Sabtu, 29 Mei 2021

Korupsi Mengepung Dana Desa

Oleh : Krismanto Atamou

Alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Guru 2019 oleh ICW

 

Kasus korupsi dana desa mulai marak terjadi akhir-akhir ini di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di halaman empat perihal HUKRIM harian Victory News (VN) beberapa minggu belakangan ini nyaris tak pernah luput dari berita tentang korupsi dana desa.

Dana desa ternyata rawan dikorupsi. Padahal regulasi telah jelas mengatur tatakelola dana desa. Dalam Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 29f jelas melarang kepala desa untuk melakukan, kolusi, korupsi, nepotisme, dan menerima gratifikasi.

Pemerintah telah berupaya menutup celah korupsi dengan mengeluarkan regulasi yang begitu ketat, namun dalam realita di desa-desa, lagi dan lagi korupsi dana desa masih terjadi. Upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh beberapa lembaga penegak hukum sepertinya tak digubris pelaku korupsi. Pelaku korupsi seolah buta terhadap dampak negatif yang timbul dari laku korupsi, termasuk dampak hukum bagi dirinya sendiri.

 

Dampak Ikutan

Selain dampak hukum bagi pelaku atau merugikan uang negara, ada banyak dampak ikutan lain sebagai akibat tindakan korupsi dana desa. Saya membagi dampak ikutan tersebut ke dalam dua kategori. Pertama, dampak jangka pendek yang langsung terasa. Misalnya di proyek fisik pembangunan infrastruktur publik. Sebagai penerima manfaat, publik akan langsung merasakan bagaimana jalan yang baru dibangun tidak sesuai volume semestinya atau kualitas bangunan yang dibawah standar. Begitu masa pemeliharaan proyek pembangunan berakhir, berakhir pula umur bangunan. Terkena dampak bencana kecil saja, bangunan infrastruktur tersebut cepat rusak. Korupsi dana desa juga menyebabkan beberapa layanan publik terbengkalai. Semisal dana untuk penanggulangan kemiskinan, jika dikorupsi maka sampai kapan pun angka kemiskinan tidak akan pernah menurun dari data sensus penduduk provinsi NTT.

Kedua, dampak jangka panjang yang tidak langsung terasa. Misalnya, kemiskinan yang terus terjadi akan menyebabkan angka kriminalitas meningkat. Sebuah cerpen berjudul “Akhirnya Kita Semua Menjadi Maling” karya Zaidinoor yang terbit di harian Kompas 14/02/2021 lalu menceritakan bagaimana seorang tokoh berperilaku baik akhirnya putus asa dengan kemiskinannya lalu menjadi maling bersama sahabat masa kecilnya. Meski kisah ini fiksi, tak pelak dalam kehidupan nyata, itulah yang terjadi. Semua orang, bisa menjadi maling (baca: koruptor), mulai dari oknum pejabat tinggi negara, perangkat desa, hingga rakyat jelata. Tak peduli latar belakang atau status sosial seseorang, semua orang rentan menjadi maling, meski mungkin hanya maling waktu beberapa menit untuk tidak melakukan kewajiban tertentu.

 

Motif

Motif korupsi pun nyaris itu-itu lagi. Semisal karena terdesak (biaya politik atau setoran ke “bos”), karena pertimbangan rasional (sanksi yang diterima karena korupsi lebih ringan dibanding keuntungan korupsi), karena pragmatisme untuk menjadi kaya dengan mudah, karena pada dasarnya serakah, atau alasan pembenaran lainnya.

Ada juga pelaku yang nekat melakukan korupsi dana desa karena melihat bahwa banyak kasus korupsi jarang dilaporkan atau terdeteksi aparat penegak hukum. Atau, kalau pelaku sampai tertangkap, kelak bisa lolos dari jerat hukum dengan cara tertentu, semisal menggunakan dukun, lobi di belakang meja atau mengorupsi upaya penegakan hukum. Hal ini senada dengan yang disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PAKU) Undana, Bill Nope pada 4/5/2021 lalu dalam diskusi bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Jusrnalis Indonesia (AJI), lihat VN edisi 5/5/2021. Pada kesempatan itu Bill Nope menyampaikan: “Berbagai kasus korupsi di NTT melibatkan kalangan ASN, aparat desa, serta kontraktor/ swasta, namun masih banyak kasus korupsi yang tidak terungkap bahkan menghilang karena aparat penegak hukum tidak serius menanganinya.”

Selian itu, sebagian pelaku korupsi dana desa merasa aman karena mungkin berpikir bahwa ia memiliki “jaringan besar” atau “orang kuat” yang akan melindunginya kelak. Hal-hal inilah yang menyebabkan data kasus korupsi saya rasa mirip fenomena gunung es. Kasus korupsi yang dilaporkan, diberitakan di media, dan diusut tuntas hanya sebagian kecil dibanding yang tertutup rapat atau sekedar menjadi rahasia umum oleh karena kepentingan tertentu.

 

Digitalisasi

Digitalisasi dapat menjadi salah satu solusi mencegah korupsi dana desa. Dengan digitalisasi dana desa, maka mulai dari perencanaan, pencairan, penggunaan, hingga pertanggungjawaban dan pelaporan mudah dipantau masyarakat, pemerintah pusat, dan pihak terkait lainnya. Dengan demikian ada transparansi melalui jejak digital penggunaan anggaran dana desa. Ini sesuai dengan amanat UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

April 2021 lalu Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmingrasi (Kemendesa, PDTT) Abdul H. Iskandar menyampaikan bahwa pihaknya sedang melakukan pemutakhiran data desa dalam rangka digitalisasi pengelolaan dana desa (Bisnis.com). Jajaran Kemendesa, PDTT bahkan telah memulai digitalisasi dengan menghadirkan website kemendesa.go.id.

Ada banyak fitur di website  kemendesa.go.id, salah satunya ialah fitur pengaduan masyarakat desa yang disingkat menjadi SIPEMANDU DESA. Selain itu tersedia juga pengaduan via SMS ke nomor 087788990040/ 081288990040, call center ke nomor 1500040, dan beberapa media sosial. Untuk mengadu lewat form pengaduan di SIPEMANDU DESA, diperlukan identitas pelapor, obyek terlapor, dan file pendukung. Pelapor akan mendapat tiket pelaporan dan dapat memantau langsung kemajuan laporannya.

Digitalisasi dengan segala mesin digitalnya akan tetap berkata A jika memang A yang terjadi. Mesin digital akan tetap melakukan A jika memang A yang diperintahkan padanya. Oleh karena itu, saat moral/ nurani dan nalar bahkan keimanan manusia tak lagi menjadi penjaga untuk mencegah laku korupsi, mungkin di titik ini kita butuh mesin digital yang lebih jujur dan akuntabel, meski menyisakan pertanyaan: Tidak malukah manusia (dalam hal kejujuran dan amanah) terhadap mesin yang diciptakannya sendiri?