Prosiding, telah terbit di Jurnal Seminar Nasional FKIP UNDANA September 2016
Oleh: Olyvianus Krismanto Atamou, S.Pd
Guru pada SMP Negeri 2 Amabi Oefeto Timur, Kab. Kupang
abstrak
Generasi
unggul dapat diartikan sebagai generasi yang lebih baik dan berusaha keras
untuk meraih prestasi. Generasi yang memiliki kecerdasan dan karakter yang
mantap di dalam dirinya, selalu berdampak positif bagi diri, sesama dan
lingkungannya. Generasi yang telah mengalami pembentukan rasio secara matang di
dalam dirinya, sehingga mampu menghindari setiap perilaku tak bermoral dan
kontra-produktif lainnya. Namun pada kenyataannya belum banyak yang menyadari
hal ini. Menciptakan generasi unggul memang sulit dan butuh perjuangan, namun
akan lebih sulit jika manusia hidup tanpa sikap unggul yang melekat pada
dirinya. Prasyarat untuk menjadi manusia yang unggul, yaitu memiliki kemampuan
mengoreksi sikap mentalnya, lingkungan dan system yang harus kondusif, dan
memperbanyak silaturahmi (Gymnastiar, 2002). Kemampuan mengoreksi sikap mental
bertujuan supaya bisa lebih ulet dan gigih dalam memacu dan menempa diri
dibandingkan dengan orang lain. Sementara lingkungan berperan penting untuk
merangsang dan menciptakan sebuah prestasi. Hal ini diyakini oleh penganut
aliran behaviorisme, bahwa lingkungan pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan hidup seseorang. Oleh karena itu, generasi unggul harus diciptakan
dan salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Untuk menghasilkan generasi
unggul, cerdas dan berkarakter maka orientasi pendidikan tidak hanya berfokus
pada intelligent life, tetapi juga
bagaimana generasi Indonesia bisa memiliki kehendak yang kuat (will) untuk
selalu hidup menurut patokan-patokan moral. Untuk tujuan ini, pendidikan perlu dimulai sejak usia dini dan secara
komprehensif perlu didukung dengan peran serta orang tua, sekolah, masyarakat
dan Negara. Pada akhirnya, generasi Indonesia memiliki nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia yang secara spontanitas akan keluar dari sikap atau tingkah laku yang
berpedomankan Pancasila. Sikap yang berpedomankan Pancasila inilah yang disebut
sebagai karakter bangsa Indonesia.
Kata
Kunci : Unggul, Cerdas, Berkarakter, Pendidikan
PENDAHULUAN
Keluhuran
sumber daya manusia sebagai generasi unggul merupakan harapan setiap bangsa,
termasuk Indonesia. Lahir dari persoalan sumber daya manusia dan tantangan
zaman yang terus berkembang, setiap bangsa menyiasati dengan konsep-konsep
generasi unggul dalam mengahadapi tantangan internal maupun eksternal.
Saat ini,
kita menyaksikan berbagai peristiwa mengkhawatirkan dalam kehidupan bangsa, menyebabkan
pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan untuk dihidupkan kembali. Sering sekali kita
menyaksikan kasus korupsi yang begitu masif; budaya kurang santun dalam mengungkapkan
perbedaan pendapat. Terjadi intoleransi, krisis identitas, tawuran dan
kekerasan di lingkungan pendidikan dasar sampai di Perguruan Tinggi. Terjadi konflik
horizontal dan masih banyak lagi sikap-sikap anti sosial yang terjadi di tengah
masyarakat bahkan sering memakan banyak korban jiwa (Suparno, P., 2012 dengan
modifikasi penulis). Menurut catatan POLRI, jumlah tindak pidana dalam enam
tahun terakhir cenderung terus meningkat. Pada tahun 2010 terjadi 332.490 kasus
tindak pidana, angka ini meningkat pada tahun 2015 mencapai 352.936 kasus (BPS,
2016). Selain itu tantangan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, juga menuntut
disikapi dengan karakter yang lebih kuat.
Untuk
meminimalisir perkembangan kasus selanjutnya maka pendidikan karakter bangsa
harus dimulai sedini mungkin. Dimulai dari lingkungan keluarga di rumah maupun
dalam pendidikan formal di Sekolah Dasar, selanjutnya pada Sekolah Menengah dan
Perguruan Tinggi. Berbagai model pendidikan karakter bangsa dicoba, seperti
pendidikan karakter lewat suatu mata pelajaran tersendiri, lewat semua mata
pelajaran sekolah, lewat kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Banyak
kegiatan outbound
dan live in digunakan untuk membantu pendidikan karakter
bangsa pada peserta didik (Suparno, P., 2010).
Dalam
artikel ini akan dibahas pentingnya
konsep generasi unggul, cerdas dan berkarakter bangsa. Apakah pendidikan dapat sungguh-sungguh menghasilkan
generasi unggul,
cerdas dan berkarakter bangsa?
METODE
Dengan bahan –
bahan bacaan yang ada pada penulis, maka tersusunlah makalah ini dengan metode
pustaka. Metode penelitian kepustakaan
adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literature (kepustakaan)
baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari peneliti
terdahulu (Sangadji dan Sopiah, 2010: 28). Makalah ini tersusun dengan cara penulis
membaca kembali buku – buku yang berhubungan dengan masalah yang penulis
tentukan. Makalah ini penulis susun dengan membaca dari berbagai sumber pustaka
termasuk media internet. Dengan latar belakang penulis sebagai pengajar membuat
penulis merenungkan kembali bahwa makalah yang saat ini tersusun adalah apa
yang sudah dan akan penulis sajikan setiap kali ada kesempatan berdiskusi
dengan sesama guru maupun masyarakat biasa yang memiliki kepedulian terhadap Membangun
Generasi Unggul, Cerdas dan Berkarakter Bangsa..
HASIL
Sebagaimana perumusan masalah yang penulis
kemukakan di atas maka hasil penelitian di sini penulis sampaikan dalam lima
pokok bahasan.
Tantangan Generasi Unggul
Perkembangan
Ilmu Pengetahuan, Tekhnologi dan Seni (IPTEKS) telah mempercepat arus
globalisasi. Persaingan dalam kancah nasional maupun internasional semakin
ketat. Bukan hanya itu, saat ini di lingkup lokal pun persaingan tak bisa
dielakan lagi. Untuk menghadapi persaingan tersebut diperlukan manusia-manusia
unggul. Hanya manusia unggul yang mampu memenangkan persaingan, baik di lingkup
lokal, nasional, bahkan internasional. Keunggulan tersebut sebaiknya tidak
hanya secara indiviual maupun juga unggul secara kelompok, bangsa, dunia dan
pada akhirnya menjadi suatu tatanan yang unggul.
Generasi
unggul dapat diartikan sebagai generasi yang lebih baik dan berusaha keras
untuk meraih prestasi. Generasi yang memiliki kecerdasan dan karakter yang
mantap di dalam dirinya, selalu berdampak positif bagi diri, sesama dan lingkungannya.
Generasi yang telah mengalami pembentukan rasio secara matang di dalam dirinya,
sehingga mampu menghindari setiap perilaku tak bermoral dan kontra-produktif
lainnya.
Namun
dalam realitanya, tidak setiap orang yang sudah berpendidikan membiarkan
seluruh hidupnya dibimbing oleh rasionya. Disinilah terletak tantangan
melahirkan generasi unggul: pendidikan seharusnya juga mempengaruhi individu
supaya tidak hanya tahu yang baik dan yang buruk secara moral (intelligent
life), tetapi juga memiliki kehendak yang kuat (will) untuk selalu hidup
menurut patokan-patokan moral. Dalam arti itu, pendidikan yang sanggup
melahirkan generasi unggul adalah pendidikan yang juga sanggup memperkuat
kehendak supaya setiap orang yang tahu kebaikan moral benar-benar mau hidup
sesuai pengetahuan tersebut ( Jena, 2016).
Kecerdasan
Yang Berbeda-Beda
Manusia
mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda. Empat kecerdasan manusia adalah :
§ Kecerdasan Fisik : Atlet hebat adalah
pembelajar fisik yang berbakat. Kecerdasan fisik ditemukan di otot. Atlet golf
akan berkata, anda perlu mengembangkan “ingatan otot”.
§ Kecerdasan Mental : Sebagian besar orang
yang berprestasi di sekolah adalah pembelajar mental yang berbakat. Kecerdasan
mental ditemukan di otak. Yang dikatakan adalah “saya akan pikirkan”.
§ Kecerdasan Emosional : Kecerdasan emosional
dikenal sebagai kecerdasan “sukses”. Artinya makin tinggi kecerdasan emosional
seseorang, makin baik dia dalam menghadapi tantangan hidup, seperti rasa takut,
kerugian, kelaparan dan kebosanan. Kecerdasan emosional ditemukan di nyali
kita.
§ Kecerdasan Spiritual : Kecerdasan spiritual
ditemukan di dalam hati. Seniman, penyair, pemuka agama biasanya berbakat kecerdasan
spiritual.
Kecerdasan fisik ada di bagian pertama karena segala
pembelajaran bersifat fisik, termasuk membaca, berpikir, dan menulis. Seperti
kata Albert Einstein, “tiada yang terjadi sampai ada sesuatu yang bergerak”.
Kecerdasan spiritual adalah yang paling kuat di antara semua
kecerdasan. Makin tinggi kecerdasan spiritual seseorang, makin baik dan murah
hati orang tersebut. Makin rendah kecerdasan spiritual seseorang, makin kejam,
tamak, dan (sering kali) orang tersebut korup. Krisis spiritual menyebabkan terlalu
banyak ketamakan, kejahatan dan korupsi di dunia. Itulah sebabnya memperkuat
empat kecerdasan yang membuat kita jadi manusia itu penting, terutama jika kita
ingin kesempatan kedua dalam kehidupan.
Cara memperkuat kecerdasan-kecerdasan dengan mengubah
lingkungan. Contoh, pergi ke pusat kebugaran bisa memperkuat kecerdasan fisik.
Kecerdasan juga menguat kalau belajar keahlian bisnis baru seperti menjual,
atau belajar melukis. Pergi ke perpustakaan, duduk diam membaca, dan belajar
bisa memperkuat kecerdasan mental. Ikut kelas investasi, yang memang penting
jika takut kehilangan uang, juga memperkuat kecerdasan mental.
Gardner menyebut kecerdasan emosional sebagai kecerdasan
intrapersonal. Beberapa orang menyebutnya kecerdasan sukses. Jika seseorang tak
bisa belajar mengendalikan emosi, maka boleh jadi dia tak pernah mencapai
impian dalam hidup.
Ada orang yang bisa sangat pintar secara mental, tapi lemah
secara emosional. Cara untuk memperkuat kecerdasan emosional adalah
mempergunakan pelatih. Semua atlet profesional memiliki pelatih. Sebagian orang
sukses punya pelatih. Pekerjaan pelatih adalah mengeluarkan yang terbaik dalam
diri kita. Jika tak mampu membayar pelatih, carilah teman yang akan menjadi
pelatih, mendorong untuk melakukan apa yang harus dilakukan (Robert T.
Kiyosaki, 2016: 273 – 275).
Membangun Generasi Unggul Bangsa
Kita diseru
untuk menjadi arsitek masa depan, bukan korbanya (Fuller dalam Kiyosaki, 2016 :
193 ). Membangun masa depan untuk menjadikan kehidupan yang lebih baik merupakan
harapan setiap individu dan bangsa. Diantara berbagai peluang dan pilihan hidup
serta konsekwensi dari setiap keputusan, diperlukan persiapan-persiapan yang
mapan.
Menjadi
unggul tentunya bukan sebuah kebetulan melainkan hasil dari proses yang diciptakan
dan harus dimulai sejak dini. Menurut Byrnes, pendidikan anak usia dini akan
memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya. Hal itu penting,
karena di usia inilah akan terbentuk pendidikan yang lebih bagus. Selain itu,
hasil penelitian juga mengatakan bahwa sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang
dewasa telah terjadi ketika usia empat tahun dan 80% telah mengalami
perkembangan yang pesat tentang jaringan otak pada usia delapan tahun. Barulah
di usia delapan belas tahun perkembangan tersebut akan mencapai puncaknya.
Menciptakan
generasi unggul memang sulit dan butuh perjuangan, namun akan lebih sulit jika
manusia hidup tanpa sikap unggul yang melekat pada dirinya. Prasyarat untuk
menjadi manusia yang unggul, yaitu memiliki kemampuan mengoreksi sikap
mentalnya, lingkungan dan system yang harus kondusif, dan memperbanyak silaturahmi
(Gymnastiar, 2002).
Kemampuan
mengoreksi sikap mental bertujuan supaya bisa lebih ulet dan gigih dalam memacu
dan menempa diri dibandingkan dengan orang lain. Sementara lingkungan berperan
penting untuk merangsang dan menciptakan sebuah prestasi. Hal ini diyakini oleh
penganut aliran behaviorisme, bahwa lingkungan pengaruhnya sangat besar
terhadap perkembangan hidup seseorang. Oleh karena itu, generasi unggul harus
diciptakan dan salah satu caranya adalah melalui pendidikan.
Penanaman Nilai Karakter Bangsa
Membangun karakter dan watak bangsa melalui
pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan
rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang
patut untuk dicontoh. Di lingkungan sekolah, guru, kepala sekolah dan tenaga
pendukung kependidikan merupakan komunitas yang secara tidak langsung akan
menjadi teladan bagi para siswa. Untuk itu karakter yang kuat harusnya lebih
dahulu dimiliki oleh para pendidik, terutama guru. dalam art bahasa karakter :
(1) Menurut Bahasa adalah Tabiat/kebiasaan. (2) Watak mengandung arti bentuk
pribadi, tingkah laku atau budi pekerti. (3) Ilmu karakter mengandung arti
gerak-gerik, tingkah laku, amal perbuatan, cara bersikap hidup yang berbeda
dengan orang lain. Dengan demikian Karakter akan dapat menampilkan sikap dan
perilaku yang didorong dari dalam (sebagai inner power) untuk menampilkan dan
mewujudkan hal-hal yang manunjukan seseorang berkarakter baik atau tidak.
Dengan kata lain karakter sebagai pengontrol yang dapat menentukan pilihan individu
bangsa menuju suatu kebahagiaan atau menuju kehancuran (Nurokhim, 2007).
Karakter itu tidak dapat dikembangkan
secara cepat dan segera (instant), tetapi harus melewati suatu proses yang
panjang, cermat, dan sistemik. Berdasarkan perspektif yang berkembang dalam
sejarah pemikiran manusia, pendidikan karakter harus dilakukan berdasarkan
tahap-tahap perkembangan anak sejak usia dini sampai dewasa. Setidaknya,
berdasarkan pemikiran psikolog Kohlberg (1992) dan ahli pendidikan dasar
Marlene Lockheed (1990), terdapat empat tahap pendidikan karakter yang perlu
dilakukan, yaitu (a) tahap “pembiasaan” sebagai awal perkembangan karakter anak,
(b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter
siswa; (c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan
sehari-hari; dan (d) tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa
melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami
dan lakukan dan bagaimana dampak dan kemanfaatannya dalam kehidupan baik bagi
dirinya maupun orang lain. Jika seluruh tahap ini telah dilalui, maka pengaruh pendidikan
terhadap pembentukan karakter peserta didik akan berdampak secara berkelanjutan
(sustainable).
Prinsip
pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengusahakan
agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter bangsa sebagai
milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui
tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip
ini peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat.
Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri
sendiri sebagai makhluk sosial (Trisiana, 2015 : 171 – 172).
Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki
Pancasila sebagai nilai dasar kebangsaan. Menjadikan manusia Indonesia yang
Pancasilais sesuai dasar Negara, merupakan suatu tema besar pada arah
pembangunan manusia Indonesia. Untuk itu dunia pendidikan di Indonesia perlu
diarahkan untuk membangun potensi dan karakter bangsa. Pendidikan sebaiknya
tidak hanya menekankan aspek penguasaan dan pemahaman konsep, tetapi juga
diharapkan dapat membangun generasi unggul, cerdas dan berkarakter bangsa.
Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Depertemen Pendidikan
Nasional. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia
harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses
pendidikan.Nilai-nilai tersebut yaitu :
No
|
Nilai
|
Deskripsi
|
1
|
Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
|
2
|
Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan.
|
3
|
Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya.
|
4
|
Disiplin
|
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
|
5
|
Kerja keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
|
6
|
Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu yang
menghasilkan cara atau hasil baru berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki.
|
7
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8
|
Demokratis
|
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat,
dan didengar.
|
10
|
Semangat kebangsaan
|
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
|
11
|
Cinta tanah air
|
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.
|
12
|
Menghargai prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati
keberhasilan orang lain.
|
13
|
Bersahabat/
Komunikasi
|
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
|
14
|
Cinta damai
|
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
|
15
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
|
16
|
Peduli sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
|
17
|
Peduli lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
|
18
|
Tanggung jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Tuhan yang Maha
Esa.
|
Ke-18 nilai
di atas dapat juga dikelompokkan dalam sikap kita kepada Tuhan (religious, toleransi);
Sikap terhadap sesama (toleransi, demokratis, bersahabat, cinta damai, peduli
sosial); Sikap terhadap diri sendiri (jujur, disiplin, kerjakeras, kreatif,
mandiri, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, gemar membaca, tanggungjawab); Sikap
terhadap alam (peduli lingkungan); dan sikap terhadap Negara (cinta tanah air,
semangat kebangsaan). Nilai-nilai di atas lebih bersifat praktis pada sikap dan
tingkah laku daripada pemahaman konsep belaka.
Nilai-nilai karakter bangsa diatas perlu dijadikan pola
pikir generasi Indonesia, yaitu cara generasi Indonesia untuk mempertimbangkan
dan memutuskan sesuatu secara positif. Pola yang menetap dalam pikiran bawah
sadar generasi Indonesia berdasarkan Pancasila.
Untuk mengubah pola pikir ke arah yang positif, Robert
Rero menawarkan delapan langkah yaitu : (1) Mengenali tujuan sesuai dengan
konsep diri; (2) Melakukan kontemplasi (perenungan); (3) Melakukan Evaluasi
terhadap apa saja yang telah dilakukan; (4) Mengenal sifat baik dan buruk; (5)
Membersihkan hati; (6) Membuang sifat negatif; (7) Membangun komitmen pada
sifat positif; (8) Terus-menerus melakukan perbaikan (Rero, 2011: 74-79 dengan
modifikasi penulis).
Peran Serta Berbagai Pihak dalam Membangun
Karakter Bangsa
Pendidikan
adalah tanggungjawab banyak pihak, antara lain orang tua, sekolah, masyarakat, dan
negara. Di beberapa negara yang berdasarkan agama, pendidikan menjadi
tanggungjawab orang tua, sekolah, instansi agama, masyarakat, dan negara.
Demikian juga dengan pendidikan karakter bangsa juga menjadi tanggungjawab
beberapa pihak, seperti orang tua, sekolah, masyarakat, dan Negara (Ryan &
Lickona dalam Suparno, 2012 : 3). Pihak mana yang tanggung-jawabnya pada tahap
pendidikan tertentu lebih besar tergantung pada sistem pendidikan, situasi, dan
hukum suatu Negara, serta kedewasaan warga masyarakat.
Dalam
pengalaman hidup, pendidikan karakter pertama-tama menjadi tanggungjawab penuh
orang tua. Orang tua yang mendidik secara penuh anak-anak mereka sejak lahir
sampai mereka mulai masuk sekolah. Biasanya, anak yang mengalami pendidikan
awal secara baik dalam keluarga, dapat berkembang kemudian secara baik,
sedangkan yang pada masa umur dini tidak mengalami pendidikan secara baik dalam
keluarga, sering mengalami banyak hambatan dalam perkembangan kemudian. Anak
yang dididik nilai karakter baik oleh orang tua, biasanya lebih mudah menjadi
pribadi yang baik. Setelah anak masuk sekolah, maka kecuali orang tua, sekolah
ikut andil dalam pendidikan karakter anak. Selain sekolah masyarakat juga
sangat berpengaruh dalam pendidikan karakter anak. Apa yang tiap hari terjadi
dalam masyarakat ikut mempengaruhi anak menjadi lebih baik atau menjadi lebih
buruk. Akhir-akhir ini kita mendeteksi ada banyak hal yang semakin mempengaruhi
nilai karakter anak seperti kelompok bermain (peer group), media (TV, majalah, koran, video, games),
internet, facebooks, dll. (Ryan & Lickona dalam Suparno, 2012 :
3 ).
KESIMPULAN
Untuk
menghasilkan generasi unggul, cerdas dan berkarakter maka orientasi pendidikan
tidak hanya berfokus pada intelligent
life, tetapi juga bagaimana generasi Indonesia bisa memiliki kehendak yang
kuat (will) untuk selalu hidup menurut patokan-patokan moral. Untuk tujuan ini, pendidikan perlu dimulai sejak
usia dini dan secara komprehensif perlu didukung dengan peran serta orang tua,
sekolah, masyarakat dan Negara. Pada akhirnya, generasi Indonesia memiliki nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia yang secara spontanitas akan keluar dari sikap atau
tingkah laku yang berpedomankan Pancasila. Sikap yang berpedomankan Pancasila inilah
yang disebut sebagai karakter bangsa Indonesia.
Daftar Rujukan
Badan Pusat
Statistik Jakarta Pusat. (2016). Statistik Indonesia Tahun 2016. Jakarta
Pusat : Badan Pusat Statistik. Diakses dari http://www.bps.go.id/, diakses
pada tanggal 12 Oktober 2016.
Gymnastiar,
Abdullah. (2002). Menjadi Muslim Prestatif. Bandung. MQS Pustaka
Grafika.
Jena,
Jeremias. (2009). Tantangan Melahirkan Generasi Unggul. Diakses dari https://jeremiasjena.wordpress.com/2009/01/22/tantangan-melahirkan-generasi-unggul/, tanggal 14
Oktober 2016.
Kiyosaki,
Robert T. (2016). Second Chance (Untuk Uang, Hidup dan Dunia Kita).
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurokhim , Bambang.
( 2007). Membangun Karakter dan Watak Bangsa Melalui Pendidikan
Mutlak Diperlukan. Diakses dari http://www.tnial.mil.id/ Aboutus/ DataAlutsista/ KRI/ tabid/ 131/
articleType/ ArticleView/ articleId/ 169/ Default.aspx., tanggal 13 Oktober 2016.
Pawito.
(2008). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta. PT LKIS
Pelangi Aksara.
Rero,
Robert. (2011). Cara Jitu Mengubah Mind Set Menghadapi Tantangan Global,
Perpaduan IQ, EQ, SQ. Denpasar. Paradigma Grafika.
Sangadji,
Etta Mamang dan Sopiah. (2010). Metodologi Penelitian – Pendekatan Praktis
dalam Penelitian. Yogyakarta. Andi Publisher.
Suparno, Paul. (2012). Peran Pendidikan dan Penelitian
terhadap Pembangunan Karakter Bangsa, dalam Prosiding
Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-48 Universitas Negeri Yogyakarta tahun
2012, hal 1–7
Taufik, Dede. (2008). Ciptakan Generasi
Unggul 2045, diakses dari http://m.kompasiana.com/dedetau, tanggal 13 Oktober 2016.
Trisiana, Anita. (2015). Paradigma
Baru Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Pengembangan Model Pembelajaran Project
Citizen Dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Prosiding Seminar Nasional 2015, Revolusi Pendidikan Karakter.
Universitas Negeri Malang.
3 komentar:
mantap, terus semangat menulis.
Hebat hebat generasiku,hebat bangsaku
halo pak, tulisan ini sangat bagus. saya juga salah satu mahasiswa undana. sangat senang bisa membaca artikel bapak,
Posting Komentar