Jumat, 12 Juni 2020

Obrolan Opa Peter dan Cucunya


Oleh : Krismanto Atamou

“Pada persimpangan kritis dalam sejarah, orang akan melihat berbagai kerinduan. Kerinduan yang terpendam, kerinduan yang terobati, dan kerinduan yang terus dijalani ibarat ayunan Newton yang sekali digerakkan akan terus bergerak hingga dihentikan.

“Film Mortal Engines yang diproduksi pada tahun 2018 lalu, disutradarai oleh Christian Rivers, misalnya. Film yang mengisahkan tentang 1000 tahun dari sekarang ketika kemajuan teknologi mengakibatkan kepunahan dan orang di masa depan rindu untuk mempertahankan zona nyamannya mirip seperti yang kita pertahankan sekarang.

“Kita mempertahankan ego, cinta, benci, kekuasaan, kejayaan, nafsu, juga kebijaksanaan. Seribu tahun dari sekarang sejarah manusia masih menjaga kerinduan alami manusia.

“Wasiat, amanah, dan harapan adalah ekspresi kerinduan dimana orang berupaya menjangkau yang dirindukan dan berharap itu tersampaikan.  Sebut saja di akhir masa kehidupan seseorang. Pada saat seperti itu orang cenderung akan menyampaikan banyak wasiat. Itulah kerinduan.

“Kau seorang mahasiswa sains. Kau tentu tahu tentang tingkatan error dalam sebuah penelitian sains. Itu adalah kerinduan dari sains yang rasional untuk mendekati kebenaran dan berupaya menjelaskannya. Suatu kerinduan sains untuk sempurna, namun menyisakan sedikit persentasi error yang terus dirindukan kesempurnaannya.

“Kerinduan sains terus berlanjut seiring kerinduan untuk sempurna. Sains, teknologi, teknik, matematika, semuanya sama saja, merindukan kesempurnaan.  Di ujung semua usahanya mereka masih merindukan entah.

“Ideologi pun demikian. Semula ideologi manusia adalah untuk mempertahankan hidup. Dengan caranya sendiri kehidupan purba terus berkembang hingga sekarang. Ideologi berkembang dari mempertahankan hidup berlanjut hingga memaknai hidup.

“Dalam perkembangan ideologi, orang berupaya mencari tatanan yang terbaik demi khalayak, demi kosmos. Lalu muncullah penghalang-penghalang ideologi. Lalu muncullah perlawanan-perlawanan.

“Setiap usaha membutuhkan pengorbanan. Demikianlah dalam sejarah kemajuan ideologi yang menemui halangan dan rintangan menyisakan kemunduran berupa sampah, berupa pemaksaan sebagai ekspresi hawa nafsu, menyisakan korban harta benda dan jiwa raga manusia. Setiap pencapaian kemajuan ideologi adalah kerinduan yang sama dalam bentuk yang berbeda.

“Ah ..., cucuku. Maafkan Opa terus berbicara tentang kerinduan yang tiada habis-habisnya. Apalah yang akan Opa wariskan padamu? Semuanya hanyalah kerinduan.

“Pun tentang kepercayaan. Orang-orang mengklaim kebenaran dari kepercayaannya masing-masing. Orang-orang rindu surga, rindu kepastian hidup kekal di tempat abadi.

“Untuk itu ada banyak syarat yang mesti dipenuhi, ada banyak pengorbanan yang mesti dilakukan. Orang mulai bertanya-tanya: Mengapa kita mewarisi agama ini? Mengapa kita harus melakukan syarat dan pengorbanan seperti ini? Bentuk pertanyaan tabu dalam tatanan kepercayaan. Lalu muncullah aliran baru dengan klaim penyempurnaan. Semuanya tentang kerinduan untuk sempurna.

“Jangan kau tanya mana yang benar. Saintis selalu menjawab secara rasional lewat bukti dan saksi. Filsuf menjawab sesuai permenungannya. Setiap orang memiliki identitas dan preferensinya masing-masing. Kita mesti saling menghargai dalam kemanusiaan.”

Angin dingin sore itu berhembus sepanjang gang kecil di Kampung Malang, Surabaya, masuk melewati celah jendela. Andre duduk menghadap Opa Peter yang berbaring di tempat tidurnya. Andre menarik selimut ke arah dada Opa Peter yang bergerak turun ke pinggang seiring gerakan tangan Opa Peter sebagai gesture untuk mendukung penjelasannya tentang kerinduan akan kesempurnaan.

“Dulu, Opa adalah salah satu komandan pasukan KKO. Opa memilih berhenti tanpa pensiun lalu menjadi wartawan. Itulah persimpangan kritis dalam kehidupan Opa dimana dunia wartawan menyimpan kerinduan bagi diri Opa sendiri.”

Pandangan Opa Peter yang sudah kabur sempat memotret kerutan di dahi Andre, cucunya. Nalurinya mengatakan: Pasti ada sesuatu yang ingin ditanyakan Andre mengenai hal yang baru saja disampaikannya.

“Kau jangan tanya KKO itu apa? Sebab di zaman sekarang, kau harus lebih terampil daripada sekedar menguasai informasi yang sudah cenderung menjadi domainnya teknologi.

“Semasa menjadi komandan KKO, Opa mengerti apa itu perintah, apa itu komando, apa itu ketakutan dan bagaimana menghadapinya, apa itu keberanian dan bagaimana mencegahnya untuk berubah menjadi ketololan.”

Begitu kata ketololan sampai ke kepala Andre, sekali lagi dahi Andre berkerut. Meski tanpa belajar ilmu mikro ekspresi, Opa Peter tahu bahwa ia mesti berupaya menjawab kerinduan sang cucu untuk mengerti penjelasannya.

“Suatu saat kau akan tahu bahwa keberanian yang berlebihan adalah ketololan. Dalam perang hal itu sering terjadi. Orang berdiri menenteng senjata, menganggap diri berani, kurang waspada, merindukan bahwa itu adalah hal yang sempurna untuk dilakukan, lalu mati diberondong senjata musuh. Tolol.”

"Berarti, apakah kita harus sedikit takut, Opa?" Andre yang sedari tadi hanya menunjukkan mikro ekspresinya, kini bersuara mengungkapkan rasa penasarannya.

Tidak langsung menjawab, Opa Peter menceritakan sepintas kisah hidupnya. Ibarat kata: Alih-alih memberi ikan, Opa Peter memberi kail agar Andre bisa mengetahui jawaban atas pertanyaannya tadi.

“Opa lahir 75 tahun lalu di Pulau Sabu, NTT. Sebuah pulau yang indah dengan pesona Kelabba Maja-nya, dengan gula aer-nya, dengan nona hitam manis-nya, dan masih banyak lagi pesona yang lain. Opa tumbuh dan besar di sana. Lalu Opa masuk tentara, bergabung dengan KKO, menjadi komandan pasukan, lalu berhenti, lalu  Opa memilih menjadi wartawan.”

Wajah Andre sedikit tersenyum. Opa Peter senang, menyangka bahwa cucunya itu sedang menyukai penjelasannya. Padahal, selain itu, Andre tersenyum karena Opa Peter sedang mengulang sejarah hidupnya yang telah Andre dengar berkali-kali. Dalam hati Andre berkata: "Mungkin suatu saat aku pun akan seperti Opa. Gejala orang tua."

"Tahukah kau Andre, apa yang menyebabkan Opa menjadi wartawan?"
Andre menggeleng pelan.

"Keberanian, Andre. Keberanian. Hanya orang berani yang memilih jalan berbeda dari biasanya. Jika untuk hal baik yang kita perjuangkan, untuk apa takut dengan ancaman? Teguhlah pada pendirian, Andre!”

"Oh, berarti kita tidak perlu takut kan, Opa?"

"Silakan kau simpulkan sendiri, Andre."

Opa Peter tersenyum menatap mata cucunya. Senyum yang manis dari seorang Do Hawu.
"Saya lihat di YouTube, Opa pernah mewawancarai Opa Gerson Poyk."

"Ya, beliau adalah sastrawan besar Indonesia asal NTT."

"Saya kagum, Opa memilih hidup sederhana dengan tinggal di rumah sempit dalam gang ini. Opa juga bergaul dengan siapa saja," ujar Andre.

"Sebelum meninggal ..., Opa ingin mengenalkan bahwa tanah lahir Soekarno itu di Surabaya, bukan di Blitar seperti yang kau pelajari di sekolahan. Itu salah satu kerinduan yang Opa jalani. Masalah nanti kerinduan itu tercapai atau tidak, biarlah waktu yang menjawabnya.
“Opa yakin, Soekarno lahir di Kampung Pandean, Surabaya. Opa sudah melakukan penelitian panjang sebelum mengambil kesimpulan itu.”

"Ada kemungkinan Opa akan dimusuhi oleh orang yang memiliki pendapat berbeda," sela Andre.

"Bukan akan, tapi Opa memang sudah dimusuhi sejak dulu. Lalu apa? Balas memusuhi? Tidak! Opa ikhlas. Hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan rasa permusuhan, Andre.”

Catatan: Cerpen ini adalah upaya menambah bumbu fiksi untuk mengenang sekelebat kisah Alm. Peter A. Rohi, wartawan senior asal Pulau Sabu-NTT yang meninggal di RS RKZ Surabaya pada Rabu, 10 Juni 2020 lalu. Turut berdukacita.

Tidak ada komentar: