Kamis, 31 Agustus 2017

Menjadi Guru “Es i”


Oleh : Olyvianus Krismanto Atamou,S.Pd

Minggu 1 Agustus 2010, adalah hari yang sangat berkesan buat saya. Setelah ditentukan lulus menjadi CPNSD Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur di tahun yang sama, euforia kegembiraan itu dilanjutkan dengan tantangan baru. Saya ditempatkan untuk mengabdi di daerah terpencil. Merintis sekolah negeri baru sebagai CPNSD defenitif pertama di sekolah tersebut. Penempatan saya di SMP Negeri 3 Amfoang Selatan sebenarnya menggantikan seorang CPNSD yang baru saja ditempatkan disitu. CPNSD tersebut sudah mensurvei lokasi sekolah namun pulang ke kota dan tidak pernah kembali lagi. Alasannya karena terlalu terpencil. Sekolah ini berada di pedalaman Pulau Timor, Propinsi NTT.

Mengabdi di daerah terpencil memang penuh suka, duka, pengorbanan dan tantangan yang harus dilalui. Membutuhkan pengorbanan moril dan materil yang tidak sedikit. Awalnya memang saya merasa berat untuk melaksanakan tugas sebagai seorang guru mata pelajaran IPA Terpadu di daerah terpencil yang penuh dengan keterbatasan baik itu dari segi sarana dan prasarana yang ada disekolah kami. Gedung sekolah darurat, beralaskan tanah, berdinding bambu dan beratapkan jerami.

Ketika merintis sekolah baru, selain bangunan ruang kelas, masyarakat desa Oelbanu juga membangun empat buah rumah guru darurat. Oleh Kepala Sekolah saya diberi 1 rumah guru. Walaupun rumah tersebut belum memiliki pintu, jendela, perobot termasuk tempat tidur, saya sangat senang diberikan tempat menginap langsung di kompleks sekolah. Setidaknya tidak perlu berjalan jauh jika hendak ke sekolah. Namun yang menjadi tantangan tersendiri ialah akses air minum dan MCK yang jauh, harus berjalan 1 Km.

Lokasi sekolah yang dihibahkan masyarakat merupakan lokasi baru di belakang pemukiman penduduk yang langsung berbatasan dengan hutan. Kesan angker dan tak jarang hewan liar seperti ular memasuki rumah guru. Belum lagi tidak adanya akses sinyal dan listrik membuat saya yang sudah terbiasa dengan kehidupan di kota harus rela dan tulus menyesuaikan diri, menerima keadaan apa adanya.





Dalam acara penyambutan saya di sekolah tersebut, seorang tokoh Agama sekaligus perintis sekolah memberikan kata sambutan yang tidak akan pernah saya lupakan. Beliau mengatakan bahwa di pedalaman pulau Timor, masyarakat tidak hanya membutuhkan sarjana dengan gelar S.Pd, S.Si, SH, S.Pt dan seterusnya. Tetapi yang lebih dibutuhkan dan diharapkan masyarakat pedalaman ialah seorang serjana dengan gelar “Si”. Si (es i) dalam bahasa Timor (Suku Dawan) berarti “disini”. Guru yang selalu hadir di sini, di lingkungan sekolah dan masyarakat. Guru yang setia pada panggilannya sebagai guru.

Masyarakat pedalaman Timor sangat mengharapkan kehadiran seorang sarjana atau guru yang bersedia memberi diri mengabdi bagi masyarakat di pedalaman. Bukan seorang yang cuma menjadikan pekerjaan guru sebagai cara mencari nafkah semata. Guru yang mau berbaur dengan masyarakat dan menjadi tokoh/ agen pendidikan bagi mereka. Sungguh suatu kerinduan masyarakat yang luar biasa, sesuai dengan prinsip “the right men on the right place”.

Setahun berlalu dan status sekolah kami dinaikkan dari filial SMP Negeri 1 Amfoang Selatan menjadi SMP Negeri 3 Amfoang Selatan. Gedung permanen yang diusulkan belum juga terealisasi. Sementara gedung darurat sudah mulai bertambah “darurat” keadaannya. Memasuki musim hujan, kami mengusulkan kepada orang tua peserta didik dan masyarakat untuk bergotong-royong memperbaiki atap. Usulan diterima namun susah untuk direalisasikan mengingat hampir 100% mata pencaharian orang tua peserta didik adalah petani, sehingga disaat yang sama mereka sibuk mempersiapkan lahan pertanian. Alhasil kami meminta peserta didik untuk membawa jerami agar menambal lubang atap yang sudah terlalu lebar karena lapuk dan ditiup angin.

Musim hujan pun tiba. Doa kami ialah sekiranya hasil tambalan atap tersebut bisa bertahan hingga musim hujan berlalu. Namun di dalam hati kami ada kekhawatiran dan kecemasan. Akhirnya yang dikhawatirkan terjadi pula. Guru dan murid harus berpindah atau bergeser beberapa kali di dalam kelas untuk menghindari tetesan air hujan yang menembus atap jerami. Untuk opsi berpindah ruangan adalah tidak mungkin, karena semua ruangan mengalami hal yang sama.

Saat itu saya berdiri dan menulis di papan tulis (blackboard) menggunakan kapur tulis. Tetes demi tetes membasahi baju dan tangan dan buku-buku saya di meja guru. Saya terus menulis, dengan harapan basah sedikit tak apalah jika dibanding dengan ilmu yang saya sampaikan lewat tulisan di papan tulis. Hujan semakin besar, saya mengarahkan peserta didik untuk bergeser mencari tempat yang kering sembari terus belajar. Setengah jam berlalu dan cuma tersisa satu meja peserta didik yang lolos tak terkena air hujan. Saya melihat bagaimana mereka terus bersemangat belajar, walau berdesakan. Hujan semakin deras, suara saya tak mampu menandingi riuhnya suara angin dan desau air hujan. Akhirnya kami harus menyerah dengan cuaca yang tak bersahabat.

Seorang peserta didik berujar, “Pak, semua meja sudah basah”. Hampir saja saya menangis mendengar itu. Saya tersentak, berapa lamakah kami harus mengalami hal ini? Saya melihat mereka berdiri memegang buku dan tas sambil menggigil kedinginan. Lokasi sekolah yang berada di pegunungan dan dinding gedung sekolah yang tak rapat membuat kabut dengan mudah masuk dan keluar ruangan kelas. Wajah mereka pucat, ada yang sedikit berpelukan dengan temannya sesama jenis. Saya menjawab, “Ok, kegiatan belajar mengajar kita hentikan sampai disini dan akan kita lanjutkan di pertemuan mendatang”.

Saya pun tak bisa beranjak dari kelas karena derasnya hujan. Kami berdiri di “titik aman” kami masing-masing dan mulai terbawa efek hipnotik bunyi air hujan. Sayapun mulai merenung, apakah penderitaan seperti ini harus dialami sekolah rintisan baru? Apakah masyarakat terlalu “bernafsu” membuka sekolah rintisan baru sampai melupakan daya dukung agar tidak terjadi seperti ini? Sebegitu panjang dan lamakah proses birokrasi sehingga sekolah ini belum juga mendapatkan bantuan gedung permanent? Salahkah kami guru dan peserta didik yang tidak bisa “sedia payung sebelum hujan”?

Diantara permenungan mencari “kambing hitam”, saya juga berupaya mencari “kambing putih”. Benarkah aspirasi dan usaha masyarakat untuk mendirikan SMP rintisan baru? Mengingat SMP terdekat sebelumnya berjarak belasan kilometer. Benarkah proses birokrasi pengadaan gedung sekolah? Mengingat standar pelayanan publik yang sudah ditetapkan peraturannya. Benarkan kami guru dan murid tidak bisa memprediksi dan memanajemen resiko? Mengingat kami sudah coba apa yang kami bisa, tapi kerja belum selesai (Sedikit mengutip puisi Karawang-Bekasi, karya Chairil Anwar).

Tambalan atap yang dikerjakan seadanya oleh peserta didik tentu tidak sebaik yang dikerjakan oleh orang tua mereka. Kami memberdayakan beberapa peserta didik yang mampu untuk menambal atap sekolah cukup beralasan, mengingat kondisi yang mendesak.

Daya dukung pembiayaan sekolah sangat terbatas untuk bisa membayar gaji pegawai, penjaga sekolah termasuk tata usaha. Tak jarang kami berutang ke kios untuk kebutuhan sekolah. Saya pernah menemani teman-teman guru honor pulang ke rumah orang tua mereka untuk mengambil bekal makanan. Maklum, gaji honor yang mereka terima tidak cukup untuk biaya hidup sebulan. Walau demikian mereka tetap menjadi guru “Es i”.

Guru merangkap penjaga sekolah, guru merangkap tata usaha. Saya dengan basic ilmu IPA diperbantukan mengajar Matematika karena guru matematika tidak ada. Saat dapodik pertama kali dirilis, saya merangkap tata usaha dan operator sekaligus. Maklum saat itu saya satu-satunya guru yang menguasai TIK di sekolah. Pagi sampai siang mengajar. Sore isterahat. Malam sampai pagi kerja dapodik. Namun karena leptop cuma satu dan listrik pun hanya ada di pusat kecamatan, maka pagi kami ke sekolah, sore ke kecamatan dengan jarak tempuh ± 17 Km. Mengingat aspek kesehatan saya, maka saya melatih teman tata usaha sampai dia bisa mengelola dokumen tata usaha dan bendahara.

Guru “Es i”, sama seperti kisah Asnat Bell dari Kab. Timur Tengah Selatan pada tahun 2013. Asnat menjadi perhatian Nasional karena dibayar Rp.50.000,- / bulan setelah mengajar 182 jam sebulan atau 7 jam sehari. Kisah-kisah “Asnat” seperti fenomena gunung es. Banyak terjadi di negeri ini namun tidak dilaporkan bahkan tidak terendus atau tersorot kamera para pewarta. Mungkin juga guru honor sudah bisa bertoleransi terhadap situasi sulit seperti itu. Sehingga kesulitan hidup (terlepas dari normal atau tidak, wajar atau tidak) sudah diterima sebagai keadaan yang biasa saja.

Tidak bermaksud menggambarkan betapa miskin atau susahnya keadaan di propinsi NTT. Tidak juga bermaksud untuk berpersepsi melodramatis tentang keadaan sekolah rintisan baru di NTT. Gambaran tadi cuma sebagai pembanding antara tantangan pengabdian di daerah terpencil dan semangat mengabdi yang diistilahkan sebagai guru “Es i”. Toh keadaan yang saya gambarkan tadi juga sudah terekspos lewat blog dan postingan adik-adik saya yang mengikuti program SM3T ke daerah NTT. Atau saat media massa lokal dan nasional menyorot kisah Asnat Bell pada tahun 2013. Tidak hanya NTT tapi beberapa daerah lain di Indonesia juga kemungkinan masih mangalami hal yang sama.

Walaupun gedung sekolah darurat, tapi otak guru, pegawai, peserta didik, orang tua dan seluruh stakeholder pendidikan tidak boleh darurat, demikian kata Bpk Ayub Titu Eki, Bupati Kupang. Mengikuti konsep sekolah alam, kegiatan belajar mengajar terkadang dilakukan di luar kelas. Pernah sekali, tidak ada kapur tulis. Saya mengajak peserta didik keluar mencari batu pelat yang dipakai sebagai buku dan batu kecil lain sebagai pensilnya. Kami juga memakai potongan kayu dan tanah sebagai media untuk menulis. Kami belajar berhitung sampai mereka paham.

Berkat kerja keras kepala sekolah Bpk B.B. Carvalo,S.Pd dan teman-teman guru/ pegawai, dibantu dukungan pemerintah dan masyarakat, saat ini sekolah kami sudah memiliki bangunan permanen yang cukup untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar bagi semua rombongan belajar. Walau belum memiliki Laboratorium IPA, paling tidak situasi kegiatan belajar mengajar sudah tidak sesengsara dulu.

Juni lalu, saya sempat bertemu dua orang peserta didik dari angkatan pertama sekolah kami. Ternyata mereka sudah berwirausaha sendiri. Suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi kami guru “Es i” yang pernah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada mereka.

Menjadi guru “Es i” di daerah terpencil kita akan mengalami pengalaman hidup yang sangat dekat dengan alam; Masyarakat yang yang sangat ramah dan masih mempunyai rasa sosial yang sangat tinggi; peserta didik yang belum terpengaruh dengan moderenisasi dan belum berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Untuk hal yang terakhir tadi, pernah suatu ketika saya mengajar tentang klasifikasi makhluk hidup. Salah satu yang saya sebutkan ialah lumut. Saya tanya ke peserta didik apakah mereka mengenal lumut, namun mereka menjawab bahwa tidak tahu. Saya ingin mengambil contoh lumut di sekitar sekolah namun tidak ada. Akhirnya saya mengarahkan mereka untuk mengingat kondisi musim hujan dimana lumut tumbuh subur di bebatuan dan berwarna hijau, jika terinjak maka licin. Serentak mereka berkata: “Ooo... naniteijz! (naniteijz adalah lumut dalam bahasa Dawan di Pulau Timor).

Kondisi peserta didik di pedalaman pulau Timor pada umumnya sama. Tidak terbiasa dengan budaya bertanya. Padahal malu bertanya sesat di jalan, termasuk jalan pikiran. Saya sering menggunakan metode tanya-jawab agar peserta didik dibiasakan bertanya. Dengan demikian ada umpan balik secara langsung sehingga guru mudah mengukur tingkat daya serap peserta didik sejak dini. Awalnya mereka hanya mampu bertanya di level C1 Taksonomi Bloom. Pertanyaan mereka berkisar apa, apa dan apa. Saya arahkan mereka untuk bertanya tingkat lanjut, yaitu pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya mengapa. Walau sudah dimulai dengan kata mengapa, namun kerancuan kosakata masih terjadi. Hal ini mungkin karena faktor belum terbiasa dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Mereka merupakan penutur aktif bahasa Ibu (Dawan). Ketika berbahasa Indonesia, tetap menggunakan standar kosakata bahasa Dawan. Muncullah dialek bahasa Indonesia versi Dawan. Bagi saya sebagai guru IPA, hal itu tidak menjadi masalah sebab saya lebih fokus pada kemampuan pemahaman konsep dan praktik IPA dibanding kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan. Melalui gerakan Literasi diharapkan peserta didik mulai terbiasa berbahasa Indonesia dan mudah menyampaikan pertanyaan di kemudian hari.

Walau kurang unggul di bidang akademis, namun dari sisi sikap dan keterampilan terutama yang berkaitan dengan kearifan lokal, peserta didik di pedalaman sangat unggul. Program kebun sekolah berhasil dijalankan. Mulai dari jati putih, pisang dan sayuran, semua sukses dilaksanakan. Menjaga kebersihan sekolah dan fasilitas umum di sekitar sekolah selalu dilaksanakan peserta didik dengan semangat dan sukacita.

Sebagai manusia biasa, saya juga masih punya kekurangan. Secara tidak langsung kekurangan tersebut sudah tersirat dalam uraian diatas. Misalnya saja kesibukan karena merangkap tugas operator dapodik, otomatis persiapan mengajar akan tidak optimal. Sehingga tidak heran jika pembelajaran tentang klasifikasi makhluk hidup, saya tidak sempat mencari dan membawa model lumut dari kolam atau tempat lainnya. Namun untuk solusinya, saya mengkaderkan beberapa teman agar bisa mengurangi beban kerja tambahan saya. Selanjutnya saya bisa fokus ke tugas pokok guru dan menjadi guru “es i” bagi peserta didik dan masyarakat.

Masyarakat di pedalaman menyadari bahwa semua kendala pendidikan apapun bentuknya, membutuhkan guru “es i” untuk bisa berperan mencari solusinya. Tak jarang guru sering dilibatkan dalam penyelesaian konflik di masyarakat, menghadiri hajatan dan diposisikan sebagai tamu terhormat. Guru sebagai tokoh pendidikan diperlakukan sama sebagaimana tokoh pemerintah, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Selain kompetensi paedagogik dan keprofesionalan, di pedalaman Timor, guru dituntut memiliki kompetensi sosial kemasyarakatan untuk bisa memberikan sumbangsih bagi pembangunan di Desa.

Juli 2013, saya bersama beberapa teman guru SMP diundang oleh Kepala SD dan Kepala Desa. Agendanya ialah penyampaian hasil kelulusan SD dan memberikan pertimbangan kepada seorang siswi lulusan SD yang secara akademik tidak mampu melanjutkan ke sekolah reguler karena keterbelakangan IQ. Selama siswi tersebut berada di SD, hampir selalu tidak naik kelas di setiap jenjang kelasnya. Saat itu siswi tersebut berusia 16 tahun. Siswi ini sebenarnya lebih tepat bersekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa), namun dimasukkan ke sekolah reguler. Mungkin karena orang tua kurang paham terhadap kondisi anak dan kebutuhan pelayanan khususnya. Atau juga SD tersebut tidak kompeten untuk memberikan layanan kelas inklusi. Dari pertemuan tersebut saya memberikan saran agar siswa tersebut jangan putus sekolah tetapi tetap bersekolah sesuai kebutuhannya, yaitu di SLB.

Guru “es i” adalah guru yang memberi diri dan hadir di dalam kehidupan pendidikan secara utuh. Tidak hanya di sekolah tetapi juga pada aspek sosial kemasyarakatan. Guru yang layak diguguh dan ditiru.

Semoga dengan tulisan ini, bisa menginspirasi teman-teman guru yang bertugas di pedalaman untuk tetap setia dan tulus mengabdi. Kitalah agen perubahan dan agen pendidikan dalam skala lokal namun bisa berdampak global. 
Jika berkenan mohon teman-teman berikan komentar atau kritik dan saran. Terimakasih.

7 komentar:

Neng Lede mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Neng Lede mengatakan...

"Es i" kata yg mengugah sya.. Seperti sdg menggelitik hti seorg guru yg prnh mngeluh ketika brada d daerah 3T.. Terima kasih sdh mngingtkn utk ttap mnjdi guru "Es i" demi mencerdaskan anak bangsa.. Tetaplah mengabdi Bpk Kris, krn kisahmu tlh mnjdi inspirasi bgi sy calon pengajar dn pendidik daerah 3T dn kelak pst akn mnginspirasi bxk org dn smoga ini dpt smpi kpda mreka para pemegang kebijakn.. GB Kk Kris..

krismanto mengatakan...

Mkasih adik Guru, pesan khusus buat Guru di Pedalaman. termasuk SM3T, Indonesia Cerdas dan GGD.

Anggi Seran mengatakan...

Salam super pak guru

Anggi Seran mengatakan...

Salam super pak guru

krismanto mengatakan...

Terima kasih Ibu Anggi, sy Doakan semoga Ibu dan Pak jg sehat selalu.

Heronimus Bani mengatakan...

Pengalaman membanggakan