Sabtu, 26 Februari 2022

Sisi Lain Banjir


 


 

Oleh : Krismanto Atamou
 
Prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) beberapa hari lalu benar-benar terjadi. Hujan turun cukup lebat di NTT sepanjang beberapa hari belakangan ini dan menyebabkan banjir. 


Banjir menimbulkan dampak negatif tertentu, semisal transportasi darat terganggu, longsor, rumah rusak atau terendam banjir. Namun dengan tidak mengurangi simpati dan rasa duka pada korban, banjir juga ada manfaatnya. Melalui peristiwa banjir kita dapat berefleksi untuk bersahabat atau beradaptasi dengan alam, kita menjadi lebih waspada dan bersiaga terhadap bencana yang mungkin akan terjadi.
 
Adaptasi  


Banjir di Indonesia masih menjadi agenda tahunan hingga saat ini. Karena itu, orang-orang mulai terbiasa dengan banjir. Alih-alih mengeluh, bahkan sejak zaman leluhur kita mulai beradaptasi dengan fonomena banjir. Bangunan rumah dibuat aman dari banjir. Semisal konstruksi rumah dibuat model panggung. Tiang penyangga rumah dibuat lebih kuat dan lantainya dibuat lebih tinggi dari ketinggian genangan air banjir.  


Konstruksi rumah panggung ini diwariskan hingga sekarang. Pola konstruksi rumah seperti ini dapat kita temui di beberapa tempat yang rawan banjir, antara lain di Jambi, di beberapa wilayah kota Makassar, di pinggiran sungai-sungai Kalimantan, dan di Papua bagian pesisir.  


Tidak hanya secara fisik, perilaku manusia pun beradaptasi saat banjir. Semisal kala banjir, sebagian warga menyediakan jasa melewatkan pengendara motor dan memandu mobil melewati titik-titik banjir sepanjang jalan raya. Satu pihak dipermudah perjalanannya, satu pihak mendapatkan ucapan terima kasih, amal ibadah, atau imbalan sepantasnya.  


Dulu, di kali desa Likwatang Kabupaten Alor, terkadang banjir dari hulu membawa banyak sekali kepiting wangi yang dapat ditangkap warga dengan mudah. Oleh karena itu, setiap kali banjir, warga membawa wadah lalu mengamati pinggiran kali, berharap ada kepiting yang hanyut dan menepi.  


Di Kupang, beredar sebuah video memperlihatkan seorang pria duduk di kursi menikmati segelas kopi di sisi jalan yang terendam banjir setinggi lutut orang dewasa. Tidak tahu apakah pria tersebut sedang menikmati banjir yang jarang terjadi atau hanya bercanda. Di video lain memperlihatkan warga yang membantu pengendara untuk melintas dengan aman di titik-titik banjir. Ada tepa salira untuk saling membantu.  
 
Solusi Terintegrasi 


Sebuah rumah di pinggir kali di RT.10 Desa Kuimasi Kabupaten Kupang saat ini sedang terancam longsor. Pasalnya banjir mengikis pinggir kali hingga belasan meter. Di kali hampir sepanjang tahun ada aktivitas galian c, entah berizin atau tidak.

  
Rumah yang belum ditempati ini berdiri di atas tanah bersertifikat dari Badan Pertanahan Nasional unit Kabupaten Kupang tahun 2017 lalu. Keadaan tanah di Sertifikat Hak Milik (SHM) tertulis sebidang tanah non pertanian. Proses sertifikasi tanahnya melalui program nasional (PRONA) dengan penentuan titik batas menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS). Kepala Desa Kuimasi telah melaporkan kejadian ini ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kupang. 


Ancaman longsor pada rumah di ini sebenarnya mewakili banyak rumah lain yang mengalami hal serupa. Untuk mengatasinya diperlukan penanganan yang terintegrasi, antara lain, Satu: perlu sinkronisasi data dan aturan terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW).  


Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa di SHM rumah tadi tertulis tanah non pertanian (bisa untuk perumahan) tapi terletak di daerah zona hijau (pinggir kali)? Mungkin perlu dilakukan sinkronisasi zonasi lahan antara BPN dan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait aturan RTRW agar warga tidak dikorbankan. Ini terutama berlaku bagi warga yang hanya melihat kondisi tanah di SHM dan tidak mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ke Pemda. Jika warga mengurus IMB tentu bisa tahu peruntukan lahan yang sebenarnya.  


Dibutuhkan juga sikap proaktif Pemda untuk mensosialisasikan zonasi peruntukan lahan kepada masyarakat. Dengan demikian pemerintah tidak serta merta bisa disalahkan jika terjadi bencana pada warga yang membangun tanpa izin di zona hijau. 


Dua: perlu penataan drainase dan menjaga kebersihannya. Sepemantauan saya, ada beberapa pengerjaan proyek jalan yang tidak dilengkapi dengan pengerjaan drainase (yang baik). Alhasil aliran air banjir memasuki badan jalan dan merusak hasil pekerjaan fisik jalan. Mubasir. Kalaupun drainase memadai, dalam banyak kejadian, drainase tersumbat oleh sampah dan perlu dibersihkan. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Ada pepatah sedia payung sebelum hujan. Dalam hal menghadapi banjir, pepatah ini dapat disesuaikan menjadi sedia drainase yang bersih dan memadai sebelum banjir. 


Tiga: perlu adanya daerah resapan air yang cukup. Terkait dengan RTRW tadi, diperlukan ahli planologi untuk menata kota/ daerah agar sedapat mungkin kita terhindar dari bencana banjir. Diperlukan banyak ruang terbuka hijau atau taman kota (tidak berlandasan semen) agar dapat menyerap air dengan baik. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, bebatuan karang di kota Kupang termasuk penyerap air yang baik. 


Empat: dibutuhkan keinginan politik kepala daerah. Isu air kurang saat musim panas (kekeringan) dan air berlebih saat musim hujan (banjir) merupakan salah satu isu yang seksi bagi kepala daerah. Jika isu ini dapat menjadi perhatian, keputusan politik, dan kebijakan kepala dearah, saya yakin elektabilitasnya akan meningkat.
Sekian.