Oleh :
Krismanto Atamou
Kaca
jendela rumah tampak berair. Dingin menyusup lewat setiap celah atau pun
merambat lewat bahan-bahan pembatas ruangan yang bersifat konduktor. Sang surya
seakan lambat sekali keluar dari persembunyiannya. Suhu udara turun sangat
tajam di Kota So’E pada bulan Agustus.
Suhu
mencapai 180C ketika kita berjumpa.
Kau datang dari kota yang nun jauh di sana. Masyarakat di lingkunganmu
haus hiburan dan mengejar eksistensi di dunia maya. Itulah alasannya kau rela
mengambil cuti demi mengejar event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Kapan-Mollo, Kab. TTS.
Kau
datang tidak hanya bertepatan dengan dinginnya suhu di So’E, tapi juga
bertepatan dengan dinginnya suhu di hatiku. Saat itu aku baru saja keluar kamar
yang lebih kuanggap sebagai markas, tempat aku membangun kekuatan hati dan
pikiran untuk menggapai setiap mimpiku.
Jam
dinding menunjukkan pukul 06.00 waktu So’E. Kau duduk di kafe milik ibuku dan
menikmati segelas kopi panas dengan penganan khas daerah kami, flolo, uik tunu,
dan sambal lu’at. Aku hampir saja berlalu tanpa menoleh padamu jika tidak kau
sapa dengan ucapan selamat pagi.
“Selamat
pagi juga, Kak,” sahutku sambil tersenyum.
Senyum
itu, aku sendiri sudah tidak bisa membedakannya. Apakah senyum tulus, refleks,
atau senyum bisnis? Senyum sudah menjadi bagian dari budaya penduduk kami.
Ketika event Mnahat Fe’u viral di media massa dan media sosial dengan tagar
kapan ke kapan, dinas pariwisata datang ke kampung kami dan memberikan
penyuluhan. “Jika ingin pengunjung memiliki kesan yang bagus dan
merekomendasikan kampung ini sebagai tujuan wisata, keramahan dalam menyambut
tetamu sangatlah penting,” ujar penyuluh. “Termasuk tersenyum pada tetamu yang
sudah menjadi budaya tempat ini,” lanjutnya lagi.
Tatapan
matamu seakan memberikan kehangatan. Namun dingin di hatiku belum juga mau merasakan kehangatan itu,
walau memang tak dapat kusangkal bahwa ada getaran di dalam hati yang terasa.
Aku terus berlalu hingga berhenti ketika Mama meneriakkan namaku.
“Somriiii
...!”
“Ya, Mak?”
Panggilan
Mak sekalian melumarkan lamunanku
pada lantunan lagu karya Andmesh Kamaleng yang keluar dari radio milik ayah.
“Waktu pertama kali, kulihat dirimu hadir, rasa hati ini inginkan dirimu ....”
“Cepat
bantu Ayahmu di dapur. Sebentar lagi akan ada banyak tamu ke sini. Stok makanan
dan minuman hangat kita mulai habis. Segeralah!”
“Baik,
Mak. Aku mandi dulu, ya?”
“Cuci
muka saja, setelah pekerjaan selesai barulah kau mandi. Ini perintah!”
Aku
merajuk sambil bergumam. Kendati begitu, aku tetap menghormati Mak. Segera aku melangkah ke dapur. Ayah
sudah bermandi keringat yang sebenarnya enggan keluar dari kulit saat udara
dingin seperti ini.
Aku
segera mengambil alih sebagian pekerjaan Ayah. Lumayan, sekalian olahraga dan
menghangatkan tubuh di dekat perapian yang menyala. Ya ... paling tidak
kesibukan di dapur ini sedikit mengurangi fokusku pada pesan singkat Armen
minggu lalu.
“Kita
putus.” Itu isi pesan singkat Armen.
Pesan singkat yang benar-benar singkat. Namun dampaknya cukup panjang bagiku.
Pesan itu membuatku rela membuang kesempatan emas mengisi liburan untuk mendaki
gunung Fatuleu bersama teman-teman MAPALA Kampus. Dari pada depresi, aku
memilih pulang ke So’E. Kembali ke markas sekalian membantu Mak dan Ayah.
Bagiku,
hidup terlalu singkat untuk ditangisi, jika tidak harus. Buat apa sedu sedan
itu? Hidup terlalu singkat untuk diisi amarah, dendam, cacian, dan berbagai
ekspresi negatif lainnya. Alih-alih menangisi kehilangan Armen, aku lebih
memilih bersyukur. Ya, bersyukur karena pada akhirnya aku tahu bahwa Armen
bukanlah jodohku. Buat apa aku menghabiskan waktuku dengan percuma bersama
orang yang bukan jodohku?
Aku
yakin, jodoh tak akan ke mana. Sudah ada jalannya untuk setiap orang. Mengapa
harus resah. Menikah bukanlah perlombaan lari, harus cepat. Untuk mengusir
sepi, aku memilih rumah. Aku memilih kamarku, markasku. Di rumah, aku senang
dengan ketegasan Mak dan kelembutan
Ayah.
Jika
anak lain tidak suka dengan ibunda yang cerewet, aku justru suka itu. Aku suka Mak menyerocos dan mengomentari hidupku.
Itu bagiku ibarat memberiku banyak tampilan CCTV untuk melihat situasi hidupku
secara saksama. Dengan begitu aku mudah mengambil keputusan yang tepat.
Jam
di dinding menunjuk angka 09.00. Bel di ruang reservasi berbunyi berkali-kali.
Mendengar itu, aku melepaskan novel ORANG-ORANG BIASA karya Andrea Hirata dan
berjalan ke kafe di depan rumah.
Seiring
langkah kaki, aku menyelidik seantero ruangan kafe. Entah kemana Tante Ema yang
bertugas menjaga kafe hingga aku harus berlari-lari kecil untuk
menggantikannya. Rasa penasaranku kepada Tante Ema lepas begitu saja ketika
tatapan matanya seakan menghujam langsung ke relung hatiku.
Sepersekian
detik aku membeku. Suhu udara So’E yang mulai memanas seiring sinar mentari
yang menyeruak diantara kabut pagi seakan kembali dingin seketika. Ibarat
penembak jitu yang membeku ketika sudah saatnya menarik pelatuk untuk
melontarkan peluru dan membunuh target. Aku membeku.
Pandangan
matanya teduh. Alisnya sedikit tebal namun seimbang dengan garis mukanya yang
tampan. Hidungnya mancung menjulang seakan menjulangnya gunung Fatuleu yang
seharusnya kudaki saat ini.
“Hi,
kau tidak apa-apa?” tanyanya membuyarkanku.
“Eh,
tidak apa-apa, Kak. Ada perlu apa?” tanyaku.
“Aku
mau pesan kopi panas lagi.”
“Oh,
iya, ada. Silakan duduk, Kak.”
“Panggil
aku Jimi saja, Nona manis.”
“Baiklah.”
Aku
segera membuatkannya kopi panas. Tak sampai dua menit, kopi itu sudah ada di
atas mejanya.
“Tidak
sekalian dengan singkong rebus, Jim? Mumpung masih hangat.”
“Wah,
boleh tuh. Eh, nama kamu siapa?”
“Aku,
Somri.”
“Hm
... nama yang cantik. Secantik orangnya.”
“Ah,
gombal,” kataku datar sambil berupaya menyembunyikan ekspresi kegirangan. Aku tak ingin dia tahu kalau aku suka padanya
namun tak ingin buru-buru. Secara aku kan
cewek. Aku harus mengujinya, apa betul niat memuji atau sekedar basa-basi,
sekedar iseng semata.
“Sungguh!”
Katanya meyakinkan.
“Kau
membaca buku itu juga?” Kataku berupaya mengalihkan topik pembicaraan. Memang
di samping laptopnya terdapat novel karya Andrea Hirata yang sedang aku baca
juga.
“Ia.
Aku suka caranya membuat karya satir dengan diksi yang halus namun mengena.”
Syukurlah, ia termakan oleh trik pengalihanku. Kalau tidak bagaimana mungkin
aku menyembunyikan perasaanku padanya. Dosenku pernah berkata bahwa di dunia
ini hanya ada dua hal yang tidak bisa disembunyikan manusia. Pertama adalah
kemiskinan dan kedua adalah jatuh cinta.
Aku
tak mau mudah dibaca orang, kecuali oleh Mak
dan Ayah. Antara aku dan orang tua tidak ada rahasia. Apapun keputusanku selalu
diketahui Mak dan Ayah, termasuk
merelakan kepergian Armen yang sudah beberapa kali datang ke rumah. Ardi pergi
dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Perempuan itu anak seorang ketua
partai politik. Partai itu menjadi kendaraan politik ayahnya menuju walikota.
Herannya Armen mau saja dijadikan alat bagi kepentingan ayahnya.
Dari
hubunganku dengan Armen, aku mendapatkan pelajaran berharga seperti yang
tertera pada iklan tukang cukur jalanan. Pada iklan itu tertulis; Tukang cukur
khusus pria, tarif: dewasa Rp. 20.000,- dan anak-anak Rp. 10.000,-. Bahkan
tukang cukur saja tahu bahwa menjadi pria dewasa itu mahal. Bagiku Armen belum
dewasa.
“Kalau
bagiku justru Andrea Hirata sedang melakukan kritik secara terbuka terhadap
kezaliman penguasa dan peradaban oportunis yang memberangus kemanusiaan dan
keadilan.” Aku menyampaikan pandanganku secara tegas. “Kau lihat pada Bab
Orang-Orang Yang Berjaya, disitu jelas-jelas ia membuka aib para maling
berdasi,” lanjutku.
“Wow,
ternyata kau suka sastra perlawanan juga ya?”
“Ya,
ialah. Secara aku aktivis.”
“Aktivis
apa?”
“MAPALA.”
“Terus,
apa hubungannya MAPALA dengan maling berdasi?”
“Wah,
berarti kau tidak tahu tentang persoalan lingkungan.”
“Persoalan
apa itu?”
“Baca
saja kasus lingkungan di Indonesia. Ada di laporan COALRUPTION, ada persoalan di
Mahuze Papua, di Saman, dan masih banyak lagi. Di balik semua kasus, selalu ada
permainan mafia di dalamnya. Para mafia inilah yang Andrea Hirata sebut sebagai
maling berdasi.”
“Wah,
kau hebat!”
“Biasa
saja, Jim.”
“Ngomong-ngomong,
aku harus mencari pendamping hidup seperti kamu. Itupun jika kamu tidak mau.”
Ia tersenyum, lesung pipi menambah pesonanya.
“Biayanya
Rp. 30.000,” ujarku seolah tak mendengar omongannya sambil menyodorkan bill padanya.
Setelah
membayar, ia pamit lalu pergi. Dua tahun berlalu tak ada kabar beritanya. Dua
musim dingin menemani rasa sepiku dengan setia. Entah jodoh di mana? Untunglah
waktu itu aku tidak memberi harapan pada Jimi, juga aku tidak menanggapi
gombalannya. Kalau tidak, aku akan terjebak dengan rasa yang tak pasti.
Buang-buang waktu saja.
Tak
terasa, aku sudah menyelesaikan kuliah. Perjuanganku tak sia-sia, aku telah
diwisuda. Untuk merayakan keberhasilah di bangku kuliah, teman-teman MAPALA
mengajakku mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung Fatuleu bersama
teman-teman dari kampus lain untuk merayakan HUT RI ke-74. Jam tujuh pagi kami
sudah mulai mendaki ke gunung Fatuleu.
Sebelum
mendaki, anggota MAPALA dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok
memegang satu kantong sampah. Tujuannya ialah membersihkan sampah di lokasi
wisata alam gunung Fatuleu yang kotor akibat ulah beberapa pengunjung yang
tidak memiliki kesadaran terhadap kebersihan lingkungan. Ada banyak sampah
plastik dan kaleng minuman ringan―yang sulit terurai secara alami―dibuang ke
lingkungan. Jika satwa liar terjebak di dalamnya dan mati, maka secara tidak
langsung pembuang sampah telah memutus suatu rantai makanan di alam dan bahkan
membunuh kehidupan secara perlahan namun pasti. Entah sampai kapan orang sadar
bahwa penanganan sampah harus dimulai dari tanggung jawab sebagai pribadi?
Sinar
mentari menyeruak keluar dari atas gunung Timau-Amfoang Tengah ketika kami baru
sampai di puncak Fatuleu. Aku memilih duduk menghadap ke barat sambil menikmati
minuman hangat dan menyaksikan pemandangan perkantoran Kab. Kupang. Seseorang
datang duduk di sampingku menggunakan jaket berpenutup kepala. Aku menoleh. “Will you marry me?” katanya tiba-tiba.
“Tunggu
dulu. Bagaimana kau bisa ada di sini? Kau membuntutiku?”
“Ah,
jawab dulu pertanyaanku, Somri. Setelah itu aku jawab pertanyaan kamu.”
“Yes. I wanna marry you. So, now
you must answer my question!”
“Aku
ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Aku menanyakan keberadaanmu. Juga aku
menyampaikan niat kepada kedua orang tuamu untuk menghalalkanmu. Mereka
menyerahkan jawabannya padamu dan sekarang kau sudah menjawabku.”
Aku
memandangi langit seakan ingin membuktikan apakah yang kualami itu nyata? Apa
aku tidak sedang bermimpi? Aku dan Jimi menikah dua bulan kemudian. Kehangatan
dan kasih sayangnya selalu menghiasi hari-hariku. Hadirnya mengusir sepi yang
sebelumnya memenjarakan hatiku. Dinginnya udara Kota So’E tak lagi
mengekspresikan suasana hatiku, selanjutnya.
Catatan: Dipersembahkan kepada cerpenis Dicky Senda
dan komunitas Lakoat Kujawas di Desa Taiftob, Kab. TTS.