Jumat, 24 Juni 2022

Asa Wirausahawan Baru


Oleh: Krismanto Atamou



 

Hidup ini tidak sehitam-putih yang diajarkan di kelas, tidak sehitam-putih kebenaran dan kesalahan, ada banyak variasi lain yang bisa kita argumentasikan dengan baik untuk memperoleh jawaban yang memuaskan. Begitu kata Martin Suryajaya di channel youtube-nya dengan konten “Belajar Berpikir Kritis”.

Sengaja saya mengutip perkataan Martin ini sebagai landasan untuk mengulas masalah langgam apresiasi dan hambatan hak istimewa sosial (privilege) terhadap wirausahawan baru. Sebab menjadi rahasia umum bahwa merintis usaha sebagai wirasusahawan baru tidaklah mudah. Apalagi di kultur masyarakat yang anggotanya belum terbiasa berwirausaha, ketika salah satu anggota masyarakat berwirausaha, terkadang membuat anggota masyarakat lainnya merasa aneh, iri, merasa tersaingi, bahkan “tidak nyaman”.

Untuk itu, seolah ada upaya tiga kali lipat lebih sulit bagi setiap anggota masyarakat tanpa kultur wirausaha untuk berwirausaha. Pertama, mematahkan stigma untuk tidak bisa berwirausaha berdasarkan hak istimewa sosial (privilege). Kedua, menghadapi “ketidaknyamanan” anggota masyarakat lain yang mungkin saja berujung “pengungkungan” dengan berbagai cara, bahkan cara “gelap”. Ketiga, masalah umum yaitu modal, lokasi, infrastruktur, mitra kerja, manajemen, dan legalitas.

Begitulah beberapa hari lalu El, seorang wirausahawan muda di Kalabahi, Alor mendapat “kunjungan” dari pemerintah setempat terkait usaha kuliner yang baru ia rintis. Pemerintah setempat secara lisan menyampaikan keluhan warga yang merasa “tidak nyaman” dengan asap yang dihasilkan saat mengolah kuliner.

El memvideokan di facebook secara live “kunjungan” oknum pemerintah tersebut. Sontak postingan video itu memantik simpati publik yang membagikan dan berkomentar untuk mendukung El. Tentu peristiwa di video yang viral ini tidak bisa dibaca secara hitam putih karena keterangan di video masih minim data.

 

Mematah “Kutukan” Privilege

Berbicara asa wirausahawan baru, kali ini saya ingin mengulas tentang jegalan privilege dalam berwirausaha. Mengapa? Karena masih ada anggapan bahwa dengan privilege yang baik mutlak menjadi modal dalam berwirausaha.

Ibarat anak tangga, privilege adalah di tangga ke berapa kita berdiri untuk mencapai kesuksesan. Walau privilege bisa menjadi salah satu modal untuk sukses, saya rasa privilege bukanlah jaminan utama kesuksesan. Pasalnya, privilege dapat menjadi bumerang jika disalahgunakan.

Oleh karena itu, saya kira terbuka peluang bagi siapa pun untuk mematahkan “kutukan” privilege dan menanjak di tangga sosial. Apalagi setelah pemerintah pusat memberikan ruang bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bertumbuh lewat payung regulasi dan bantuan lainnya.

Untuk mematahkan “kutukan” privilege tentu tidak cukup sekedar mengeluh atau berwacana. Diperlukan keberanian untuk memulai atau mencoba. Ketika gagal, coba lagi dan lagi. Sebuah pepatah perihal berwirausaha mengatakan: setiap orang perlu menghabiskan stok kegagalannya sebelum meraih kesuksesan.

Begitulah ketika kita melihat kegemilangan seorang wirausahawan, itu tidak terlepas dari pengalaman gagal. Sebab kejayaan wirausahawan saat ini adalah hasil dari jalan sunyi, hari-hari penuh tekanan, ketekunan, dan keuletan. Saya kira tekanan demi tekanan inilah yang sedang dialami El kali ini. Dalam postingan yang lain, El menyampaikan kehilangan perahu untuk usaha rumput laut.

Dalam video yang viral itu beberapa kali El mengatakan: ini semata-mata karena ekonomi. Tidak ada maksud lain. Mengingat bahwa Alor adalah negeri dengan toleransi tinggi dan usaha kuliner El tidak bisa dikonsumsi oleh agama dan kepercayaan tertentu, El perlu mengambil posisi yang tepat.

Syukurlah masalah El akhirnya tertangani dengan baik oleh pemerintah dan aparat penegak hukum setempat. Video yang viral akhirnya dihapus demi menjaga suasana yang harmonis.

Belajar dari El saya kira wirausahawan baru tidak perlu takut untuk melangkah. Apapun privilege kita dan sesulit apapun tantangan,yang akan kita hadapi, pasti ada jalan keluarnya. Novelis Paulo Coelho memiliki sebuah ungkapan terkenal: Bila anda menginginkan sesuatu, alam semesta berkonspirasi untuk membantu anda mencapainya.

 

Berdayakan Medsos

Bahasa Paulo Coelho yaitu alam semesta berkonspirasi, kata “alam” bisa diartikan pula alam media sosial (medsos). Dan bukan hal baru lagi medsos dapat diberdayakan untuk mendukung wirausaha. Dukungan itu tidak semata dalam hal promosi, tetapi juga dalam hal berbagi ilmu atau kiat berwirausaha.

Di sisi lain, medsos bisa juga dipakai untuk mendokumentasikan bukti dugaan ketidakadilan yang mungkin saja dilakukan oleh oknum-oknum tertentu terhadap para wirausahawan. Dengan begitu, aparat penegak hukum mudah untuk memberikan perlindungan, mengidentifikasi, dan mengusut kasus bila sampai terjadi.

***

Kembali ke bahasa Martin Suryajaya di awal: hidup ini tidak sehitam-putih yang diajarkan di kelas. Begitu pula dalam berwirausaha, selain ilmu dari sekolah, ada banyak “ilmu jalanan” yang hanya bisa diperoleh ketika kita terjun langsung menjadi pelaku wirausaha. Berbekal ilmu dan dukungan semesta (termasuk medsos yang diberdayakan), saya yakin siapa pun yang sedang menapaki dunia wirausaha bisa mencapai kesuksesan, asal tidak mudah menyerah.

 

Tidak ada komentar: