, bertambahnya jumlah murid berkebutuhan khusus, dan bertambahnya jumlah SLB baru tadi.

Anak-anak berkebutuhan khusus idealnya disekolahkan di SLB. Meski di sekolah reguler bisa memiliki kelas inklusi yang dapat menampung mereka, dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Belum lagi, untuk menyelenggarakan kelas inklusi, sekolah reguler perlu memenuhi beberapa syarat. Selain adanya murid berkebutuhan khusus, sekolah reguler juga mesti memiliki izin untuk menyelenggarakan kelas inklusi dari Dinas Pendidikan Provinsi. Diperlukan juga guru reguler yang bersedia dipersiapkan untuk membimbing anak berkebutuhan khusus.

Pada beberapa kasus, sekolah reguler akhirnya memperlakukan anak berkebutuhan khusus sebagaimana anak normal. Ini tentu tidak adil. Setiap ketunaan anak semestinya membutuhkan guru yang sesuai sebagai pembimbing.

Seorang teman guru di sekolah reguler pernah bercerita kepada saya perihal kunjungannya ke rumah orang tua anak tunagrahita. Ia bermaksud mengajak orang tua tersebut untuk mau menyekolahkan anaknya di SLB, pindah dari reguler.

Singkatnya teman saya menjelaskan: “Anak bapak memiliki ketunaan dan sebaiknya disekolahkan di SLB. Jika kelak saat belajar di SLB anak bapak mengalami perkembangan yang baik, anak bapak bisa dipindahkan kembali ke sekolah reguler untuk melanjutkan pendidikannya.”

Sang bapak mengakui ketunaan anaknya kemudian mengatakan: “Anak saya sudah kelas delapan SMP, tinggal setahun lagi selesai SMP. Biarlah dia selesaikan pendidikan di sekolah reguler. Saya pasrah.”

Sebagaimana bapak dari anak tunagrahita ini, saya duga ada banyak orang tua lain yang memasrahkan pendidikan anak berkebutuhan khususnya di sekolah reguler. Mungkin mereka merasa bahwa menyekolahkan anak di SLB seolah membuka aib kekurangan/ ketunaan anak. Itu pemahaman yang salah. Ketunaan anak bukanlah aib yang perlu ditutupi, tetapi adalah keterbatasan anak yang perlu diakui dan ditangani secara baik.

Sayangnya sampai saat ini belum ada data terkait jumlah riil anak berkebutuhan khusus di NTT, selain yang sudah terdata di Dapodik SLB. Apabila dilakukan survei pada anak-anak usia sekolah di NTT, saya menduga kita akan menemukan banyak anak berkebutuhan khusus yang belum tersentuh layanan SLB.

Hal yang lebih miris ialah: anak-anak berkebutuhan khusus ini, oleh oknum tertentu diberi stigma bodoh lalu diterlantarkan, tidak disekolahkan. Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus ini punya kompetensi yang bisa dikembangkan bahkan dilombakan. Semisal di SLBN Oelmasi, ada banyak anak didik yang telah berhasil menjuarai berbagai even pertandingan, baik di tingkat provinsi, nasional, hingga di even internasional.

Kebutuhan PLB di NTT

Setiap SLB idealnya memiliki rasio jumlah guru PLB dan murid berkebutuhan khusus yang ideal. Satu jenis ketunaan, satu jenjang kelas, minimal satu guru pembimbing yang perofesional. Tujuannya ialah agar pelayanan yang diberikan kepada anak didik benar-benar maksimal.

Untuk itu, dengan ketimpangan tenaga guru PLB selama ini, kehadiran jurusan PLB pada LPTK di NTT sangat diperlukan. Sedangkan guru SLB berlatar akademik non-PLB yang sudah mengabdi selama ini, perlu diberi solusi tersendiri, semisal diberi kesempatan kuliah PLB jarak jauh. Dengan begitu, mereka bisa kuliah sambil mengabdi. Setelah kuliah PLB, mereka perlu diberi kesempatan lagi untuk mengikuti Program Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG Daljab).

Secara empiris, dalam mengabdi, guru berlatar non-PLB di SLB tidak terlalu mengalami kesulitan. Mereka secara autodidak ternyata bisa menyesuaikan dengan tuntutan dan tanggung jawab pelayanan sebagai guru di SLB. Akan tetapi dari sisi akademis dan jenjang karier guru (misalnya sertifikasi guru) ke depan tentu tidak mudah.

Untuk menjadi guru bersertifikasi, awalnya guru mesti mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) PLB. Itu jika guru tidak memilih PPG jalur mandiri. Setelah lulus UKG, guru mesti mengikuti PPG Daljab. Setelah PPG guru mengikuti Ujian Tulis Nasional (UTN) sebagai penentu akhir. Jika guru lulus UTN maka akan menjadi guru bersertifikat pendidik. 

Proses ini tidak akan mudah jika guru SLB tidak memiliki kemampuan akademik PLB. Sementara di sisi lain, masyarakat mengharapkan adanya guru-guru profesional di SLB yang bisa menghasilkan anak-anak didik unggul meski dengan ketunaan yang dimiliki.

Oleh karena itu, sekali lagi, kehadiran jurusan PLB pada LPTK di NTT sangat dibutuhkan, termasuk untuk melayani kebutuhan guru berlatar non-PLB yang selama ini telah mengabdi di SLB. Semoga.

Sumber: https://www.victorynews.id/opini/pr-3312662747/kebutuhan-guru-slb-di-ntt

Tidak ada komentar: