Sabtu, 16 November 2019

OBROLAN DI BAWAH POHON SEPE

Oleh : Krismanto Atamou

“Sejarah dunia akan terulang di kota ini,” kata Ofni sembari memandang ke sekeliling. 
“Maksudmu, sejarah apa?” tanya Eli.
“Coba kau kira, berapa derajat suhu udara di kota sekarang ini?”
“Aku bukan termometer.”
“Nah, justru itu aku memintamu hanya untuk memperkirakan, bukan mengukur dengan tepat.”
“Cukup panas, untuk suhu udara normal.”
“Bukan cukup, tapi sangat panas. Pemanasan global sudah memasuki titik nadir. Bahkan protokol Kyoto pada tahun 1997 yang bersejarah itu seakan tiada dampaknya bagi pengurangan emisi karbon dan pemanasan global.”
“Ah, kau membual, Ofni.”
“Kau tak percaya?”
“Ya. Kau hanya menarik kesimpulan berdasarkan penilaian pribadi seolah-olah itu kebenaran yang berlaku umum. Kau subjektif. Kau mirip beberapa pendebat di media sosial yang selalu menaruh pandangan pribadinya seolah kebenaran mutlak yang harus diterima orang lain.”
“Paling tidak, aku sudah mengaktifkan kesadaran pribadi terhadap lingkungan. Kesadaran itu akan menyalakan alarm kepedulianku untuk berperilaku ramah lingkungan. Mengurangi sampah plastik, karbon, dan berbagai produk atau aktifitas yang melepaskan gas rumah kaca ke lingkungan. Mendukung segala ide dan aksi peduli lingkungan agar bumi, termasuk kota kita jangan terlalu panas seperti sekarang ini.”
“Kondisi cuaca dengan suhu panas ini hanyalah kulminasi musim panas di kota kita. Ini terjadi karena posisi matahari berada di belahan bumi bagian selatan dan kecepatan angin yang lemah.”
“Kau terlalu menyederhanakannya.”
“Apa yang kota kita alami sekarang, sudah dialami kota-kota di belahan dunia lainnya. Dallol di Ethiopia, Wadi Halfa di Sudan, dan Tirat Zvi di Israel. Tidak hanya di luar negeri, tapi juga sudah terjadi di Indonesia seperti di Kota Medan, Pekabaru, Bekasi, dan yang paling dekat ialah Kota Bima, NTB. Mereka sudah merasakannya, kini giliran kita. Sejarah ternyata memang berulang.”
“Ah, itu pikiranmu saja. Mungkin kau terlalu fokus pada laporan kerusakan lingkungan yang diceritakan David Wallace-Wells dalam bukunya ‘Bumi Yang Tak Dapat Dihuni’. Kau terjebak dalam ketakutan lalu secara emosional bereaksi menyatakan perang terhadap pengrusakan lingkungan. Sementara itu, secara langsung atau tidak, kau masih mendukung pengrusakan lingkungan dengan menumpang kendaraan berbahan bakar minyak bumi yang melepaskan karbon ke udara. Kau masih menggunakan listrik dari mesin pembangkit yang juga melepaskan karbon ke udara.”
“Jadi, kau menyindirku.”
“Lebih tepatnya membawa nalarmu untuk berpikir lebih luas sebelum bersikap atau melakukan aksimu.”
“Berpikir lebih luas yang bagaimana?”
“Jangan hanya berkutat pada isu-isu negatif, Ofni. Lihatlah juga keindahan dunia seperti pohon sepe di kota ini, menyiratkan sebentar lagi kita akan memasuki bulan terakhir di tahun ini. Bulan yang penuh berkat untuk merefleksikan perjalanan hidup selama satu tahun dan membuat resolusi untuk tahun yang baru. Bulan dimana musim hujan sudah dimulai untuk membasahi tanah-tanah yang gersang,” kata Eli berupaya menggiring Ofni keluar dari topik pembahasan yang berat.
“Ah, kau hanya mengalihkan isu pembicaraan kita. Kau mirip pemimpin negeri antah berantah itu, selalu mengalihkan isu untuk menghindari protes dan kegaduhan terhadap kebijakan kontroversial yang dikeluarkannya.”
“Begini saja. Kalau kau mau menjadi pemerhati lingkungan tulen, berlakulah yang tidak berdampak pada pemanasan global, termasuk melepas karbondioksida ke udara.”
“Ok. Aku siap,” jawab Ofni ketus.
“Termasuk bernapas, karena bernapas juga mengeluarkan karbondioksida,” kata Eli sembari memperhatikan mimik Ofni. Eli sebenarnya hanya usil ketika mengatakan itu.
“Apa? Kau mau membunuhku?”
“Tidak. Ini hanya saran agar kau menjadi pemerhati lingkungan tulen.”
“Kau jahat,” ujar Ofni sambil mencubit kuat-kuat lengan Eli.
“Aduh ... ampun! Ampun ...!” Eli menjerit kesakitan.
“Makanya, jangan ngomong yang tidak-tidak. Bernapas itu normal, alamiah pemberian Tuhan. Tuhan sudah mengatur daur materi alam, termasuk karbondioksida dengan baik. Yang tidak baik ialah kita, manusia, makhluk yang diberi akal budi, tidak menjaga kenormalan alam hingga alam menjadi tidak seimbang, hingga planet ini bukan lagi menopang impian kemakmuran, melainkan mimpi buruk yang nyata.”
“Nah, kalau pandanganmu ini aku setuju. Tapi, frasa yang terakhir itu terlalu kasar bagi telinga kaum opurtunis.”
“Oh ..., berarti kau opurtunis?”
“Tidak. Hanya menyampaikan pendapatku tentang mereka.”
Sore itu Eli duduk di bangku taman kota itu sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang pincang akibat kecelakaan di bulan Desember sepuluh tahun lalu. Entah kenapa, selalu saja ada banyak kasus kecelakaan lalu lintas menjelang tahun baru dan di awal tahun baru. Ia bersyukur lolos dari maut. Sejak kecelakaan itu ia lebih berhati-hati berkendara di jalanan.
Eli duduk di bawah pohon sepe, ditemani Ofni, sahabat yang juga penyandang disabilitas. Keduanya mengobrol seiring senja yang kian beranjak pergi. 
“Kau bersyukur bisa menyaksikan keindahan dunia dengan kedua bola matamu, sedangkan aku hanya dengan sebelah mata normal,” keluh Ofni.
Mendengar keluhan Ofni, Eli senang. Senangnya bukan karena keluhan Ofni, tatapi karena jurus pengalihan isunya berhasil membuat Ofni mengganti topik pembicaraan, walau sempat diprotes Ofni.
“Kau harus bersyukur Ofni. Masih ada orang lain yang lebih susah dibanding kau.”
“Ya. Kau benar.”
“Kau harus bersyukur, walau dengan mata sebelah, kau bisa menyaksikan begitu indahnya dunia. Tampak kota kita bermandikan sisa-sisa cahaya surya yang akan ditelan kegelapan. Inilah detik-detik terakhir cahaya mentari menyirami bumi. Lihat sepanjang teluk itu, permukaan laut memendarkan warna jingga hingga merah menyala,” kata Eli bangga.
“Pencipta kita memang luar biasa.”
“Ya. Lihatlah juga pohon sepe ini, ketika bunganya bermekaran, sejenak kota kita mirip dengan dengan Negeri Matahari Terbit. Akan ada banyak orang datang dari jauh bulan ini untuk melihat keindahan kota ini. Di Negeri Matahari Terbit, pohon sakura bermekaran adalah berkat bagi warganya.”
“Berkat apa itu?”
“Ada banyak tamu datang hanya untuk menyaksikan keindahan pohon sakura.”
“Oh, jadi tamu adalah keuntungan?”
“Ya. Karena tamu adalah raja.”
“Ah, kau berbelit-belit. Sebut saja keuntungan yang diperoleh warga negeri itu ketika banyak tamu datang melihat pohon sakura?”
“Ketika kita memperlakukan mereka seperti raja, maka sebagai raja tentu banyak kekayaan yang bisa diberikannya saat kita melayani dengan baik. Semisal saat kita memberinya penginapan, transportasi, makan, minum, dan hiburan, jangankan uang pembayaran jasa, bahkan uang tip pun bisa kita dapatkan. Bukankah itu keuntungan?”
“Hmm .... Jadi kau berpikir soal bisnis?”
“Jadi kau tidak suka bisnis?”
Ofni menunduk. Ekspresinya murung. Eli Melek bingung. “Ada apa dengan nona ini. Bukankah lalu ia yang paling aktif berbicara soal bisnis?” pikir Eli dalam hati. Tiba-tiba Eli teringat berita investasi bodong perusahaan multi level marketing yang pendirinya sudah ditangkap polisi.
“Ah, jangan-jangan kau juga tertipu bisnis skema ponzi bulan lalu itu ya? Saat itu kau begitu bergairah bicara soal investasi, balik modal dalam waktu sekejap, tentang networking, dan lain-lain.”
Ofni tetap terdiam. Sikap diam Ofni membuat Eli Melek bertanya-tanya. Penasaran.
Perlahan-lahan Ofni mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tas jinjingnya lalu menyodorkan pada Eli Melek. Terlihat hasil print out sebuah tulisan milik Ofni. Beberapa menit berlalu tanpa suara. Eli membaca dengan saksama.
“Ini benar kau yang menulisnya?”
“Jadi kau tak percaya padaku?”
“Bukan begitu. Tulisan ini terlalu bagus untuk pemerhati lingkungan, tetapi juga terlalu menakutkan bagi oknum pebisnis dan politikus opurtunis. Tulisan ini tidak akan lolos untuk diterbitkan pada media populer, kecuali pada media pemerhati lingkungan atau media yang diberi stigma ‘kiri’.”
“Memangnya kenapa?” 
“Bagaimana mau dimuat, tulisanmu berisi ketakutan terhadap kerusakan lingkungan disebabkan aktifitas oknum pebisnis yang bersekongkolan dengan oknum birokrat, oknum penegak hukum, dan oknum politisi. Terlalu keras untuk dibaca.”
“Jadi maumu tulisanku lunak kayak rayuan gombal kaum lelaki yang suka bermanis kata namun akhirnya hanya titip benih kehidupan lalu pergi tanpa jejak?”
“Oh, bukan begitu. Aku tahu, sebagai aktivis difabel pemerhati lingkungan seperti Zulfadli Aldiansyah di Aceh, kau sangat peduli kelestarian terhadap keanekaragaman hayati, tetapi tulisanmu harus berimbang. Dalam artian; kau harus juga memberi solusi dari setiap poin kritikmu. Kalau tidak, tulisanmu hanya menggambarkan luapan emosi dan amarah.”
“Juga soal ekonomi atau bisnis, kau tidak bisa alergi seperti itu. Kehidupan itu kait-mengait. Setiap aspeknya tak bisa berdiri sendiri. Justru karena adanya semua sisi kehidupan itulah lahir kehidupan,” lanjut Eli.
“Maksudmu?”
“Kau tidak bisa mengkotakkan isu lingkungan seolah-olah terlepas dari bisnis. Kau harus berpikir out of the box. Justru karena ‘berpikir di dalam kotaklah’ oknum pebisnis hanya memperhatikan keuntungan semata, sebagaimana kau hanya memikirkan kelestarian lingkungan semata.”
“Jadi kau menyerangku?”
“Hey ... sebagai penulis, kau harus terbuka untuk kritik, Ofni. Bukankah kekayaan pemikiran dihasilkan dari pemikiran berbeda? Maaf, sebagai sahabat, aku lebih memilih menamparmu karena kasih sayang dibanding menciummu demi kebulusan.”
Ofni terdiam. Tak ada ekspresi marah di wajahnya, hanya ada dua guratan di dahi yang menunjukkan bahwa ia sedang berpikir. 
Pohon sepe jadi saksi sambung-mulut antara dua orang sahabat penghuni panti sosial itu. Keduanya sedang menunggu jemputan untuk pulang ke panti setelah mengikuti rapat persiapan aksi sosial peduli lingkungan. Eli sebenarnya tidak mau bergabung dengan aksi itu, tapi karena ajakan sahabat dan untuk hal positif, ia mau.
Bagi Eli sendiri, isu lingkungan, sosial, dan kebersihan adalah tanggung jawab pribadi. Jika setiap pribadi mau sadar terhadap tanggung jawab pribadinya, tentu tidak ada masalah sosial, lingkungan, sampah, termasuk masalah keamanan.  Tapi nyatanya, setelah peradaban kehidupan semakin maju, canggih, dan cerdas, isu-isu itu belum selesai juga. Malah menurut artikel yang Eli baca, ada dugaan pembiaran terhadap kesemrawutan kehidupan agar isunya menjadi jualan para oknum pencari proyek dan jabatan.

Keterangan:
[1] Pohon Sepe (Bahasa Kupang) = Pohon Flamboyan (Delonix regia)




2 komentar:

Marsya mengatakan...

AJO_QQ poker
kami dari agen poker terpercaya dan terbaik di tahun ini
Deposit dan Withdraw hanya 15.000 anda sudah dapat bermain
di sini kami menyediakan 8 permainan dalam 1 aplikasi
- play aduQ
- bandar poker
- play bandarQ
- capsa sunsun
- play domino
- play poker
- sakong
-bandar 66 (new game )
Dapatkan Berbagai Bonus Menarik..!!
PROMO MENARIK
di sini tempat nya Player Vs Player ( 100% No Robot) Anda Menang berapapun Kami
Bayar tanpa Maksimal Withdraw dan Tidak ada batas maksimal
withdraw dalam 1 hari.Bisa bermain di Android dan IOS,Sistem pembagian Kartu
menggunakan teknologi yang mutakhir dengan sistem Random
Permanent (acak) |
Whatshapp : +855969190856

Fateh mengatakan...

Keren banget cerpennya kak, menampar, buat yang kayak gini lagi dong, ehehe
Btw, salam kenal ya kak hehehe Kreta Amura