Sabtu, 09 November 2019

PENANTIAN TERAKHIR

Oleh : Krismanto Atamou

When the bullshit thinking about the future. Itulah kalimat yang aku baca pada sebuah tembok di salah satu sudut kota. Entah kenapa, aku penasaran dengan arti dan maknanya. Aku coba menerjemahkan menggunakan google translate dan mendapatkan arti; ketika omong kosong berpikir tentang masa depan. Lama aku berpikir tentang kalimat itu.
Sepertinya kalimat itu adalah sindiran terhadap diriku dan kaumku. Aku, Simon Amanit. Aku dilahirkan dengan tubuh yang sempurna berpuluh tahun lalu di sebuah desa terpencil. Namun, jalan hidup manusia siapa yang tahu. Hanya enam bulan saja aku menikmati tubuh sempurnaku.
Sore itu ibu meninggalkanku seorang diri berbaring di atas balai-balai bambu. Aku baru berusia enam bulan saat itu. Ibu pergi menimba air di mata air dekat rumah. Sekembalinya, ibu mendapatiku sudah jatuh dan berguling ke arah perapian tempat memasak makanan. Api yang menyala itu membakar sisi kiri tubuhku dari kaki, tangan, perut, hingga bahu. Ibu panik dan segera mengangkatku. Ibu mengebaskan sisa bara api yang menempel di tubuhku.
Tak ada rumah sakit, puskesmas, atau puskesmas pembantu di kampungku, yang ada hanyalah seorang mantri. Luka bakar di tubuhku dirawat dengan obat-obatan seadanya. Menjelang beberapa hari, pergelangan tangan kiriku putus dengan sendirinya akibat luka bakar yang sangat serius. Telapak dan jemari  tangan kiriku meninggalkan tubuh sempurnaku untuk selamanya, tak lagi menjadi bagian dari tubuhku.
Di usia enam bulan saat itu, aku hanya bisa menangis, begitu juga ibu. Ia merasa lalai menjaga buah hatinya sebaik mungkin. Tapi, untuk apa sedu sedan itu? Tak ada artinya selain luapan penyesalan yang selalu datang terlambat.
Nasib anak pedalaman, fasilitas pendidikan pun tidak memadai. Alhasil, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, aku harus keluar dari kampung yang sudah menjadi zona nyamanku. Aku harus ke kota. Bermodalkan kenalan di kota, ayah menitipkanku pada sebuah keluarga. Di situlah awal perjalanan hidupku sebagai perantau disabilitas.
Aku berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA. Setelah itu aku bekerja serabutan dari satu toko ke toko lainnya. Tidak banyak tuan toko yang mau mempekerjakan orang disabilitas. “Ini tempat bisnis, bukanlah panti sosial. Aku hanya mau mempekerjakan orang normal,” kata seorang tuan toko. Saat itulah aku mulai menyadari kebenaran kalimat ‘when the bullshit thinking about the future’ itu. 
Apakah bagi para penyandang disabilitas masa depan adalah omong kosong? Apakah para penyandang disabilitas tidak bisa memiliki cita-cita yang bisa diraih? Pertanyaan itu seakan menjadi ayat hafalan di kepalaku. Mirip jawaban ayat hafalan para pejabat atau anggota dewan jika konstituennya menagih janji kampanye atau menyampaikan aspirasi. Semisal; “Usul saran masyarakat akan kami perhatikan, akan kami catat/ tampung, permintaan masyarakat itu akan menjadi perhatian utama kami,” dan masih banyak kalimat jawaban lain yang sudah menjadi ayat hafalan mereka.
Segala perbuatan atau perkataan yang merendahkan aku jadikan cambuk untuk membakar semangat juangku. Ingin aku buktikan bahwa suatu saat aku mampu hidup mandiri. Aku akan buktikan, bahwa penyandang disabilitas juga memiliki cita-cita yang bisa diraih. Cita-citaku tidak muluk-muluk, yang penting aku bisa menghidupi istri dan anak-anakku, itu sudah cukup. Aku ingin menjadi ayah dan suami yang baik.
Bak mimpi di siang bolong, suatu ketika aku bertemu seseorang penolong di kompleks pertokoan. Melihat kondisi tanganku yang cacat, ia menawarkan bantuan.
“Halo, adik,” sapanya.
“Ia, Om. Ada apa?” tanyaku heran.
“Tangan adik itu cacat sejak lahir atau setelah lahir?”
“Cacat ini aku dapatkan setelah berusia enam bulan, Om.”
“Adik mau sembuh?”
“Mau, Om. Tapi orang tuaku tidak punya cukup uang untuk biaya pengobatan.”
“Jangan khawatir! Yang penting adik mau, ada yayasan yang bekerja sosial menangani orang cacat secara gratis. Bahkan biaya perjalanan, transportasi, dan akomodasi serta biaya pelatihan keterampilan hidup setelah pengobatan juga ditanggung yayasan.”
“Wah, kalau begitu aku mau, Om,” sahutku gembira.
“Kalau adik mau, sini saya tunjukkan alamatnya.”
Orang itu menunjukkan alamat kantor yayasan tersebut beserta nama pengurus yang harus ditemui. Setelah menyusuri jalanan yang ditunjukkan, aku melihat ada papan nama yayasan. Aku masuk dan menanyakan nama pengurus pada penjaga kantor. Tak lama berselang pengurus menemuiku dan menyampaikan persyaratan yaitu harus ada surat persetujuan orang tua. Aku menyanggupi dengan mengirim surat untuk memanggil ayah di kampung. Untunglah waktu itu bertepatan dengan jadwal bis ke kampung. 
Bis ke kampungku itu adalah bis satu-satunya yang menjadi harapan besar seluruh warga kampung. Jalanan raya ke kampungku merupakan jalan raya peninggalan mendiang Presiden Suharto yang sudah rusak parah. Apalagi, jalan itu dibangun tanpa drainase sehingga setiap musim hujan, secara perlahan erosi mengikis lapisan kerikil dan bebatuan jalan hingga berlubang di sana-sini. Sudah banyak calon pejabat dan dewan yang menaruh janji perbaikan jalan namun itu hanyalah janji palsu belaka. Mereka hanya memberi harapan palsu.
Setelah suratku sampai, besoknya ayah langsung datang ke kota. Kami menghadap pengurus yayasan dan menyampaikan surat persetujuan orang tua. Tanpa berlama-lama kami diberi perlengkapan mandi, pakaian baru, dan tiket perjalanan ke rumah sakit yayasan serta uang saku.
Dalam bayanganku, tangan kiriku yang buntung dan kaku akan dioperasi untuk diluruskan, dipasang telapak tangan dan jari palsu agar bisa aku manfaatkan untuk memegang. Setelah dokter berhasil mengangkat daging bekas luka bakar yang melebar di dalam lipatan lengan kiri, tangan kiriku masih belum bisa digerakkan. Urat tangan sudah sangat kaku karena dibiarkan sejak kecil. Dengan bantuan beberapa perawat, dokter berupaya menarik sekuat tenaga ujung lengan kiriku agar bisa diluruskan namun tetap tidak bisa. Alhasil lengan kiriku dibiarkan terlipat ke atas dan tidak dipasang telapak tangan serta jari palsu.
Alih-alih mengutuk keterbatasan yang aku miliki dengan penyesalan, aku justru bersyukur. Di rumah sakit itu aku melihat ada banyak penyandang disabilitas lain yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibanding diriku. “Tuhan memang hebat. Dia mengizinkan keterpurukan terjadi, namun Dia juga memberi jalan keluarnya,” gumamku.
Setelah operasi lengan kiriku selesai, aku dipersilakan memilih bidang keterampilan yang sesuai dengan keinginanku agar kelak aku bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Paling tidak aku menjadi contoh dalam hal tak mudah putus asa dan berusaha hidup mandiri bagi para sarjana bertubuh sempurna yang masih hidup bergantung pada orang tua dan hanya berharap menjadi pegawai negeri. 
Aku memilih pelatihan pembuatan barang keterampilan berbahan gabah. Ada yang berbentuk bingkai foto, tempat sirih pinang, dan masih banyak lagi. Selama berada di rumah sakit yayasan itulah aku bertemu dengan jodoh pemberian Tuhan Maha Pengasih. Setelah mengikuti pelatihan, aku pulang ke kampung, menikah, dan memulai bisnis membuat dan menjual barang kerajinan tangan. 
Sulitnya memperoleh bahan baku, sulitnya pemasaran, serta apresiasi terhadap pengrajin lokal yang masih rendah membuat usahaku sulit berkembang. Sudah bersusah payah membuat bingkai foto dengan proses kreatif yang melelahkan, eh ternyata hasilnya masih ditawar di luar batas kewajaran. Bikin sakit hati. “Coba saja di swalayan kau bisa menawar barang seperti itu? Kenapa tidak mendukung usaha lokal agar perputaran uang di daerah bisa lancar demi pertumbuhan ekonomi?” gerutuku. 
Sistem ekonomi seakan diatur untuk menumbuhkan ekonomi di kota dan memperkaya pengusaha besar. Lihat saja event-event pelatihan atau event-event nasional lainnya, selalu saja diselenggarakan di kota-kota besar agar perputaran uang hanya mengalir dan menumbuhkan geliat ekonomi di kota. 
Di kampung-kampung, kios-kios mati enggan hidup tak mau karena melayani utang barang konsumsi dari kantor-kantor yang dana operasionalnya cair per triwulan, bahkan lebih. Tidak hanya kantor, tapi pegawai honorer dan kontrak di kantor itu juga turut mengutang di kios-kios karena gaji mereka terlambat cair. Entah kenapa, proses birokrasi untuk pencairan dana cukup sulit. Semisal harus sudah memasukkan laporan penggunaan dana tahap sebelumnya yang benar dan harus ada rekomendasi dari pejabat terkait. Katanya agar tertib administrasi karena diawasi pejabat. 
Teman saya, seorang bendahara kantor pernah berkata bahwa alasan pengawasan hanyalah dalih semata. Niat sebenarnya ialah mempersulit. Tujuan mempersulit ialah agar bisa mendapatkan uang pelicil sehingga laporan penggunaan dana tahap sebelumnya segera dibenarkan pejabat terkait dan segera mendapat rekomendasi pencairan dana selanjutnya. Jika tidak, laporan itu akan dipersalahkan terus walaupun sudah benar.
Melihat bahwa aku rajin bekerja, kepala SD di dekat rumahku menawari pekerjaan sebagai pegawai sekolah. Aku menerima tawaran itu mengingat usaha kerajinanku yang mulai mati suri dan kebutuhan hidup berumah tangga. Gaji yang kudapat jauh dari kata cukup dan dibayarkan per triwulan bahkan sering terlambat.
“Pa, kita harus cari tambahan penghasilan lain. Penghasilanmu selama dua tahun ini tidak cukup untuk kebutuhan rumah tangga kita,” kata istriku. 
“Ah, mungkin kau yang terlalu boros, sayangku?”
“Tidak, Papa sayang. Aku sudah berupaya hemat secara luar biasa. Ini, lihat saja catatan pengeluaranku. Hampir sebagian besar adalah membayar utang-utang bahan makanan kita di kios, dan itupun tidak terbayar semuanya. Mau jadi apa kita, Pa?”
“Kita bertahan saja, Ma. Menurut Pak Kepsek namaku sudah keluar di SK tenaga kontrak daerah. Semoga dengan gaji kontrak, kita bisa melunasi utang-utang kita, Ma.”
“Baiklah, Pa. Aku ikut kamu saja.”
Istriku memang setia. Dalam penderitaan dan keterbatasan fisikku, ia tidak pernah berpaling. Ia terus mendampingiku dalam susah maupun senang. “Ketulusan cintamu adalah segalanya bagiku, sayang. Aku tak peduli segala kemewahan itu, yang penting ada makanan, pakaian dan tempat tinggal seadanya. Itu sudah cukup, sayang,” katanya. Itu motivasinya saat aku mengeluh karena namaku hilang dari daftar nama tenaga kontrak bahkan sebelum aku sempat menerima gaji kontrak pertama kalinya.
Menurut cerita yang kudengar, ada beberapa orang yang menghadap ke dinas untuk menggantikanku dengan orangnya mereka. Menurut mereka, aku tidak pantas menjadi tenaga kontrak karena aku cacat fisik. Suatu diskriminasi terhadap kaum disabilitas yang tak bisa kubalas. Biarlah Tuhan yang membalasnya.
Kini usiaku sudah tidak muda lagi. Sebagai tenaga pegawai honorer harapanku perlahan-lahan mulai sirna untuk diangkat menjadi pegawai tetap. Aku sudah berpikir untuk mengundurkan diri dari tenaga honorer. Penghasilan sebagai honorer tidak mungkin cukup untuk mendukung pendidikan anak pertamaku yang dua tahun lagi akan tamat SMA dan berniat melanjutkan pendidikan sarjana.
Aku ingin memanfaatkan sisa tenaga dan usia untuk menjadi petani. Bagiku, penghasilan sebagai petani bisa melebihi penghasilan honorer asal rajin dan memiliki strategi yang mantap. Akan tetapi, niat untuk berhenti dari tenaga honorer itu tidak terlaksana karena masukan dari seorang teman. 
“Namamu sudah ada dalam database pemerintah. Jika kau mundur, sia-sialah perjuangan, pengabdian, dan kesabaranmu menunggu kepastian selama ini.”
“Kepastian macam apa, teman? Bukan satu dua tahun! Aku sudah mengabdi puluhan tahun, tapi apa? Orang yang belum sedetik mengabdi bisa diangkat jadi tenaga kontrak dan malah menjadi tenaga tetap melalui permainan data.”
“Nasib setiap orang berbeda, Simon.”
“Ya, nasib orang curang selalu lebih cepat melejit bukan?”
“Janganlah kau sentimen seperti itu, Simon. Kalaupun mereka curang, atas dasar apa mereka bisa bersyukur kepada Tuhan untuk kesuksesan mereka itu? Itu kesuksesan yang haram. Biarlah Tuhan yang membalasnya.”
“Ok, baiklah. Ini menjadi penantian terakhirku, teman. Aku tak mau menghabiskan usia dengan penantian yang tak pasti!”
Semilir angin desa terpencil yang masih sejuk dari alam yang asri menyapu wajahku yang seakan layu termakan waktu penantian yang tak tentu. Angin itu seakan membawa pesan Ilahi untuk menyadarkanku bahwa meski cacat fisik, paling tidak, kesuksesan hidup adalah ketika aku mampu hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain. Ketika aku mampu menghidupi istri dan anak-anakku, walau dengan pernghasilan seadanya. Ketika aku menjadi ayah dan suami yang baik. Dan itu semua telah aku raih untuk mematahkan sindiran ‘when the bullshit thinking about the future’ bagi kaum disabilitas.

1 komentar:

Marsya mengatakan...

AJO_QQ poker
kami dari agen poker terpercaya dan terbaik di tahun ini
Deposit dan Withdraw hanya 15.000 anda sudah dapat bermain
di sini kami menyediakan 8 permainan dalam 1 aplikasi
- play aduQ
- bandar poker
- play bandarQ
- capsa sunsun
- play domino
- play poker
- sakong
-bandar 66 (new game )
Dapatkan Berbagai Bonus Menarik..!!
PROMO MENARIK
di sini tempat nya Player Vs Player ( 100% No Robot) Anda Menang berapapun Kami
Bayar tanpa Maksimal Withdraw dan Tidak ada batas maksimal
withdraw dalam 1 hari.Bisa bermain di Android dan IOS,Sistem pembagian Kartu
menggunakan teknologi yang mutakhir dengan sistem Random
Permanent (acak) |
Whatshapp : +855969190856