Jumat, 12 Juni 2020

Obrolan Opa Peter dan Cucunya


Oleh : Krismanto Atamou

“Pada persimpangan kritis dalam sejarah, orang akan melihat berbagai kerinduan. Kerinduan yang terpendam, kerinduan yang terobati, dan kerinduan yang terus dijalani ibarat ayunan Newton yang sekali digerakkan akan terus bergerak hingga dihentikan.

“Film Mortal Engines yang diproduksi pada tahun 2018 lalu, disutradarai oleh Christian Rivers, misalnya. Film yang mengisahkan tentang 1000 tahun dari sekarang ketika kemajuan teknologi mengakibatkan kepunahan dan orang di masa depan rindu untuk mempertahankan zona nyamannya mirip seperti yang kita pertahankan sekarang.

“Kita mempertahankan ego, cinta, benci, kekuasaan, kejayaan, nafsu, juga kebijaksanaan. Seribu tahun dari sekarang sejarah manusia masih menjaga kerinduan alami manusia.

“Wasiat, amanah, dan harapan adalah ekspresi kerinduan dimana orang berupaya menjangkau yang dirindukan dan berharap itu tersampaikan.  Sebut saja di akhir masa kehidupan seseorang. Pada saat seperti itu orang cenderung akan menyampaikan banyak wasiat. Itulah kerinduan.

“Kau seorang mahasiswa sains. Kau tentu tahu tentang tingkatan error dalam sebuah penelitian sains. Itu adalah kerinduan dari sains yang rasional untuk mendekati kebenaran dan berupaya menjelaskannya. Suatu kerinduan sains untuk sempurna, namun menyisakan sedikit persentasi error yang terus dirindukan kesempurnaannya.

“Kerinduan sains terus berlanjut seiring kerinduan untuk sempurna. Sains, teknologi, teknik, matematika, semuanya sama saja, merindukan kesempurnaan.  Di ujung semua usahanya mereka masih merindukan entah.

“Ideologi pun demikian. Semula ideologi manusia adalah untuk mempertahankan hidup. Dengan caranya sendiri kehidupan purba terus berkembang hingga sekarang. Ideologi berkembang dari mempertahankan hidup berlanjut hingga memaknai hidup.

“Dalam perkembangan ideologi, orang berupaya mencari tatanan yang terbaik demi khalayak, demi kosmos. Lalu muncullah penghalang-penghalang ideologi. Lalu muncullah perlawanan-perlawanan.

“Setiap usaha membutuhkan pengorbanan. Demikianlah dalam sejarah kemajuan ideologi yang menemui halangan dan rintangan menyisakan kemunduran berupa sampah, berupa pemaksaan sebagai ekspresi hawa nafsu, menyisakan korban harta benda dan jiwa raga manusia. Setiap pencapaian kemajuan ideologi adalah kerinduan yang sama dalam bentuk yang berbeda.

“Ah ..., cucuku. Maafkan Opa terus berbicara tentang kerinduan yang tiada habis-habisnya. Apalah yang akan Opa wariskan padamu? Semuanya hanyalah kerinduan.

“Pun tentang kepercayaan. Orang-orang mengklaim kebenaran dari kepercayaannya masing-masing. Orang-orang rindu surga, rindu kepastian hidup kekal di tempat abadi.

“Untuk itu ada banyak syarat yang mesti dipenuhi, ada banyak pengorbanan yang mesti dilakukan. Orang mulai bertanya-tanya: Mengapa kita mewarisi agama ini? Mengapa kita harus melakukan syarat dan pengorbanan seperti ini? Bentuk pertanyaan tabu dalam tatanan kepercayaan. Lalu muncullah aliran baru dengan klaim penyempurnaan. Semuanya tentang kerinduan untuk sempurna.

“Jangan kau tanya mana yang benar. Saintis selalu menjawab secara rasional lewat bukti dan saksi. Filsuf menjawab sesuai permenungannya. Setiap orang memiliki identitas dan preferensinya masing-masing. Kita mesti saling menghargai dalam kemanusiaan.”

Angin dingin sore itu berhembus sepanjang gang kecil di Kampung Malang, Surabaya, masuk melewati celah jendela. Andre duduk menghadap Opa Peter yang berbaring di tempat tidurnya. Andre menarik selimut ke arah dada Opa Peter yang bergerak turun ke pinggang seiring gerakan tangan Opa Peter sebagai gesture untuk mendukung penjelasannya tentang kerinduan akan kesempurnaan.

“Dulu, Opa adalah salah satu komandan pasukan KKO. Opa memilih berhenti tanpa pensiun lalu menjadi wartawan. Itulah persimpangan kritis dalam kehidupan Opa dimana dunia wartawan menyimpan kerinduan bagi diri Opa sendiri.”

Pandangan Opa Peter yang sudah kabur sempat memotret kerutan di dahi Andre, cucunya. Nalurinya mengatakan: Pasti ada sesuatu yang ingin ditanyakan Andre mengenai hal yang baru saja disampaikannya.

“Kau jangan tanya KKO itu apa? Sebab di zaman sekarang, kau harus lebih terampil daripada sekedar menguasai informasi yang sudah cenderung menjadi domainnya teknologi.

“Semasa menjadi komandan KKO, Opa mengerti apa itu perintah, apa itu komando, apa itu ketakutan dan bagaimana menghadapinya, apa itu keberanian dan bagaimana mencegahnya untuk berubah menjadi ketololan.”

Begitu kata ketololan sampai ke kepala Andre, sekali lagi dahi Andre berkerut. Meski tanpa belajar ilmu mikro ekspresi, Opa Peter tahu bahwa ia mesti berupaya menjawab kerinduan sang cucu untuk mengerti penjelasannya.

“Suatu saat kau akan tahu bahwa keberanian yang berlebihan adalah ketololan. Dalam perang hal itu sering terjadi. Orang berdiri menenteng senjata, menganggap diri berani, kurang waspada, merindukan bahwa itu adalah hal yang sempurna untuk dilakukan, lalu mati diberondong senjata musuh. Tolol.”

"Berarti, apakah kita harus sedikit takut, Opa?" Andre yang sedari tadi hanya menunjukkan mikro ekspresinya, kini bersuara mengungkapkan rasa penasarannya.

Tidak langsung menjawab, Opa Peter menceritakan sepintas kisah hidupnya. Ibarat kata: Alih-alih memberi ikan, Opa Peter memberi kail agar Andre bisa mengetahui jawaban atas pertanyaannya tadi.

“Opa lahir 75 tahun lalu di Pulau Sabu, NTT. Sebuah pulau yang indah dengan pesona Kelabba Maja-nya, dengan gula aer-nya, dengan nona hitam manis-nya, dan masih banyak lagi pesona yang lain. Opa tumbuh dan besar di sana. Lalu Opa masuk tentara, bergabung dengan KKO, menjadi komandan pasukan, lalu berhenti, lalu  Opa memilih menjadi wartawan.”

Wajah Andre sedikit tersenyum. Opa Peter senang, menyangka bahwa cucunya itu sedang menyukai penjelasannya. Padahal, selain itu, Andre tersenyum karena Opa Peter sedang mengulang sejarah hidupnya yang telah Andre dengar berkali-kali. Dalam hati Andre berkata: "Mungkin suatu saat aku pun akan seperti Opa. Gejala orang tua."

"Tahukah kau Andre, apa yang menyebabkan Opa menjadi wartawan?"
Andre menggeleng pelan.

"Keberanian, Andre. Keberanian. Hanya orang berani yang memilih jalan berbeda dari biasanya. Jika untuk hal baik yang kita perjuangkan, untuk apa takut dengan ancaman? Teguhlah pada pendirian, Andre!”

"Oh, berarti kita tidak perlu takut kan, Opa?"

"Silakan kau simpulkan sendiri, Andre."

Opa Peter tersenyum menatap mata cucunya. Senyum yang manis dari seorang Do Hawu.
"Saya lihat di YouTube, Opa pernah mewawancarai Opa Gerson Poyk."

"Ya, beliau adalah sastrawan besar Indonesia asal NTT."

"Saya kagum, Opa memilih hidup sederhana dengan tinggal di rumah sempit dalam gang ini. Opa juga bergaul dengan siapa saja," ujar Andre.

"Sebelum meninggal ..., Opa ingin mengenalkan bahwa tanah lahir Soekarno itu di Surabaya, bukan di Blitar seperti yang kau pelajari di sekolahan. Itu salah satu kerinduan yang Opa jalani. Masalah nanti kerinduan itu tercapai atau tidak, biarlah waktu yang menjawabnya.
“Opa yakin, Soekarno lahir di Kampung Pandean, Surabaya. Opa sudah melakukan penelitian panjang sebelum mengambil kesimpulan itu.”

"Ada kemungkinan Opa akan dimusuhi oleh orang yang memiliki pendapat berbeda," sela Andre.

"Bukan akan, tapi Opa memang sudah dimusuhi sejak dulu. Lalu apa? Balas memusuhi? Tidak! Opa ikhlas. Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan rasa permusuhan, Andre.”

Catatan: Cerpen ini adalah upaya menambah bumbu fiksi untuk mengenang sekelebat kisah Alm. Peter A. Rohi, wartawan senior asal Pulau Sabu-NTT yang meninggal di RS RKZ Surabaya pada Rabu, 10 Juni 2020 lalu. Turut berdukacita.

Kamis, 11 Juni 2020

Jagung dan Prestise



Berdasarkan preferensi dan budaya seseorang, jagung dinilai dengan standar tertentu. Sebagian orang menjadikannya makanan pokok. Sebagian lain menjadikannya makanan tambahan. Namun, ada sebagian lain lagi yang tidak menjadikannya bahan makanan bagi manusia melainkan bagi hewan peliharaan.

Tersebutlah suatu cerita lucu tentang jagung ini. Dalam sebuah perjalanan dengan kapal feri yang begitu lama bertemulah dua orang. Sebut saja si a dan si b.

Keduanya berkenalan lalu berbagi cerita untuk membunuh waktu dalam perjalanan yang begitu lama. Si a melihat si b membawa sebuah karung maka terjadilah percakapan sebagai berikut.

A: Apa isi karung itu?
B: Oh, itu jagung.
A: Untuk apa kamu bawa jagung dari kampung ke kota?
B: Untuk bekal makanan saya.
A: Oh, jadi kamu makan jagung?
B: Ia. Kenapa kamu bertanya seperti itu?
A: Ah, tidak. Aku heran saja kamu makan jagung. Di kampungku, jagung adalah makanan babi.

Si b menjadi jengkel karena si a menganggap bahwa si b makan makanan babi. Tak lama berselang laut menjadi sedikit ganas dan bergelombang. Kapal feri oleng.

Si a mabuk laut lalu muntah. Dari muntahan itu keluar jagung rebus yang dimakannya di darat. Si B kaget. Ternyata orang yang menganggapnya memakan makanan babi tadi juga makan jagung. Si b menilai si a sombong dan penipu.

Sehabis muntah si a terbaring lemas. Muntahan si a yang tadinya diarahkan ke laut sebagian tertiup angin melewati pagar pembatas Feri dan jatuh ke lorong.

Seorang pelintas menanyakan kepada si b yang berdiri tak jauh dari muntahan itu. "Muntahan siapa ini?"

B: "Oh, itu tadi ada babi yang muntah."
Si B berupaya menjawab dengan suara keras agar didengar si a sebagai jawaban sindiran.

Nah, dari cerita ini, bagi si a, jagung bukanlah makanan manusia, prestisenya akan jatuh jika mengakui makan jagung walaupun faktanya ia memakannya. Bagi si b jagung adalah makanan manusia dan ia tidak malu untuk mengakuinya.

Ya, semoga saja dalam kenyataan, kisah tentang jagung dan prestise manusia tadi tidak terjadi. Hanya fiksi.

Kalau saya hobi makan jagung muda rebus, bakar, atau goreng. Enak sekali.🙂

Sekian.

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 12 Juni 2020

Note: Gambar ini diambil dari Grup WA KGP NTT.

Rabu, 10 Juni 2020

Menghadapi_Tsundoku



Tulisan di bawah adalah milik dosen saya saat kuliah di Prodi Biologi Pendidikan MIPA, FKIP Undana Kupang sekira tahun 2002 lalu, Ibu Doktor Andam Ardan. Setelah mendapat izin dari Ibu Doktor, saya membagikannya dengan menambahkan sedikit ulasan yang berfokus pada bagian #Tsundoku.

Ini link tulisannya:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10220335496930951&id=1635347704

Bagi para pecinta buku mengoleksi buku adalah hal yang istimewa, apalagi untuk buku edisi terbatas (langka). Sebagian lagi suka mengoleksi buku keluaran terbaru (semisal buku serial) atau buku baru yang sesuai identitas dan preferensi diri.

Tujuan mengoleksi buku tentunya adalah untuk dibaca dan menambah pengetahuan. Hal ini wajar mengingat sebagai homo sapiens kita adalah makhluk pemikir. Knowledge konsumer.

Ada sebuah gejala yang menghantui dan membayangi para pecinta buku yaitu Tsundoku. Menumpuk atau mengoleksi buku dalam jumlah banyak namun tidak pernah membacanya atau membacanya namun tidak selesai. Saya pun sekarang mulai merasakan gejala Tsundoku.

Dalam permenungan saya ada beberapa hal penyebab Tsundoku antara lain:

1. Jenuh atau Bosan

Jenuh atau bosan adalah sifat alami manusia mengingat secara alami manusia butuh istirahat atau refreshing. Itulah alasan sehingga para pebisnis menyediakan jasa hiburan bagi yang membutuhkan. pebisnis tahu bahwa pada satu titik manusia pasti jenuh dan membutuhkan hiburan atau membutuhkan sesuatu (wahana dan aktivitas) yang baru.

2. Kepuasan Untuk Sekedar Memiliki

Bagi para pemula isi buku, puncak kepuasan terletak pada berhasil memiliki buku dan mengoleksinya. Membaca buku hasil koleksi tidak lagi menjadi target kepuasan.

3. Terjawabnya Kebutuhan Atas Rasa Penasaran

Sebelum memiliki sebuah buku secara utuh, seseorang yang akan terjebak Tsundoku selalu merasa penasaran terhadap buku yang ingin dicari dan dimiliki. Setelah memiliki buku tersebut atau membaca sebagian isinya rasa penasaran tersebut terjawab. Dengan terjawabnya kebutuhan atas rasa penasaran tersebut maka berakhir sudah segala ekspektasi dari orang yang mengalami Tsundoku. Jika hidup seperti putaran roda maka terjawabnya rasa penasaran adalah titik tertinggi dari roda (Jika tidak mau dikatakan banal).

4. Beratnya materi bacaan

Beberapa buku memang berat untuk dibaca mengingat memerlukan analisis yang tinggi dalam membaca. Tanpa analisis atau daya berpikir yang tinggi materi bacaan tersebut akan sulit untuk dicerna dan dimengerti, apalagi untuk dipahami. Nah, untuk materi bacaan yang berat seperti ini, bagi orang yang tidak terbiasa, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan bacaan dan mengerti isinya.

Sebagai contoh 2 bulan lalu saya membaca buku berjudul PENDIDIKAN karya Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara (KHD). Buku tersebut ditulis beliau pada zaman dulu sehingga menggunakan ejaan dulu. 

Sebagai generasi masa kini yang membaca buku KHD, saya perlu memahami beberapa kosakata yang diberi catatan kaki dan memahami ejaannya. Otak saya mesti bekerja dua kali sebelum memahami buku KHD. Dengan bacaan berat seperti ini otak lebih cepat lelah dan membutuhkan banyak istirahat.

5. Kesibukan

Kesibukan adalah alasan yang paling klasik dan umum untuk menyelesaikan sebuah bacaan (juga agenda lain yang tidak terjamah😀). Alasan ini pun cenderung dicari-cari mengingat bahwa membaca seharusnya menjadi bagian dari kesibukan.

6. Kesempatan membaca (buku atau teks panjang) yang dicuri oleh Mayanisasi.

Digitalisasi dan dunia maya menawarkan tsunami atau badai informasi yang terus menggempur setiap pengakses internet di setiap milidetiknya. Hal ini mengakibatkan fokus untuk membaca sebuah buku terampas.

Sebenarnya digitalisasi dan dunia maya juga menawarkan sangat banyak buku digital untuk dibaca. Ini (membaca buku hingga tuntas) bisa terjadi jika kita tidak mudah teralihkan untuk membaca atau menyaksikan berjibun materi lain yang hadir melalui notifikasi.

Jadi, manajemen waktu di era mayanisasi perlu diatur agar bisa fokus menyelesaikan bacaan teks panjang yang membutuhkan banyak waktu. Jika bacaan itu berupa buku fisik maka kita perlu mengambil jarak dengan internet agar terhindar dari notifikasi yang mungkin membuat kita teralihkan.

***

Apa yang dialami Ibu Doktor (yang juga penulis alami), yaitu tersendatnya membaca buku hingga tuntas tentu perlu ditelisik lebih jauh. Apakah karena keenam alasan di atas, atau ada alasannya yang lain, sebagaimana yang Ibu Doktor duga yaitu faktor usia.

Untuk menghadapi Tsundoku tentu kita mesti menyadari siapa diri kita. Jika kita adalah orang yang suka mengoleksi buku dan menjadikan hobi tersebut sebagai pencapaian tertinggi maka Tsundoku bukanlah masalah. Namun jika kita sebenarnya tidak berniat mengoleksi buku tanpa dibaca maka kenalilah apa penyebab kita tidak menyelesaikan bacaan lalu cari solusinya. Enam hal di atas hanyalah dugaan sementara, bisa jadi ada hal lain sebagai penyebabnya.

Sekian.

Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.

Note: This picture taken from https://www.google.com/amp/s/www.grid.id/amp/04905260/selain-bacaan-kepribadian-kamu-juga-bisa-dinilai-dari-cara-menata-rak-buku

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 11 Juni 2020

Selasa, 09 Juni 2020

Antre dan Korupsi





Relasi antara Budaya Antre dan  Korupsi sepintas memang tidak kelihatan. Begitulah kalau kita lihat dari kamus besar Bahasa Indonesia.

Dalam KBBI kata Antre berarti berdiri berderet-deret ke belakang menunggu untuk mendapat giliran.  Kata korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari juga kalau berbicara korupsi pikiran orang langsung tertuju pada uang negara yang disalahgunakan dan para pejabat sebagai pelakunya. Padahal korupsi juga bisa dilakukan oleh rakyat kecil seperti menyogok demi kemudahan tertentu.

Budaya antre dan korupsi punya hubungan. Dari asal katanya (di Wikipedia) korupsi (atau rasuah) berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Nah, dari asal kata ini kita bisa tahu bahwa hubungan antara antre dan korupsi terletak pada makna memutarbalik atau berjalan tidak semestinya. Antre berarti tidak memutarbalik (menunggu kesempatan sesuai giliran).

Jadi dalam makna ini jika seseorang tidak bisa antre maka dia sudah melakukan korupsi karena tidak menunggu kesempatan/ giliran antre dan menyebabkan barisan antre menjadi rusak/ tidak teratur/ tidak berjalan semestinya. Jadi tidak antre sama dengan korupsi.

Sekian.

Note: This picture taken from https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost%2Fxview&id=3670

Oleh: Krismanto Atamou
Oelamasi, 10 Juni 2020

Jumat, 05 Juni 2020

Didaktik, Ilmu Mendidik Yang Dilupakan



Tulisan saya kemarin tentang Triangle Pedagogik (Pengetahuan, Guru, dan Murid) akhirnya membawa saya untuk tahu bahwa ada satu ilmu yang sudah dilupakan di LPTK. Ilmu Didaktik.

Pada kamus besar bahasa Indonesia online, kata didaktik berarti ilmu tentang masalah mengajar dan belajar secara efektif; ilmu mendidik.

Ketika saya menjelaskan relasi antara guru dan pengetahuan sebagai proses mendidik, oleh Sang Mentor, Pak Jimmy Paat dan Pak Lody Paat, saya diingatkan bahwa relasi itu adalah didaktik.

Berikut ini penjelasan beliau berdua_dalam diskusi di grup WA Sakti (Sekolah Antikorupsi Guru) 2019 yang diselenggarakan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch)_tentang tulisan saya kemarin (The Triangle Pedagogic):

Dari Pak Lody Paat

http://www.norssiope.fi/norssiope/mentoring/orientation/identity_iamateacher2.html

Bung Kris, komentar pertama saya tulisan bung KEREN.

Segitiga didaktik diajukan oleh  Johan Friedrich Herbart. Herbart mengembangkan dari segitiga retorika.

Didaktik bisa diterjemahkan menjadi ilmu mengajar. Ilmu ini dipelajari oleh calon guru pada era penjajahan di Kweekschool sampai dengan era merdeka di B1 dan B2, dan di IKIP. Saya perkirakan didaktik tidak dipelajari di IKIP setelah tahun 1975.

Sejak tahun 80an, calon guru di IKIP mempelajari cara mengajar dalam kerangka teknologi pendidikan atau teknologi instruksional.

Dalam segitiga didaktik, sudut atas bisa apa atau siapa saja, bisa guru atau murid atau pengetahuan. Terpenting, saya pikir adalah hubungan atau relasi guru-murid, guru-pengetahuan, dan  murid-pengetahuan. Dengan kata lain, dalam segitiga didaktik, penekanannya pada konsep relasi. Mungkin, bisa dikatakan tanpa relasi tidak ada segitiga didaktik.

Terakhir, saya pikir kita perlu mencari sumber yang membahas sejarah segitiga didaktik agar kita kapan dan mengapa segitiga didaktik hadir.

Dari Pak Jimmy Paat

"Pada Triangle pédagogique Jean Houssaye, hubungan antara sisi pengetahuan dan sisi guru itu disebut proses didaktik. Didaktik sebagai  konsep mungkin sudah lenyap di kamus guru. (Lihat pak Kris sendiri tidak menggunakan konsep tersebut). Didaktik itu sendiri berkembang pesat di Perancis, kususnya didaktik matematik di awal tahun 80-an, melalui kerja Guy Brousseau dan Yves Chevallard. Melalui yang tetakhir ini lahir transposisi didaktik. Melalui konsep ini kita, guru diberitahu bahwa ilmu pengetahuan dari ilmuwan harus ditranspos (dipindahkan) untuk sampai ke buku teks, kemudian dipindahkan lagi untuk sampai ke kelas agar pengetahuan itu diserap murid. Nah konsep transposisi didaktik sepengetahuan saya tidak atau belum banyak dikenal (diperkenalkan) di lptk. Mungkin karena ilmu pengetahuan kita yang berkaitan dengan pedagogik dan didaktik didominasi yang dari Anglo-American.

"Kembali ke segitiga pedagogik Houssaye. Kita bisa atau mungkin perlu dan penting kaitkan dengan didaktik (di Perancis dikenal juga segitiga didaktik melalui Brousseau dan Chevallard). Agar kita melihat lebih jelas hubungan tiga sisi pedagogis Houssaye."

Demikian penjelasan beliau berdua.

Memang konsep didaktik yang pernah ada dulu, kini telah dilupakan oleh LPTK. Pada akhirnya mahasiswa dan produk LPTK zaman now tidak mengenal konsep didaktik ini. Bahkan saya sendiri baru dengar kata didaktik baru dari cerita ayah saya yang pensiunan guru SD setelah tamat kuliah. Katanya beliau sewaktu SPG dulu, dia mendapatkan mata pelajaran Didaktik Metodik (bahkan dengan metode imlah😊).

Sekian.

Tulisan ini akan saya perbaiki kemudian jika ada koreksi dari para mentor atau teman-teman. Salam.

Note: This picture taken from http://www.norssiope.fi/norssiope/mentoring/orientation/identity_iamateacher2.html

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 06 Juni 2020

Kamis, 04 Juni 2020

Relasi antara Guru, Pengetahuan, dan Murid



Relasi antara Guru, Pengetahuan, dan Murid
(#The_Triangle_Pedagogic)

Relasi antara guru, pengetahuan, dan murid dalam proses belajar, mengajar, dan mendidik sangatlah perlu demi terselenggaranya pendidikan yang baik. Mengapa ini perlu?

Kita tahu bahwa yang dikejar dari sebuah proses pendidikan adalah pencapaian pengetahuan (soft and hard) yang berimbas pada kecerdasan/keberdayaan seseorang. 

Di atas telah saya sampaikan diagram segitiga pedagogik (Triangle Pedagogik) hubungan antara guru, murid, dan pengetahuan. Ini merupakan diagram segitiga pedagogis yang digagas oleh Jean Houssaye, pedagog Perancis. 

Triangle Pedagogik ini saya ketahui dari paparan Pak Jimmy Ph Paat saat diskusi buku Critical Pedagogy for Early Childhood and Elementary Educators karya Lois McFadyen Christensen and Jerry Aldridge waktu lalu. Saya belum pernah baca bukunya Jean Houssaye.

Dari diagram tersebut terlihat bahwa pengetahuan tidak dimonopoli oleh guru atau siswa. Pengetahuan berada di atas (puncak) segitiga hubungan guru dan murid agar dicapai bersama-sama. 

Dengan menempatkan pengetahuan di bagian atas dan guru murid di bagian dasar menunjukkan bahwa relasi guru-murid dalam mencapai pengetahuan adalah suatu relasi yang setara. Kata setara dapat dibaca sebagai tidak saling mendominasi.

Pengetahuan adalah milik bersama yang dapat diakses oleh murid sebagai proses belajar dan oleh guru sebagai proses mengajar. Jadi guru hanya bisa mengajar kalau memiliki akses terhadap pengetahuan demi menyalurkan pengetahuan tersebut kepada murid.

Perlu dicatat bahwa pengetahuan perlu ditinjau juga lebih lanjut mengingat beragamnya preferensi, asumsi, dan identitas guru, terutama murid. Meski pengetahuan tidak mungkin netral tapi paling tidak sesuai dengan identitas murid agar ia tidak teralienasi dari identitasnya semula.

Relasi mendidik antara guru siswa juga menarik. Saya menggunakan kata 'antara' karena berdasarkan paragraf tadi setiap murid memiliki preferensi dan identitas yang berbeda. Guru belum tentu (dan tidak mungkin) mengetahui semua preferensi dan identitas murid. 

Untuk itu dalam mendidik, guru perlu beri kesempatan kepada murid menjadi 'guru' untuk memaparkan preferensi dan identitasnya. Jadi dalam satu titik, murid bisa menjadi 'guru' bagi murid lain juga bagi gurunya. 

Jadi dalam hal mendidik juga terdapat relasi yang setara karena guru perlu juga 'berguru' pada murid untuk mengenal identitas dan preferensinya. Pada realitanya (dalam beberapa kasus), kesetaraan dalam mendidik cenderung diabaikan mengingat guru dianggap yang paling tahu, apalagi kalau sampai dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

Sekian.

Oleh: Krismanto Atamou
Diler Wahana-Oebufu-Kupang, 05 Juni 2020

Cipta Janda





Cipta janda adalah kata yang diucapkan oleh seorang teman untuk mengkritisi playboy yang suka membangun hubungan tidak resmi (kumpul kebo) dengan seorang perempuan, lalu menghasilkan anak dari hubungan tersebut, lalu meninggalkan anak hasil hubungan gelap beserta ibunya. Miris.

Di dunia ini, cerita seperti di atas sudah basi. Tapi anehnya, sejarah terus berulang. Masih banyak kita temui kisah yang sama.

Sang korban yaitu wanita mengeluh, sang pelaku yaitu pria berbangga diri dengan menganggap kejahatan seperti itu adalah kejantanan. Oh, no!

Alih-alih mengakui bahwa dirinya adalah seorang bajingan, sang pria malah menceritakan semua itu sebagai kehebatan. Anehnya, sebagian masyarakat menganggap itu hal yang wajar dibanding seorang wanita yang memiliki banyak mantan pria sebagai kekasihnya.

Apakah itu pengaruh budaya paternalis? Apakah itu hanya stereotip? Ataukah memang sebagian masyarakat itu sedang sakit dengan mengalami pergeseran nilai luhur nan mulia?

Saya hanya bertanya. Jika pertanyaannya tidak tepat, mohon dikoreksi. Silakan.

Sekian.

Note: This picture taken from https://www.google.com/amp/s/cantik.tempo.co/amp/1049099/alasan-anak-di-bawah-umur-harus-ikut-ibu-pasca-perceraian

Kupang, 04 Juni 2020

Rabu, 03 Juni 2020

From Mother to Mother



Pada adegan film Home Alone yang disutradarai Chris Columbus, seorang Ibu berbicara pada Ibu yang lain. "Help me please, from mother to mother." Sang ibu memohon dengan wajah penuh kepasrahan.

Dalam adegan itu diceritakan bahwa sang ibu yang memohon tersebut sedang mengalami kesulitan keuangan untuk biaya perjalanan menemui anaknya di tempat yang jauh. Sang ibu (saya lupa namanya, sebut saja namanya Meri) berupaya mendapatkan uang dengan menjual barang-barang berharga yang dimilikinya pada ibu yang lain (saya lupa namanya, sebut saja namanya Maria).

Maria sebenarnya agak berat hati untuk menolong Meri karena uang yang dipegangnya sekarang adalah hasil tabungan bertahun-tahun untuk biaya perjalanannya dengan suami pergi berwisata. Suami Maria yang berdiri di sampingnya memperingatkan Maria bahwa tidak perlu menolong Meri karena mereka harus segera berangkat sesuai jadwal.

Meski sekali dua usahanya gagal, Merry terus berusaha untuk mendapatkan pertolongan dari Maria. Akhirnya Maria jatuh hati pada Meri dan memberi pertolongan keuangan. Jumlahnya cukup untuk perjalanan Meri ke rumah menemui anaknya.

Nah ... yang akan saya ulas di sini adalah bukan tentang bagaimana berusaha meyakinkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan. Tapi mengenai bagaimana seorang ibu memiliki naluri, refleks, dan keinginan yang kuat untuk melindungi anaknya. 

From mother to mother bukankah kata sakti untuk mempengaruhi ibu yang lain. From mother to mother ialah berbicara tentang menyentuh lubuk hati nurani yang paling dalam. Menyentuh ketulusan sebagai manusia yang saling membutuhkan pertolongan. Inilah kemanusiaan yang sebenarnya. Bertindak dengan juga melibatkan hati nurani.

Sekian.

Note: This picture taken from https://today.line.me/ID/article/Apa+Kabar+Aktor+Home+Alone+Ada+yang+Sudah+Meninggal-EBwY2k

Oleh Krismanto Atamou
Nefoteas, 03 Juni 2020

Selasa, 02 Juni 2020

Kata 'ini' dan 'Itu'


Menganalisis kata 'ini' dan 'itu' dalam budaya tutur beberapa orang di seputaran tempat tinggal saya. Dalam bahasa Indonesia kata ini dan itu memiliki arti tersendiri.

Ini merupakan kata penunjuk terhadap sesuatu yang letaknya tidak jauh dari pembicara. Sedangkan itu merupakan kata penunjuk terhadap sesuatu benda (waktu atau hal) yang letaknya jauh dari pembicara.

Meski artinya demikian menurut kamus bahasa Indonesia, pemakaian kata 'ini' dan 'itu' dalam budaya tutur beberapa orang di sekitar saya, telah berubah penggunaannya untuk menyatakan sesuatu hal yang dimaksud oleh pembicara namun tidak dinyatakan secara gamblang. Pembicara menginginkan pendengar untuk bisa menganalisis dan menerjemahkan maksud kata 'ini' dan 'itu' yang pembicara sampaikan.

Contoh penggunaan kata ini.

Si Pembicara mengatakan lewat telepon kepada pendengar: "Habis ini, baru saya datang ke rumahmu." (Setelah ini, saya akan ke rumahmu).

Kata ini dalam kalimat di atas tidak sedang menunjukkan sesuatu yang letaknya dekat dengan pembicara. Kata ini yang dimaksudkan ialah sesuatu hal yang akan dikerjakan oleh pembicara sebelum pergi ke rumah pendengar.

Contoh penggunaan kata ini dan itu.

Misalnya dua orang sedang berbicara tentang rencana yang sudah disepakati untuk dilakukan segera. Namun salah seorang dari mereka mau melakukan sesuatu sebelum melakukan rencana yang disepakati itu. Maka orang itu akan berkata: "Tunggu ya, habis ini baru itu."

Kata 'itu' dalam kalimat di atas tidak menunjukkan sesuatu yang jauh dari pembicara tapi menunjukkan rencana yang sudah disepakati berdua namun belum dilakukan.

Biasanya dalam budaya tutur seperti ini, sang pembicara yakin bahwa pendengar mengerti apa yang dikatakan atau dimaksudkannya melalui kata 'ini' dan 'itu'.

Masih banyak contoh yang lain. Silakan para pembaca 'ini' baru 'ini' lagi 😀. (Silakan para pembaca berpikir lalu beri contoh yang lain).

Sekian.

Oleh Krismanto Atamou
Nefoteas, 02 Juni 2020