Senin, 13 Juni 2022

Jalan Meretas Keterisolasian


Oleh : Krismanto Atamou




 

Dulu, sewaktu saya masih bertugas di Desa Oelbanu, Kecamatan Amfoang Selatan, jalanan dari dan ke sana sangat parah. Itu terutama jalan yang memasuki wilayah Kecamatan Amfoang Selatan dan sekitarnya. Sulit.

Kala itu jalan poros utama Kecamatan Takari menuju Amfoang masih lebih baik. Oleh karena itu, sebagian pesepeda motor merasa bahwa: jika dari Amfoang sudah sampai wilayah Takari, itu terasa seperti sudah berada di Kota Kupang, karena jalanannya sudah lumayan baik.

Kendaraan umum yang memasuki wilayah Amfoang kala itu masih didominasi oleh bus. Kendaraan pick up sepengetahuan saya tidak ada. Mungkin karena pick up memiliki ground clearance yang tipis sehingga sulit bermanuver di medan jalan yang rusak parah.

Ground clearance adalah jarak ruang di antara dasar dari ban kendaraan dengan bagian bawah chassis. Dalam bahasa Melayu Kupang ground clearance mungkin bisa disepadankan dengan kolong oto, yaitu ruang kosong di antara permukaan jalan dan bodi bawah oto. Nah, kalau kolong oto pendek, saat melewati jalan rusak, akan mudah tatoki alias terbentur. Salah-salah oto (kendaraan roda empat) bisa rusak.

Bahkan untuk sekelas bus saja, untuk kawasan Amfoang, hanya sopir itu-itu saja yang berani mengemudikan bus penumpang. Butuh nyali besar untuk bertanggung jawab terhadap nyawa sekian penumpang dalam bus sambil berupaya menaklukkan jalanan yang parah.

Kondektur atau konjak bus jurusan Amfoang memiliki tanggung jawab cukup besar. Tidak hanya berteriak mencari penumpang, menaikkan barang penumpang ke bus, menata penumpang dalam bus, menjaga barang penumpang agar tidak hilang atau tertukar, menagih biaya perjalanan kepada penumpang, menjadi asisten mekanik saat bus rusak, tetapi juga membantu supir mengeluarkan roda bus jika roda tersebut masuk (tatanam) dalam lumpur. Saat bus sedang mendaki, konjak mesti memikul ganjaran sambil berlari di sisi bus. Takutnya bus tiba-tiba kehilangan daya, lalu mesin mati, maka konjak harus segera mengganjar ban bus dengan ganjaran yang dipikulnya agar bus tidak mundur dan terbalik.

 Kalau musim hujan, keterisolasian kawasan Amfoang sungguh memilukan, terutama Amfoang bagian pantai. Ada cerita mereka (penumpang bus, sopir, dan konjak) harus tidur berhari-hari di pinggir sungai. Mereka menunggu banjir reda sebelum menyeberang dengan bus yang ditumpangi.

Dari semua jalanan pelosok yang saya tempuh dengan sepeda motor, ada jalan yang paling unik, yaitu jalan dari pusat Kecamatan Amfoang Barat Daya ke Desa Nefoneut melewati bantaran kali. Uniknya ialah jika jalanan terputus oleh banjir atau pohon tumbang, pelintas boleh membuat jalan sendiri. Terkadang jalan yang baru dirintis itu melewati kebun-kebun orang dan harus membongkar pagar kebun orang. Jadi pelintas bebas membuat jalan sendiri di hutan dan kebun sepanjang bantaran kali.

Ada juga titik jalan raya yang memiliki pintu gerbang dan sistemnya buka-tutup sendiri. Gerbang biasanya terbuat dari kayu dan bambu. Gerbang ini biasanya berfungsi sebagai pagar kompleks kebun atau perkampungan. Jika gerbang dibukakan oleh warga sekitar maka mesti mengucapkan terima kasih atau memberi imbalan sepantasnya.

Jalan sulit di daerah terpencil biasanya menjadi ajang untuk menyalurkan sifat gotong royong. Jika melihat suatu kendaraan sulit melintas, kecelakaan, atau rusak di jalan, biasanya selalu saja ada malaikat berwujud orang yang datang dan menolong. Pertolongan itu tulus dan gratis.

Saya kira selain Amfoang, masih banyak daerah terpencil dan terisolir lain dengan cerita sulit yang sama. Cerita yang sudah membiasa sehingga terkadang bagi warga terpencil, kondisi sulit ini menjadi hal biasa, bukan untuk dikeluhkan.

 

Sinergi

“Indonesia telah merdeka puluhan tahun, tapi kami di sini belum ‘merdeka’?” Begitu biasanya keluhan orang-orang tertentu karena ketimpangan pembangunan. Saya kira wajar sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, warganya meminta pelayanan dari negara. Namun sebagai warga negara, sadar atau tidak, keputusan politik setiap warga negara saat pemilihan umum (Pemilu), turut menentukan siapa yang mewakilinya sebagai legislator, kepala pemerintahan, atau kepala daerah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhannya.

Pada titik ini maka (salah satunya juga) pemilu menjadi momentum pertaruhan pembangunan infrastruktur jalan. Jalan yang baik dan berkualitas akan meretas keterisolasian dan segala cerita miris yang telah saya jabarkan dari awal tulisan ini.

Begitulah saya rasa sebagai masyarakat kita perlu bersyukur karena pada pemilu kali lalu kita telah memilih orang atau pemimpin yang tepat. Kehadiran mereka telah menjawab permasalahan akses jalan di negara kita, termasuk di seluruh penjuru provinsi NTT.

Walk the talk atau melaksanakan apa yang dikatakan adalah salah satu ciri pemimpin yang baik. Dan saya kira, ciri ini ada pada Presiden Jokowi, Gubernur NTT, dan beberapa pemimpin lainnya. Kala kampanye beberapa tahun lalu, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat menyatakan niatnya untuk melaksanakan pembangunan jalan raya di NTT. Ternyata niat ini benar-benar beliau laksanakan. Contohnya yaitu pembangunan infrastruktur jalan ke Amfoang, beberapa wilayah di Pulau Flores, beberapa wilayah di kabupaten Alor, dan wilayah lain dengan anggaran yang tidak sedikit.

Sebagai masyarakat, saya rasa perlu berterima kasih dan memanfaatkan fasilitas jalan ini untuk pembangunan di sektor lainnya. Betapa tidak, komoditas hasil bumi yang selama ini dijual murah di pelosok, bahkan tidak terjual karena akses ke pasar yang sulit, kini saya yakin nilai jualnya akan membaik.

Ibarat kata, pemerintah telah “mengayuh pedal sepeda kanan” lewat pembangunan infrastruktur jalan ke pelosok, masyarakat pun mesti “mengayuh pedal sepeda kiri” lewat (semisal) upaya meningkatkan produksi komoditas. Pemerintah dan masyarakat adalah satu kesatuan dalam mengayuh roda pembangunan. Dengan begitu roda pembangunan di daerah dapat terus berjalan lewat sinergi antara pemerintah dan masyarakat.

Tidak ada komentar: