Minggu, 27 Oktober 2019

OBROLAN DI RUANG TAHANAN

Oleh : Krismanto Atamou

Dengan kedua tangan diborgol ke belakang, Andi melangkah dikawal aparat keamanan menuju ruang tahanan. Ia ditangkap bersama Yanto, temannya.
Tak terbesit penyesalan di wajah Andi dan Yanto. Keduanya tampak tegar. Sepertinya mereka telah menyadari konsekuensi dari kejahatan yang baru saja dilakukan. Mungkin mereka berpikir bahwa hukuman yang akan didapatkan tak sebanding dengan keuntungan dari melakukan kejahatan tersebut. Atau mungkin juga mereka sudah pasrah dengan jalan hidup yang sudah terlanjur dipilih.
“Siapa namamu?” tanya penyidik. 
“Andi Budiman, Pak.”
“Dari mana asalmu?”
“Dari desa Suka Rukun, Pak.”
“Siapa nama ayah kamu?”
“Mulianto Budiman, Pak.”
 Penyidik memalingkan wajahnya dari layar laptop yang ia pakai untuk mengetik berita acara pemeriksaan dan memandangi Andi dengan heran. “Aneh ...,” katanya. “Nama harusnya adalah doa. Namamu, nama ayahmu, nama desamu sungguh jauh dari perbuatanmu sekarang. 
“Memang benar kata pepatah bahwa jangan menilai seseorang dari tampak luarnya saja, termasuk nama dan jabatannya. Dalam pekerjaanku, penjahat bahkan bisa berasal dari orang yang harusnya jadi panutan. Semisal ayah menghamili anaknya sendiri, ibu tega membunuh buah hatinya sendiri, pejabat mengkhianati sumpah jabatan dan amanat yang diberikan padanya, dan masih banyak lagi. Cenderung pelaku kejahatan adalah orang-orang dekat korban yang seharusnya melindungi korban. Miris,” lanjut penyidik.
Andi dan Yanto tertangkap basah melakukan kejahatan pembakaran hutan. Yanto berperan sebagai pemantau dan pengemudi, sementara Andi bertugas membakar lahan. Keduanya saling mencurahkan penyesalan yang selalu terlambat datangnya.
“Tak jarang, untuk berbuat kebaikan, kita harus melawan diri sendiri. Itu bagian tersulitnya,” kata Andi. 
“Ah, kau bicara seperti orang baik-baik, seperti seorang motivator. Padalah kau sama saja dengan diriku. Kita penjahat!”
“Setiap orang punya sisi baik dan buruk, Yanto. Begitu juga kau. Aku yakin, setiap penjahat sebelumnya adalah anak baik-baik yang terperosok ke jurang kejahatan. Aku juga begitu. Apa kau pikir aku rela masuk ke dalam dunia pekerjaan kotor seperti ini? Tidak, teman! Aku hanya ingin bertahan hidup dan balas dendam pada ayahku.” 
Andi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya seberkas cahaya matahari yang menyusup masuk lewat lubang angin sel tahanan yang diberi terali besi. Berkas cahaya itu seakan mengisaratkan adanya harapan namun bayang-bayang terali besi itu seakan menjadi batasan.
“Aku juga terpaksa. Sebelumnya aku adalah anak yang saleh, rajin beribadah dan bekerja sebagai guru honorer. Aku dipecat karena posisiku diganti oleh orang lain yang menjadi titipan pejabat. Memang benar kata penyidik, siapa saja bisa menjadi penjahat, termasuk guru. Termasuk diriku,” ujar Yanto.
“Harusnya kau adalah sosok yang diguguh dan ditiru.”
“Ya. Benar sekali. Tapi itu dulu.”
"Sewaktu sekolah aku adalah anak yang nakal. Walau begitu, ada banyak guru yang menjadi idolaku. Aku ingat betul, namanya Pak Viktor, guru SD.” 
Andi tertunduk sebentar. Ia memandangi langit-langit sel. Air matanya perlahan menetes. Ia mengingat bagaimana Pak Viktor pernah memeluknya saat hampir semua warga sekolah menolaknya karena nakal. Sambil memeluk, Pak Viktor berbisik, “Aku tahu, kau sebenarnya anak yang baik. Kau hanya kurang mendapatkan perhatian dari orang tuamu, itulah alasan kau memberontak.” Itulah pelukan pertama yang Andi dapatkan dari sosok seorang Bapak. Andai pelukan itu didapatkan dari ayahnya, pikir Andi waktu itu.
“Seperti arti namanya, Pak Viktor selalu berhasil merebut hati dan perhatian murid-muridnya untuk belajar. Ia periang, ramah, mudah akrab, antusias, peduli, dan kreatif. Selalu ada permainan jika dilihatnya murid sudah mulai tidak bersemangat belajar. Ia sangat pengertian untuk menerima alasan jika ada murid yang ingin meningggalkan pelajaran. Baginya itu tantangan untuk membuat pembelajaran yang menyenangkan agar murid betah di kelas, bukan menjadikan alasan untuk menghukum murid, apalagi dengan kekerasan,” lanjut Andi.
“Ya, kau benar. Aku bahkan menyadari bahwa guru yang tak bisa menjadi idola muridnya adalah musuh dalam selimut untuk upaya mencerdaskan bangsa. Guru yang melakukan kekerasan adalah pembunuh karakter anak bangsa.”
“Dulu, aku adalah anak baik-baik,” kata Andi sambil menatap Yanto datar. Yanto membalas tatapan itu keheranan.
“Bukankah kau telah menjadi penjahat sejak kecil?”
“Hanya itu yang kau tahu?”
“Ya. Bukankah kita sekampung? Aku tahu sepak terjangmu sejak kecil.”
“Hehe ..., kau pasti hanya mengikuti cerita orang-orang. Memang benar, cerita buruk selalu menjadi cerita menarik untuk dibahas, disebarkan, dan diingat memori orang pada umumnya dalam jangka panjang. Sedangkan cerita baik cenderung berlaku sebaliknya.”
“Kau benar.”
“Karena nakal, aku dulu pernah dikeluarkan dari sekolah tanpa peringatan atau bimbingan. Tak ada sekolah yang mau menerimaku. Bagi mereka, aku adalah aib yang perlu disingkirkan dari wajah sekolah yang cemerlang. Mungkin mereka digaji untuk mengajar dan mendidik anak yang cerdas dan berkelakuan baik. Sedangkan anak bodoh dan nakal pantas dihindari.”
“Eh ..., tapi sejak kapan kau mengerti soal pendidikan dan bisa berbicara seperti ini? Bukankah duniamu adalah dunia kejahatan?”
“Nah, itu lagi. Kau selalu menggeneralisir pandanganmu. Kau menilai seseorang secara kasat mata.”
“Sejak keluar dari sekolah, ibu adalah guruku. Ibu mengajariku banyak hal, seperti yang dilakukan oleh ibu Thomas Alva Edison. Tidak hanya materi pendidikan umum, ibu juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Sesaat aku menjadi anak baik-baik.”
“Lalu kenapa kau menjadi penjahat?”
“Ibuku dibunuh.” Andi tertunduk lesu.
“Oh ..., maaf. Aku turut berdukacita.”
“Terima kasih, teman.”
“Siapa pembunuhnya?”
“Dialah alasan aku memilih menjadi penjahat. Aku sangat ingin membunuhnya suatu waktu sebagai balas dendam. Aku telah membuang banyak waktu hidup untuk itu, waktu yang seharusnya terpakai untuk membangun hidup yang lebih baik, sebagaimana normal pada orang umumnya.”
“Siapa dia?”
“Dia adalah ayahku. Ia membunuh ibuku karena ingin menikah lagi dengan istri barunya yang lebih muda, cantik, dan kaya. Padahal, dari dorongan ibukulah ayah sukses menjadi manajer perusahaan keluarga yang mereka dirikan bersama.”
“Apakah dendammu sudah terlaksana?”
“Belum.”
“Kau masih dendam?”
“Tidak lagi.”
“Kenapa?”
“Saat ini aku baru sadar, untuk apa menyimpan dendam? Tak ada manfaatnya. Dendam telah merampok sebagian besar waktu hidupku untuk membalas perbuatan jahat ayahku dengan perbuatan jahat pula. Seandainya waktu itu kupakai secara positif sebagaimana tawaran Pak Viktor untuk mengadopsi dan menyekolahkanku dulu, tentu saat ini aku bukanlah seorang penjahat. Namun semuanya sudah terlambat.”
Yanto manggut-manggut seakan baru mengenal teman masa kecil yang sedang berbicara di depannya. Suasana ruangan sel tahanan yang menyeramkan itu sejenak  terlupakan. Ruangan itu sejenak berubah menjadi ruang santai tempat mencurahkan isi hati. Mungkin itu usaha pertama mereka untuk membunuh waktu yang akan selalu menjadi teman setia di penjara.
“Aku heran, kau sangat berbeda hari ini. Pengertian baikmu seakan keluar semua hari ini. Dari mana kau dapatkan itu?”
“Semua penjahat memiliki pengertian dan sisi baik di dalam dirinya. Semisal Arthur Bishop tetap menjadi orang baik dengan memiliki sahabat yaitu Ben Foster sebagai Steve McKenna dalam film The Mekanik. Paling tidak penjahat akan selalu baik terhadap dirinya sendiri.”
“Kau lucu. Baik terhadap diri sendiri itu bukan baik, tapi egois.”
“Kau juga lucu, memaksakan pandangan seperti itu. Aku punya pandangan yang berbeda. Kau akan egois jika memaksakan pandanganmu padaku. Setiap kejadian dalam kehidupan sehari-hari tidak senantiasa dapat dicerna memakai kerangka pandang pertentangan ekstrem biner seperti itu.”
“Pertentangan ekstrem biner yang bagaimana?”
“Yang mengelompokkan orang menjadi kelompok egois atau tidak egois.”
“Tapi contoh yang kau beri tadi dari film. Film itu fiksi. Di dunia nyata, tak mungkin terjadi.”
“Jangan jauh-jauh ku ambil contoh lagi. Kau misalnya. Kau melakukan kejahatan ini demi suatu tujuan baik bukan? Kau menafkahi dirimu dan keluargamu. Tidak hanya kau, aku, para pelacur, koruptor, perampok, pencuri, penipu, dan semua penjahat lainnya melakukan hal yang sama. Melakukan hal yang salah untuk tujuan yang benar dan ....”
“Dan tetap salah bukan?”
“Ia. Memang salah. Arif, adikku pernah berkata: ‘Kak, tidak ada istilah setengan benar atau setengah salah. Salah tetap salah, benar tetap benar, dan jahat tetaplah jahat.’ Itulah alasan ia selalu menolak ketika kuberikan uang hasil kejahatanku.”
“Terus, dari mana dia mendapatkan biaya perkuliahannya?”
“Dia mendapatkan beasiswa karena kerja keras dan kecerdasannya. Bahkan sudah dua kali ia mendapatkan hadiah langsung dari pimpinan negara. Berbeda dengan diriku yang mendendami ayah, Arif memilih memaafkan ayah walau hatinya sakit. Baginya dendam terhadap ayah, apalagi sampai berencana membalas kejahatan ayah hanya akan membuat dirinya sama seperti ayah, yaitu menjadi penjahat atau pembunuh. Ia tak mau mewarisi kesalahan yang telah ayah buat.”
“Nah. Sekarang aku tahu, pasti kau belajar banyak kebajikan dari Arif. Ia, kan?”
“Ya. Arif mengajarkanku banyak kebajikan. Terkadang aku membaca buku-bukunya. Arif mencoba hidup bersih, walaupun itu mustahil.”
“Mustahil kenapa?”
“Kita hidup di negara dengan sistem yang terkait satu sama lain. Jika aku membeli barang yang kena pajak dari uang hasil kejahatan, kemudian uang pajak itu dipakai membangun sarana umum, sarana umum tersebut kemudian dipakai oleh Arif, maka secara tidak langsung, Arif telah menikmati hasil kejahatanku. Benar, kan?”
“Ah, itu pikiran kamu saja.”
Tiba-tiba datang seorang aparat keamanan di depan pintu sel. Ia membuka pintu dan memasukan seorang pria. Pria itu tidak lain adalah bos Yanto dan Andi. Ia dituduh sebagai otak pelaku karena ada bukti komunikasi via telepon genggam. Di luar sana ada sang dalang yang sedang asyik menikmati manfaat kejahatan. Sang dalang sulit terjerat hukum, entah kenapa.

RUMAH CINTA

Oleh : Krismanto Atamou

Senja akan segera berakhir ditelan malam sunyi. Gubuk kecil di pinggir desa terpencil pedalaman pulau Timor itu seakan benteng pertahanan terakhir pasangan muda yang selalu dirongrong oleh godaan orang ketiga. Belum lagi sifat sang suami, Ardi, yang selalu curiga terhadap istrinya, Rini. 
Sejak menikah tiga tahun silam, sudah tiga kali mereka terancam bercerai. Untunglah sampai pada taraf sampai bercerai yang berarti nyaris bercerai. Masih ada sedikit sekali harapan untuk tidak bercerai. Meski harapan itu sangat kecil nilainya, nilai itu sangat penting untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka.
***
“Rin, ini ada telepon untukmu,” Ardi menyodorkan telepon rumah sambil menunjukkan ekspresi marah, lebih tepatnya cemburu. Hal itu karena suara yang didengar Ardi dari seberang telepon adalah suara laki-laki.
“Halo, ini siapa?” Rini meninggalkan cucian yang sedang dicucinya di ruang cuci dan memulai percakapan.
“Rin, ini aku Dani.”
“Dani siapa ...?”
“Ah, kamu jangan sengaja lupa ya...? Aku Dani, teman SMP-mu... yang kupu-kupu kertas itu, masih ingat tidak?”
“Oh, iya, kupu-kupu kertas. Iya, aku ingat. Kamu yang selalu buatkan aku kupu-kupu kertas kalau aku lagi malas-malasan di kelas kan ...?”
“Iya benar. Dan kamu paling suka itu kan ...?”
Tak lama berselang, ruang keluarga itu terdengar tawa riang Rini bersama teman obrolannya di telepon. Mereka bercerita tentang masa SMP yang begitu menyenangkan.
Bruk ....
Tiba-tiba ada suara benda jatuh di belakang Rini. Rini menengok ke belakang. Tampak Ardi membanting laptop Apple miliknya yang sedang dipakainya mengetik. Ardi memang seorang pekerja keras, sering rumah dijadikannya seperti kantor. Sangat sedikit waktu yang ia sisihkan untuk keluarga, termasuk istrinya. Mungkin karena itulah Rini sangat gembira mendapat telepon dari teman lamanya, ia bisa mendapatkan perhatian yang nyaris tidak ia  dapatkan dari suami.
“Kamu kenapa ...?”
“Kenapa ...? Heh, harusnya kamu selesaikan cucian itu dahulu. Setelah itu barulah kau mau telepon sampai telinga panas  atau  telinga terbakar, terserah kamu....  Satu lagi. Itu siapa yang telepon kamu...? Selingkuhanmu kan ...?”
“Sembarang saja kamu menuduh. Ini teman aku saat SMP dulu!” 
“Ah ..., jangan tipu! Katakan saja kalau itu mantan kamu. Iya kan ...?”
“Terserah kamulah!” Rini membanting telepon ke lantai dan melangkah kembali ke tempat cucian. 
Prak ...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rini. Tak percaya dengan itu, Rini melihat Ardi keheranan. Ia seakan belum yakin Ardi menamparnya. Sepanjang mereka pacaran selama tujuh tahun, tunangan setahun dan menikah hingga memasuki usia pernikahan yang hampir setahun, Ardi belum pernah berkata-kata kasar, apalagi sampai bertindak kasar. Selama ini, justru Rini yang kadang memperlakukan Ardi dengan kasar. Maklum Rini berasal dari keluarga berada sehingga ia menganggap rendah Ardi yang hanya PNS (Pegawai Negeri Sipil) bergolongan rendah.
“Hei, Ardi kamu pukul aku, hah ...? Kamu pukul aku? Aku tidak parcaya, Ardi. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini!”
Perkelahian tak terhindarkan. Suasana kompleks perumahan Bea Cukai yang biasanya sepi itu, tiba-tiba ramai. Para tetangga datang menonton rumah dinas Ardi yang untuk sementara berubah menjadi ring tinju bervariasi, yaitu tinju bercampur pencak silat dan gulat. Kadang Ardi di atas menindih tubuh Rini, kadang sebaliknya. 
Seperti biasa, menyaksikan hal bombastis seperti itu, bukannya melerai, sebagian orang malah merekam dengan kamera genggam masing-masing. Bahkan ada warga kompleks yang menyiarkan secara langsung di akun Facebook-nya, ada pula yang membagikan siaran itu di grup publik yang beranggota ribuan warga net. Seketika kejadian dalam rumah tangga itu pun viral. 
Hanya berselang lima menit, Pak RT tahu kejadian itu, bukan dari laporan warga tetapi dari media sosial. Ia segera datang melerai. Beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu turut membantu Pak RT. Ardi mendapat teguran dan peringatan untuk tidak mengulangi lagi. 
“Sebagai kepala keluarga, kamu harus bertanggung jawab. Jika ada masalah, harus diselesaikan dengan baik-baik,” kata Pak RT.
“Iya, Pak RT. Maaf tadi saya terbawa emosi,” kata Ardi.
“Makanya, jangan ambil keputusan di saat sedang emosi. Lihat hasil dari tindakan emosi kalian, barang rumah tangga kalian hancur berantakan. Lebih dari pada itu, keadaan keluarga kamu yang memalukan ini, jadi konsumsi publik. Apa tidak malu?” kata Pak Paul―ayahnya Ardi―yang segera datang setelah mendengar pertengkaran anaknya viral di media sosial.
“Kalau begini, lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku saja ...!” ujar Rini sambil menangis tersedu-sedu.
“Nak’ Rini, Bapak sudah bilang, jangan ambil keputusan di saat sedang emosi,” ujar Pak Paul.
“Sudalah, kami pulang dulu, kalian tenangkan hati dan pikiran. Jangan gegabah!”
Pak RT pamit, ia membubarkan kerumunan orang yang masih bergosip ria di depan rumah dinas Ardi. Pak RT bahkan sempat memarahi beberapa orang tua yang tidak segera merelai perkelahian Rini dan Ardi.
Pak Metu dan istrinya, Ibu Meri―orang tua Rini―datang setelah kerumunan orang bubar. Mereka turut mendukung Pak Paul untuk menasihati Rini dan Ardi. Sekalipun mereka orang berada, mereka sadar anaknya sudah menjadi tanggung jawab suaminya, Ardi. Mereka tak bisa mengintervensi rumah tangga anaknya. Ibu Meri memeluk Rini, anak bungsunya.
“Rin, mama sudah bilang kan ..., kalau kau sudah menikah, kau harus dewasa dalam mengambil keputusan, jangan gunakan emosi sesaatmu!” ujar Ibu Meri. “Bila perlu, kalian berdua temui Tim Konsultan Keluarga di tempat ibadah kita, semoga mereka bisa membantu. Mama hanya bisa mendukung kau dalam doa,” lanjut Ibu Meri.
***
Semenjak kejadian itu, Rini dan Ardi rajin berkunjung ke Tim Konsultan Keluarga. Mereka diberi penguatan agar menjaga keharmonisan rumah tangga. Untuk sementara mereka akur-akur saja. 
Akan tetapi, ketika Ardi tugas ke luar kota, ia memasang kamera pengintai rahasia berbentuk jam weker yang diarahkan ke arah telepon rumah. Bahkan, telepon genggam Rini juga dipasangi aplikasi call recorder. Sifat cemburu Ardi memang susah hilang karena sudah menjadi gambar dirinya. Perkelahian terjadi lagi, saat Ardi pulang ke rumah. Bukan cuma sekali, tetapi dua kali.
Atas kejadian itu, Kepala Kantor memindahkan Ardi ke pos perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Negara Republik Demokratik Timor Leste. Ia diberi tugas administratif dan rumah dinas tanpa sambungan telepon. Jaringan seluler di tempat itu pun tidak ada. Satu-satunya alat komunikasi yang bisa dipakai ialah telepon satelit milik kantor yang ada di pos perbatasan.
Dengan kebijakan itu, tak ada lagi pertengkaran atau perkelahian gara-gara komunikasi Rini dengan orang lain. Tak ada lagi alasan Ardi untuk menghakimi Rini lantaran komunikasi lewat pesawat telepon.
Suara jangkrik terdengar jelas. Suara yang nyaris, bahkan mungkin tak pernah di dengar Rini dan Ardi di Kota Kupang, tempat mereka lahir, bertumbuh, berpacaran dan mulai membangun mahligai rumah tangga. Dari depan rumah dinas terpampang hutan savana, jejeran kayu putih yang tumbuh jarang-jarang. Ada gembala menuntun ternak sapi dan kambing.
Rini dan Ardi bercerita di teras rumah hingga malam menghampiri dan menutup pemandangan di depan mereka. Rini segera beranjak menyalakan lampu tenaga surya. Panel surya berukuran kecil itu hanya mampu memberi penerangan 12 jam sehari dengan empat buah bola lampu. 
Meski hidup sederhana, mereka berdua mulai memperbaiki kesalahan mereka dalam berumah tangga. Ardi mulai berupaya mengatasi rasa cemburunya sendiri. Ia berupaya untuk tidak langsung menghakimi Rini, ia mengelola stres dan emosi, ia langsung menyampaikan uneg-uneg pada Rini, hal yang susah dilakukan di Kota Kupang karena kebanyakan phubbing.
Rini membantu Ardi mengatasi rasa cemburunya. Rini mulai banyak terbuka tentang semua relasinya dengan pria-pria yang dicurigai Ardi. Rini berupaya untuk tidak mudah tersinggung atau marah, ia berupaya meyakinkan Ardi bahwa ia benar-benar mencintai Ardi. Rini tak lagi memandang rendah Ardi karena golongan pekerjaannya. Apapun pekerjaan Ardi, yang penting halal, itu sudah cukup bagi Rini. 
Dengan kondisi tanpa sinyal seluler, Rini menyediakan banyak waktu untuk Ardi. Rini berjanji, jika ada kesempatan mengakses media sosial, ia akan mengumumkan bahwa ia sudah bersuami dengan mengubah status media sosial menjadi menikah. Ardi juga menjanjikan hal yang sama.
Rini dan Ardi bahkan menetapkan batas-batas yang jelas dalam pergaulan dengan orang lain. Salah satunya, berhenti berkomunikasi dengan mantan apalagi sampai merencanakan bertemu dengan mantan. Pokoknya tak boleh ada orang ketiga, titik.
Rini dan Ardi bersyukur punya Kepala Kantor yang pengertian. Keduanya berencana tinggal lebih lama di pos perbatasan. Pos perbatasan yang telah membangun keutuhan rumah tangga mereka yang nyaris sirna. Mereka menikmati cinta di pos perbatasan yang mereka istilahkan sebagai rumah cinta. Ya, rumah cinta untuk keluarga bahagia.

Minggu, 06 Oktober 2019

Ada Cinta di Terminal Kota

Oleh : Krismanto Atamou

Siang itu di terminal kota, Jimi bertemu Maria. Keduanya bertatap, tanpa bicara. Jimi ingin mengungkap rasa namun tak bisa. Jimi sudah menaruh rasa suka pada Maria, bahkan sejak sekolah dasar. Namun, itu hanyalah seberkas rasa yang tak pernah diungkapkan. Jimi malu mengungkapkannya. Rasa itu dibawanya dalam imajinasi, dalam mimpi-mimpi yang berkepanjangan. Tak pernah keluar dari mulutnya, walau sepatah kata pun. 
Maria adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal saat ia masih kecil, masih berusia lima tahun. Maria diadopsi oleh pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru di SD tempat Jimi bersekolah. Itulah awalnya bagaimana Jimi bertemu dengan Maria.
Setelah tamat sekolah dasar, keduanya berpisah. Jimi melanjutkan SMP di kota dan Maria sebagai adik kelasnya harus tetap melanjutkan pendidikan di kampung. Begitulah hingga tujuh tahu berlalu dan mereka tak pernah berjumpa.
Akan tetapi, jodoh memang tak akan ke mana. Siang itu, Jimi terkejut melihat pujaan hatinya berjalan menggunakan seragam putih abu-abu di salah satu lorong terminal kota. Awalnya Jimi tak percaya itu adalah Maria. Ia agak ragu sebab menurut cerita yang didengarnya,  Maria telah mengikuti orang tua angkatnya pindah ke kampung yang lebih jauh lagi. Peluang perjumpaan kembali semakin kecil.
Akan tetapi siang itu, matanya menyaksikan kehadiran sosok yang selama ini menggoncang rasanya sejak kecil. Jimi ingat cara berjalannya, bekas luka cukup besar di kaki kanannya, posturnya, lesung pipinya, keanggunannya. “Ah, Maria. Kau selalu mempesona,” kata Jimi dalam hati.
Saat Jimi masih berdiri terpaku dan menelusuri relung-relung keraguannya, sosok Maria semakin jelas seiring jarak yang semakin mendekat. Maria tak menoleh ke kiri atau kanan. Maria hampir berlalu ketika Jimi mencoba menyapa.
“Maria!”
Maria menoleh mencari sumber suara. Langkah kakinya terhenti. Matanya terpana pada sosok laki-laki yang memanggilnya. Sosok itulah yang pernah tertangkap menatapnya penuh arti pada tujuh tahun yang lalu, saat ia masih bersekolah di sekolah dasar. Mata itu pernah menjadi sumber ketenangan hati ketika sekedar bertatap di sumur umum dekat kompleks sekolah dasar.
Maria pernah bertanya-tanya tentang arti tatapan itu dalam hatinya. Ia pernah merenungi keteduhan yang dipancarkan dari sorot mata itu setiap kali bertemu di sumur. Entah kenapa, saat SD, Maria hampir selalu bertemu Jimi saat menimba air di sumur. Setiap kali bertemu, suasana itu selalu sama. 
Maria pernah menduga bahwa Jimi pasti mengamati dan mengikuti ritme waktunya untuk menimba air. Jimi pasti mengikutinya. Suatu kali, Maria mengubah waktu untuk menimba air. Sepulang sekolah, sehabis makan, Maria tahu itu adalah waktu bagi anak lelaki berkumpul dan bermain. Maria mengambil ember dan berjalan ke sumur.
Dari jauh tidak terlihat ada orang di sumur atau yang sedang berjalan ke sumur. Benar-benar sepi. Betapa terkejutnya Maria saat mendapati Jimi sedang berada di sisi sumur yang terpeleh dari pandangannya tadi. Jimi sedang menunduk memperbaiki tangkai ember yang terlepas dari kaitannya. 
“Ah ..., sorot mata itu lagi,” gumam Maria. Jimi mencuri-curi pandang di antara kekikukkan yang terjadi sementara wajah Maria memerah. Jimi terus memperbaiki tangkai embernya yang lepas, seolah itu suatu pekerjaan besar yang sulit dilakukan. Grogi.
Sorot mata itu masih sama saat kini Maria menatap Jimi di terminal kota. Maria baru saja hendak berangkat ke sekolah untuk mengikuti les sore persiapan ujian akhir kelas dua belas SMA. 
“Hi, Jim,” sapa Maria mengurai kecanggungan.
“Wah, sudah lama kita tidak ketemu,” ujar Jimi mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Seiring usia keberanian Jimi bertambah. Jiwa kejantanannya keluar ingin bertindak sebagai pangeran. 
“Kau mau ke mana, Maria?”
“Aku mau ke sekolah, ikut les sore.”
“Oh, kau tambah cantik, Maria.” Wajah Maria memerah, tepat seperti di sumur tujuh tahun lalu. Hanya saja kali ini wajah yang memerah itu kelihatan lebih keibuan, tirus, tipikal garis muka remaja yang masih segar bugar. Ayu.
Maria seakan tak percaya bahwa sosok lelaki imut dan lugu saat SD dulu kini telah menjadi pria perkasa. Jimi telah menjadi perjaka yang jangkung dan ganteng. Tatapan matanya lebih tajam dari sebelumnya. Bahunya tegak seolah sosok seorang aristokrat.
Begitulah awal mula cinta mereka bersemi di terminal kota. Jimi sudah berkuliah pada salah satu universitas ternama sedangkan Maria masih kelas XII SMA. Maria sedang bergelut dengan persiapan mengikuti ujian nasional sedangkan Jimi sedang menikmati liburan akhir semester.
Setiap siang Jimi selalu menanti Maria di terminal kota. Tiap ada kendaraan yang menurunkan penumpang, kesitu pandangan Jimi tertuju. Ia berharap yang turun ialah kekasih hatinya. Paling tidak beberapa menit perjumpaan diharapkannya setiap hari dari beberapa jam menunggu. Menunggu tak lagi menyebalkan bagi Jimi, sebagaimana menyebalkan bagi kebanyakan orang.
Sudah dua minggu cinta tanpa ungkapan cinta itu berlangsung. Angin berhembus menyusuri setiap sudut kota yang terletak dalam teluk itu. Sebuah daun pohon ketapang jatuh mengenai dahi Jimi yang sedang menunggu Maria. Ia menunggu sambil duduk di bawah pohon ketapang di sudut terminal yang langsung berbatasan dengan laut teluk kota itu. Tangkai daun yang mengetuk tepat di tengah-tengah dahinya itu seakan menyadarkan Jimi tentang hubungannya dengan Maria.
“Kau harus memperjelas statusmu dengan Maria. Apakah hanya sekedar kawan lama yang kau sukai atau kau cintai? Suka dan cinta adalah dua hal yang berbeda, Jimi.” 
“Ah, tapi aku tak berani.”
“Hi, kau bukan anak kecil lagi. Kau pria dewasa sekarang. Seorang pria harus berani jujur dan bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri, meski itu harus melawan diri sendiri.”
“Melawan diri sendiri? Maksudnya?”
“Ya. Melawan ketakutan dirimu sendiri.”
“Tapi kan ketakutan itu positif. Ketakutan membuat kita waspada terhadap hal-hal yang negatif yang mungkin akan terjadi.”
“Ia. Tapi ketakutanmu yang sekarang adalah ketakutan yang berlebihan, mirip paranoid. Ketakutan yang tak beralasan.”
“Nah, justru sekarang kaulah yang ketakutan.”
“Tidak.”
“Ya, kau takut kepada ketakutanku bukan?”
“Tidak. Lebih tepatnya aku khawatir kau menjalani hubungan tanpa status dengan Maria. Atau paling tidak, kalian hanya teman tapi mesra. Bukan pacar atau kekasih.”
“Jadi, kau mau aku harus bagaimana?”
“Kau ungkapkan cintamu lewat kata-kata pada Maria. Selama ini kalian berdua hanya cengar-cengir, tatap-tatapan, dan basa-basi tak karuan.”
“Kapan harus aku ucapkan cintaku padanya?”
“Segera. Sebelum kau ditikung orang lain.”
“Ah, itu tidak mungkin.”
“Mungkin saja. Kau lihat lesung pipinya, wajah keibuannya, tatapannya yang teduh keluar dari bawah alisnya yang tebal dan melebar itu. Wajah seperti dia sangat cukup untuk menggetarkan hati pria mana pun.”
Setelah berpuas diri berbicara dengan diri sendiri, Jimi membulatkan niat dan tekadnya untuk ‘menembak’ Maria. Seperti biasa, Jimi menunggu Maria di terminal kota. Setelah sejam menunggu, Maria tiba. Jimi melampaikan tangan memanggil Maria yang sudah tahu bahwa Jimi pasti menunggu.
“Ada yang ingin aku bicarakan, Maria.”
“Ada apa?” Maria penasaran. 
Maria bersandar pada tiang ruang tunggu terminal kota. Jimi berdiri di depannya sambil tangan kirinya dijulurkan lurus dan menopang pada tiang tempat Maria bersandar. Mereka berhadapan dengan jarak kurang dari setengah meter. 
Jimi menunduk seolah mengumpulkan kekuatan kemudian mengangkat wajahnya. Ditatapnya maria dalam-dalam. Ada hampir setengah menit mereka berdiam, kemudian kata-kata Jimi memecah kebisuan.
“I love you, Maria,” ujar Jimi seiring detak jantung di dada yang semakin bertalu-talu. Jimi terus memandangi Maria tanpa lepas. Tatapan itu seakan ingin meminta jawaban saat itu juga. Maria tetap membisu. “Tolong jawab aku,” lanjut Jimi.
Bibir dan lidah Maria terasa kaku. Tak dapat ia berbicara, mungkin saking senang, grogi, atau apa pun itu. Ia hanya menatap Jimi semakin dalam dan mengangguk perlahan. Jimi menarik badannya dan mengambil nafas dalam-dalam. Keduanya serasa melayang terbang. 
Terminal kota jadi saksinya. Panasnya kota seakan tak terasa. Dunia terasa milik berdua.  Dunia dengan segala pergolakannya. 
Ada pemanasan global, ada perambahan dan kebakaran hutan, ada isu SARA, ada perang idealisme dan makna, ada perang dunia maya, ada isu kemanusiaan, hukum, ekonomi, politik, dan masih banyak lagi. Dunia seperti itulah yang Maria dan Jimi warisi, entah sampai kapan. Pergolakan itu telah menjadi tantangan bagi suatu pihak, menjadi hambatan bagi pihak yang lain, dan menjadi permainan bagi pihak yang lain lagi.
Sebuah mobil membunyikan klaksonnya dengan keras. Maria dan Jimi tersentak dan menoleh. Seorang kakek yang mencoba menyeberang jalan sendiri hampir tertabrak. Maria dengan cekatan berlari menghampiri sang kakek dan membantunya menyeberang. 
"Sungguh mulianya hatimu, Maria," gumam Jimi. Sejak itu, Maria adalah nama yang selalu bertakhta di hati Jimi. Selamanya.