Jumat, 10 Juni 2022

Guru Serba Bisa

Oleh: Krismanto Atamou

 



Pada beberapa hal, guru dituntut untuk serba bisa dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Semisal, guru mesti bisa mengajar rangkap untuk bidang pelajaran tertentu. Salah satu penyebab ialah adanya perbedaan kurikulum di Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan kurikulum di sekolah jenjang tertentu. Semisal guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di jenjang SMP, pada beberapa LPTK tidak memiliki program studi (Prodi) IPA, yang ada ialah program studi pendidikan kimia, pendidikan fisika, dan pendidikan biologi.

Setelah kuliah dari LPTK, tenaga pendidik lulusan Prodi pendidikan fisika misalnya, mesti bisa mengajar materi biologi dan kimia pada mata pelajaran IPA. Demikian pula bagi lulusan pendidikan biologi dan pendidikan kimia.

Untuk bisa mengajarkan tiga disiplin ilmu bidang IPA ini, sang guru mesti belajar lagi konsep ilmu yang belum dikuasainya. Langkah ini diperlukan untuk menghindari bias dalam konsep ilmu IPA. Salah konsep, ibarat salah peta jalan dan bisa menyesatkan.

Tidak hanya mata pelajaran IPA, tetapi juga mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di perguruan tinggi program studinya spesifik. Semisal Prodi pendidikan sejarah, pendidikan geografi, dan pendidikan ekonomi. Namun di jenjang SMP, ketiga bidang ilmu itu bergabung dalam mata pelajaran IPS. Konon nantinya IPA dan IPS digabung. Entah apa jadinya nasib guru pengampu mata pelajaran IPA dan IPS.

Di era perkembangan teknologi digital sekarang, guru juga dituntut untuk bisa mengoperasikan komputer dan berbagai teknologi digital lainnya. Ada cerita dimana seorang guru honorer tua saat tes penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun lalu, belum sempat selesai mengerjakan soal tes komputer hingga waktu pengerjaan soal berakhir. Pasalnya sang guru honorer tua masih belum menguasai cara mengarahkan mouse komputer.

Guru juga mesti tahu dan bisa menjadi seorang akuntan. Pasalnya di sekolah tidak ada tenaga khusus akuntan untuk mengurus administrasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Guru dengan latar belakang ilmu pendidikan apapun “dipaksa” untuk bisa mengadministrasikan keuangan dana BOS. Bahkan ada seorang rekan guru agama yang sedikit “alergi” dengan angka-angka namun terpaksa menjadi bendahara dana BOS. Saya rasa, sebagai guru agama, iman dan kesabaran sang rekan tersebut turut membantunya melalui tantangan akuntansi dalam pengelolaan dana BOS.

Jika guru bersedia menjadi kepala sekolah (Kepsek), paling tidak guru mesti bisa ilmu manajemen, ilmu hukum, paham cara melobi dan bernegosiasi. Ilmu manajemen penting dalam menjalankan tugas sebagai seorang Kepsek. Pasalnya, Kepsek memimpin banyak orang dan mesti bekerjasama dengan banyak pihak.

Dalam bekerja dengan melibatkan banyak orang, Kepsek mesti tahu aturan main alias hukum yang mengatur. Terutama dalam institusi pendidikan, Kepsek mesti tahu peraturan-peraturan terbaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar eksekusi kebijakan di tingkat sekolah tidak mengangkangi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kepsek (juga guru) mesti bisa melobi dan bernegosiasi. Apalagi dengan perubahan kurikulum terbaru yang mana antara sekolah dan dunia industri akan “didekatkan” alias disinkronkan. Sekolah mesti berjejaring dengan dunia industri. Nah, bagaimana jejaring itu bisa dibangun jika tanpa adanya lobi dan negosiasi? Di titik inilah kemampuan berkomunikasi memegang peranan penting demi menghindari miskomunikasi yang berujung terjadinya hal-hal negatif.

Jika kemampuan berkomunikasi guru baik, saya kira tidak akan terjadi kasus yang viral saat ini. Guru dan Kepsek SD Negeri Oelbeba, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang terlibat kasus kekerasan fisik. Berita Victory News pada Senin, 6 Juni 2022 menyebutkan bahwa kasus tersebut bermula saat rapat di sekolah. Rapat yang seharusnya membangun komunikasi untuk “rapat” sayangnya berujung “tidak rapat”. Ironis.

Dan lebih ironis lagi, pelaku pemukulan ialah seorang kepala sekolah, pada jam dinas, dan berpakaian dinas berlencana abdi Negara. Terlepas dari (mungkin) seberapa besar kesalahan seorang guru yang perlu diberi teguran, seorang kepala sekolah dituntut juga untuk bisa memanajemen emosinya. Dengan begitu, Kepsek tidak mudah terpancing lalu antara otot dan otak (O2) menjadi tidak seimbang. Otot lebih dahulu bekerja (semisal memukul) lalu otak berpikir untuk menyesal, tapi semuanya sudah terlambat.

Kejadian di SD Negeri Oelbeba ini mestinya menjadi pembelajaran bagi banyak pihak terkait. Mesti ada evaluasi dan kontrol agar kejadian buruk ini tidak terulang lagi. Bagi para guru dan Kepsek lain untuk lebih berhati-hati dan bisa membangun hubungan dan komunikasi yang baik di lingkungan sekolah.

Guru perlu juga memiliki pemikiran yang terbuka dan tidak anti kritik. Pasalnya, guru itu digugu dan ditiru. Agar bisa digugu dan ditiru, mau tak mau guru mesti belajar, berpikir, dan bertindak layaknya orang yang digugu dan ditiru. Masih banyak ke-bisa-an lain yang perlu dikuasai guru demi mencerdaskan anak bangsa, beberapa hal yang telah saya sebutkan tadi adalah sebahagian kecilnya.

Tidak ada komentar: