Sabtu, 24 Oktober 2020

NTT (sebuah cerpen)

Judul: NTT
Oleh : Krismanto Atamou

“Kau tahu, apa itu NTT?” tanya Yakob pada Niko tetangganya.
“Nusa Tenggara Timur, kan?”
 
“Benar, itu memang nama provinsi kita. Tapi, ada akronim lain lagi. Coba kau tebak?”

Niko menjawab tidak tahu. Ia heran melihat Yakob begitu bersemangat dengan NTT sebagai sebuah akronim. Pasti ada sesuatu akronim baru yang mengasikkan baginya. Orang ini, entah kenapa, selalu suka dengan akronim aneh-aneh dan bangga dengan itu, pikirnya. Niko mempersilakan Yakob duduk lalu berkata, “Ah, pasti kau sudah tahu akronim NTT yang lain kan? Apa itu?”

“Nasib Tidak Tentu.”

“Jangan sembarang kau bicara! Kalau nasib tidak tentu berarti kita sebagai warga NTT sudah pengangguran semua tanpa harapan yang jelas. Nyatanya, kau. Kau seorang PNS, Ketua RT lagi! Nasibmu sudah tentu, kan?”

“Ia. Tapi tidak semua kita bernasib baik. Masih banyak saudara-saudari kita warga NTT yang nasibnya tidak tentu. TKW kita misalnya, ada yang pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Seakan tidak ada jaminan mereka selamat di negeri orang dan pulang sebagai pahlawan devisa.”

“Ya, waktu kematian kita adalah rahasia Ilahi, Yakob. Mungkin jalan hidup beberapa TKI itu sudah begitu, tak peduli berdokumen resmi atau tidak, lewat jalan tikus atau jalan manusia.”

“Ah ..., kau terlalu menyederhanakannya, Niko!” sanggah Yakob. Yakob berupaya mempertahankan argumennya dengan menceritakan nasib para guru honorer di NTT. Ia mengambil contoh kisah guru honorer yang paling legendaris yaitu Asnat Bell. Katanya Asnat Bell mengajar di daerah terpencil dengan jumlah jam mengajar yang sangat padat tapi honornya hanya dibayar Rp.50.000,-/ bulan. Dan masih banyak Asnat Bell lain di seluruh penjuru NTT. Setahun lalu ia mendengar cerita bahwa ada guru honorer di Ende yang sampai menangisi nasibnya di depan anggota DPRD. “Sungguh nasib tidak tentu,” ujar Yakob terdengar haru.

“Aku pikir, masalah yang kau sampaikan itu juga adalah masalah negara kita pada umumnya. Berdoa sajalah! Nanti Tuhan tolong.”

“Nah, itu, kau baru saja membuat istilah baru untuk NTT.”

“Apa?”

“Tadi kau katakan, nanti Tuhan tolong. NTT. Ia, kan?”

“Ia.”

Sementara mereka berbicara, suara guntur terdengar. Menggelegar. Awan gelap mulai menyelimuti langit kota Kupang kemudian berlalu, cepat sekali. Ini sudah terjadi beberapa hari. Hujan turun pun sedikit sekali. Sumur-sumur warga kering semua. Hampir semua orang mengeluh soal kekeringan. Saban hari oto-oto tangki air bersiliwaran hingga ada yang mengalami kecelakaan maut. Miris.

“Sumurmu masih ada air?” tanya Yakob sambil berupaya melihat ke dasar sumur milik Niko.

“Tinggal sedikit. Untuk menimba air harus menunggu beberapa jam, itu pun hanya dapat seember lebih. Dengan terpaksa kami melarang tetangga datang mengambil air.”

“Aih ..., kau pelit, Niko! Nanti kalau kau susah, tidak ada tetangga yang akan mempedulikanmu.”

“Habis mau bagaimana lagi? Ini pertaruhan hidup dan mati.”

“Apa kau tidak percaya, nanti Tuhan tolong? Bukankah pepatah mengatakan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” kata Yakob sambil bergeser dari tempat duduk semula mencari tempat yang lebih sejuk. Sinar mentari yang menembus tajuk pohon nangka seakan mengejar-ngejar dirinya sedari tadi.  

Sumur milik Niko digali tepat di sebelah pohon nangka. Batang pohon nangka itu berfungsi juga sebagai salah satu tiang penyangga bagi gantungan katrol untuk menimba air di sumur.

Niko membuat balai-balai di sisi lain pohon nangka untuk tempat berteduh saat siang nan panas. Beberapa tetangga juga sering ikut menumpang ngadem di bawah pohon nangka. Jika buah nangka sudah bisa dijadikan sayur atau ada buah yang masak, Niko membaginya pada tetangga. Lumayan untuk mengurangi keluhan tetangga karena saban hari dapat kiriman daun nangka yang berguguran. Tapi sebenarnya, dengan membagi hasil buah nangka, Niko ingin membangun hubungan sosial dengan tetangganya.

“Bagaimana dengan sumurmu?” Niko balik bertanya pada Yakob.

“Ya ... masih ada cukup air. Aku mengambilnya menggunakan dinamo air.”

“Wah, berarti tergantung listrik.”

“Ia. Jadi tetanggaku patungan mengisi pulsa meteran listrik di rumah lalu mengambil selang panjang untuk mengalirkan air lewat dinamo ke rumah-rumah mereka.”

“Kalau dipakai terus menerus seperti itu, dinamo airmu bisa jebol, Yakob!”

“Ah, tidak, Niko. Setiap sejam sekali aku istirahatkan mesin sekira setengah jam, barulah lanjut lagi. Yang penting kan kita saling membantu. Gotong royong.”

“Tepa selira mungkin istilah yang lebih tepat.”

“Mungkin? Ah ..., apapun istilahnya, yang penting saling membantu dalam keadaan susah itulah bukti bahwa kita saling mengasihi sesama manusia.”

 “Wah ..., kau membuat aku tersinggung.”
“Maaf kalau begitu.”
“Tidak apa-apa, Yakob.”

“Kalau kau mau, ambil saja air di rumah. Jangan sungkan! Toh nanti kalau aku susah, kau juga yang akan membantu dengan tetangga lainnya. Aku bahkan berencana membuat bak air besar milik kita bersama. Jadi, kalau sampai sumur kita kering, kita patungan lalu isi air tangki di situ, kita pakai air bersama secara hemat. Yang penting kan bisa menyambung hidup sehari-hari sampai hujan turun dengan normal dan sumur-sumur kita memiliki cukup air, sampai air yang mengalir lewat pipa dari perusahaan penyedia jasa air itu mengalir dengan normal, tidak tersendat-sendat seperti sekarang. Sampai ....”

“Sampai nanti Tuhan tolong,” sambung Niko.
“Ya, kau benar. Hehe ....”
“Itu ide bagus, Yakob. Tapi dari mana dana untuk membuat bak air itu? Siapa tukang untuk mengerjakannya?”

“Sebagian besar dananya akan aku berikan.”
“Tapi dana itu bukan hasil korupsi kan?”
“Aku masih  punya iman untuk tidak korupsi, Niko.”

“Nanti kalau ada kekurangan saat pengerjaan bak, silakan teman-teman patungan. Tenaga kerjanya ialah kita semua yang ada di lingkungan ini. Kita kerja secara gotong royong. Warga yang bisa tukang, kita minta sebagai kepala tukangnya. Kita yang lain jadi buruh dan menyumbang makanan ala kadarnya. Bagaimana? Kau setuju?”

“Ah, kalau untuk kebaikan, aku selalu setuju, Yakob! Kalau warga yang sudah punya bak air bagaimana? Apa mereka tidak dilibatkan?”

“Ya, kita undang saja. Ini kan aksi sosial, siapa tahu mereka mau menyumbang. Setiap manusia itu diciptakan sebagai makhluk sosial juga kan?”

“Tapi jangan dipaksakan, Yakob!”
“Maksud kamu?”
“Maksudnya jangan paksa setiap pribadi harus menyumbang. Namanya sumbangan itu kerelaan, Yakob! Kecuali iuran, baru wajib.”
“Oh, itu pasti.”

“Tapi kau harus hati-hati saat menyampaikan ini dalam rapat. Jangan sampai ada pihak yang mendompleng lalu menjual namamu untuk memungut pungutan liar kepada warga. Namamu juga yang rusak.”

“Masukan bagus itu, Niko. Akan aku perhatikan.”

“Lalu, lokasi bak airnya di mana? Zaman sekarang ini hampir mustahil seperti dulu, orang dengan mudahnya berderma lahan untuk kepentingan umum. Harga tanah semakin mahal, apalagi hampir semua orang sudah tahu, ada ganti untung jika lahannya dipakai untuk pembangunan fasilitas umum, walaupun fasilitas umum itu nantinya dipakai juga oleh pemilik lahan, semisal jalan.”

“Nah, itu yang akan kita musyawarahkan. Di satu sisi kita perlu ruang untuk layanan publik dari kerelaan pemilik lahan, akan tetapi, kita juga harus menghormati hak pemilik lahan yang membutuhkan ruang untuk kebutuhan pribadinya. Aku yakin, untuk kebaikan nanti Tuhan tolong. Pasti akan ada yang bersedia menyediakan lahannya. Kita harus mengambil contoh dari para pendiri bangsa ini, juga para pendiri provinsi kita ini, Niko!”

“Contoh apa itu?”
“Teladan yang baik. Para pendiri provinsi kala itu rela berkorban demi terbentuknya provinsi NTT ini.”
“Kau sudah pernah baca sejarahnya?”
“Sudah,” jawab Yakob.
“Kau sendiri?”
“Belum.”
“Kemarin aku berupaya mencari buku referensi sejarah pembentukan provinsi NTT. Lumayan pusing.”
“Kenapa?”

“Coba dari awal aku langsung ke perpustakaan mungkin cepat untuk mendapatkannya. Tapi, tidak. Aku mulai dari museum, disitu tidak ada kata pegawai. Aku diarahkan ke dinas pariwisata, tidak ada. Dari situ aku diarahkan ke Biro Umum Kantor Gubernur, terus ke Biro Organisasi, terus ke Protokol, dan terus ke Humas. Di Humas aku dijamu dengan segelas kopi. Lumayan.”

“Wah, kau enak sekali menikmati uang pajak yang aku bayar!”
“Memangnya kau sendiri yang bayar pajak? Aku juga, Niko!”
“Oh, iya. Terus?”

“Nah, dari Humas aku diantar ke perpustakaan setda provinsi NTT dan mendapatkan dua buku referensi. Buku pertama produk masa orde baru cetakan tahun 1992, buku kedua produk masa reformasi cetakan kedua tahun 2007.”

“Kenapa kau tidak mencari dari Opa Serba Tahu saja?”
“Opa itu tinggal di mana?”
“Tinggal di dunia maya, nama lainnya Opa Google.”
“Oh ..., kau ini bagaimana, Niko? Aku lagi serius kau malah bercanda.”
“Jangan bercanda, ya! Aku cuma tersinggung.”
“Nah, itu lagi, terbalik!”
“Oh, iya. Jadi kenapa kau tidak tanya Opa Google?”
“Ada juga di situ, tapi aku mau mengecek ulang di buku resmi dari pemerintah. Buku dari pemerintah sudah melalui kajian dan lebih valid.”
“Apa yang kau dapat?”
“Aku dapat sejarah dan jas merah.”
“Mana jas merah itu?”
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
“Oh, maksudmu itu akronim?”

“Iya. Semboyan Presiden Soekarno itu aku dapat di cover belakang buku kedua yang dinarasikan untuk mengajak seluruh warga NTT berubah ke arah yang lebih baik. Ke arah istilah NTT yang berikutnya.”

“Apa itu?”
“NTT, nikmat tiada tara.”
“Haha ..., kau ada-ada saja, Yakob.”

“Tidak, Niko!” sanggah Yakob. Tawa Niko itu lebih terdengar sebagai sindiran di telinga Yakob. Seakan berpidato ia menyampaikan bahwa kalau warga NTT serius berusaha dan menata kehidupan menjadi lebih baik, tidak pesimis, maka akan ada perubahan yang berarti. NTT punya potensi alam dan daya manusia yang memadai. Bahkan sudah sejak dahulu NTT punya banyak orang cerdas. Ia memberi contoh antara lain Bpk. Adrianus Mooy sebagai mantan Gubernur BI, Bpk W. Z. Yohannes sebagai ahli radiologi pertama Indonesia, sastrawan Gerson Poyk, dan masih banyak yang lain termasuk para tokoh di balik berdirinya provinsi NTT.

Dengan semangat Yakob bercerita tentang kunjungannya ke pameran arsip publik yang diselenggarakan oleh Sekolah Musa di gedung bekas Pabrik Es Minerva Kupang. Di situ ia melihat sebuah foto tahun 1950 yang memperlihatkan kunjungan Presiden Soekarno ke Kupang dan disambut oleh Raja Nisnoni. Pada keterangan di bawah foto tertulis bahwa baru tahun 1950 keresidenan NTT memilih bersatu dengan NKRI, sebelumnya masih sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur. Ia membayangkan NTT ibarat gadis yang memilih bersatu dengan Indonesia sebagai pria yang meminangnya. Hasilnya, NKRI sebagai nama keluarga, Pancasila sebagai ikrar cinta, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai cincin simbol pemersatu kedua mempelai.

“Kau tahu, Niko? Sejak gubernur pertama Bpk. W. J. Lalamentik hingga sekarang Bpk. Viktor B. Laiskodat, sudah ada perubahan yang terjadi, itu tidak bisa dinafikan. Kita hanya perlu mendukung dengan aksi nyata sesuai latar belakang kita masing-masing.”

“Ya, ya, ya .... Kau kan RT, PNS pula. Pantaslah kau bicara begitu. Seandainya kau aktivis sosial atau rakyat jelata, mungkin kau akan punya persepsi yang berbeda.”

“Itulah masalahnya persepsi, pola pikir, pro-kontra memang selalu ada. Tapi apakah kita biarkan itu menjadi masalah? Bukankah lebih baik menjadikan perbedaan itu kekayaan untuk saling mendukung, bahkan kritik untuk saling melengkapi, bukan saling menyerang. Hingga pada akhirnya, kita bisa menikmati NTT sebagai Nikmat Tiada Tara.”

“Ya. Idealnya begitu, Yakob.”

Tak terasa hari sudah menjelang malam. Yakob pamit. Ia pulang. Niko berupaya menimba air di sumurnya yang tinggal sedikit.

Sekian.

Senin, 12 Oktober 2020

Ancaman Punahnya Bahasa Daerah Abui Alor



"Eyala he a mei?" tanya Paman ketika melihat saya duduk di bawah gudang bersama sanak keluarga yang lain.
"Ya," jawab saya menggunakan bahasa Indonesia dengan perasaan canggung.

Paman baru saja pulang berburu rusa yang nyasar di dalam Kampung. Ia lalu duduk di bawah gudang dan kami berbicara tentang banyak hal. Salah satunya ialah tentang bahasa daerah.



Saya mengeluhkan tentang mulai adanya jarak antara saya dengan bahasa daerah. Saya mulai menjadi penutur pasif_yang sangat pasif.

Saya hanya mengerti bahasa daerah namun sulit untuk berbicara secara aktif. Ini sudah terjadi di zaman saya. Entah bagaimana nanti di zaman anak-anak saya.

Seorang ponakan yang duduk dekat kami ikut menyela. Ia bercerita tentang kondisi berbahasa di SMP tempatnya bersekolah.

Ponakan bercerita bahwa anak-anak dari Mataru lebih mencintai bahasa daerah dibanding anak-anak seputaran Mainang, katanya.


Anak-anak dari Mataru hampir selalu menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan saat jam istirahat di sekolah, dalam perbincangan dengan sesama teman, mereka menggunakan bahasa daerah.

Dia juga menilai bahwa ada temannya yang merasa rendah diri ketika berbicara bahasa daerah. Temannya itu merasa lebih tinggi derajatnya ketika berbicara bahasa Indonesia.

Timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah pilihan berbahasa mesti menunjukkan derajat? Apakah berbahasa daerah berarti kita adalah orang kampung? Apakah kampung mesti dipandang rendah dibandingkan kota?

Sebagai guru di sekolah, menurut saya, akan berdosa kepada leluhur ketika melarang penggunaan bahasa daerah di sekolah. Anak-anak sejak kecil yang harusnya dekat dengan bahasa Ibu, dipaksa keluar untuk terpisah dari bahasa ibunya sendiri. Bagi saya itu adalah proses alienasi seseorang dari jati dirinya sendiri.


Saya secara pribadi tidak akan lagi melarang murid berbicara berbahasa daerah di sekolah. Nasionalisasi tidak harus memisahkan orang dari jati dirinya sebagai pewaris bahasa daerah, bahasa ibunya.

Saya berencana membuat channel YouTube budaya lalu merekam pembicaraan bahasa daerah yang mungkin kelak menjadi museum bahasa daerah secara audio visual. Saya juga berencana membuat buku kamus sederhana untuk bahasa ibu saya.

Sekian.