Minggu, 29 September 2019

MENGUSIR SEPI, MENGGAPAI MIMPI


Oleh : Krismanto Atamou

Kaca jendela rumah tampak berair. Dingin menyusup lewat setiap celah atau pun merambat lewat bahan-bahan pembatas ruangan yang bersifat konduktor. Sang surya seakan lambat sekali keluar dari persembunyiannya. Suhu udara turun sangat tajam di Kota So’E pada bulan Agustus.
Suhu mencapai 180C ketika kita berjumpa.  Kau datang dari kota yang nun jauh di sana. Masyarakat di lingkunganmu haus hiburan dan mengejar eksistensi di dunia maya. Itulah alasannya kau rela mengambil cuti demi mengejar event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Kapan-Mollo, Kab. TTS.
Kau datang tidak hanya bertepatan dengan dinginnya suhu di So’E, tapi juga bertepatan dengan dinginnya suhu di hatiku. Saat itu aku baru saja keluar kamar yang lebih kuanggap sebagai markas, tempat aku membangun kekuatan hati dan pikiran untuk menggapai setiap mimpiku.
Jam dinding menunjukkan pukul 06.00 waktu So’E. Kau duduk di kafe milik ibuku dan menikmati segelas kopi panas dengan penganan khas daerah kami, flolo, uik tunu, dan sambal lu’at. Aku hampir saja berlalu tanpa menoleh padamu jika tidak kau sapa dengan ucapan selamat pagi.
“Selamat pagi juga, Kak,” sahutku sambil tersenyum.
Senyum itu, aku sendiri sudah tidak bisa membedakannya. Apakah senyum tulus, refleks, atau senyum bisnis? Senyum sudah menjadi bagian dari budaya penduduk kami. Ketika event Mnahat Fe’u viral di media massa dan media sosial dengan tagar kapan ke kapan, dinas pariwisata datang ke kampung kami dan memberikan penyuluhan. “Jika ingin pengunjung memiliki kesan yang bagus dan merekomendasikan kampung ini sebagai tujuan wisata, keramahan dalam menyambut tetamu sangatlah penting,” ujar penyuluh. “Termasuk tersenyum pada tetamu yang sudah menjadi budaya tempat ini,” lanjutnya lagi.
Tatapan matamu seakan memberikan kehangatan. Namun dingin di hatiku  belum juga mau merasakan kehangatan itu, walau memang tak dapat kusangkal bahwa ada getaran di dalam hati yang terasa. Aku terus berlalu hingga berhenti ketika Mama meneriakkan namaku.
“Somriiii ...!”
 “Ya, Mak?”
Panggilan Mak sekalian melumarkan lamunanku pada lantunan lagu karya Andmesh Kamaleng yang keluar dari radio milik ayah. “Waktu pertama kali, kulihat dirimu hadir, rasa hati ini inginkan dirimu ....”
“Cepat bantu Ayahmu di dapur. Sebentar lagi akan ada banyak tamu ke sini. Stok makanan dan minuman hangat kita mulai habis. Segeralah!”
“Baik, Mak. Aku mandi dulu, ya?”
“Cuci muka saja, setelah pekerjaan selesai barulah kau mandi. Ini perintah!”
Aku merajuk sambil bergumam. Kendati begitu, aku tetap menghormati Mak. Segera aku melangkah ke dapur. Ayah sudah bermandi keringat yang sebenarnya enggan keluar dari kulit saat udara dingin seperti ini.
Aku segera mengambil alih sebagian pekerjaan Ayah. Lumayan, sekalian olahraga dan menghangatkan tubuh di dekat perapian yang menyala. Ya ... paling tidak kesibukan di dapur ini sedikit mengurangi fokusku pada pesan singkat Armen minggu lalu.
“Kita putus.” Itu  isi pesan singkat Armen. Pesan singkat yang benar-benar singkat. Namun dampaknya cukup panjang bagiku. Pesan itu membuatku rela membuang kesempatan emas mengisi liburan untuk mendaki gunung Fatuleu bersama teman-teman MAPALA Kampus. Dari pada depresi, aku memilih pulang ke So’E. Kembali ke markas sekalian membantu Mak dan Ayah.
Bagiku, hidup terlalu singkat untuk ditangisi, jika tidak harus. Buat apa sedu sedan itu? Hidup terlalu singkat untuk diisi amarah, dendam, cacian, dan berbagai ekspresi negatif lainnya. Alih-alih menangisi kehilangan Armen, aku lebih memilih bersyukur. Ya, bersyukur karena pada akhirnya aku tahu bahwa Armen bukanlah jodohku. Buat apa aku menghabiskan waktuku dengan percuma bersama orang yang bukan jodohku?
Aku yakin, jodoh tak akan ke mana. Sudah ada jalannya untuk setiap orang. Mengapa harus resah. Menikah bukanlah perlombaan lari, harus cepat. Untuk mengusir sepi, aku memilih rumah. Aku memilih kamarku, markasku. Di rumah, aku senang dengan ketegasan Mak dan kelembutan Ayah.
Jika anak lain tidak suka dengan ibunda yang cerewet, aku justru suka itu. Aku suka Mak menyerocos dan mengomentari hidupku. Itu bagiku ibarat memberiku banyak tampilan CCTV untuk melihat situasi hidupku secara saksama. Dengan begitu aku mudah mengambil keputusan yang tepat.
Jam di dinding menunjuk angka 09.00. Bel di ruang reservasi berbunyi berkali-kali. Mendengar itu, aku melepaskan novel ORANG-ORANG BIASA karya Andrea Hirata dan berjalan ke kafe di depan rumah.
Seiring langkah kaki, aku menyelidik seantero ruangan kafe. Entah kemana Tante Ema yang bertugas menjaga kafe hingga aku harus berlari-lari kecil untuk menggantikannya. Rasa penasaranku kepada Tante Ema lepas begitu saja ketika tatapan matanya seakan menghujam langsung ke relung hatiku.
Sepersekian detik aku membeku. Suhu udara So’E yang mulai memanas seiring sinar mentari yang menyeruak diantara kabut pagi seakan kembali dingin seketika. Ibarat penembak jitu yang membeku ketika sudah saatnya menarik pelatuk untuk melontarkan peluru dan membunuh target. Aku membeku.
Pandangan matanya teduh. Alisnya sedikit tebal namun seimbang dengan garis mukanya yang tampan. Hidungnya mancung menjulang seakan menjulangnya gunung Fatuleu yang seharusnya kudaki saat ini.
“Hi, kau tidak apa-apa?” tanyanya membuyarkanku.
“Eh, tidak apa-apa, Kak. Ada perlu apa?” tanyaku.
“Aku mau pesan kopi panas lagi.”
“Oh, iya, ada. Silakan duduk, Kak.”
“Panggil aku Jimi saja, Nona manis.”
“Baiklah.”
Aku segera membuatkannya kopi panas. Tak sampai dua menit, kopi itu sudah ada di atas mejanya.
“Tidak sekalian dengan singkong rebus, Jim? Mumpung masih hangat.”
“Wah, boleh tuh. Eh, nama kamu siapa?”
“Aku, Somri.”
“Hm ... nama yang cantik. Secantik orangnya.”
“Ah, gombal,” kataku datar sambil berupaya menyembunyikan ekspresi kegirangan.  Aku tak ingin dia tahu kalau aku suka padanya namun tak ingin buru-buru. Secara aku kan cewek. Aku harus mengujinya, apa betul niat memuji atau sekedar basa-basi, sekedar iseng semata.
“Sungguh!” Katanya meyakinkan.
“Kau membaca buku itu juga?” Kataku berupaya mengalihkan topik pembicaraan. Memang di samping laptopnya terdapat novel karya Andrea Hirata yang sedang aku baca juga.
“Ia. Aku suka caranya membuat karya satir dengan diksi yang halus namun mengena.” Syukurlah, ia termakan oleh trik pengalihanku. Kalau tidak bagaimana mungkin aku menyembunyikan perasaanku padanya. Dosenku pernah berkata bahwa di dunia ini hanya ada dua hal yang tidak bisa disembunyikan manusia. Pertama adalah kemiskinan dan kedua adalah jatuh cinta.
Aku tak mau mudah dibaca orang, kecuali oleh Mak dan Ayah. Antara aku dan orang tua tidak ada rahasia. Apapun keputusanku selalu diketahui Mak dan Ayah, termasuk merelakan kepergian Armen yang sudah beberapa kali datang ke rumah. Ardi pergi dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Perempuan itu anak seorang ketua partai politik. Partai itu menjadi kendaraan politik ayahnya menuju walikota. Herannya Armen mau saja dijadikan alat bagi kepentingan ayahnya.
Dari hubunganku dengan Armen, aku mendapatkan pelajaran berharga seperti yang tertera pada iklan tukang cukur jalanan. Pada iklan itu tertulis; Tukang cukur khusus pria, tarif: dewasa Rp. 20.000,- dan anak-anak Rp. 10.000,-. Bahkan tukang cukur saja tahu bahwa menjadi pria dewasa itu mahal. Bagiku Armen belum dewasa.
“Kalau bagiku justru Andrea Hirata sedang melakukan kritik secara terbuka terhadap kezaliman penguasa dan peradaban oportunis yang memberangus kemanusiaan dan keadilan.” Aku menyampaikan pandanganku secara tegas. “Kau lihat pada Bab Orang-Orang Yang Berjaya, disitu jelas-jelas ia membuka aib para maling berdasi,” lanjutku.
“Wow, ternyata kau suka sastra perlawanan juga ya?”
“Ya, ialah. Secara aku aktivis.”
“Aktivis apa?”
“MAPALA.”
“Terus, apa hubungannya MAPALA dengan maling berdasi?”
“Wah, berarti kau tidak tahu tentang persoalan lingkungan.”
“Persoalan apa itu?”
“Baca saja kasus lingkungan di Indonesia. Ada di laporan COALRUPTION, ada persoalan di Mahuze Papua, di Saman, dan masih banyak lagi. Di balik semua kasus, selalu ada permainan mafia di dalamnya. Para mafia inilah yang Andrea Hirata sebut sebagai maling berdasi.”
“Wah, kau hebat!”
“Biasa saja, Jim.”
“Ngomong-ngomong, aku harus mencari pendamping hidup seperti kamu. Itupun jika kamu tidak mau.” Ia tersenyum, lesung pipi menambah pesonanya.
“Biayanya Rp. 30.000,” ujarku seolah tak mendengar omongannya sambil menyodorkan bill padanya.
Setelah membayar, ia pamit lalu pergi. Dua tahun berlalu tak ada kabar beritanya. Dua musim dingin menemani rasa sepiku dengan setia. Entah jodoh di mana? Untunglah waktu itu aku tidak memberi harapan pada Jimi, juga aku tidak menanggapi gombalannya. Kalau tidak, aku akan terjebak dengan rasa yang tak pasti. Buang-buang waktu saja.
Tak terasa, aku sudah menyelesaikan kuliah. Perjuanganku tak sia-sia, aku telah diwisuda. Untuk merayakan keberhasilah di bangku kuliah, teman-teman MAPALA mengajakku mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung Fatuleu bersama teman-teman dari kampus lain untuk merayakan HUT RI ke-74. Jam tujuh pagi kami sudah mulai mendaki ke gunung Fatuleu.
Sebelum mendaki, anggota MAPALA dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok memegang satu kantong sampah. Tujuannya ialah membersihkan sampah di lokasi wisata alam gunung Fatuleu yang kotor akibat ulah beberapa pengunjung yang tidak memiliki kesadaran terhadap kebersihan lingkungan. Ada banyak sampah plastik dan kaleng minuman ringan―yang sulit terurai secara alami―dibuang ke lingkungan. Jika satwa liar terjebak di dalamnya dan mati, maka secara tidak langsung pembuang sampah telah memutus suatu rantai makanan di alam dan bahkan membunuh kehidupan secara perlahan namun pasti. Entah sampai kapan orang sadar bahwa penanganan sampah harus dimulai dari tanggung jawab sebagai pribadi?
Sinar mentari menyeruak keluar dari atas gunung Timau-Amfoang Tengah ketika kami baru sampai di puncak Fatuleu. Aku memilih duduk menghadap ke barat sambil menikmati minuman hangat dan menyaksikan pemandangan perkantoran Kab. Kupang. Seseorang datang duduk di sampingku menggunakan jaket berpenutup kepala. Aku menoleh. “Will you marry me?” katanya tiba-tiba.
“Tunggu dulu. Bagaimana kau bisa ada di sini? Kau membuntutiku?”
“Ah, jawab dulu pertanyaanku, Somri. Setelah itu aku jawab pertanyaan kamu.”
“Yes. I wanna marry you. So, now you must answer my question!”
“Aku ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Aku menanyakan keberadaanmu. Juga aku menyampaikan niat kepada kedua orang tuamu untuk menghalalkanmu. Mereka menyerahkan jawabannya padamu dan sekarang kau sudah menjawabku.”
Aku memandangi langit seakan ingin membuktikan apakah yang kualami itu nyata? Apa aku tidak sedang bermimpi? Aku dan Jimi menikah dua bulan kemudian. Kehangatan dan kasih sayangnya selalu menghiasi hari-hariku. Hadirnya mengusir sepi yang sebelumnya memenjarakan hatiku. Dinginnya udara Kota So’E tak lagi mengekspresikan suasana hatiku, selanjutnya.

Catatan: Dipersembahkan kepada cerpenis Dicky Senda dan komunitas Lakoat Kujawas di Desa Taiftob, Kab. TTS.

NEGERI IMPIAN


Oleh : Krismanto Atamou

Matahari mulai meninggi ketika Ande mengambil haik, yaitu sebuah tempat dari anyaman daun lontar dan menuju ke arah pepohonan tuak. Itu sudah menjadi pekerjaan tetapnya setelah dipecat dari sekolah saat sedang asyik-asyiknya mengajar. Ia mulai mengajar sejak sekolah itu didirikan di kampungnya hingga ada peraturan baru yang mengubur semua mimpinya.
Kebijakan pemerintah yang mengharuskan guru harus mengajar 24 jam tiap minggu. Jika ada dua guru dengan latar belakang ilmu yang sama, maka yang diutamakan adalah guru PNS atau yang sudah memiliki sertifikat pendidik. Orang tuanya hanya mampu menyekolahkannya hingga strata satu pendidikan bahasa inggris. Sedangkan untuk mengambil program profesi pendidik―yang sekarang sudah menjadi keharusan jika ingin mengajar, orang tuanya sudah tak mampu.
Pupus sudah harapan Ande, 12 tahun pengabdian yang membawanya menjadi guru honor tertua menjadi cerita yang berakhir pilu. Tanpa harapan. Sebelumnya, ia pernah beradu nasib dengan mengikuti peluang manis untuk para honorer lama yaitu melalui kategori satu dan dua. Namun apa daya, syarat administratif ternyata tidaklah cukup.
“Harus ada pelicin,” kata Said temannya.
“Pelicin apa?” tanya Ande lugu.
“Ah, kau ini! Zaman sekarang, kalau mau nasib baik, kau harus menyogok petugas. Kalau tidak, jangan harap kau bisa lolos. Nanti ada-ada saja alasan petugas untuk menyusahkan kita. Bahkan untuk bertemu mereka pun akan sulit. Sekalipun kau sudah berada di hadapan mereka, kau tidak akan diperhatikan. Mereka akan menoleh ke tempat lain atau seolah-olah sibuk, atau melihat dan mencari orang yang sudah biasa menyogok mereka. Sebaliknya, kalau kau sogok mereka, heh, jangankan wajahmu yang muncul, ujung rambutmu baru muncul di kejauhan saja, kau sudah dipanggil. Kau akan jadi prioritas utama baginya.”
“Terus, sogoknya pakai apa?”
“Ande ... Ande .... Kau ini dungu atau goblok? Yang namanya sogok, ya pakai duit, atau barang berharga lainnya.
“Nah, itu masalahnya. Aku orang miskin. Gaji honor selama ini bahkan tidak cukup untuk makan. Bagaimana mau menabung?”
“Tapi kau kan punya babi di kandang. Itu bisa dipakai untuk menyogok?”
“Itu babi bantuan pemerintah, ada kontrak kerja samanya. Dalam jangka waktu tiga tahun, harus dikembalikan modalnya ke pemerintah.”
“Ah, tiga tahun kan lama. Kalau kau pakai untuk menyogok kemudian kau lulus kategori dan menjadi PNS, belum tiga tahun, gaji kau sudah lebih besar untuk membeli bahkan tiga ekor babi. Bagaimana?”
“Kalau begitu aku bicara dengan orang tuaku dulu. Soalnya, orang tuaku yang menandatangani surat kontrak kerja dengan pemerintah itu.” Ande pulang ke rumah dengan wajah lesu.
Ande bukannya takut orang tuanya tak setuju. Justru dengan tak setuju, ia dapat terhindar dari perbuatan curang.  Ande takut jika orang tuanya setuju kemudian babi itu diberikan ke orang yang salah. Orang yang cuma calo dan kemudian menipu. Ia takut rugi beruntun karena mengadu nasib melalui jalur yang tidak pasti. Belum lagi dengan cara itu, ia telah mengambil hak orang lain yang mungkin lebih pantas mendapatkannya.
Seandainya ia tidak lulus kategori, sementara babi telah tiada, orang tuanya juga yang berduka. Duka karena anaknya tak lulus, duka karena babi telah diberikan ke orang yang tidak jelas, duka karena harus mengembalikan modal babi, duka karena nama baik keluarga yang selama ini dijaga rusak karena dianggap telah menipu, duka karena pemerintah tak akan lagi percaya untuk memberikan babi bantuan selanjutnya.
Untuk memikirkan semua itu, ia pergi ke pantai yang tidak jauh dari rumah. Kepalanya disandarkan pada pohon tuak yang condong ke darat akibat diterpa angin badai dari Australia. Sementara itu, ombak pantai selatan terus menghujam bibir pantai yang tergerus abrasi. Tumpukan sampah plastik dan tumpahan minyak Montara di Laut Timor menambah bubrah kelestaran bakau penjaga pantai dari amukan laut selatan.
Zaman dahulu, kakek buyutnya masih mencari kepiting besar di antara perakaran bakau. Pepohon bakau di pantai desanya sangat padat dan luas menjadi penahan abrasi alami yang asri. Suara kelelawar bakau dan burung bangau sering beradu ketika senja mulai menyelimuti desa. Kini itu semua hanyalah kenangan.
Masih ada beberapa cangkang kepiting besar yang terselip di anyaman dinding bambu di rumah tua keluarganya. Masih ada tanggul-tanggul pohon bakau satu dua di antara timbunan tanah tanggul tambak garam. Semenjak proyek garam hadir dengan iming-iming meningkatkan ekonomi warga, warga semakin tamak. Tanah-tanah ulayat yang dipenuhi pepohonan bakau nan rimbun diubah menjadi ladang garam. Sejauh mata memandang jika masih ada pohon bakau berdiri satu dua, itu adalah usaha suksesi alamiah yang mustahil bertahan lama.
Angin sepoi-sepoi seakan mengiringi senja yang perlahan berlalu ditelan langit Australia, negeri yang pernah diimpikannya sejak kecil melalui program pertukaran pelajar dan mahasiswa.
Bu Mina, guru SD Ande pernah bertanya, “Siapa yang tahu, laut kita inisambil menunjuk arah selatanberbatasan dengan negara apa?”
“Australia, Bu Guru.”
“Kamu tahu dari mana, Ande?”
“Dari Om John, Bu Guru. Om John pernah masuk penjara di sana karena melanggar batas wilayah laut saat mencari ikan. Namun, ia dan teman-temannya dipulangkan dengan pesawat ke Indonesia. Aku mau ke sana seperti Om John, Bu Guru.”
“Bisa. Tapi kamu harus dengan cara yang tidak melanggar batas wilayah. Caranya, kamu harus rajin belajar, jadi siswa berprestasi atau nanti jadi mahasiswa berprestasi, barulah mendaftar program pertukaran pelajar ke luar negeri. Kamu bisa pilih Australia sebagai negara tujuannya.”
Mulai saat itu, Ande rajin belajar untuk meraih mimpinya. Namun apalah daya, ketika namanya telah ditetapkan untuk berangkat ke Australia dalam program pertukaran pelajar, tiba-tiba namanya diganti. Padahal ia sudah kepalang senang dan telah mendapatkan izin orang tua untuk berangkat. Ada rumor beredar, namanya diganti dengan anak pejabat yang tak pernah berprestasi sekalipun.
Deretan panjang kisah pilu sebagai korban KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) itulah yang membuat Ande mengambil keputusan untuk tidak mau melakukan KKN, bahkan benci terhadap KKN. Baginya sedikit harta dengan rasa cukup dan syukur lebih nikmat dibanding banyak harta yang diperoleh dengan curang tanpa merasa berdosa.
Angin laut mulai berhenti saat siang mulai berganti malam. Ande bangun dari duduknya, memegang batang pohon tuak sambil menatap dengan saksama. Ia seakan berterima kasih kepada pohon tuak itu karena telah menjadi teman dalam permenungannya untuk mengambil keputusan. Tatapannya tertuju pada bekas potongan pada batang pohon tuak yang dijadikan tempat berpijak untuk memanjat dan mengambil nira. Ia sadar tempat pijakan itu sudah lama tidak dijejaki karena ayahnya sakit dan sudah sangat tua untuk bisa mengambil nira tuak.
“Aku akan melanjutkan karier ayahku. Paling tidak aku terhindar dari dosa KKN yang bahkan membuat VOC, sebuah organisasi dagang besar Belanda di masa lampau bangkrut. Aku tak mau meneruskan dosa itu untuk negara Indonesiaku tercinta. Aku berharap, suatu ketika Indonesia bisa merdeka dari KKN hingga anak cucu selanjutnya tak lagi mengenal KKN.”
“Ah, itu hanya mimpi di siang bolong,” kata sosok antagonis di dalam dirinya.
“Ya, biarpun hanya mimpi, paling tidak mimpi itu telah menjadi modalku untuk bergerak. Tanpa mimpi Wright bersaudara, tak akan ada pesawat terbang. Tanpa mimpi Thomas A. Edison, tak akan ada lampu pijar. Tanpa mimpi tokoh pemuda, tokoh tua dan berbagai kalangan masyarakat sebelum 17 Agustus 1945, tak akan ada negara Indonesia yang merdeka. Jadi, semua berawal dari mimpi bukan?”
“Bukan.”
“Kalau bukan dari mimpi, lalu dimulai dari apa?”
“Dimulai dari mimpi dan langkah pertama. Butuh sebuah aksi nyata pertama. Tidak sekedar mimpi atau harapan yang berakhir sebagai sebuah khayalan belaka.”
“Ya, aku bermimpi Indonesia bebas KKN. KKN telah menjadi ekspresi keserakahan manusia yang perlu disadarkan dan dilawan jika ingin bumi ini lestari bagi generasi selanjutnya. Langkah pertamaku ialah menolak tawaran menyogok untuk lolos menjadi PNS waktu lalu.”
“Kalau kau menolak, lalu untuk apa kau memikirkannya sore itu? Ah, jangan-jangan penolakanmu hanya slogan agar terlihat bersih, keren, dan dapat dipercaya. Agar melalui cerita ini, kau dikenal orang besar dan dipercaya jabatan strategis yang memerlukan orang-orang jujur sebagai kaki-tangan untuk menjaga harta benda mereka bukan?”
“Bukan!”
“Lalu untuk apa, Ande?”
“Untuk sedikit menahan laju keserakahan yang semakin cepat menggerogoti dan menghancurkan seluruh sendi kehidupan.”
“Ah, kau terlalu hiperbola soal keserakahan dan dampaknya. Bumi ini masih baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir!”
“Bacalah buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni karya David Wallace-Wells. Selain itu, ada banyak buku tentang masa depan kehidupan di bumi yang patut dikhawatirkan. Perlu tindakan penyelamatan bumi sejak dini. Salah satunya ialah melawan perambahan hutan yang menghancurkan mesin penghasil oksigen alami di bumi. Perambahan hutan, bermula dari keserakahan.”
“Batu kecil tak mungkin bisa melawan batu yang besar, Ande.”
“Maksudnya?”
“Kau hanya seorang diri di sini, Ande. Kalaupun ada temanmu di tempat lain yang sama denganmu, sebagaimana Anil dan Pamela Malhotra di India, peluangnya berapa besar untuk menahan laju keserakahan yang menghancurkan bumi ini? Niat dan usahamu itu hanyalah mimpi.”
“Walaupun mimpi, paling tidak aku sudah memimpikan hal yang baik untuk negeri ini dan mulai menyatakannya dalam tindakan-tindakan kecil. Semua tindakan besar, bermula dari tindakan kecil.”
“Kau yakin?”
“Ya, aku yakin. Kata orang bijak, untuk mengubah dunia, harus dimulai dengan mengubah diri sendiri. Dan aku akan mulai dari diri sendiri.”

ARISAN DI TITIK NADIR


Oleh : Krismanto Atamou

“Jangan membuat masalah di atas masalah! Kita tuntaskan dahulu masalah yang sudah ada,” ucap Bu Meri terlihat tegang. Ia tak setuju dengan ide Pak Lius yang menganjurkan perubahan format arisan keluarga dari sistem arisan biasa menjadi koperasi keluarga.
“Masalah apa yang ibu maksud?”
“Sistem arisan yang biasa ini saja masih banyak tanggungan, iuran bulanan, bahkan uang arisan yang belum dibayarkan. Itu jadi masalah. Jika kita rubah formatnya, maka akan ada masalah baru.”
“Masalah baru apa?”
“Ya, tidak semua kita setuju dengan perubahan ini. Jika dipaksakan akan ada masalah. Mungkin sebagian kita akan memilih keluar dari perkumpulan keluarga yang sudah berjalan tiga tahun ini.”
Siang itu matahari seakan berjalan lambat. Suasana ketegangan perdebatan seakan bersaing dengan panasnya suhu udara. Semilir angin berhembus memasuki gazebo tempat keluarga arisan itu berkumpul. Dua buah pohon mangga di dekat gazebo menawarkan kesejukan yang menggiurkan. Ada sekira dua puluh lima orang berkumpul.
“Ah, begini Bu Meri, justru dengan mengubah format atau pola arisan, kita sedang mengatasi masalah yang ibu sebutkan. Dengan pola koperasi, saat modal awal dikumpul, setiap kali arisan, kita tidak membawa pulang uang. Itu sekalian menguji ketulusan niat kita bersekutu, apakah kita berkeluarga karena uang sebagai media atau karena uang sebagai yang utama dan sebagai motif kerukunan keluarga?”
“Waduh, kita sudah biasa pulang arisan dengan membawa pulang uang, lalu tiba-tiba dihentikan demi mengumpul modal, rasa-rasanya tidak enak,” timpal Bu Emi.
“Nah, justru di posisi itu kita mau belajar naik satu tingkat. Pertama apakah fokus kita dalam membangun kerukunan keluarga ini atau sekedar motif ekonomi, kerukunan keluarga menjadi prioritas nomor satu saat berkumpul atau uang yang menjadi prioritas? Kedua, sebagai tindak lanjut dari pertimbangan pertama, jika fokus kita adalah membangun kerukunan keluarga maka kita mampu menghadapi hal yang Ibu Emi kuatirkan. Ketiga, jika kita memang niat untuk membangun kerukunan keluarga maka seharusnya pola apapun yang kita pakai, kita akan tekun melakukannya. Pola menjadi sarana bukan tujuan.”
Pak Lius panjang lebar menjelaskan. Sebagai penasihat kerukunan keluarga, ia berusaha menemukan solusi terhadap kendala eksistensi kerukunan keluarga sekaligus mensosialisasikannya pada anggota. Setoran iuran, tanggungan, dan uang arisan yang macet telah menjadi kendala lazim yang ditemukan pada pertemuan arisan setiap bulan.
Ibu Meri dan Ibu Emi telah berdiri di garis antitesis terhadap Pak Lius. Ada ketakutan di dalam protes mereka. Mereka sudah melihat banyak bukti bahwa koperasi keluarga selalu berakhir kacau. Ketidakdisiplinan dalam menyetor telah menjadi penyebab utama hancurnya sebuah koperasi keluarga. Belum lagi budaya tepaselira yang dimaknai dan diterapkan dengan logika terbalik.
Ketika ada seorang anggota arisan dengan kredit macet, bukannya didampingi untuk didorong melunasi tunggakan tetapi malah dimaklumi dan dibiarkan berlarut-larut. Ketika anggota yang menjadi kreditur menyadari bahwa utangnya sudah menumpuk dan banyak, ia merasa bahwa tak mampu melunasi, ia akan mundur perlahan dan keluar dari kerukunan keluarga. Itu sudah banyak terjadi dan menjadi lagu lama. Entah kenapa, selalu ada toleransi terhadap pola tepaselira seperti ini. Bahkan pengurus kerukunan keluarga malu atau sungkan hati untuk menagih tunggakan kredit macet.
Pak Lius membetulkan posisi duduknya. Itu seakan ingin menyatakan bahwa dasar pemikirannya terhadap perubahan pola arisan keluarga yang ditawarkannya sudah mantap. Ia yakin bahwa dengan umur kerukunan keluarga yang sudah memasuki tahun keempat, sudah saatnya untuk bertumbuh menjadi lebih maju lagi dengan pola yang lebih mentereng. Walaupun untuk menjadi lebih maju, tantangannya juga bukan kaleng-kaleng. Sebagaimana pohon yang semakin tinggi, semakin mendapatkan terpaan angin yang lebih kencang.
“Tapi saya takut,” ujar Ibu Emi.
“Selalu ada dua pilihan dalam menyikapi sesuatu hal. Secara positif atau negatif. Dan ketakutan adalah negatif, sebuah post-sydrom. Kalah sebelum berperang. Pada akhirnya membuat kita tinggal dalam zona nyaman dan tidak berkembang.”
Sebenarnya Pak Lius ingin menggunakan istilah dewasa atau tidak dewasa dalam penjelasannya, namun ia mengantisipasi supaya pihak yang berseberangan dengan idenya tidak tersinggung. Siapapun tentu tiak mau dikatakan belum dewasa hingga tidak berani mengambil risiko dalam mengembangkan dirinya atau kelompoknya, walau itu faktanya.
Di sisi lain, terlihat kalau para ibu-ibu yang tidak setuju menunjukkan sikap sangat hati-hati dalam mengelola keuangan mereka. Mungkin karena trauma atau uang yang mereka pertaruhkan merupakan dana darurat yang wajib hukumnya tidak boleh hilang. Dana yang harus dijamin tetap ada.  Mungkin juga mereka pernah punya pengalaman buruk di kelompok arisan yang lain.
Bayangan matahari semakin tegak lurus permukaan bumi. Pedaran sinar sang surya itu mendekati 900 menghujam permukaan bumi di kota yang lebih banyak memperlihatkan batu karangnya. Beberapa anggota kerukunan keluarga itu segera menghindar dari sengatan cahaya. Kursi-kursi plastik segera digeser mengerumuni bayangan pohon mangga yang seakan mengecil. Jarak duduk semakin dekat, namun tak seiring jarak pemahaman anggota tentang pola arisan yang akan dipakai nantinya.
“Kita voting saja,” kata sang ketua arisan.
Kemudian diadakan voting. Hasilnya hampir imbang, namun dimenangkan oleh kelompok yang tidak mau mengubah pola arisan.
Muncullah debat kusir antara sesama anggota arisan. Tidak ada yang mau mengalah. Semuanya mempertahankan posisinya masing-masing.
“Memang mempertahankan kenyamanan adalah lebih nikmat dibanding memilih berkembang namun penuh dengan risiko.”
“Berhati-hati mengelola uang lebih baik daripada gopoh lalu tekor.”
“Terlalu berhati-hati membuat kita lambat untuk melangkah.”
“Biar lambat asal selamat.”
“Makanya Amerika sudah sampai di bulan, kita belum.”
“Untuk apa kita ke bulan? Tuhan ciptakan kita untuk tinggal di bumi. Bukan di bulan!”
“Tuhan beri kita hikmat dan daya kreativitas untuk dipakai berkembang.”
“Tuhan juga beri logika dan perasaan agar kita menimbang-nimbang, agar kita waspada sebelum mengambil keputusan.”
“Kita harus belajar dari Thomas Alfa Edison. Setelah sangat banyak cara yang salah ia lakukan, barulah ia mendapatkan satu cara yang benar untuk menghasilkan listrik.”
“Oh, jadi uang saya untuk dijadikan percobaan?”
“Bukan begitu maksudnya! Koperasi kan bukan hal baru. Sejak dicetuskan Pak M. Hatta, sejak itulah sejarahnya dimulai. Ada yang jatuh-bangun, ada yang sukses, dan ada juga yang gagal. Kita cukup belajar dari kegagalan orang lain agar sukses jika tidak ingin ikut gagal. Mudah bukan?”
“Ia, mudah. Semudah kita asal dan pada akhirnya sesal.”
“Oh, jadi kamu mau bilang bahwa koperasi itu asal-asalan?”
“Bukan begitu maksudnya! Kalau koperasi dicanangkan tanpa perhitungan yang jelas, itu namanya asal.”
“Soal perhitungan gampang. Yang penting kita sepakat dahulu. Bagaimana kita mau atur tentang koperasi sedangkan koperasinya sendiri belum disepakati?”
“Bagaimana pula kami yang lain bisa tergiur dengan koperasi jika tidak ada skema yang jelas dalam pengelolaannya?”
“Saya pikir soal sepakat atau tidak sepakat itu hal kedua. Hal pertama ialah perlu dijelaskan secara gamblang skema atau pola pengelolaan koperasi. Dengan begitu setiap kita punya alasan yang jelas juga mengapa sepakat atau tidak sepakat.”
“Ia, betul itu. Koperasi mengelola potensi ekonomi kita yaitu uang. Uang adalah produk rasional manusia. Oleh karena itu, pertimbangan kita haruslah rasional pula, bukan sekedar setuju atau tidak secara emosional.”
“Ia, benar. Alangkah lebih baiknya kita tidak usah menggunakan hasil voting. Jika kita melaksanakan hasil voting maka anggota yang kontra dengan keputusan yang diambil untuk bisa saja memendam kecewa dan mengundurkan diri dari kerukunan keluarga ini.”
“Bukankah sekarang pilihan untuk bergabung dalam kelompok arisan sudah sangat banyak? Ada arisan dari pihak keluarga istri, dari pihak keluarga suami, arisan kantor, dan arisan berdasarkan lingkungan domisili. Selain itu, ada juga arisan dengan tujuan tertentu, semisal untuk tujuan mencukupi kebutuhan dana pendidikan, dana pernikahan, dan dana pembangunan rumah tinggal.”
“Saya pikir, kalau kita berkomitmen dengan kerukunan ini, kita tidak akan labil untuk mudah berpindah-pindah kelompok arisan.”
“Oleh karena itu, kita mesti musyawarahkan ini secara terbuka. Jangan ada kesan pengurus menutupi hal-hal tertentu, termasuk bagaimana jalannya koperasi ini nanti. Buat saja suatu contoh perhitungan pengelolaan dana. Apa target akhirnya? Berapa persen keuntungannya? Bagaimana dana itu diputar dalam anggota? Bagaimana strategi untuk menghadapi kredit macet? Siapa saja pengelolanya? Semuanya harus gamblang alias terang-benderang.”
“Termasuk jika koperasi ini berjalan tidak seperti yang diharapkan, bagaimana mekanisme pemulihannya? Bagaimana mengembalikan modal anggota? Berapa lama modal anggota bisa dikembalikan jika koperasi macet?”
“Apakah pengurus koperasi digaji? Kalau digaji, dari mana uangnya?”
Tidak terasa, waktu pertemuan keluarga arisan itu sudah berjalan cukup lama. Dialog yang alot membuat setiap anggota tidak sadar waktu. Bayangan pohon mangga mulai memanjang ke arah timur. Sekali lagi para anggota kerukunan keluarga diperintah sang mentari untuk memindahkan kursi-kursi mereka mengikuti perpindahan posisi teduh itu. Mereka seakan wayang yang pelan tapi pasti digerakkan sang alam sebagai dalangnya.
“Ini sudah sore,” akhirnya sang ketua arisan angkat bicara. “Ada beberapa di antara kita yang harus masuk dinas sore atau malam. Kita tunda saja bulan depan untuk mengambil keputusannya. Sepanjang jeda sebulan ini kita pakai untuk berpikir jernih hingga bisa memusyawarahkan dan mengambil keputusan yang tepat.”
Kurang dari tiga jam matahari akan segera ditelan malam. Sisa terangnya dikala senja akan sirna pula. Entah bagaimana nasib arisan keluarga ini nantinya. Apakah akan sesuram langit senja ini atau seterang mentari pagi yang akan terbit esok hari? Hanya waktu yang akan menjawabnya.