Jumat, 24 Juni 2022

Asa Wirausahawan Baru


Oleh: Krismanto Atamou



 

Hidup ini tidak sehitam-putih yang diajarkan di kelas, tidak sehitam-putih kebenaran dan kesalahan, ada banyak variasi lain yang bisa kita argumentasikan dengan baik untuk memperoleh jawaban yang memuaskan. Begitu kata Martin Suryajaya di channel youtube-nya dengan konten “Belajar Berpikir Kritis”.

Sengaja saya mengutip perkataan Martin ini sebagai landasan untuk mengulas masalah langgam apresiasi dan hambatan hak istimewa sosial (privilege) terhadap wirausahawan baru. Sebab menjadi rahasia umum bahwa merintis usaha sebagai wirasusahawan baru tidaklah mudah. Apalagi di kultur masyarakat yang anggotanya belum terbiasa berwirausaha, ketika salah satu anggota masyarakat berwirausaha, terkadang membuat anggota masyarakat lainnya merasa aneh, iri, merasa tersaingi, bahkan “tidak nyaman”.

Untuk itu, seolah ada upaya tiga kali lipat lebih sulit bagi setiap anggota masyarakat tanpa kultur wirausaha untuk berwirausaha. Pertama, mematahkan stigma untuk tidak bisa berwirausaha berdasarkan hak istimewa sosial (privilege). Kedua, menghadapi “ketidaknyamanan” anggota masyarakat lain yang mungkin saja berujung “pengungkungan” dengan berbagai cara, bahkan cara “gelap”. Ketiga, masalah umum yaitu modal, lokasi, infrastruktur, mitra kerja, manajemen, dan legalitas.

Begitulah beberapa hari lalu El, seorang wirausahawan muda di Kalabahi, Alor mendapat “kunjungan” dari pemerintah setempat terkait usaha kuliner yang baru ia rintis. Pemerintah setempat secara lisan menyampaikan keluhan warga yang merasa “tidak nyaman” dengan asap yang dihasilkan saat mengolah kuliner.

El memvideokan di facebook secara live “kunjungan” oknum pemerintah tersebut. Sontak postingan video itu memantik simpati publik yang membagikan dan berkomentar untuk mendukung El. Tentu peristiwa di video yang viral ini tidak bisa dibaca secara hitam putih karena keterangan di video masih minim data.

 

Mematah “Kutukan” Privilege

Berbicara asa wirausahawan baru, kali ini saya ingin mengulas tentang jegalan privilege dalam berwirausaha. Mengapa? Karena masih ada anggapan bahwa dengan privilege yang baik mutlak menjadi modal dalam berwirausaha.

Ibarat anak tangga, privilege adalah di tangga ke berapa kita berdiri untuk mencapai kesuksesan. Walau privilege bisa menjadi salah satu modal untuk sukses, saya rasa privilege bukanlah jaminan utama kesuksesan. Pasalnya, privilege dapat menjadi bumerang jika disalahgunakan.

Oleh karena itu, saya kira terbuka peluang bagi siapa pun untuk mematahkan “kutukan” privilege dan menanjak di tangga sosial. Apalagi setelah pemerintah pusat memberikan ruang bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bertumbuh lewat payung regulasi dan bantuan lainnya.

Untuk mematahkan “kutukan” privilege tentu tidak cukup sekedar mengeluh atau berwacana. Diperlukan keberanian untuk memulai atau mencoba. Ketika gagal, coba lagi dan lagi. Sebuah pepatah perihal berwirausaha mengatakan: setiap orang perlu menghabiskan stok kegagalannya sebelum meraih kesuksesan.

Begitulah ketika kita melihat kegemilangan seorang wirausahawan, itu tidak terlepas dari pengalaman gagal. Sebab kejayaan wirausahawan saat ini adalah hasil dari jalan sunyi, hari-hari penuh tekanan, ketekunan, dan keuletan. Saya kira tekanan demi tekanan inilah yang sedang dialami El kali ini. Dalam postingan yang lain, El menyampaikan kehilangan perahu untuk usaha rumput laut.

Dalam video yang viral itu beberapa kali El mengatakan: ini semata-mata karena ekonomi. Tidak ada maksud lain. Mengingat bahwa Alor adalah negeri dengan toleransi tinggi dan usaha kuliner El tidak bisa dikonsumsi oleh agama dan kepercayaan tertentu, El perlu mengambil posisi yang tepat.

Syukurlah masalah El akhirnya tertangani dengan baik oleh pemerintah dan aparat penegak hukum setempat. Video yang viral akhirnya dihapus demi menjaga suasana yang harmonis.

Belajar dari El saya kira wirausahawan baru tidak perlu takut untuk melangkah. Apapun privilege kita dan sesulit apapun tantangan,yang akan kita hadapi, pasti ada jalan keluarnya. Novelis Paulo Coelho memiliki sebuah ungkapan terkenal: Bila anda menginginkan sesuatu, alam semesta berkonspirasi untuk membantu anda mencapainya.

 

Berdayakan Medsos

Bahasa Paulo Coelho yaitu alam semesta berkonspirasi, kata “alam” bisa diartikan pula alam media sosial (medsos). Dan bukan hal baru lagi medsos dapat diberdayakan untuk mendukung wirausaha. Dukungan itu tidak semata dalam hal promosi, tetapi juga dalam hal berbagi ilmu atau kiat berwirausaha.

Di sisi lain, medsos bisa juga dipakai untuk mendokumentasikan bukti dugaan ketidakadilan yang mungkin saja dilakukan oleh oknum-oknum tertentu terhadap para wirausahawan. Dengan begitu, aparat penegak hukum mudah untuk memberikan perlindungan, mengidentifikasi, dan mengusut kasus bila sampai terjadi.

***

Kembali ke bahasa Martin Suryajaya di awal: hidup ini tidak sehitam-putih yang diajarkan di kelas. Begitu pula dalam berwirausaha, selain ilmu dari sekolah, ada banyak “ilmu jalanan” yang hanya bisa diperoleh ketika kita terjun langsung menjadi pelaku wirausaha. Berbekal ilmu dan dukungan semesta (termasuk medsos yang diberdayakan), saya yakin siapa pun yang sedang menapaki dunia wirausaha bisa mencapai kesuksesan, asal tidak mudah menyerah.

 

Minggu, 19 Juni 2022

Ikatan Guru Indonesia untuk Siapa?


Oleh: Krismanto Atamou

Wakil Ketua IGI Wilayah NTT

 



Pada Senin 20 Juni 2022 di aula kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) NTT akan diadakan pelantikan Badan Pengurus Ikatan Guru Indonesia (BP IGI) daerah pada beberapa kabupaten di NTT. Beberapa daerah tersebut yaitu Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka, Kota Kupang, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Rote Ndao.

BP IGI Daerah yang baru dibentuk ini akan dilantik oleh BP IGI wilayah NTT. Selanjutnya,  BP IGI daerah baru akan mendapatkan materi Pelatihan Manajemen Organisasi (PMO) IGI tingkat dasar yang dibawakan oleh BP IGI pusat.

Kegiatan pelantikan BP IGI daerah ini terlaksana oleh panitia yang diketuai oleh Lidyasih Widyanti, sekertaris Katrina Radja, bendahara Susan Porwata, didukung oleh BP IGI wilayah NTT, dan berbagai pihak terkait.  Kegiatan pelantikan ini merupakan upaya IGI untuk menjangkau lebih banyak guru di seluruh daerah se-Indonesia. Pasalnya, sejak didirikan tahun 2009 lalu hingga kini, belum semua guru yang tahu IGI dan berkecimpung dengan IGI. Hal ini menimbulkan pertanyaan: IGI itu apa? Dan untuk apa?

IGI adalah sebuah organisasi pendidikan yang beranggotakan guru, dosen, dan pemerhati pendidikan di Indonesia. Di dalam anggaran dasarnya, visi IGI ialah menjadi organisasi profesi guru yang mandiri, profesional, inklusi, berwawasan global, dan mencerdaskan. Salah satu misinya ialah melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan penguasaan teknologi untuk mendukung profesionalitas guru. Poin ini cocok dengan opini yang ditulis oleh Ani Yovita Selay berjudul “G20 dan Digitalisasi dalam Pendidikan” yang terbit di Victory News pada Selasa 14 Juni 2022 lalu.

Lalu, IGI untuk siapa? Menjawab ini, saya mengacu pada tujuan IGI di anggaran dasarnya. Satu, meningkatkan mutu, profesionalisme, perlindungan, daya saing, dan kesejahteraan guru. Dua, memperkuat nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan anti korupsi. Tiga, memperkuat kompetensi pedagogi, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Empat, menjadi teladan bagi peserta didik dan lingkungan. Lima, membangun budaya literasi di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Enam, melakukan pengabdian pada masyarakat.

Dari uraian tujuan IGI di atas, jelas terlihat bahwa IGI bertujuan untuk mempersiapkan guru sebagai model dan penggerak bagi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Sasarannya jelas menargetkan peningkatan kompetensi guru yang kelak berdampak bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Pola ini tentu akan mengingatkan kita pada kisah klasik mengenai tindakan Kaisar Hirohito setelah peristiwa pemboman Hiroshima-Nagasaki.

Sejak saya bergabung dengan IGI pada 2018 lalu, terasa sekali banyak kemudahan untuk mengakses kanal-kanal pelatihan guru. Kanal-kanal pelatihan itu dilaksanakan oleh para guru yang telah berkompeten di bidangnya untuk saling berbagi secara gratis. Hal ini sesuai dengan motto IGI: Sharing ang Growing Together atau berbagi dan tumbuh bersama.

Sejak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM dengan surat keputusan nomor AHU-125.AHA.01.06 Tahun 2009, jumlah anggota IGI kini telah mencapai 161.747 anggota. Untuk wilayah NTT anggota IGI telah mencapai 1.413 anggota. Untuk mendaftar menjadi anggota IGI melalui website resminya yaitu www.igi.or.id.

Saat ini ada 67 kanal pelatihan yang dapat diakses oleh guru. Beberapa diantaranya yaitu SAGUSANOV (Satu Guru Satu Inovasi), SAGUSAMIK (Satu Guru Satu Komik Pembelajaran), SAGUSAKU (Satu Guru Satu Buku), Metode MENEMUBALING (Menulis dengan Mulut, Membaca dengan Telinga), SAGUSAVI (Satu Guru Satu Video Pembelajaran), SAGUSAPOINTER (Satu Guru Satu Powerpoint Interaktif), Maluku Belajar, dan SAGUDIHATI (Satu Guru Mendidik dengan Hati).

Saya sendiri telah mengikuti pelatihan di beberapa kanal yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri saya. Dari situ saya bisa membangun website sekolah tempat saya bekerja menggunakan platform yang sederhana dan tanpa biaya. Hasil berikut yaitu sebuah film pendek bertema pendidikan berjudul “Semangat Belajar Anita” yang saya upload ke YouTube.

Beberapa waktu lalu, IGI wilayah NTT menghasilkan satu buku ber-ISBN berjudul Guru Kehidupan. Buku ini diinisiasi oleh kanal Kelas Menulis IGI NTT. Berawal dari pelatihan menulis kepada beberapa anggota, sebagai tindak lanjut, setiap peserta pelatihan Kelas Menulis IGI NTT dibimbing hingga menghasilkan karya tulis. Kumpulan karya tulis itulah yang kemudian diproses menjadi buku “Guru Kehidupan”.

Saat ini, beberapa anggota IGI di NTT sudah berhasil di tingkat nasional. Ketua Wilayah IGI NTT, Meky da Cunha, S.Pd, M.Si misalnya, kini telah lolos seleksi dan bertugas menjadi pendamping Guru Penggerak Angkatan IV di wilayah NTT. Beberapa anggota IGI NTT tengah mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagai calon guru penggerak saat ini, salah satunya ialah sekretaris IGI wilayah NTT Muhammad Kasim, S.Pd. Dalam hal ini, IGI bermitra dan bersinergi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

Selamat mengabdi badan pengurus IGI daerah yang baru dilantik. Sharing and Growing Together untuk memajukan pendidikan di Indonesia. 

Rabu, 15 Juni 2022

Gerson Poyk: Sang Legenda dari NTT




Oleh : Krismanto Atamou

 

Senin, 13 Juni 2022 lalu melintas di beranda akun Facebook saya postingan dari Fanny J. Poyk. Penulis novel “Gizzara” ini adalah anak dari Gerson Poyk, sang Maestro Sastra asal NTT. Ia membagikan postingan dari akun Sahadewa terkait peringatan Hari Sastra NTT 2022 yang akan dilaksanakan pada Kamis, 16 Juni 2022 mulai pukul 16.00 WITA di Taman Budaya Gerson Poyk,  Oepoi, Kota Kupang, NTT.

Acara Hari Sastra NTT 2022 ini terbuka untuk umum. Pada acara yang diselenggarakan oleh Dusun Flobamora dan Dedari Art Institute ini, sesuai flyer, akan diadakan kegiatan baca puisi, bedah buku, musikalisasi puisi, tari, dan lain-lain. Salah satu buku yang akan dibedah ialah buku kumpulan puisi karya Dewa Putu Sahadewa berjudul Siwanggana.

 

Cerpen Matias Akankari

Rasanya tidak sah jika kita mengenang alm. Gerson Poyk tanpa mengetahui karya-karyanya. Dari banyak karya, kali ini saya sedikit mengulas salah satu karya beliau yaitu cerita pendek (cerpen) Matias Akankari.

Cerpen berjudul Matias Akankari merupakan salah satu dari sekian cerpen dalam buku antologi cerpen Matias Akankari yang diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende (1975). Cerpen ini dimulai dengan cerita singkat pertemuan antara Matias Akankari dan seorang prajurit parasutis di Irian Jaya, nama Papua dulu. Matias yang tidak bisa berbahasa Indonesia kemudian menjadi pemandu yang menyelamatkan sang parasutis keluar dari hutan Papua. Matias dibawa oleh sang parasutis pulang ke ibukota Jakarta. Sang parasutis memberi Matias pakaian bagus untuk dipakai lalu membawa Matias pergi menonton film. Saat Matias sedang asik menonton film, sang parasutis meninggalkan Matias sendirian dan pulang.

Matias nyasar di ibukota Jakarta. Dia dikira pejabat dari Papua yang beruang banyak sehingga dibawa pulang oleh seorang pelacur. Matias tidak punya uang untuk membayar sehingga diusir.

Matias berjalan tak tentu arah di ibukota Jakarta hingga hingga bertemu orang-orang yang ia kasihani. Tak punya uang, Matias memberikan pakaiannya kepada orang yang membutuhkan itu lalu kembali memakai koteka, pakaian tradisional Papua.

Penampakan Matias dengan kotekanya di ibu kota Jakarta membuat ia menjadi pusat perhatian orang-orang. Ia nyasar ke sebuah klub malam dan ikut menari di panggung. Ia menjadi terkenal dan banyak uang. Akhir cerita, Matias pulang ke Papua dan menceritakan pengalamannya kepada orang-orang sekampung. Ia bercerita: ternyata kehidupan high class di ibu kota Jakarta sama saja dengan di Papua, sama-sama pakai cawat.

Begitulah ringkasan cerpen Matias Akankari. Membaca cerpen lengkapnya sangat saya rekomendasikan untuk melihat bagaimana Gerson Poyk menampilkan berbagai sisi kehidupan yang diringkas dalam sebuah cerpen. Hal menarik dari cerpen ini adalah upaya Gerson Poyk untuk menampilkan sosok polos seorang pedalaman Papua bernama Matias Akankari dan sikap oportunis seorang prajurit parasutis. Matias sebagai tokoh protagonis dan sang parasutis sebagai tokoh antagonis.

Bagi saya, cerpen ini seolah sindiran Gerson Poyk terhadap oknum “orang kota” yang jahat terhadap orang pelosok. Dalam cerpen ini, Matias yang telah berbaik hati menolong sang parasutis di hutan Papua, justru kemudian ditelantarkan di kota Jakarta. Miris.

 

Warisan Sang Legenda

Seniman Gerson Poyk yang telah berpulang ke hadirat Tuhan pada 24 Februari 2017 lalu ini banyak memiliki karya besar. Ia dikebumikan di TPU Fatukoa, Kota Kupang. Tahun lalu saya berziarah ke makam beliau. Di batu nisan beliau juga tertulis: “Aku ingin pulang kampung tanam jagung dan makan jagung bose, tidurkan aku di tempat ini sehingga aku tetap menjadi sosok yang mengusung sisi humanis, normatif, penuh dengan nilai-nilai etis moral.”

Gajah mati meninggalkan gading, begitupun ketika Gerson Poyk berpulang telah meninggalkan banyak karya besarnya bagi bangsa ini. Karya-karya itu bahkan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, semisal bahasa Jerman, bahasa Rusia, bahasa Jepang, dan bahasa Inggris.

Selain karya tulis, Gerson Poyk juga mewariskan semangat hidup saling mengasihi. Pada Channel Youtube Indonesia SIKA tahun 2017 lalu, Gerson Poyk bercerita bahwa hidupnya dengan seniman yang lain sudah seperti saudara. Kala ada teman yang susah, beliau membantu. Keteladanan hidup saling membantu antara seniman ini saya ketahui dari postingan facebook milik Fanny J. Poyk bernama akun Fanny Jonathans beberapa waktu lalu.

Kak Fanny, begitu saya menyapanya, kini juga telah menjadi penulis senior mengikuti jejak ayahnya. Tak kalah dengan sang ayah, karya-karya Kak Fanny juga telah menghiasi halaman media-media nasional Indonesia.

Di Hari Sastra NTT yang ditetapkan sesuai tanggal lahir almarhum Gerson Poyk ini, Kak Fanny akan hadir. Saya meminta Kak Fanny untuk membawa buku-bukunya juga buku-buku alm. Gerson Poyk agar bisa dibeli dan dinikmati oleh banyak orang. Pasalnya, saya rasa masih belum banyak orang NTT yang sudah membaca karya-karya Gerson Poyk sebagai Sang Legenda yang telah mengharumkan nama NTT di tingkat nasional bahkan Internasional.

Selamat Hari Sastra NTT tahun 2022.

Senin, 13 Juni 2022

Jalan Meretas Keterisolasian


Oleh : Krismanto Atamou




 

Dulu, sewaktu saya masih bertugas di Desa Oelbanu, Kecamatan Amfoang Selatan, jalanan dari dan ke sana sangat parah. Itu terutama jalan yang memasuki wilayah Kecamatan Amfoang Selatan dan sekitarnya. Sulit.

Kala itu jalan poros utama Kecamatan Takari menuju Amfoang masih lebih baik. Oleh karena itu, sebagian pesepeda motor merasa bahwa: jika dari Amfoang sudah sampai wilayah Takari, itu terasa seperti sudah berada di Kota Kupang, karena jalanannya sudah lumayan baik.

Kendaraan umum yang memasuki wilayah Amfoang kala itu masih didominasi oleh bus. Kendaraan pick up sepengetahuan saya tidak ada. Mungkin karena pick up memiliki ground clearance yang tipis sehingga sulit bermanuver di medan jalan yang rusak parah.

Ground clearance adalah jarak ruang di antara dasar dari ban kendaraan dengan bagian bawah chassis. Dalam bahasa Melayu Kupang ground clearance mungkin bisa disepadankan dengan kolong oto, yaitu ruang kosong di antara permukaan jalan dan bodi bawah oto. Nah, kalau kolong oto pendek, saat melewati jalan rusak, akan mudah tatoki alias terbentur. Salah-salah oto (kendaraan roda empat) bisa rusak.

Bahkan untuk sekelas bus saja, untuk kawasan Amfoang, hanya sopir itu-itu saja yang berani mengemudikan bus penumpang. Butuh nyali besar untuk bertanggung jawab terhadap nyawa sekian penumpang dalam bus sambil berupaya menaklukkan jalanan yang parah.

Kondektur atau konjak bus jurusan Amfoang memiliki tanggung jawab cukup besar. Tidak hanya berteriak mencari penumpang, menaikkan barang penumpang ke bus, menata penumpang dalam bus, menjaga barang penumpang agar tidak hilang atau tertukar, menagih biaya perjalanan kepada penumpang, menjadi asisten mekanik saat bus rusak, tetapi juga membantu supir mengeluarkan roda bus jika roda tersebut masuk (tatanam) dalam lumpur. Saat bus sedang mendaki, konjak mesti memikul ganjaran sambil berlari di sisi bus. Takutnya bus tiba-tiba kehilangan daya, lalu mesin mati, maka konjak harus segera mengganjar ban bus dengan ganjaran yang dipikulnya agar bus tidak mundur dan terbalik.

 Kalau musim hujan, keterisolasian kawasan Amfoang sungguh memilukan, terutama Amfoang bagian pantai. Ada cerita mereka (penumpang bus, sopir, dan konjak) harus tidur berhari-hari di pinggir sungai. Mereka menunggu banjir reda sebelum menyeberang dengan bus yang ditumpangi.

Dari semua jalanan pelosok yang saya tempuh dengan sepeda motor, ada jalan yang paling unik, yaitu jalan dari pusat Kecamatan Amfoang Barat Daya ke Desa Nefoneut melewati bantaran kali. Uniknya ialah jika jalanan terputus oleh banjir atau pohon tumbang, pelintas boleh membuat jalan sendiri. Terkadang jalan yang baru dirintis itu melewati kebun-kebun orang dan harus membongkar pagar kebun orang. Jadi pelintas bebas membuat jalan sendiri di hutan dan kebun sepanjang bantaran kali.

Ada juga titik jalan raya yang memiliki pintu gerbang dan sistemnya buka-tutup sendiri. Gerbang biasanya terbuat dari kayu dan bambu. Gerbang ini biasanya berfungsi sebagai pagar kompleks kebun atau perkampungan. Jika gerbang dibukakan oleh warga sekitar maka mesti mengucapkan terima kasih atau memberi imbalan sepantasnya.

Jalan sulit di daerah terpencil biasanya menjadi ajang untuk menyalurkan sifat gotong royong. Jika melihat suatu kendaraan sulit melintas, kecelakaan, atau rusak di jalan, biasanya selalu saja ada malaikat berwujud orang yang datang dan menolong. Pertolongan itu tulus dan gratis.

Saya kira selain Amfoang, masih banyak daerah terpencil dan terisolir lain dengan cerita sulit yang sama. Cerita yang sudah membiasa sehingga terkadang bagi warga terpencil, kondisi sulit ini menjadi hal biasa, bukan untuk dikeluhkan.

 

Sinergi

“Indonesia telah merdeka puluhan tahun, tapi kami di sini belum ‘merdeka’?” Begitu biasanya keluhan orang-orang tertentu karena ketimpangan pembangunan. Saya kira wajar sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, warganya meminta pelayanan dari negara. Namun sebagai warga negara, sadar atau tidak, keputusan politik setiap warga negara saat pemilihan umum (Pemilu), turut menentukan siapa yang mewakilinya sebagai legislator, kepala pemerintahan, atau kepala daerah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhannya.

Pada titik ini maka (salah satunya juga) pemilu menjadi momentum pertaruhan pembangunan infrastruktur jalan. Jalan yang baik dan berkualitas akan meretas keterisolasian dan segala cerita miris yang telah saya jabarkan dari awal tulisan ini.

Begitulah saya rasa sebagai masyarakat kita perlu bersyukur karena pada pemilu kali lalu kita telah memilih orang atau pemimpin yang tepat. Kehadiran mereka telah menjawab permasalahan akses jalan di negara kita, termasuk di seluruh penjuru provinsi NTT.

Walk the talk atau melaksanakan apa yang dikatakan adalah salah satu ciri pemimpin yang baik. Dan saya kira, ciri ini ada pada Presiden Jokowi, Gubernur NTT, dan beberapa pemimpin lainnya. Kala kampanye beberapa tahun lalu, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat menyatakan niatnya untuk melaksanakan pembangunan jalan raya di NTT. Ternyata niat ini benar-benar beliau laksanakan. Contohnya yaitu pembangunan infrastruktur jalan ke Amfoang, beberapa wilayah di Pulau Flores, beberapa wilayah di kabupaten Alor, dan wilayah lain dengan anggaran yang tidak sedikit.

Sebagai masyarakat, saya rasa perlu berterima kasih dan memanfaatkan fasilitas jalan ini untuk pembangunan di sektor lainnya. Betapa tidak, komoditas hasil bumi yang selama ini dijual murah di pelosok, bahkan tidak terjual karena akses ke pasar yang sulit, kini saya yakin nilai jualnya akan membaik.

Ibarat kata, pemerintah telah “mengayuh pedal sepeda kanan” lewat pembangunan infrastruktur jalan ke pelosok, masyarakat pun mesti “mengayuh pedal sepeda kiri” lewat (semisal) upaya meningkatkan produksi komoditas. Pemerintah dan masyarakat adalah satu kesatuan dalam mengayuh roda pembangunan. Dengan begitu roda pembangunan di daerah dapat terus berjalan lewat sinergi antara pemerintah dan masyarakat.

Jumat, 10 Juni 2022

Guru Serba Bisa

Oleh: Krismanto Atamou

 



Pada beberapa hal, guru dituntut untuk serba bisa dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Semisal, guru mesti bisa mengajar rangkap untuk bidang pelajaran tertentu. Salah satu penyebab ialah adanya perbedaan kurikulum di Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan kurikulum di sekolah jenjang tertentu. Semisal guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di jenjang SMP, pada beberapa LPTK tidak memiliki program studi (Prodi) IPA, yang ada ialah program studi pendidikan kimia, pendidikan fisika, dan pendidikan biologi.

Setelah kuliah dari LPTK, tenaga pendidik lulusan Prodi pendidikan fisika misalnya, mesti bisa mengajar materi biologi dan kimia pada mata pelajaran IPA. Demikian pula bagi lulusan pendidikan biologi dan pendidikan kimia.

Untuk bisa mengajarkan tiga disiplin ilmu bidang IPA ini, sang guru mesti belajar lagi konsep ilmu yang belum dikuasainya. Langkah ini diperlukan untuk menghindari bias dalam konsep ilmu IPA. Salah konsep, ibarat salah peta jalan dan bisa menyesatkan.

Tidak hanya mata pelajaran IPA, tetapi juga mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di perguruan tinggi program studinya spesifik. Semisal Prodi pendidikan sejarah, pendidikan geografi, dan pendidikan ekonomi. Namun di jenjang SMP, ketiga bidang ilmu itu bergabung dalam mata pelajaran IPS. Konon nantinya IPA dan IPS digabung. Entah apa jadinya nasib guru pengampu mata pelajaran IPA dan IPS.

Di era perkembangan teknologi digital sekarang, guru juga dituntut untuk bisa mengoperasikan komputer dan berbagai teknologi digital lainnya. Ada cerita dimana seorang guru honorer tua saat tes penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun lalu, belum sempat selesai mengerjakan soal tes komputer hingga waktu pengerjaan soal berakhir. Pasalnya sang guru honorer tua masih belum menguasai cara mengarahkan mouse komputer.

Guru juga mesti tahu dan bisa menjadi seorang akuntan. Pasalnya di sekolah tidak ada tenaga khusus akuntan untuk mengurus administrasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Guru dengan latar belakang ilmu pendidikan apapun “dipaksa” untuk bisa mengadministrasikan keuangan dana BOS. Bahkan ada seorang rekan guru agama yang sedikit “alergi” dengan angka-angka namun terpaksa menjadi bendahara dana BOS. Saya rasa, sebagai guru agama, iman dan kesabaran sang rekan tersebut turut membantunya melalui tantangan akuntansi dalam pengelolaan dana BOS.

Jika guru bersedia menjadi kepala sekolah (Kepsek), paling tidak guru mesti bisa ilmu manajemen, ilmu hukum, paham cara melobi dan bernegosiasi. Ilmu manajemen penting dalam menjalankan tugas sebagai seorang Kepsek. Pasalnya, Kepsek memimpin banyak orang dan mesti bekerjasama dengan banyak pihak.

Dalam bekerja dengan melibatkan banyak orang, Kepsek mesti tahu aturan main alias hukum yang mengatur. Terutama dalam institusi pendidikan, Kepsek mesti tahu peraturan-peraturan terbaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar eksekusi kebijakan di tingkat sekolah tidak mengangkangi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kepsek (juga guru) mesti bisa melobi dan bernegosiasi. Apalagi dengan perubahan kurikulum terbaru yang mana antara sekolah dan dunia industri akan “didekatkan” alias disinkronkan. Sekolah mesti berjejaring dengan dunia industri. Nah, bagaimana jejaring itu bisa dibangun jika tanpa adanya lobi dan negosiasi? Di titik inilah kemampuan berkomunikasi memegang peranan penting demi menghindari miskomunikasi yang berujung terjadinya hal-hal negatif.

Jika kemampuan berkomunikasi guru baik, saya kira tidak akan terjadi kasus yang viral saat ini. Guru dan Kepsek SD Negeri Oelbeba, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang terlibat kasus kekerasan fisik. Berita Victory News pada Senin, 6 Juni 2022 menyebutkan bahwa kasus tersebut bermula saat rapat di sekolah. Rapat yang seharusnya membangun komunikasi untuk “rapat” sayangnya berujung “tidak rapat”. Ironis.

Dan lebih ironis lagi, pelaku pemukulan ialah seorang kepala sekolah, pada jam dinas, dan berpakaian dinas berlencana abdi Negara. Terlepas dari (mungkin) seberapa besar kesalahan seorang guru yang perlu diberi teguran, seorang kepala sekolah dituntut juga untuk bisa memanajemen emosinya. Dengan begitu, Kepsek tidak mudah terpancing lalu antara otot dan otak (O2) menjadi tidak seimbang. Otot lebih dahulu bekerja (semisal memukul) lalu otak berpikir untuk menyesal, tapi semuanya sudah terlambat.

Kejadian di SD Negeri Oelbeba ini mestinya menjadi pembelajaran bagi banyak pihak terkait. Mesti ada evaluasi dan kontrol agar kejadian buruk ini tidak terulang lagi. Bagi para guru dan Kepsek lain untuk lebih berhati-hati dan bisa membangun hubungan dan komunikasi yang baik di lingkungan sekolah.

Guru perlu juga memiliki pemikiran yang terbuka dan tidak anti kritik. Pasalnya, guru itu digugu dan ditiru. Agar bisa digugu dan ditiru, mau tak mau guru mesti belajar, berpikir, dan bertindak layaknya orang yang digugu dan ditiru. Masih banyak ke-bisa-an lain yang perlu dikuasai guru demi mencerdaskan anak bangsa, beberapa hal yang telah saya sebutkan tadi adalah sebahagian kecilnya.

Senin, 06 Juni 2022

Melawan “Garis Nasib”






Oleh : Krismanto Atamou


Tulisan ini adalah sebuah resensi buku karya Paulo Coelho berjudul Gunung Kelima. Buku novel ini bagian dari karya-karya besar pengarang Paulo Coelho yang mengulas sisi terdalam manusia: motivasi, kerinduan, hasrat, cinta, keputusasaan, dan sisi-sisi dilematis lainnya.

Setiap kali membaca karya Paulo Coelho, “zona nyaman” pembaca akan tergelitik. Pembaca akan terbawa untuk mempertanyakan banyak hal yang selama ini biasa, aman, dan mesti. Hal-hal yang mungkin luput dari permenungan kita. Begitulah yang saya pelajari dari karya-karya Paulo Coelho.

Pengarang Dee Lestari pada webinar di channel YouTube KBM App Official berujar bahwa setiap kali dia membaca buku fiksi, dia belajar. Dia tidak membaca buku fiksi untuk sekedar refresh otak atau menghibur diri. Begitulah ketika saya membaca “Gunung Kelima” ada banyak pelajaran yang saya temukan. Salah satunya ialah melawan “garis nasib”.

***

Berlatar waktu sekira tahun 870 Sebelum Masehi, Paulo Coelho mengisahkan kehidupan nabi Elia asal Israel yang monoteis. Sebagai seorang nabi, Elia menghadapi tantangan dari ratu Izebel (istri raja Ahab) yang percaya kepada baal. Raja ahab adalah raja Israel kala itu. Jadi ada pertentangan agama atau keyakinan antara pemeluk baal dan pemeluk Tuhan.

Sebagai ratu, Izebel memanfaatkan kekuasaannya agar kaum Israel juga menyembah baal. Ia berhasil mempengaruhi suaminya lalu membantai semua nabi Tuhan. Elia luput, diburu, lalu melarikan diri ke tepi sungai Kerit, lalu ke Fenisia.

Kisah Elia di Fenisia mengisi sebagian besar halaman buku ini. Mulai dari pertemuannya dengan seorang janda satu anak yang memberinya makanan dan tumpangan, pertemuannya dengan para penguasa kota Fenisia, menghadapi penyerangan bangsa Asyur, lalu upaya Elia membangun kembali kota Fenisia.

Bumbu fiksi yang Paulo Coelho tambahkan dalam buku ini saya rasa merupakan upaya memperkaya perspektif pembaca terhadap kisah Elia. Apalagi upaya Paulo Coelho mengaitkan kisah Elia dengan perkembangan literasi menulis dan tata kota masa itu. Sungguh menarik.

Di halaman awal novel Gunung Kelima ini, ada catatan awal. Di situ penulis menjabarkan pengalaman penulis yang gagal dalam kariernya sebagai eksekutif perusahaan rekaman. Kegagalan ini kemudian membawanya kembali ke cita-cita sebenarnya: menjadi penulis penuh waktu. Sebuah keputusan berani di tengah anggapan: orang Brazil tidak hidup dari mengarang (menulis fiksi).

Saya yakin karya (buku) ini tidak semata lahir dari refleksi kehidupan Paulo Coelho—sebagaimana disebutkan di catatan awal, tetapi juga dari riset yang mendalam. Hal ini terlihat dari bagaimana Paulo Coelho mendeskripsikan sejarah tulisan dan deskripsi kota Fenisia.

Gaya bercerita Paulo Coelho yang begitu detail mendeskripsikan perspektif seorang tokoh menjadikan buku ini menarik untuk dibaca. Ketika menggambarkan kepribadian Elia yang terpuruk di tepi sungai kerit, misalnya, Paulo Coelho bahkan mempersonifikasikan burung gagak agar berbicara selayaknya nurani Elia. Unik. Bagian-bagian dimana terjadi perubahan sikap Elia, Paulo Coelho membuat transisinya dengan apik dan logis.

***

Melawan “garis nasib” sebagaimana yang digambarkan Paulo Coelho dalam buku ini saya kira perlu menjadi bahan refleksi bagi siapapun. Paulo Coelho merelakan kenyamanan dan peluangnya sebagai eksekutif perusahaan rekaman lalu memilih menjadi pengarang. Elia merelakan kenyamanan dan kariernya sebagai tukang kayu lalu menjadi nabi Tuhan. Demikianlah, kadangkala dalam kehidupan ini, kita mesti melepaskan suatu kenyamanan demi target yang lebih besar.

Untuk melawan “garis nasib”, awalnya diperlukan keberanian dan ketaatan kepada tekad. Tidak mudah. Rasa nyaman Elia sebagai tukang kayu sukses tidak mudah ditinggalkan. Rasa nyaman Paulo Coelho sebagai eksekutif perusahaan rekaman juga tidak mudah ditinggalkan.

Pertanyaannya, mengapa perlu melawan “garis nasib”? Di bagian akhir novel ini, Paulo Coelho mengangkat kisah Yakub yang bergulat dengan Malaikat Tuhan dan menang. Yakub meminta berkat Tuhan dan akhirnya Tuhan memberinya nama Israel, cikal bakal nama bangsa yang besar saat ini.

Melalui buku ini, tampaknya Paulo Coelho menyampaikan pesan bahwa setiap orang perlu melawan “garis nasib” yang biasa-biasa saja. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan semua manusia dengan potensi yang luar biasa. Jika potensi tersebut diibaratkan sebagai raksasa, maka dalam diri setiap orang ada raksasa tidur yang perlu dibangkitkan. Ibarat kata lahan tidur yang perlu dikelola. Ibarat aset yang menganggur dan perlu dipekerjakan.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani pernah berujar perihal perbedaan pola pengelolaan aset oleh orang di negara-negara maju dan negara Indonesia. Katanya, kalau di negara maju, asetnya bekerja luar biasa keras daripada orangnya. Sedangkan di Indonesia, asetnya bekerja lebih sedikit (misalnya menanti capital gain properti) bahkan tidur, dan orangnya yang bekerja luar biasa keras.

Melalui buku Gunung Kelima, Paulo Coelho seakan bertanya kepada setiap pembacanya: Siapa kamu? Sebuah pertanyaan yang bukan sekedar formalitas untuk mendapatkan jawaban administratif, tetapi lebih dari itu, soal kepribadian. Apakah kita orang yang membiarkan raksasa dalam diri kita tidur, membiarkan lahan tidur, membiarkan aset kita tidur, membiarkan kepribadian kita biasa-biasa saja, atau sebaliknya? Ini sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri.