Sabtu, 16 November 2019

OBROLAN DI BAWAH POHON SEPE

Oleh : Krismanto Atamou

“Sejarah dunia akan terulang di kota ini,” kata Ofni sembari memandang ke sekeliling. 
“Maksudmu, sejarah apa?” tanya Eli.
“Coba kau kira, berapa derajat suhu udara di kota sekarang ini?”
“Aku bukan termometer.”
“Nah, justru itu aku memintamu hanya untuk memperkirakan, bukan mengukur dengan tepat.”
“Cukup panas, untuk suhu udara normal.”
“Bukan cukup, tapi sangat panas. Pemanasan global sudah memasuki titik nadir. Bahkan protokol Kyoto pada tahun 1997 yang bersejarah itu seakan tiada dampaknya bagi pengurangan emisi karbon dan pemanasan global.”
“Ah, kau membual, Ofni.”
“Kau tak percaya?”
“Ya. Kau hanya menarik kesimpulan berdasarkan penilaian pribadi seolah-olah itu kebenaran yang berlaku umum. Kau subjektif. Kau mirip beberapa pendebat di media sosial yang selalu menaruh pandangan pribadinya seolah kebenaran mutlak yang harus diterima orang lain.”
“Paling tidak, aku sudah mengaktifkan kesadaran pribadi terhadap lingkungan. Kesadaran itu akan menyalakan alarm kepedulianku untuk berperilaku ramah lingkungan. Mengurangi sampah plastik, karbon, dan berbagai produk atau aktifitas yang melepaskan gas rumah kaca ke lingkungan. Mendukung segala ide dan aksi peduli lingkungan agar bumi, termasuk kota kita jangan terlalu panas seperti sekarang ini.”
“Kondisi cuaca dengan suhu panas ini hanyalah kulminasi musim panas di kota kita. Ini terjadi karena posisi matahari berada di belahan bumi bagian selatan dan kecepatan angin yang lemah.”
“Kau terlalu menyederhanakannya.”
“Apa yang kota kita alami sekarang, sudah dialami kota-kota di belahan dunia lainnya. Dallol di Ethiopia, Wadi Halfa di Sudan, dan Tirat Zvi di Israel. Tidak hanya di luar negeri, tapi juga sudah terjadi di Indonesia seperti di Kota Medan, Pekabaru, Bekasi, dan yang paling dekat ialah Kota Bima, NTB. Mereka sudah merasakannya, kini giliran kita. Sejarah ternyata memang berulang.”
“Ah, itu pikiranmu saja. Mungkin kau terlalu fokus pada laporan kerusakan lingkungan yang diceritakan David Wallace-Wells dalam bukunya ‘Bumi Yang Tak Dapat Dihuni’. Kau terjebak dalam ketakutan lalu secara emosional bereaksi menyatakan perang terhadap pengrusakan lingkungan. Sementara itu, secara langsung atau tidak, kau masih mendukung pengrusakan lingkungan dengan menumpang kendaraan berbahan bakar minyak bumi yang melepaskan karbon ke udara. Kau masih menggunakan listrik dari mesin pembangkit yang juga melepaskan karbon ke udara.”
“Jadi, kau menyindirku.”
“Lebih tepatnya membawa nalarmu untuk berpikir lebih luas sebelum bersikap atau melakukan aksimu.”
“Berpikir lebih luas yang bagaimana?”
“Jangan hanya berkutat pada isu-isu negatif, Ofni. Lihatlah juga keindahan dunia seperti pohon sepe di kota ini, menyiratkan sebentar lagi kita akan memasuki bulan terakhir di tahun ini. Bulan yang penuh berkat untuk merefleksikan perjalanan hidup selama satu tahun dan membuat resolusi untuk tahun yang baru. Bulan dimana musim hujan sudah dimulai untuk membasahi tanah-tanah yang gersang,” kata Eli berupaya menggiring Ofni keluar dari topik pembahasan yang berat.
“Ah, kau hanya mengalihkan isu pembicaraan kita. Kau mirip pemimpin negeri antah berantah itu, selalu mengalihkan isu untuk menghindari protes dan kegaduhan terhadap kebijakan kontroversial yang dikeluarkannya.”
“Begini saja. Kalau kau mau menjadi pemerhati lingkungan tulen, berlakulah yang tidak berdampak pada pemanasan global, termasuk melepas karbondioksida ke udara.”
“Ok. Aku siap,” jawab Ofni ketus.
“Termasuk bernapas, karena bernapas juga mengeluarkan karbondioksida,” kata Eli sembari memperhatikan mimik Ofni. Eli sebenarnya hanya usil ketika mengatakan itu.
“Apa? Kau mau membunuhku?”
“Tidak. Ini hanya saran agar kau menjadi pemerhati lingkungan tulen.”
“Kau jahat,” ujar Ofni sambil mencubit kuat-kuat lengan Eli.
“Aduh ... ampun! Ampun ...!” Eli menjerit kesakitan.
“Makanya, jangan ngomong yang tidak-tidak. Bernapas itu normal, alamiah pemberian Tuhan. Tuhan sudah mengatur daur materi alam, termasuk karbondioksida dengan baik. Yang tidak baik ialah kita, manusia, makhluk yang diberi akal budi, tidak menjaga kenormalan alam hingga alam menjadi tidak seimbang, hingga planet ini bukan lagi menopang impian kemakmuran, melainkan mimpi buruk yang nyata.”
“Nah, kalau pandanganmu ini aku setuju. Tapi, frasa yang terakhir itu terlalu kasar bagi telinga kaum opurtunis.”
“Oh ..., berarti kau opurtunis?”
“Tidak. Hanya menyampaikan pendapatku tentang mereka.”
Sore itu Eli duduk di bangku taman kota itu sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang pincang akibat kecelakaan di bulan Desember sepuluh tahun lalu. Entah kenapa, selalu saja ada banyak kasus kecelakaan lalu lintas menjelang tahun baru dan di awal tahun baru. Ia bersyukur lolos dari maut. Sejak kecelakaan itu ia lebih berhati-hati berkendara di jalanan.
Eli duduk di bawah pohon sepe, ditemani Ofni, sahabat yang juga penyandang disabilitas. Keduanya mengobrol seiring senja yang kian beranjak pergi. 
“Kau bersyukur bisa menyaksikan keindahan dunia dengan kedua bola matamu, sedangkan aku hanya dengan sebelah mata normal,” keluh Ofni.
Mendengar keluhan Ofni, Eli senang. Senangnya bukan karena keluhan Ofni, tatapi karena jurus pengalihan isunya berhasil membuat Ofni mengganti topik pembicaraan, walau sempat diprotes Ofni.
“Kau harus bersyukur Ofni. Masih ada orang lain yang lebih susah dibanding kau.”
“Ya. Kau benar.”
“Kau harus bersyukur, walau dengan mata sebelah, kau bisa menyaksikan begitu indahnya dunia. Tampak kota kita bermandikan sisa-sisa cahaya surya yang akan ditelan kegelapan. Inilah detik-detik terakhir cahaya mentari menyirami bumi. Lihat sepanjang teluk itu, permukaan laut memendarkan warna jingga hingga merah menyala,” kata Eli bangga.
“Pencipta kita memang luar biasa.”
“Ya. Lihatlah juga pohon sepe ini, ketika bunganya bermekaran, sejenak kota kita mirip dengan dengan Negeri Matahari Terbit. Akan ada banyak orang datang dari jauh bulan ini untuk melihat keindahan kota ini. Di Negeri Matahari Terbit, pohon sakura bermekaran adalah berkat bagi warganya.”
“Berkat apa itu?”
“Ada banyak tamu datang hanya untuk menyaksikan keindahan pohon sakura.”
“Oh, jadi tamu adalah keuntungan?”
“Ya. Karena tamu adalah raja.”
“Ah, kau berbelit-belit. Sebut saja keuntungan yang diperoleh warga negeri itu ketika banyak tamu datang melihat pohon sakura?”
“Ketika kita memperlakukan mereka seperti raja, maka sebagai raja tentu banyak kekayaan yang bisa diberikannya saat kita melayani dengan baik. Semisal saat kita memberinya penginapan, transportasi, makan, minum, dan hiburan, jangankan uang pembayaran jasa, bahkan uang tip pun bisa kita dapatkan. Bukankah itu keuntungan?”
“Hmm .... Jadi kau berpikir soal bisnis?”
“Jadi kau tidak suka bisnis?”
Ofni menunduk. Ekspresinya murung. Eli Melek bingung. “Ada apa dengan nona ini. Bukankah lalu ia yang paling aktif berbicara soal bisnis?” pikir Eli dalam hati. Tiba-tiba Eli teringat berita investasi bodong perusahaan multi level marketing yang pendirinya sudah ditangkap polisi.
“Ah, jangan-jangan kau juga tertipu bisnis skema ponzi bulan lalu itu ya? Saat itu kau begitu bergairah bicara soal investasi, balik modal dalam waktu sekejap, tentang networking, dan lain-lain.”
Ofni tetap terdiam. Sikap diam Ofni membuat Eli Melek bertanya-tanya. Penasaran.
Perlahan-lahan Ofni mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tas jinjingnya lalu menyodorkan pada Eli Melek. Terlihat hasil print out sebuah tulisan milik Ofni. Beberapa menit berlalu tanpa suara. Eli membaca dengan saksama.
“Ini benar kau yang menulisnya?”
“Jadi kau tak percaya padaku?”
“Bukan begitu. Tulisan ini terlalu bagus untuk pemerhati lingkungan, tetapi juga terlalu menakutkan bagi oknum pebisnis dan politikus opurtunis. Tulisan ini tidak akan lolos untuk diterbitkan pada media populer, kecuali pada media pemerhati lingkungan atau media yang diberi stigma ‘kiri’.”
“Memangnya kenapa?” 
“Bagaimana mau dimuat, tulisanmu berisi ketakutan terhadap kerusakan lingkungan disebabkan aktifitas oknum pebisnis yang bersekongkolan dengan oknum birokrat, oknum penegak hukum, dan oknum politisi. Terlalu keras untuk dibaca.”
“Jadi maumu tulisanku lunak kayak rayuan gombal kaum lelaki yang suka bermanis kata namun akhirnya hanya titip benih kehidupan lalu pergi tanpa jejak?”
“Oh, bukan begitu. Aku tahu, sebagai aktivis difabel pemerhati lingkungan seperti Zulfadli Aldiansyah di Aceh, kau sangat peduli kelestarian terhadap keanekaragaman hayati, tetapi tulisanmu harus berimbang. Dalam artian; kau harus juga memberi solusi dari setiap poin kritikmu. Kalau tidak, tulisanmu hanya menggambarkan luapan emosi dan amarah.”
“Juga soal ekonomi atau bisnis, kau tidak bisa alergi seperti itu. Kehidupan itu kait-mengait. Setiap aspeknya tak bisa berdiri sendiri. Justru karena adanya semua sisi kehidupan itulah lahir kehidupan,” lanjut Eli.
“Maksudmu?”
“Kau tidak bisa mengkotakkan isu lingkungan seolah-olah terlepas dari bisnis. Kau harus berpikir out of the box. Justru karena ‘berpikir di dalam kotaklah’ oknum pebisnis hanya memperhatikan keuntungan semata, sebagaimana kau hanya memikirkan kelestarian lingkungan semata.”
“Jadi kau menyerangku?”
“Hey ... sebagai penulis, kau harus terbuka untuk kritik, Ofni. Bukankah kekayaan pemikiran dihasilkan dari pemikiran berbeda? Maaf, sebagai sahabat, aku lebih memilih menamparmu karena kasih sayang dibanding menciummu demi kebulusan.”
Ofni terdiam. Tak ada ekspresi marah di wajahnya, hanya ada dua guratan di dahi yang menunjukkan bahwa ia sedang berpikir. 
Pohon sepe jadi saksi sambung-mulut antara dua orang sahabat penghuni panti sosial itu. Keduanya sedang menunggu jemputan untuk pulang ke panti setelah mengikuti rapat persiapan aksi sosial peduli lingkungan. Eli sebenarnya tidak mau bergabung dengan aksi itu, tapi karena ajakan sahabat dan untuk hal positif, ia mau.
Bagi Eli sendiri, isu lingkungan, sosial, dan kebersihan adalah tanggung jawab pribadi. Jika setiap pribadi mau sadar terhadap tanggung jawab pribadinya, tentu tidak ada masalah sosial, lingkungan, sampah, termasuk masalah keamanan.  Tapi nyatanya, setelah peradaban kehidupan semakin maju, canggih, dan cerdas, isu-isu itu belum selesai juga. Malah menurut artikel yang Eli baca, ada dugaan pembiaran terhadap kesemrawutan kehidupan agar isunya menjadi jualan para oknum pencari proyek dan jabatan.

Keterangan:
[1] Pohon Sepe (Bahasa Kupang) = Pohon Flamboyan (Delonix regia)




Sabtu, 09 November 2019

PENANTIAN TERAKHIR

Oleh : Krismanto Atamou

When the bullshit thinking about the future. Itulah kalimat yang aku baca pada sebuah tembok di salah satu sudut kota. Entah kenapa, aku penasaran dengan arti dan maknanya. Aku coba menerjemahkan menggunakan google translate dan mendapatkan arti; ketika omong kosong berpikir tentang masa depan. Lama aku berpikir tentang kalimat itu.
Sepertinya kalimat itu adalah sindiran terhadap diriku dan kaumku. Aku, Simon Amanit. Aku dilahirkan dengan tubuh yang sempurna berpuluh tahun lalu di sebuah desa terpencil. Namun, jalan hidup manusia siapa yang tahu. Hanya enam bulan saja aku menikmati tubuh sempurnaku.
Sore itu ibu meninggalkanku seorang diri berbaring di atas balai-balai bambu. Aku baru berusia enam bulan saat itu. Ibu pergi menimba air di mata air dekat rumah. Sekembalinya, ibu mendapatiku sudah jatuh dan berguling ke arah perapian tempat memasak makanan. Api yang menyala itu membakar sisi kiri tubuhku dari kaki, tangan, perut, hingga bahu. Ibu panik dan segera mengangkatku. Ibu mengebaskan sisa bara api yang menempel di tubuhku.
Tak ada rumah sakit, puskesmas, atau puskesmas pembantu di kampungku, yang ada hanyalah seorang mantri. Luka bakar di tubuhku dirawat dengan obat-obatan seadanya. Menjelang beberapa hari, pergelangan tangan kiriku putus dengan sendirinya akibat luka bakar yang sangat serius. Telapak dan jemari  tangan kiriku meninggalkan tubuh sempurnaku untuk selamanya, tak lagi menjadi bagian dari tubuhku.
Di usia enam bulan saat itu, aku hanya bisa menangis, begitu juga ibu. Ia merasa lalai menjaga buah hatinya sebaik mungkin. Tapi, untuk apa sedu sedan itu? Tak ada artinya selain luapan penyesalan yang selalu datang terlambat.
Nasib anak pedalaman, fasilitas pendidikan pun tidak memadai. Alhasil, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, aku harus keluar dari kampung yang sudah menjadi zona nyamanku. Aku harus ke kota. Bermodalkan kenalan di kota, ayah menitipkanku pada sebuah keluarga. Di situlah awal perjalanan hidupku sebagai perantau disabilitas.
Aku berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA. Setelah itu aku bekerja serabutan dari satu toko ke toko lainnya. Tidak banyak tuan toko yang mau mempekerjakan orang disabilitas. “Ini tempat bisnis, bukanlah panti sosial. Aku hanya mau mempekerjakan orang normal,” kata seorang tuan toko. Saat itulah aku mulai menyadari kebenaran kalimat ‘when the bullshit thinking about the future’ itu. 
Apakah bagi para penyandang disabilitas masa depan adalah omong kosong? Apakah para penyandang disabilitas tidak bisa memiliki cita-cita yang bisa diraih? Pertanyaan itu seakan menjadi ayat hafalan di kepalaku. Mirip jawaban ayat hafalan para pejabat atau anggota dewan jika konstituennya menagih janji kampanye atau menyampaikan aspirasi. Semisal; “Usul saran masyarakat akan kami perhatikan, akan kami catat/ tampung, permintaan masyarakat itu akan menjadi perhatian utama kami,” dan masih banyak kalimat jawaban lain yang sudah menjadi ayat hafalan mereka.
Segala perbuatan atau perkataan yang merendahkan aku jadikan cambuk untuk membakar semangat juangku. Ingin aku buktikan bahwa suatu saat aku mampu hidup mandiri. Aku akan buktikan, bahwa penyandang disabilitas juga memiliki cita-cita yang bisa diraih. Cita-citaku tidak muluk-muluk, yang penting aku bisa menghidupi istri dan anak-anakku, itu sudah cukup. Aku ingin menjadi ayah dan suami yang baik.
Bak mimpi di siang bolong, suatu ketika aku bertemu seseorang penolong di kompleks pertokoan. Melihat kondisi tanganku yang cacat, ia menawarkan bantuan.
“Halo, adik,” sapanya.
“Ia, Om. Ada apa?” tanyaku heran.
“Tangan adik itu cacat sejak lahir atau setelah lahir?”
“Cacat ini aku dapatkan setelah berusia enam bulan, Om.”
“Adik mau sembuh?”
“Mau, Om. Tapi orang tuaku tidak punya cukup uang untuk biaya pengobatan.”
“Jangan khawatir! Yang penting adik mau, ada yayasan yang bekerja sosial menangani orang cacat secara gratis. Bahkan biaya perjalanan, transportasi, dan akomodasi serta biaya pelatihan keterampilan hidup setelah pengobatan juga ditanggung yayasan.”
“Wah, kalau begitu aku mau, Om,” sahutku gembira.
“Kalau adik mau, sini saya tunjukkan alamatnya.”
Orang itu menunjukkan alamat kantor yayasan tersebut beserta nama pengurus yang harus ditemui. Setelah menyusuri jalanan yang ditunjukkan, aku melihat ada papan nama yayasan. Aku masuk dan menanyakan nama pengurus pada penjaga kantor. Tak lama berselang pengurus menemuiku dan menyampaikan persyaratan yaitu harus ada surat persetujuan orang tua. Aku menyanggupi dengan mengirim surat untuk memanggil ayah di kampung. Untunglah waktu itu bertepatan dengan jadwal bis ke kampung. 
Bis ke kampungku itu adalah bis satu-satunya yang menjadi harapan besar seluruh warga kampung. Jalanan raya ke kampungku merupakan jalan raya peninggalan mendiang Presiden Suharto yang sudah rusak parah. Apalagi, jalan itu dibangun tanpa drainase sehingga setiap musim hujan, secara perlahan erosi mengikis lapisan kerikil dan bebatuan jalan hingga berlubang di sana-sini. Sudah banyak calon pejabat dan dewan yang menaruh janji perbaikan jalan namun itu hanyalah janji palsu belaka. Mereka hanya memberi harapan palsu.
Setelah suratku sampai, besoknya ayah langsung datang ke kota. Kami menghadap pengurus yayasan dan menyampaikan surat persetujuan orang tua. Tanpa berlama-lama kami diberi perlengkapan mandi, pakaian baru, dan tiket perjalanan ke rumah sakit yayasan serta uang saku.
Dalam bayanganku, tangan kiriku yang buntung dan kaku akan dioperasi untuk diluruskan, dipasang telapak tangan dan jari palsu agar bisa aku manfaatkan untuk memegang. Setelah dokter berhasil mengangkat daging bekas luka bakar yang melebar di dalam lipatan lengan kiri, tangan kiriku masih belum bisa digerakkan. Urat tangan sudah sangat kaku karena dibiarkan sejak kecil. Dengan bantuan beberapa perawat, dokter berupaya menarik sekuat tenaga ujung lengan kiriku agar bisa diluruskan namun tetap tidak bisa. Alhasil lengan kiriku dibiarkan terlipat ke atas dan tidak dipasang telapak tangan serta jari palsu.
Alih-alih mengutuk keterbatasan yang aku miliki dengan penyesalan, aku justru bersyukur. Di rumah sakit itu aku melihat ada banyak penyandang disabilitas lain yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibanding diriku. “Tuhan memang hebat. Dia mengizinkan keterpurukan terjadi, namun Dia juga memberi jalan keluarnya,” gumamku.
Setelah operasi lengan kiriku selesai, aku dipersilakan memilih bidang keterampilan yang sesuai dengan keinginanku agar kelak aku bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Paling tidak aku menjadi contoh dalam hal tak mudah putus asa dan berusaha hidup mandiri bagi para sarjana bertubuh sempurna yang masih hidup bergantung pada orang tua dan hanya berharap menjadi pegawai negeri. 
Aku memilih pelatihan pembuatan barang keterampilan berbahan gabah. Ada yang berbentuk bingkai foto, tempat sirih pinang, dan masih banyak lagi. Selama berada di rumah sakit yayasan itulah aku bertemu dengan jodoh pemberian Tuhan Maha Pengasih. Setelah mengikuti pelatihan, aku pulang ke kampung, menikah, dan memulai bisnis membuat dan menjual barang kerajinan tangan. 
Sulitnya memperoleh bahan baku, sulitnya pemasaran, serta apresiasi terhadap pengrajin lokal yang masih rendah membuat usahaku sulit berkembang. Sudah bersusah payah membuat bingkai foto dengan proses kreatif yang melelahkan, eh ternyata hasilnya masih ditawar di luar batas kewajaran. Bikin sakit hati. “Coba saja di swalayan kau bisa menawar barang seperti itu? Kenapa tidak mendukung usaha lokal agar perputaran uang di daerah bisa lancar demi pertumbuhan ekonomi?” gerutuku. 
Sistem ekonomi seakan diatur untuk menumbuhkan ekonomi di kota dan memperkaya pengusaha besar. Lihat saja event-event pelatihan atau event-event nasional lainnya, selalu saja diselenggarakan di kota-kota besar agar perputaran uang hanya mengalir dan menumbuhkan geliat ekonomi di kota. 
Di kampung-kampung, kios-kios mati enggan hidup tak mau karena melayani utang barang konsumsi dari kantor-kantor yang dana operasionalnya cair per triwulan, bahkan lebih. Tidak hanya kantor, tapi pegawai honorer dan kontrak di kantor itu juga turut mengutang di kios-kios karena gaji mereka terlambat cair. Entah kenapa, proses birokrasi untuk pencairan dana cukup sulit. Semisal harus sudah memasukkan laporan penggunaan dana tahap sebelumnya yang benar dan harus ada rekomendasi dari pejabat terkait. Katanya agar tertib administrasi karena diawasi pejabat. 
Teman saya, seorang bendahara kantor pernah berkata bahwa alasan pengawasan hanyalah dalih semata. Niat sebenarnya ialah mempersulit. Tujuan mempersulit ialah agar bisa mendapatkan uang pelicil sehingga laporan penggunaan dana tahap sebelumnya segera dibenarkan pejabat terkait dan segera mendapat rekomendasi pencairan dana selanjutnya. Jika tidak, laporan itu akan dipersalahkan terus walaupun sudah benar.
Melihat bahwa aku rajin bekerja, kepala SD di dekat rumahku menawari pekerjaan sebagai pegawai sekolah. Aku menerima tawaran itu mengingat usaha kerajinanku yang mulai mati suri dan kebutuhan hidup berumah tangga. Gaji yang kudapat jauh dari kata cukup dan dibayarkan per triwulan bahkan sering terlambat.
“Pa, kita harus cari tambahan penghasilan lain. Penghasilanmu selama dua tahun ini tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga kita,” kata istriku. 
“Ah, mungkin kau yang terlalu boros, sayangku?”
“Tidak, Papa sayang. Aku sudah berupaya hemat secara luar biasa. Ini, lihat saja catatan pengeluaranku. Hampir sebagian besar adalah membayar utang-utang bahan makanan kita di kios, dan itupun tidak terbayar semuanya. Mau jadi apa kita, Pa?”
“Kita bertahan saja, Ma. Menurut Pak Kepsek namaku sudah keluar di SK tenaga kontrak daerah. Semoga dengan gaji kontrak, kita bisa melunasi utang-utang kita, Ma.”
“Baiklah, Pa. Aku ikut kamu saja.”
Istriku memang setia. Dalam penderitaan dan keterbatasan fisikku, ia tidak pernah berpaling. Ia terus mendampingiku dalam susah maupun senang. “Ketulusan cintamu adalah segalanya bagiku, sayang. Aku tak peduli segala kemewahan itu, yang penting ada makanan, pakaian dan tempat tinggal seadanya. Itu sudah cukup, sayang,” katanya. Itu motivasinya saat aku mengeluh karena namaku hilang dari daftar nama tenaga kontrak bahkan sebelum aku sempat menerima gaji kontrak pertama kalinya.
Menurut cerita yang kudengar, ada beberapa orang yang menghadap ke dinas untuk menggantikanku dengan orangnya mereka. Menurut mereka, aku tidak pantas menjadi tenaga kontrak karena aku cacat fisik. Suatu diskriminasi terhadap kaum disabilitas yang tak bisa kubalas. Biarlah Tuhan yang membalasnya.
Kini usiaku sudah tidak muda lagi. Sebagai tenaga pegawai honorer harapanku perlahan-lahan mulai sirna untuk diangkat menjadi pegawai tetap. Aku sudah berpikir untuk mengundurkan diri dari tenaga honorer. Penghasilan sebagai honorer tidak mungkin cukup untuk mendukung pendidikan anak pertamaku yang dua tahun lagi akan tamat SMA dan berniat melanjutkan pendidikan sarjana.
Aku ingin memanfaatkan sisa tenaga dan usia untuk menjadi petani. Bagiku, penghasilan sebagai petani bisa melebihi penghasilan honorer asal rajin dan memiliki strategi yang mantap. Akan tetapi, niat untuk berhenti dari tenaga honorer itu tidak terlaksana karena masukan dari seorang teman. 
“Namamu sudah ada dalam database pemerintah. Jika kau mundur, sia-sialah perjuangan, pengabdian, dan kesabaranmu menunggu kepastian selama ini.”
“Kepastian macam apa, teman? Bukan satu dua tahun! Aku sudah mengabdi puluhan tahun, tapi apa? Orang yang belum sedetik mengabdi bisa diangkat jadi tenaga kontrak dan malah menjadi tenaga tetap melalui permainan data.”
“Nasib setiap orang berbeda, Simon.”
“Ya, nasib orang curang selalu lebih cepat melejit bukan?”
“Janganlah kau sentimen seperti itu, Simon. Kalaupun mereka curang, atas dasar apa mereka bisa bersyukur kepada Tuhan untuk kesuksesan mereka itu? Itu kesuksesan yang haram. Biarlah Tuhan yang membalasnya.”
“Ok, baiklah. Ini menjadi penantian terakhirku, teman. Aku tak mau menghabiskan usia dengan penantian yang tak pasti!”
Semilir angin desa terpencil yang masih sejuk dari alam yang asri menyapu wajahku yang seakan layu termakan waktu penantian yang tak tentu. Angin itu seakan membawa pesan Ilahi untuk menyadarkanku bahwa meski cacat fisik, paling tidak, kesuksesan hidup adalah ketika aku mampu hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain. Ketika aku mampu menghidupi istri dan anak-anakku, walau dengan pernghasilan seadanya. Ketika aku menjadi ayah dan suami yang baik. Dan itu semua telah aku raih untuk mematahkan sindiran ‘when the bullshit thinking about the future’ bagi kaum disabilitas.

Sabtu, 02 November 2019

HANYA RINDU

Oleh : Krismanto Atamou

“Pa ..., tolong ke sini sebentar, Pa!” Kau memanggil dari tempat cuci pakaian.
“Ada apa, Ma ...?”
“Ini Pa, ada lubang kecil di kaki celana panjang Papa. Kena rokok ya, Pa?”
“Ia, biasalah, Ma. Risiko perokok. Tidak sengaja kalau nyala rokok telah menyentuh celana,” jawabku.
“Lain kali kalau merokok hati-hati ya, Pa. Biar celana Papa tidak bolong-bolong lagi,” katamu sambil tersenyum. Senyum yang paling manis. Senyum itulah yang membuat aku jatuh cinta sekira dua puluh tahun yang lalu.
Kala itu kau hadir di saat hati ini membutuhkan kesejukan di tengah panasnya kota. Ah, senyummu itu. Senyum yang menggambarkan kerendahan hati, ketabahan, dan kepedulian yang tulus ikhlas. 
“Syalom, Nona.”
“Syalom juga, kakak,” jawabmu.
Panas siang itu hanyalah terasa di kulitku saja. Jauh di dalam hati terpancar luapan mata air sejuk yang menyejukkan hati dan jiwaku, itu karena senyummu.
“Nona, ada dua kata yang ingin aku sampaikan,” kataku sambil menatap matamu dalam-dalam. Kita berteduh di bawah atap gereja tua.
“Apa itu, kak?”
“Aku cinta kamu,” kataku tanpa mengedipkan pandangan pada matamu.
“Ah, itu kan ada tiga kata, kak?”
“Ya, tiga kata yang menjadi dua kata karena kata ‘aku’ dan ‘kamu’ akan menjadi satu kata yaitu ‘kita’.”
“Hahaha ..., kakak ini ada-ada saja.” Tawamu lepas saat itu. Kau tersipu malu, wajahmu memerah.
“Aku butuh tanggapanmu, Nona.”
“Maksud kakak?”
“Ya, aku butuh tanggapan kamu.”
“Tanggapan apa, kak?” katamu berkelit berupaya menyembunyikan kegugupanmu.
“Ok. Aku ulangi lagi. Aku cinta kamu, nona. Apakah kau mau menjadi istriku yang sah di hadapan agama, adat, dan pemerintah? Apakah jawabanmu nona?” kataku sedikit mengutip perkataan yang sering kuucapkan di dalam pekerjaanku sebagai pelayan Sang Khalik.
Kau terdiam seribu bahasa. Pandangan matamu nanar menyapu sekeliling. Mengira kau ragu, maka aku berupaya meyakinkanmu dengan kata-kata ini: “Jangan takut nona. Di dalam pekerjaanku, wajib hukumnya aku menjadi teladan baik bagi orang lain. Dan itu yang telah dan akan aku lakukan terus. Soal berkat, janganlah kau ragu. Aku melayani Sang Khalik yang menciptakan alam semesta ini. Ia sangat kaya dan selalu berbaik hati untuk menyediakan kebutuhan umat-Nya.”
“Kau tahu, Ia pernah berkata: ‘Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.’ Kau tahu ..., semuanya! Saat itu ia berbicara tentang kebutuhan hidup manusia. Kata ‘semuanya’ yang Ia maksud ialah semua kebutuhan hidup kita. Oleh karena itu, tak ada alasan bagi keraguan, sepanjang kita hidup berkenan kepada-Nya,” lanjutku.
Wajahmu masih memerah. Sesekali kau mencuri pandang padaku lalu kau lanjutkan dengan tatapan yang tajam. Tatapan yang langsung menusuk ke dalam relung hatiku.
“Jadi bagaimana nona? Apakah kau mau menjadi istriku yang sah?” tanyaku sekali lagi.
Sambil menatap mataku dengan tatapan yang tidak biasa, dengan sorot mata yang berbinar, kau mengangguk perlahan sambil menyimpul senyum. “Ah, senyum itu lagi,” kata jiwaku. 
Aku membaca anggukanmu sebagai tanda setuju atau jawaban ‘ya’ darimu. Tak lupa mengucap syukur untuk jawaban atas pergumulanku agar mendapatkan ‘ya’ darimu, aku langsung mengajakmu berdoa mengucap syukur. Itulah doa bersama yang kita berdua lakukan pertama kalinya.
“Pa, ke sini dulu, Pa!” suaramu memanggil lagi dan lagi dari tempat cuci pakaian atau tempat menyetrika pakaian.
“Ada apa, Ma?”
“Ini ada lubang di baju Papa,” katamu sambil menunjukkan baju yang berlubang akibat tersedut bunga api rokok yang kuhisap.
“Maafkan aku, Ma. Aku tidak sengaja,” kataku.
Begitulah seterusnya hingga memasuki tiga bulan usia pernikahan kita. Kemudian aku mulai sadar bahwa sebenarnya pemberitahuanmu tentang lubang bekas rokok di pakaianku adalah bentuk teguranmu secara halus. 
Secara tidak langsung kau ingin membuatku sadar dan berhenti merokok. Mirip usaha tidak langsung pemerintah untuk memperbaiki hasil nilai ujian nasional peserta didik yang cenderung rendah terus di beberapa daerah. Ada penguatan kepala sekolah dengan sebagian pesertanya tidak mampu menggunakan komputer atau laptop. Ada program peningkatan kompetensi pembelajaran dengan sebagian peserta adalah guru honorer yang kesejahteraannya rendah namun dituntut profesional. Ada program sertifikasi guru namun sebagian guru profesional itu tak pernah sekalipun membeli buku untuk meningkatkan ilmu. Ada pelatihan-pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, ada dana BOS kinerja dan dana BOS afirmasi. Ada banyak dana proyek pendidikan yang digelontorkan pemerintah, katanya untuk meningkatkan sumber daya manusia praktisi pendidikan. 
Ya, semoga saja usaha pemerintah itu berhasil seberhasil kau menghentikan kebiasaan merokokku. Semoga saja slogan di kaos pelatihan seorang guru yang bertuliskan #TURN BACK STUPID tidak sekedar slogan atau gaya-gayaan momen pelatihan semata. Semoga saja dana proyek penanggulangan kebodohan yang begitu besar tidak sekedar proyek semata dengan slogan mulia. Ya, kemuliaan yang dijual untuk sebuah proyek.
Akan tetapi tidak begitu dengan kau. Kemuliaan senyummu begitu tulus dan ikhlas. Saat tak pernah sekalipun kau mendapat jatah perjalanan dinas, kau tetap tersenyum. Sementara ada orang lain yang tidak bisa tersenyum kalau tidak lagi dan lagi mendapat jatah perjalanan dinas. Pulang dari perjalanan dinas, orang-orang itu hanya bercerita soal pasiar di tempat wisata sekitar lokasi kegiatan atau cerita reuni sesama anggota kegiatan. Sementara, hasil kegiatan tak pernah ada tidak lanjut walaupun sudah direncanakan muluk-muluk. Saat kepala dinasmu memberikan jatah perjalanan dinas, kau sudah lebih dahulu berpulang ke surga.
Dua hari sebelum kau berpulang, kau sempat melayat ke rumah duka keluarga kita yang meninggal dunia. Pagi itu kau menangis tersedu-sedu di rumah duka. Entah itu pertanda kepergianmu atau memang kau menangisi almarhumah yang adalah gadis periang dan penebar senyum seperti dirimu. Kau turut membantu mempersiapkan ruangan tamu tempat jenazah akan disemayamkan. 
Sore harinya kau dibonceng sanak kita menggunakan sepeda motor untuk pulang ke rumah. Saat itu aku masih memimpin doa untuk penggalian lubang kubur. Ketika doa selesai, ada informasi yang kudengar dari orang tentang kecelakaan seorang istri pelayan Tuhan. Aku berupaya memastikan. Benar saja, aku mendapatimu berada di ruang gawat darurat rumah sakit dalam kondisi lemah sekali. 
Sang dokter memanggil dua teman dokter lainnya untuk berupaya menyelamatkanmu. Beberapa jam kemudian kau dirujuk ke rumah sakit lain. Sekali lagi para dokter berupaya menyelamatkan nyawamu, tetapi Tuhan berkehendak lain. Kau dipanggil-Nya pulang ke surga meninggalkan aku dan dua orang anak terkasih kita.
Ada sebuah kejadian menjelang pemakamanmu. Peti jenazahmu sempat tertahan sebentar di pintu rumah kita lantaran kurang koordinasi antara protokoler dinas tempatmu bekerja dan keluarga kita. 
Saat itu peti jenazahmu masih berada di atas tempat tidur, di ruang tamu rumah kita. Secara simbolis keluarga menyerahkan jenazahmu kepada dinas untuk dilakukan upacara pemakamanmu secara kedinasan. Keluarga kita mengusung peti jenazahmu untuk diserahkan di depan pintu rumah. Namun sayang, acara protokoler belum sampai pada pemasangan bendera di atas peti jenazahmu untuk diusung ke pusara. Akhirnya peti jenazahmu sempat tertahan hampir semenit untuk koordinasi dan kemudian diletakkan sementara di atas barisan bangku, di teras rumah kita.
Seorang aparat berpakaian dinas lengkap marah karena acara berjalan tidak lancar. “Seharusnya ada koordinasi pihak protokoler dinas dengan keluarga sebelum acara mulai,” kata seseorang. “Harusnya keluarga tidak mengangkat peti jenazahmu lagi karena sudah diserahkan secara simbolis ke pihak dinas,” kata orang yang lain.
Akan tetapi, dari kejadian itu aku tahu bahwa kau ada di hati keluarga kita. Mereka ingin mengantarkan kepergianmu walau sesaat saja, sebelum para pegawai dinas itu mengantarmu ke pusara. 
 Hidup memang penuh misteri. Rasa-rasanya kau dipanggil Tuhan bersama gadis alim dan periang itu begitu cepat. Seorang pelayat berkata: “Orang yang hidupnya alim itu akan lebih berat tantangan hidupnya dibanding dengan orang yang hidupnya setengah alim. Bahkan orang yang alim dan terlalu baik itu dipanggil Tuhan lebih cepat dibanding orang lainnya, entah kenapa.” Seorang pelayat lain berkata: “Orang-orang yang alim dan terlalu baik itu dipanggil Tuhan lebih cepat agar segera beristirahat dari dunia yang fana.”
Aku kira pandangan para pelayat itu sangat subjektif. Jika pandangan itu benar, tentu orang akan lebih memilih hidup setengah alim untuk menghindari tantangan hidup yang berat. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Kematian bisa datang kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja, baik pada orang alim, setengah alim, atau orang tidak alim sekalipun. Hanya Tuhan yang tahu, sebab itu semua ada di bawah Kedaulatan-Nya. Aku hanya bisa menguatkan hati untuk berserah kepada Kehendak-Nya.
Kini, potretmu tergantung bisu di dinding ruang tamu. Senyum di wajahmu tak pernah pudar meski potret itu mulai usang termakan usia. Semilir angin di awal musim hujan ini seakan ingin menyadarkanku pada saat yang sama setahun lalu.
Banyak tangisan mengiringi kepergianmu kala itu. Aku berupaya menahan haru. Sesak dada ini terasa. Air mata tak akan bisa mengembalikanmu ke panggung dunia yang penuh realita maupun sandiwara. Ada orang yang berjujur kata meski menanggung konsekuensi pahit, ada yang bersilat kata demi kenyamanan semata. Hukum diputar balikkan sesuka jiwa, pasal karet dimainkan semau mereka. Itulah pengadilan dunia yang tak mungkin menyamai kemurnian pengadilan Tuhan kita.
Kau telah menjalani hidup dengan baik. Kebaikanmu terpatri di dalam hati setiap orang yang pernah mengenalmu. Tak muluk-muluk, kebaikan itu kau patri dari hal-hal yang sederhana. Semisal keramahanmu yang tulus dan iklas itu. Kini yang tertinggal hanyalah rasa rindu padamu. Rindu pada senyummu.

Catatan : Cerpen ini dipersembahkan untuk mengenang mendiang Ibu Sutaryati Laupai dan Adik Febriyana Ena di Desa Kuimasi-Fatuleu.