Minggu, 29 September 2019

MENGUSIR SEPI, MENGGAPAI MIMPI


Oleh : Krismanto Atamou

Kaca jendela rumah tampak berair. Dingin menyusup lewat setiap celah atau pun merambat lewat bahan-bahan pembatas ruangan yang bersifat konduktor. Sang surya seakan lambat sekali keluar dari persembunyiannya. Suhu udara turun sangat tajam di Kota So’E pada bulan Agustus.
Suhu mencapai 180C ketika kita berjumpa.  Kau datang dari kota yang nun jauh di sana. Masyarakat di lingkunganmu haus hiburan dan mengejar eksistensi di dunia maya. Itulah alasannya kau rela mengambil cuti demi mengejar event Mnahat Fe’u Haritage Trail di Kapan-Mollo, Kab. TTS.
Kau datang tidak hanya bertepatan dengan dinginnya suhu di So’E, tapi juga bertepatan dengan dinginnya suhu di hatiku. Saat itu aku baru saja keluar kamar yang lebih kuanggap sebagai markas, tempat aku membangun kekuatan hati dan pikiran untuk menggapai setiap mimpiku.
Jam dinding menunjukkan pukul 06.00 waktu So’E. Kau duduk di kafe milik ibuku dan menikmati segelas kopi panas dengan penganan khas daerah kami, flolo, uik tunu, dan sambal lu’at. Aku hampir saja berlalu tanpa menoleh padamu jika tidak kau sapa dengan ucapan selamat pagi.
“Selamat pagi juga, Kak,” sahutku sambil tersenyum.
Senyum itu, aku sendiri sudah tidak bisa membedakannya. Apakah senyum tulus, refleks, atau senyum bisnis? Senyum sudah menjadi bagian dari budaya penduduk kami. Ketika event Mnahat Fe’u viral di media massa dan media sosial dengan tagar kapan ke kapan, dinas pariwisata datang ke kampung kami dan memberikan penyuluhan. “Jika ingin pengunjung memiliki kesan yang bagus dan merekomendasikan kampung ini sebagai tujuan wisata, keramahan dalam menyambut tetamu sangatlah penting,” ujar penyuluh. “Termasuk tersenyum pada tetamu yang sudah menjadi budaya tempat ini,” lanjutnya lagi.
Tatapan matamu seakan memberikan kehangatan. Namun dingin di hatiku  belum juga mau merasakan kehangatan itu, walau memang tak dapat kusangkal bahwa ada getaran di dalam hati yang terasa. Aku terus berlalu hingga berhenti ketika Mama meneriakkan namaku.
“Somriiii ...!”
 “Ya, Mak?”
Panggilan Mak sekalian melumarkan lamunanku pada lantunan lagu karya Andmesh Kamaleng yang keluar dari radio milik ayah. “Waktu pertama kali, kulihat dirimu hadir, rasa hati ini inginkan dirimu ....”
“Cepat bantu Ayahmu di dapur. Sebentar lagi akan ada banyak tamu ke sini. Stok makanan dan minuman hangat kita mulai habis. Segeralah!”
“Baik, Mak. Aku mandi dulu, ya?”
“Cuci muka saja, setelah pekerjaan selesai barulah kau mandi. Ini perintah!”
Aku merajuk sambil bergumam. Kendati begitu, aku tetap menghormati Mak. Segera aku melangkah ke dapur. Ayah sudah bermandi keringat yang sebenarnya enggan keluar dari kulit saat udara dingin seperti ini.
Aku segera mengambil alih sebagian pekerjaan Ayah. Lumayan, sekalian olahraga dan menghangatkan tubuh di dekat perapian yang menyala. Ya ... paling tidak kesibukan di dapur ini sedikit mengurangi fokusku pada pesan singkat Armen minggu lalu.
“Kita putus.” Itu  isi pesan singkat Armen. Pesan singkat yang benar-benar singkat. Namun dampaknya cukup panjang bagiku. Pesan itu membuatku rela membuang kesempatan emas mengisi liburan untuk mendaki gunung Fatuleu bersama teman-teman MAPALA Kampus. Dari pada depresi, aku memilih pulang ke So’E. Kembali ke markas sekalian membantu Mak dan Ayah.
Bagiku, hidup terlalu singkat untuk ditangisi, jika tidak harus. Buat apa sedu sedan itu? Hidup terlalu singkat untuk diisi amarah, dendam, cacian, dan berbagai ekspresi negatif lainnya. Alih-alih menangisi kehilangan Armen, aku lebih memilih bersyukur. Ya, bersyukur karena pada akhirnya aku tahu bahwa Armen bukanlah jodohku. Buat apa aku menghabiskan waktuku dengan percuma bersama orang yang bukan jodohku?
Aku yakin, jodoh tak akan ke mana. Sudah ada jalannya untuk setiap orang. Mengapa harus resah. Menikah bukanlah perlombaan lari, harus cepat. Untuk mengusir sepi, aku memilih rumah. Aku memilih kamarku, markasku. Di rumah, aku senang dengan ketegasan Mak dan kelembutan Ayah.
Jika anak lain tidak suka dengan ibunda yang cerewet, aku justru suka itu. Aku suka Mak menyerocos dan mengomentari hidupku. Itu bagiku ibarat memberiku banyak tampilan CCTV untuk melihat situasi hidupku secara saksama. Dengan begitu aku mudah mengambil keputusan yang tepat.
Jam di dinding menunjuk angka 09.00. Bel di ruang reservasi berbunyi berkali-kali. Mendengar itu, aku melepaskan novel ORANG-ORANG BIASA karya Andrea Hirata dan berjalan ke kafe di depan rumah.
Seiring langkah kaki, aku menyelidik seantero ruangan kafe. Entah kemana Tante Ema yang bertugas menjaga kafe hingga aku harus berlari-lari kecil untuk menggantikannya. Rasa penasaranku kepada Tante Ema lepas begitu saja ketika tatapan matanya seakan menghujam langsung ke relung hatiku.
Sepersekian detik aku membeku. Suhu udara So’E yang mulai memanas seiring sinar mentari yang menyeruak diantara kabut pagi seakan kembali dingin seketika. Ibarat penembak jitu yang membeku ketika sudah saatnya menarik pelatuk untuk melontarkan peluru dan membunuh target. Aku membeku.
Pandangan matanya teduh. Alisnya sedikit tebal namun seimbang dengan garis mukanya yang tampan. Hidungnya mancung menjulang seakan menjulangnya gunung Fatuleu yang seharusnya kudaki saat ini.
“Hi, kau tidak apa-apa?” tanyanya membuyarkanku.
“Eh, tidak apa-apa, Kak. Ada perlu apa?” tanyaku.
“Aku mau pesan kopi panas lagi.”
“Oh, iya, ada. Silakan duduk, Kak.”
“Panggil aku Jimi saja, Nona manis.”
“Baiklah.”
Aku segera membuatkannya kopi panas. Tak sampai dua menit, kopi itu sudah ada di atas mejanya.
“Tidak sekalian dengan singkong rebus, Jim? Mumpung masih hangat.”
“Wah, boleh tuh. Eh, nama kamu siapa?”
“Aku, Somri.”
“Hm ... nama yang cantik. Secantik orangnya.”
“Ah, gombal,” kataku datar sambil berupaya menyembunyikan ekspresi kegirangan.  Aku tak ingin dia tahu kalau aku suka padanya namun tak ingin buru-buru. Secara aku kan cewek. Aku harus mengujinya, apa betul niat memuji atau sekedar basa-basi, sekedar iseng semata.
“Sungguh!” Katanya meyakinkan.
“Kau membaca buku itu juga?” Kataku berupaya mengalihkan topik pembicaraan. Memang di samping laptopnya terdapat novel karya Andrea Hirata yang sedang aku baca juga.
“Ia. Aku suka caranya membuat karya satir dengan diksi yang halus namun mengena.” Syukurlah, ia termakan oleh trik pengalihanku. Kalau tidak bagaimana mungkin aku menyembunyikan perasaanku padanya. Dosenku pernah berkata bahwa di dunia ini hanya ada dua hal yang tidak bisa disembunyikan manusia. Pertama adalah kemiskinan dan kedua adalah jatuh cinta.
Aku tak mau mudah dibaca orang, kecuali oleh Mak dan Ayah. Antara aku dan orang tua tidak ada rahasia. Apapun keputusanku selalu diketahui Mak dan Ayah, termasuk merelakan kepergian Armen yang sudah beberapa kali datang ke rumah. Ardi pergi dengan perempuan lain pilihan orang tuanya. Perempuan itu anak seorang ketua partai politik. Partai itu menjadi kendaraan politik ayahnya menuju walikota. Herannya Armen mau saja dijadikan alat bagi kepentingan ayahnya.
Dari hubunganku dengan Armen, aku mendapatkan pelajaran berharga seperti yang tertera pada iklan tukang cukur jalanan. Pada iklan itu tertulis; Tukang cukur khusus pria, tarif: dewasa Rp. 20.000,- dan anak-anak Rp. 10.000,-. Bahkan tukang cukur saja tahu bahwa menjadi pria dewasa itu mahal. Bagiku Armen belum dewasa.
“Kalau bagiku justru Andrea Hirata sedang melakukan kritik secara terbuka terhadap kezaliman penguasa dan peradaban oportunis yang memberangus kemanusiaan dan keadilan.” Aku menyampaikan pandanganku secara tegas. “Kau lihat pada Bab Orang-Orang Yang Berjaya, disitu jelas-jelas ia membuka aib para maling berdasi,” lanjutku.
“Wow, ternyata kau suka sastra perlawanan juga ya?”
“Ya, ialah. Secara aku aktivis.”
“Aktivis apa?”
“MAPALA.”
“Terus, apa hubungannya MAPALA dengan maling berdasi?”
“Wah, berarti kau tidak tahu tentang persoalan lingkungan.”
“Persoalan apa itu?”
“Baca saja kasus lingkungan di Indonesia. Ada di laporan COALRUPTION, ada persoalan di Mahuze Papua, di Saman, dan masih banyak lagi. Di balik semua kasus, selalu ada permainan mafia di dalamnya. Para mafia inilah yang Andrea Hirata sebut sebagai maling berdasi.”
“Wah, kau hebat!”
“Biasa saja, Jim.”
“Ngomong-ngomong, aku harus mencari pendamping hidup seperti kamu. Itupun jika kamu tidak mau.” Ia tersenyum, lesung pipi menambah pesonanya.
“Biayanya Rp. 30.000,” ujarku seolah tak mendengar omongannya sambil menyodorkan bill padanya.
Setelah membayar, ia pamit lalu pergi. Dua tahun berlalu tak ada kabar beritanya. Dua musim dingin menemani rasa sepiku dengan setia. Entah jodoh di mana? Untunglah waktu itu aku tidak memberi harapan pada Jimi, juga aku tidak menanggapi gombalannya. Kalau tidak, aku akan terjebak dengan rasa yang tak pasti. Buang-buang waktu saja.
Tak terasa, aku sudah menyelesaikan kuliah. Perjuanganku tak sia-sia, aku telah diwisuda. Untuk merayakan keberhasilah di bangku kuliah, teman-teman MAPALA mengajakku mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung Fatuleu bersama teman-teman dari kampus lain untuk merayakan HUT RI ke-74. Jam tujuh pagi kami sudah mulai mendaki ke gunung Fatuleu.
Sebelum mendaki, anggota MAPALA dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok memegang satu kantong sampah. Tujuannya ialah membersihkan sampah di lokasi wisata alam gunung Fatuleu yang kotor akibat ulah beberapa pengunjung yang tidak memiliki kesadaran terhadap kebersihan lingkungan. Ada banyak sampah plastik dan kaleng minuman ringan―yang sulit terurai secara alami―dibuang ke lingkungan. Jika satwa liar terjebak di dalamnya dan mati, maka secara tidak langsung pembuang sampah telah memutus suatu rantai makanan di alam dan bahkan membunuh kehidupan secara perlahan namun pasti. Entah sampai kapan orang sadar bahwa penanganan sampah harus dimulai dari tanggung jawab sebagai pribadi?
Sinar mentari menyeruak keluar dari atas gunung Timau-Amfoang Tengah ketika kami baru sampai di puncak Fatuleu. Aku memilih duduk menghadap ke barat sambil menikmati minuman hangat dan menyaksikan pemandangan perkantoran Kab. Kupang. Seseorang datang duduk di sampingku menggunakan jaket berpenutup kepala. Aku menoleh. “Will you marry me?” katanya tiba-tiba.
“Tunggu dulu. Bagaimana kau bisa ada di sini? Kau membuntutiku?”
“Ah, jawab dulu pertanyaanku, Somri. Setelah itu aku jawab pertanyaan kamu.”
“Yes. I wanna marry you. So, now you must answer my question!”
“Aku ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Aku menanyakan keberadaanmu. Juga aku menyampaikan niat kepada kedua orang tuamu untuk menghalalkanmu. Mereka menyerahkan jawabannya padamu dan sekarang kau sudah menjawabku.”
Aku memandangi langit seakan ingin membuktikan apakah yang kualami itu nyata? Apa aku tidak sedang bermimpi? Aku dan Jimi menikah dua bulan kemudian. Kehangatan dan kasih sayangnya selalu menghiasi hari-hariku. Hadirnya mengusir sepi yang sebelumnya memenjarakan hatiku. Dinginnya udara Kota So’E tak lagi mengekspresikan suasana hatiku, selanjutnya.

Catatan: Dipersembahkan kepada cerpenis Dicky Senda dan komunitas Lakoat Kujawas di Desa Taiftob, Kab. TTS.

1 komentar:

Marsya mengatakan...

mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.