Oleh : Krismanto Atamou
Matahari mulai meninggi
ketika Ande mengambil haik, yaitu sebuah tempat dari anyaman daun lontar
dan menuju ke arah pepohonan tuak. Itu sudah menjadi pekerjaan tetapnya setelah
dipecat dari sekolah saat sedang asyik-asyiknya mengajar. Ia mulai mengajar
sejak sekolah itu didirikan di kampungnya hingga ada peraturan baru yang
mengubur semua mimpinya.
Kebijakan pemerintah
yang mengharuskan guru harus mengajar 24 jam tiap minggu. Jika ada dua guru dengan
latar belakang ilmu yang sama, maka yang diutamakan adalah guru PNS atau yang
sudah memiliki sertifikat pendidik. Orang tuanya hanya mampu menyekolahkannya
hingga strata satu pendidikan bahasa inggris. Sedangkan untuk mengambil program
profesi pendidik―yang sekarang sudah menjadi keharusan jika ingin mengajar,
orang tuanya sudah tak mampu.
Pupus sudah harapan
Ande, 12 tahun pengabdian yang membawanya menjadi guru honor tertua menjadi
cerita yang berakhir pilu. Tanpa harapan. Sebelumnya, ia pernah beradu nasib
dengan mengikuti peluang manis untuk para honorer lama yaitu melalui kategori
satu dan dua. Namun apa daya, syarat administratif ternyata tidaklah cukup.
“Harus ada pelicin,”
kata Said temannya.
“Pelicin apa?” tanya
Ande lugu.
“Ah, kau ini! Zaman
sekarang, kalau mau nasib baik, kau harus menyogok petugas. Kalau tidak, jangan
harap kau bisa lolos. Nanti ada-ada saja alasan petugas untuk menyusahkan kita.
Bahkan untuk bertemu mereka pun akan sulit. Sekalipun kau sudah berada di hadapan
mereka, kau tidak akan diperhatikan. Mereka akan menoleh ke tempat lain atau
seolah-olah sibuk, atau melihat dan mencari orang yang sudah biasa menyogok
mereka. Sebaliknya, kalau kau sogok mereka, heh, jangankan wajahmu yang muncul,
ujung rambutmu baru muncul di kejauhan saja, kau sudah dipanggil. Kau akan jadi
prioritas utama baginya.”
“Terus, sogoknya pakai
apa?”
“Ande ... Ande .... Kau
ini dungu atau goblok? Yang namanya sogok, ya pakai duit, atau barang berharga
lainnya.
“Nah, itu masalahnya.
Aku orang miskin. Gaji honor selama ini bahkan tidak cukup untuk makan.
Bagaimana mau menabung?”
“Tapi kau kan punya
babi di kandang. Itu bisa dipakai untuk menyogok?”
“Itu babi bantuan
pemerintah, ada kontrak kerja samanya. Dalam jangka waktu tiga tahun, harus
dikembalikan modalnya ke pemerintah.”
“Ah, tiga tahun kan
lama. Kalau kau pakai untuk menyogok kemudian kau lulus kategori dan menjadi
PNS, belum tiga tahun, gaji kau sudah lebih besar untuk membeli bahkan tiga
ekor babi. Bagaimana?”
“Kalau begitu aku
bicara dengan orang tuaku dulu. Soalnya, orang tuaku yang menandatangani surat
kontrak kerja dengan pemerintah itu.” Ande pulang ke rumah dengan wajah lesu.
Ande bukannya takut
orang tuanya tak setuju. Justru dengan tak setuju, ia dapat terhindar dari
perbuatan curang. Ande takut jika orang
tuanya setuju kemudian babi itu diberikan ke orang yang salah. Orang yang cuma
calo dan kemudian menipu. Ia takut rugi beruntun karena mengadu nasib melalui
jalur yang tidak pasti. Belum lagi dengan cara itu, ia telah mengambil hak
orang lain yang mungkin lebih pantas mendapatkannya.
Seandainya ia tidak
lulus kategori, sementara babi telah tiada, orang tuanya juga yang berduka.
Duka karena anaknya tak lulus, duka karena babi telah diberikan ke orang yang
tidak jelas, duka karena harus mengembalikan modal babi, duka karena nama baik
keluarga yang selama ini dijaga rusak karena dianggap telah menipu, duka karena
pemerintah tak akan lagi percaya untuk memberikan babi bantuan selanjutnya.
Untuk
memikirkan semua itu, ia pergi ke pantai yang tidak jauh dari rumah. Kepalanya
disandarkan pada pohon tuak yang condong ke darat akibat diterpa angin badai
dari Australia. Sementara itu, ombak pantai selatan terus menghujam bibir
pantai yang tergerus abrasi. Tumpukan sampah plastik dan tumpahan minyak Montara
di Laut Timor menambah bubrah kelestaran bakau penjaga pantai dari amukan laut
selatan.
Zaman
dahulu, kakek buyutnya masih mencari kepiting besar di antara perakaran bakau. Pepohon
bakau di pantai desanya sangat padat dan luas menjadi penahan abrasi alami yang
asri. Suara kelelawar bakau dan burung bangau sering beradu ketika senja mulai
menyelimuti desa. Kini itu semua hanyalah kenangan.
Masih
ada beberapa cangkang kepiting besar yang terselip di anyaman dinding bambu di
rumah tua keluarganya. Masih ada tanggul-tanggul pohon bakau satu dua di antara
timbunan tanah tanggul tambak garam. Semenjak proyek garam hadir dengan
iming-iming meningkatkan ekonomi warga, warga semakin tamak. Tanah-tanah ulayat
yang dipenuhi pepohonan bakau nan rimbun diubah menjadi ladang garam. Sejauh
mata memandang jika masih ada pohon bakau berdiri satu dua, itu adalah usaha
suksesi alamiah yang mustahil bertahan lama.
Angin
sepoi-sepoi seakan mengiringi senja yang perlahan berlalu ditelan langit
Australia, negeri yang pernah diimpikannya sejak kecil melalui program
pertukaran pelajar dan mahasiswa.
Bu
Mina, guru SD Ande pernah bertanya, “Siapa yang tahu, laut kita ini—sambil menunjuk arah selatan—berbatasan dengan negara apa?”
“Australia,
Bu Guru.”
“Kamu
tahu dari mana, Ande?”
“Dari
Om John, Bu Guru. Om John pernah masuk penjara di sana karena melanggar batas
wilayah laut saat mencari ikan. Namun, ia dan teman-temannya dipulangkan dengan
pesawat ke Indonesia. Aku mau ke sana seperti Om John, Bu Guru.”
“Bisa.
Tapi kamu harus dengan cara yang tidak melanggar batas wilayah. Caranya, kamu
harus rajin belajar, jadi siswa berprestasi atau nanti jadi mahasiswa berprestasi,
barulah mendaftar program pertukaran pelajar ke luar negeri. Kamu bisa pilih Australia
sebagai negara tujuannya.”
Mulai
saat itu, Ande rajin belajar untuk meraih mimpinya. Namun apalah daya, ketika
namanya telah ditetapkan untuk berangkat ke Australia dalam program pertukaran
pelajar, tiba-tiba namanya diganti. Padahal ia sudah kepalang senang dan telah
mendapatkan izin orang tua untuk berangkat. Ada rumor beredar, namanya diganti
dengan anak pejabat yang tak pernah berprestasi sekalipun.
Deretan
panjang kisah pilu sebagai korban KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) itulah
yang membuat Ande mengambil keputusan untuk tidak mau melakukan KKN, bahkan
benci terhadap KKN. Baginya sedikit harta dengan rasa cukup dan syukur lebih
nikmat dibanding banyak harta yang diperoleh dengan curang tanpa merasa
berdosa.
Angin
laut mulai berhenti saat siang mulai berganti malam. Ande bangun dari duduknya,
memegang batang pohon tuak sambil menatap dengan saksama. Ia seakan berterima
kasih kepada pohon tuak itu karena telah menjadi teman dalam permenungannya untuk
mengambil keputusan. Tatapannya tertuju pada bekas potongan pada batang pohon
tuak yang dijadikan tempat berpijak untuk memanjat dan mengambil nira. Ia sadar
tempat pijakan itu sudah lama tidak dijejaki karena ayahnya sakit dan sudah
sangat tua untuk bisa mengambil nira tuak.
“Aku
akan melanjutkan karier ayahku. Paling tidak aku terhindar dari dosa KKN yang
bahkan membuat VOC, sebuah organisasi dagang besar Belanda di masa lampau
bangkrut. Aku tak mau meneruskan dosa itu untuk negara Indonesiaku tercinta.
Aku berharap, suatu ketika Indonesia bisa merdeka dari KKN hingga anak cucu
selanjutnya tak lagi mengenal KKN.”
“Ah,
itu hanya mimpi di siang bolong,” kata sosok antagonis di dalam dirinya.
“Ya,
biarpun hanya mimpi, paling tidak mimpi itu telah menjadi modalku untuk
bergerak. Tanpa mimpi Wright bersaudara, tak akan ada pesawat terbang. Tanpa
mimpi Thomas A. Edison, tak akan ada lampu pijar. Tanpa mimpi tokoh pemuda,
tokoh tua dan berbagai kalangan masyarakat sebelum 17 Agustus 1945, tak akan
ada negara Indonesia yang merdeka. Jadi, semua berawal dari mimpi bukan?”
“Bukan.”
“Kalau
bukan dari mimpi, lalu dimulai dari apa?”
“Dimulai
dari mimpi dan langkah pertama. Butuh sebuah aksi nyata pertama. Tidak sekedar
mimpi atau harapan yang berakhir sebagai sebuah khayalan belaka.”
“Ya,
aku bermimpi Indonesia bebas KKN. KKN telah menjadi ekspresi keserakahan
manusia yang perlu disadarkan dan dilawan jika ingin bumi ini lestari bagi
generasi selanjutnya. Langkah pertamaku ialah menolak tawaran menyogok untuk
lolos menjadi PNS waktu lalu.”
“Kalau
kau menolak, lalu untuk apa kau memikirkannya sore itu? Ah, jangan-jangan
penolakanmu hanya slogan agar terlihat bersih, keren, dan dapat dipercaya. Agar
melalui cerita ini, kau dikenal orang besar dan dipercaya jabatan strategis
yang memerlukan orang-orang jujur sebagai kaki-tangan untuk menjaga harta benda
mereka bukan?”
“Bukan!”
“Lalu
untuk apa, Ande?”
“Untuk
sedikit menahan laju keserakahan yang semakin cepat menggerogoti dan
menghancurkan seluruh sendi kehidupan.”
“Ah,
kau terlalu hiperbola soal keserakahan dan dampaknya. Bumi ini masih baik-baik
saja. Jangan terlalu khawatir!”
“Bacalah
buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni karya David Wallace-Wells. Selain itu, ada
banyak buku tentang masa depan kehidupan di bumi yang patut dikhawatirkan.
Perlu tindakan penyelamatan bumi sejak dini. Salah satunya ialah melawan
perambahan hutan yang menghancurkan mesin penghasil oksigen alami di bumi.
Perambahan hutan, bermula dari keserakahan.”
“Batu
kecil tak mungkin bisa melawan batu yang besar, Ande.”
“Maksudnya?”
“Kau
hanya seorang diri di sini, Ande. Kalaupun ada temanmu di tempat lain yang sama
denganmu, sebagaimana Anil dan Pamela Malhotra di India, peluangnya berapa
besar untuk menahan laju keserakahan yang menghancurkan bumi ini? Niat dan
usahamu itu hanyalah mimpi.”
“Walaupun
mimpi, paling tidak aku sudah memimpikan hal yang baik untuk negeri ini dan
mulai menyatakannya dalam tindakan-tindakan kecil. Semua tindakan besar,
bermula dari tindakan kecil.”
“Kau
yakin?”
“Ya,
aku yakin. Kata orang bijak, untuk mengubah dunia, harus dimulai dengan mengubah
diri sendiri. Dan aku akan mulai dari diri sendiri.”
1 komentar:
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.
Posting Komentar