Minggu, 29 September 2019

NEGERI IMPIAN


Oleh : Krismanto Atamou

Matahari mulai meninggi ketika Ande mengambil haik, yaitu sebuah tempat dari anyaman daun lontar dan menuju ke arah pepohonan tuak. Itu sudah menjadi pekerjaan tetapnya setelah dipecat dari sekolah saat sedang asyik-asyiknya mengajar. Ia mulai mengajar sejak sekolah itu didirikan di kampungnya hingga ada peraturan baru yang mengubur semua mimpinya.
Kebijakan pemerintah yang mengharuskan guru harus mengajar 24 jam tiap minggu. Jika ada dua guru dengan latar belakang ilmu yang sama, maka yang diutamakan adalah guru PNS atau yang sudah memiliki sertifikat pendidik. Orang tuanya hanya mampu menyekolahkannya hingga strata satu pendidikan bahasa inggris. Sedangkan untuk mengambil program profesi pendidik―yang sekarang sudah menjadi keharusan jika ingin mengajar, orang tuanya sudah tak mampu.
Pupus sudah harapan Ande, 12 tahun pengabdian yang membawanya menjadi guru honor tertua menjadi cerita yang berakhir pilu. Tanpa harapan. Sebelumnya, ia pernah beradu nasib dengan mengikuti peluang manis untuk para honorer lama yaitu melalui kategori satu dan dua. Namun apa daya, syarat administratif ternyata tidaklah cukup.
“Harus ada pelicin,” kata Said temannya.
“Pelicin apa?” tanya Ande lugu.
“Ah, kau ini! Zaman sekarang, kalau mau nasib baik, kau harus menyogok petugas. Kalau tidak, jangan harap kau bisa lolos. Nanti ada-ada saja alasan petugas untuk menyusahkan kita. Bahkan untuk bertemu mereka pun akan sulit. Sekalipun kau sudah berada di hadapan mereka, kau tidak akan diperhatikan. Mereka akan menoleh ke tempat lain atau seolah-olah sibuk, atau melihat dan mencari orang yang sudah biasa menyogok mereka. Sebaliknya, kalau kau sogok mereka, heh, jangankan wajahmu yang muncul, ujung rambutmu baru muncul di kejauhan saja, kau sudah dipanggil. Kau akan jadi prioritas utama baginya.”
“Terus, sogoknya pakai apa?”
“Ande ... Ande .... Kau ini dungu atau goblok? Yang namanya sogok, ya pakai duit, atau barang berharga lainnya.
“Nah, itu masalahnya. Aku orang miskin. Gaji honor selama ini bahkan tidak cukup untuk makan. Bagaimana mau menabung?”
“Tapi kau kan punya babi di kandang. Itu bisa dipakai untuk menyogok?”
“Itu babi bantuan pemerintah, ada kontrak kerja samanya. Dalam jangka waktu tiga tahun, harus dikembalikan modalnya ke pemerintah.”
“Ah, tiga tahun kan lama. Kalau kau pakai untuk menyogok kemudian kau lulus kategori dan menjadi PNS, belum tiga tahun, gaji kau sudah lebih besar untuk membeli bahkan tiga ekor babi. Bagaimana?”
“Kalau begitu aku bicara dengan orang tuaku dulu. Soalnya, orang tuaku yang menandatangani surat kontrak kerja dengan pemerintah itu.” Ande pulang ke rumah dengan wajah lesu.
Ande bukannya takut orang tuanya tak setuju. Justru dengan tak setuju, ia dapat terhindar dari perbuatan curang.  Ande takut jika orang tuanya setuju kemudian babi itu diberikan ke orang yang salah. Orang yang cuma calo dan kemudian menipu. Ia takut rugi beruntun karena mengadu nasib melalui jalur yang tidak pasti. Belum lagi dengan cara itu, ia telah mengambil hak orang lain yang mungkin lebih pantas mendapatkannya.
Seandainya ia tidak lulus kategori, sementara babi telah tiada, orang tuanya juga yang berduka. Duka karena anaknya tak lulus, duka karena babi telah diberikan ke orang yang tidak jelas, duka karena harus mengembalikan modal babi, duka karena nama baik keluarga yang selama ini dijaga rusak karena dianggap telah menipu, duka karena pemerintah tak akan lagi percaya untuk memberikan babi bantuan selanjutnya.
Untuk memikirkan semua itu, ia pergi ke pantai yang tidak jauh dari rumah. Kepalanya disandarkan pada pohon tuak yang condong ke darat akibat diterpa angin badai dari Australia. Sementara itu, ombak pantai selatan terus menghujam bibir pantai yang tergerus abrasi. Tumpukan sampah plastik dan tumpahan minyak Montara di Laut Timor menambah bubrah kelestaran bakau penjaga pantai dari amukan laut selatan.
Zaman dahulu, kakek buyutnya masih mencari kepiting besar di antara perakaran bakau. Pepohon bakau di pantai desanya sangat padat dan luas menjadi penahan abrasi alami yang asri. Suara kelelawar bakau dan burung bangau sering beradu ketika senja mulai menyelimuti desa. Kini itu semua hanyalah kenangan.
Masih ada beberapa cangkang kepiting besar yang terselip di anyaman dinding bambu di rumah tua keluarganya. Masih ada tanggul-tanggul pohon bakau satu dua di antara timbunan tanah tanggul tambak garam. Semenjak proyek garam hadir dengan iming-iming meningkatkan ekonomi warga, warga semakin tamak. Tanah-tanah ulayat yang dipenuhi pepohonan bakau nan rimbun diubah menjadi ladang garam. Sejauh mata memandang jika masih ada pohon bakau berdiri satu dua, itu adalah usaha suksesi alamiah yang mustahil bertahan lama.
Angin sepoi-sepoi seakan mengiringi senja yang perlahan berlalu ditelan langit Australia, negeri yang pernah diimpikannya sejak kecil melalui program pertukaran pelajar dan mahasiswa.
Bu Mina, guru SD Ande pernah bertanya, “Siapa yang tahu, laut kita inisambil menunjuk arah selatanberbatasan dengan negara apa?”
“Australia, Bu Guru.”
“Kamu tahu dari mana, Ande?”
“Dari Om John, Bu Guru. Om John pernah masuk penjara di sana karena melanggar batas wilayah laut saat mencari ikan. Namun, ia dan teman-temannya dipulangkan dengan pesawat ke Indonesia. Aku mau ke sana seperti Om John, Bu Guru.”
“Bisa. Tapi kamu harus dengan cara yang tidak melanggar batas wilayah. Caranya, kamu harus rajin belajar, jadi siswa berprestasi atau nanti jadi mahasiswa berprestasi, barulah mendaftar program pertukaran pelajar ke luar negeri. Kamu bisa pilih Australia sebagai negara tujuannya.”
Mulai saat itu, Ande rajin belajar untuk meraih mimpinya. Namun apalah daya, ketika namanya telah ditetapkan untuk berangkat ke Australia dalam program pertukaran pelajar, tiba-tiba namanya diganti. Padahal ia sudah kepalang senang dan telah mendapatkan izin orang tua untuk berangkat. Ada rumor beredar, namanya diganti dengan anak pejabat yang tak pernah berprestasi sekalipun.
Deretan panjang kisah pilu sebagai korban KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) itulah yang membuat Ande mengambil keputusan untuk tidak mau melakukan KKN, bahkan benci terhadap KKN. Baginya sedikit harta dengan rasa cukup dan syukur lebih nikmat dibanding banyak harta yang diperoleh dengan curang tanpa merasa berdosa.
Angin laut mulai berhenti saat siang mulai berganti malam. Ande bangun dari duduknya, memegang batang pohon tuak sambil menatap dengan saksama. Ia seakan berterima kasih kepada pohon tuak itu karena telah menjadi teman dalam permenungannya untuk mengambil keputusan. Tatapannya tertuju pada bekas potongan pada batang pohon tuak yang dijadikan tempat berpijak untuk memanjat dan mengambil nira. Ia sadar tempat pijakan itu sudah lama tidak dijejaki karena ayahnya sakit dan sudah sangat tua untuk bisa mengambil nira tuak.
“Aku akan melanjutkan karier ayahku. Paling tidak aku terhindar dari dosa KKN yang bahkan membuat VOC, sebuah organisasi dagang besar Belanda di masa lampau bangkrut. Aku tak mau meneruskan dosa itu untuk negara Indonesiaku tercinta. Aku berharap, suatu ketika Indonesia bisa merdeka dari KKN hingga anak cucu selanjutnya tak lagi mengenal KKN.”
“Ah, itu hanya mimpi di siang bolong,” kata sosok antagonis di dalam dirinya.
“Ya, biarpun hanya mimpi, paling tidak mimpi itu telah menjadi modalku untuk bergerak. Tanpa mimpi Wright bersaudara, tak akan ada pesawat terbang. Tanpa mimpi Thomas A. Edison, tak akan ada lampu pijar. Tanpa mimpi tokoh pemuda, tokoh tua dan berbagai kalangan masyarakat sebelum 17 Agustus 1945, tak akan ada negara Indonesia yang merdeka. Jadi, semua berawal dari mimpi bukan?”
“Bukan.”
“Kalau bukan dari mimpi, lalu dimulai dari apa?”
“Dimulai dari mimpi dan langkah pertama. Butuh sebuah aksi nyata pertama. Tidak sekedar mimpi atau harapan yang berakhir sebagai sebuah khayalan belaka.”
“Ya, aku bermimpi Indonesia bebas KKN. KKN telah menjadi ekspresi keserakahan manusia yang perlu disadarkan dan dilawan jika ingin bumi ini lestari bagi generasi selanjutnya. Langkah pertamaku ialah menolak tawaran menyogok untuk lolos menjadi PNS waktu lalu.”
“Kalau kau menolak, lalu untuk apa kau memikirkannya sore itu? Ah, jangan-jangan penolakanmu hanya slogan agar terlihat bersih, keren, dan dapat dipercaya. Agar melalui cerita ini, kau dikenal orang besar dan dipercaya jabatan strategis yang memerlukan orang-orang jujur sebagai kaki-tangan untuk menjaga harta benda mereka bukan?”
“Bukan!”
“Lalu untuk apa, Ande?”
“Untuk sedikit menahan laju keserakahan yang semakin cepat menggerogoti dan menghancurkan seluruh sendi kehidupan.”
“Ah, kau terlalu hiperbola soal keserakahan dan dampaknya. Bumi ini masih baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir!”
“Bacalah buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni karya David Wallace-Wells. Selain itu, ada banyak buku tentang masa depan kehidupan di bumi yang patut dikhawatirkan. Perlu tindakan penyelamatan bumi sejak dini. Salah satunya ialah melawan perambahan hutan yang menghancurkan mesin penghasil oksigen alami di bumi. Perambahan hutan, bermula dari keserakahan.”
“Batu kecil tak mungkin bisa melawan batu yang besar, Ande.”
“Maksudnya?”
“Kau hanya seorang diri di sini, Ande. Kalaupun ada temanmu di tempat lain yang sama denganmu, sebagaimana Anil dan Pamela Malhotra di India, peluangnya berapa besar untuk menahan laju keserakahan yang menghancurkan bumi ini? Niat dan usahamu itu hanyalah mimpi.”
“Walaupun mimpi, paling tidak aku sudah memimpikan hal yang baik untuk negeri ini dan mulai menyatakannya dalam tindakan-tindakan kecil. Semua tindakan besar, bermula dari tindakan kecil.”
“Kau yakin?”
“Ya, aku yakin. Kata orang bijak, untuk mengubah dunia, harus dimulai dengan mengubah diri sendiri. Dan aku akan mulai dari diri sendiri.”

1 komentar:

Marsya mengatakan...

mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.