Senin, 06 Juni 2022

Melawan “Garis Nasib”






Oleh : Krismanto Atamou


Tulisan ini adalah sebuah resensi buku karya Paulo Coelho berjudul Gunung Kelima. Buku novel ini bagian dari karya-karya besar pengarang Paulo Coelho yang mengulas sisi terdalam manusia: motivasi, kerinduan, hasrat, cinta, keputusasaan, dan sisi-sisi dilematis lainnya.

Setiap kali membaca karya Paulo Coelho, “zona nyaman” pembaca akan tergelitik. Pembaca akan terbawa untuk mempertanyakan banyak hal yang selama ini biasa, aman, dan mesti. Hal-hal yang mungkin luput dari permenungan kita. Begitulah yang saya pelajari dari karya-karya Paulo Coelho.

Pengarang Dee Lestari pada webinar di channel YouTube KBM App Official berujar bahwa setiap kali dia membaca buku fiksi, dia belajar. Dia tidak membaca buku fiksi untuk sekedar refresh otak atau menghibur diri. Begitulah ketika saya membaca “Gunung Kelima” ada banyak pelajaran yang saya temukan. Salah satunya ialah melawan “garis nasib”.

***

Berlatar waktu sekira tahun 870 Sebelum Masehi, Paulo Coelho mengisahkan kehidupan nabi Elia asal Israel yang monoteis. Sebagai seorang nabi, Elia menghadapi tantangan dari ratu Izebel (istri raja Ahab) yang percaya kepada baal. Raja ahab adalah raja Israel kala itu. Jadi ada pertentangan agama atau keyakinan antara pemeluk baal dan pemeluk Tuhan.

Sebagai ratu, Izebel memanfaatkan kekuasaannya agar kaum Israel juga menyembah baal. Ia berhasil mempengaruhi suaminya lalu membantai semua nabi Tuhan. Elia luput, diburu, lalu melarikan diri ke tepi sungai Kerit, lalu ke Fenisia.

Kisah Elia di Fenisia mengisi sebagian besar halaman buku ini. Mulai dari pertemuannya dengan seorang janda satu anak yang memberinya makanan dan tumpangan, pertemuannya dengan para penguasa kota Fenisia, menghadapi penyerangan bangsa Asyur, lalu upaya Elia membangun kembali kota Fenisia.

Bumbu fiksi yang Paulo Coelho tambahkan dalam buku ini saya rasa merupakan upaya memperkaya perspektif pembaca terhadap kisah Elia. Apalagi upaya Paulo Coelho mengaitkan kisah Elia dengan perkembangan literasi menulis dan tata kota masa itu. Sungguh menarik.

Di halaman awal novel Gunung Kelima ini, ada catatan awal. Di situ penulis menjabarkan pengalaman penulis yang gagal dalam kariernya sebagai eksekutif perusahaan rekaman. Kegagalan ini kemudian membawanya kembali ke cita-cita sebenarnya: menjadi penulis penuh waktu. Sebuah keputusan berani di tengah anggapan: orang Brazil tidak hidup dari mengarang (menulis fiksi).

Saya yakin karya (buku) ini tidak semata lahir dari refleksi kehidupan Paulo Coelho—sebagaimana disebutkan di catatan awal, tetapi juga dari riset yang mendalam. Hal ini terlihat dari bagaimana Paulo Coelho mendeskripsikan sejarah tulisan dan deskripsi kota Fenisia.

Gaya bercerita Paulo Coelho yang begitu detail mendeskripsikan perspektif seorang tokoh menjadikan buku ini menarik untuk dibaca. Ketika menggambarkan kepribadian Elia yang terpuruk di tepi sungai kerit, misalnya, Paulo Coelho bahkan mempersonifikasikan burung gagak agar berbicara selayaknya nurani Elia. Unik. Bagian-bagian dimana terjadi perubahan sikap Elia, Paulo Coelho membuat transisinya dengan apik dan logis.

***

Melawan “garis nasib” sebagaimana yang digambarkan Paulo Coelho dalam buku ini saya kira perlu menjadi bahan refleksi bagi siapapun. Paulo Coelho merelakan kenyamanan dan peluangnya sebagai eksekutif perusahaan rekaman lalu memilih menjadi pengarang. Elia merelakan kenyamanan dan kariernya sebagai tukang kayu lalu menjadi nabi Tuhan. Demikianlah, kadangkala dalam kehidupan ini, kita mesti melepaskan suatu kenyamanan demi target yang lebih besar.

Untuk melawan “garis nasib”, awalnya diperlukan keberanian dan ketaatan kepada tekad. Tidak mudah. Rasa nyaman Elia sebagai tukang kayu sukses tidak mudah ditinggalkan. Rasa nyaman Paulo Coelho sebagai eksekutif perusahaan rekaman juga tidak mudah ditinggalkan.

Pertanyaannya, mengapa perlu melawan “garis nasib”? Di bagian akhir novel ini, Paulo Coelho mengangkat kisah Yakub yang bergulat dengan Malaikat Tuhan dan menang. Yakub meminta berkat Tuhan dan akhirnya Tuhan memberinya nama Israel, cikal bakal nama bangsa yang besar saat ini.

Melalui buku ini, tampaknya Paulo Coelho menyampaikan pesan bahwa setiap orang perlu melawan “garis nasib” yang biasa-biasa saja. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan semua manusia dengan potensi yang luar biasa. Jika potensi tersebut diibaratkan sebagai raksasa, maka dalam diri setiap orang ada raksasa tidur yang perlu dibangkitkan. Ibarat kata lahan tidur yang perlu dikelola. Ibarat aset yang menganggur dan perlu dipekerjakan.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani pernah berujar perihal perbedaan pola pengelolaan aset oleh orang di negara-negara maju dan negara Indonesia. Katanya, kalau di negara maju, asetnya bekerja luar biasa keras daripada orangnya. Sedangkan di Indonesia, asetnya bekerja lebih sedikit (misalnya menanti capital gain properti) bahkan tidur, dan orangnya yang bekerja luar biasa keras.

Melalui buku Gunung Kelima, Paulo Coelho seakan bertanya kepada setiap pembacanya: Siapa kamu? Sebuah pertanyaan yang bukan sekedar formalitas untuk mendapatkan jawaban administratif, tetapi lebih dari itu, soal kepribadian. Apakah kita orang yang membiarkan raksasa dalam diri kita tidur, membiarkan lahan tidur, membiarkan aset kita tidur, membiarkan kepribadian kita biasa-biasa saja, atau sebaliknya? Ini sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri.

Tidak ada komentar: