Oleh : Olyvianus Krismanto Atamou,S.Pd
Minggu 1 Agustus 2010,
adalah hari yang sangat berkesan buat saya. Setelah ditentukan lulus menjadi
CPNSD Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur di tahun yang sama, euforia
kegembiraan itu dilanjutkan dengan tantangan baru. Saya ditempatkan untuk mengabdi di daerah terpencil.
Merintis sekolah negeri baru sebagai CPNSD defenitif pertama di sekolah
tersebut. Penempatan saya di SMP Negeri 3 Amfoang Selatan sebenarnya
menggantikan seorang CPNSD yang baru saja ditempatkan disitu. CPNSD tersebut sudah
mensurvei lokasi sekolah namun pulang ke kota dan tidak pernah kembali lagi.
Alasannya karena terlalu terpencil. Sekolah ini berada di pedalaman Pulau
Timor, Propinsi NTT.
Mengabdi di daerah terpencil
memang penuh suka, duka, pengorbanan dan tantangan yang harus dilalui.
Membutuhkan pengorbanan moril dan materil yang tidak sedikit. Awalnya memang saya
merasa berat untuk melaksanakan tugas sebagai seorang guru mata pelajaran IPA
Terpadu di daerah terpencil yang penuh dengan keterbatasan baik itu dari segi
sarana dan prasarana yang ada disekolah kami. Gedung sekolah darurat, beralaskan
tanah, berdinding bambu dan beratapkan jerami.
Ketika merintis sekolah
baru, selain bangunan ruang kelas, masyarakat desa Oelbanu juga membangun empat
buah rumah guru darurat. Oleh Kepala Sekolah saya diberi 1 rumah guru. Walaupun
rumah tersebut belum memiliki pintu, jendela, perobot termasuk tempat tidur,
saya sangat senang diberikan tempat menginap langsung di kompleks sekolah.
Setidaknya tidak perlu berjalan jauh jika hendak ke sekolah. Namun yang menjadi
tantangan tersendiri ialah akses air minum dan MCK yang jauh, harus berjalan 1
Km.
Lokasi sekolah yang
dihibahkan masyarakat merupakan lokasi baru di belakang pemukiman penduduk yang
langsung berbatasan dengan hutan. Kesan angker dan tak jarang hewan liar
seperti ular memasuki rumah guru. Belum lagi tidak adanya akses sinyal dan
listrik membuat saya yang sudah terbiasa dengan kehidupan di kota harus rela
dan tulus menyesuaikan diri, menerima keadaan apa adanya.
Dalam acara penyambutan
saya di sekolah tersebut, seorang tokoh Agama sekaligus perintis sekolah
memberikan kata sambutan yang tidak akan pernah saya lupakan. Beliau mengatakan
bahwa di pedalaman pulau Timor, masyarakat tidak hanya membutuhkan sarjana
dengan gelar S.Pd, S.Si, SH, S.Pt dan seterusnya. Tetapi yang lebih dibutuhkan
dan diharapkan masyarakat pedalaman ialah seorang serjana dengan gelar “Si”. Si
(es i) dalam bahasa Timor (Suku Dawan)
berarti “disini”. Guru yang selalu hadir di sini, di lingkungan sekolah dan
masyarakat. Guru yang setia pada panggilannya sebagai guru.
Masyarakat pedalaman Timor
sangat mengharapkan kehadiran seorang sarjana atau guru yang bersedia memberi
diri mengabdi bagi masyarakat di pedalaman. Bukan seorang yang cuma menjadikan
pekerjaan guru sebagai cara mencari nafkah semata. Guru yang mau berbaur dengan
masyarakat dan menjadi tokoh/ agen pendidikan bagi mereka. Sungguh suatu
kerinduan masyarakat yang luar biasa, sesuai dengan prinsip “the right men on the right place”.
Setahun berlalu dan status
sekolah kami dinaikkan dari filial SMP Negeri 1 Amfoang Selatan menjadi SMP
Negeri 3 Amfoang Selatan. Gedung permanen yang diusulkan belum juga
terealisasi. Sementara gedung darurat sudah mulai bertambah “darurat”
keadaannya. Memasuki musim hujan, kami mengusulkan kepada orang tua peserta
didik dan masyarakat untuk bergotong-royong memperbaiki atap. Usulan diterima
namun susah untuk direalisasikan mengingat hampir 100% mata pencaharian orang
tua peserta didik adalah petani, sehingga disaat yang sama mereka sibuk
mempersiapkan lahan pertanian. Alhasil kami meminta peserta didik untuk membawa
jerami agar menambal lubang atap yang sudah terlalu lebar karena lapuk dan
ditiup angin.
Musim hujan pun tiba. Doa
kami ialah sekiranya hasil tambalan atap tersebut bisa bertahan hingga musim
hujan berlalu. Namun di dalam hati kami ada kekhawatiran dan kecemasan. Akhirnya
yang dikhawatirkan terjadi pula. Guru dan murid harus berpindah atau bergeser
beberapa kali di dalam kelas untuk menghindari tetesan air hujan yang menembus
atap jerami. Untuk opsi berpindah ruangan adalah tidak mungkin, karena semua
ruangan mengalami hal yang sama.
Saat itu saya berdiri dan
menulis di papan tulis (blackboard)
menggunakan kapur tulis. Tetes demi tetes membasahi baju dan tangan dan
buku-buku saya di meja guru. Saya terus menulis, dengan harapan basah sedikit
tak apalah jika dibanding dengan ilmu yang saya sampaikan lewat tulisan di
papan tulis. Hujan semakin besar, saya mengarahkan peserta didik untuk bergeser
mencari tempat yang kering sembari terus belajar. Setengah jam berlalu dan cuma
tersisa satu meja peserta didik yang lolos tak terkena air hujan. Saya melihat
bagaimana mereka terus bersemangat belajar, walau berdesakan. Hujan semakin
deras, suara saya tak mampu menandingi riuhnya suara angin dan desau air hujan.
Akhirnya kami harus menyerah dengan cuaca yang tak bersahabat.
Seorang peserta didik
berujar, “Pak, semua meja sudah basah”. Hampir saja saya menangis mendengar
itu. Saya tersentak, berapa lamakah kami harus mengalami hal ini? Saya melihat
mereka berdiri memegang buku dan tas sambil menggigil kedinginan. Lokasi
sekolah yang berada di pegunungan dan dinding gedung sekolah yang tak rapat
membuat kabut dengan mudah masuk dan keluar ruangan kelas. Wajah mereka pucat,
ada yang sedikit berpelukan dengan temannya sesama jenis. Saya menjawab, “Ok,
kegiatan belajar mengajar kita hentikan sampai disini dan akan kita lanjutkan
di pertemuan mendatang”.
Saya pun tak bisa beranjak
dari kelas karena derasnya hujan. Kami berdiri di “titik aman” kami
masing-masing dan mulai terbawa efek hipnotik bunyi air hujan. Sayapun mulai
merenung, apakah penderitaan seperti ini harus dialami sekolah rintisan baru?
Apakah masyarakat terlalu “bernafsu” membuka sekolah rintisan baru sampai
melupakan daya dukung agar tidak terjadi seperti ini? Sebegitu panjang dan
lamakah proses birokrasi sehingga sekolah ini belum juga mendapatkan bantuan
gedung permanent? Salahkah kami guru dan peserta didik yang tidak bisa “sedia
payung sebelum hujan”?
Diantara permenungan
mencari “kambing hitam”, saya juga berupaya mencari “kambing putih”. Benarkah
aspirasi dan usaha masyarakat untuk mendirikan SMP rintisan baru? Mengingat SMP
terdekat sebelumnya berjarak belasan kilometer. Benarkah proses birokrasi
pengadaan gedung sekolah? Mengingat standar pelayanan publik yang sudah
ditetapkan peraturannya. Benarkan kami guru dan murid tidak bisa memprediksi
dan memanajemen resiko? Mengingat kami sudah coba apa yang kami bisa, tapi
kerja belum selesai (Sedikit mengutip puisi Karawang-Bekasi, karya Chairil
Anwar).
Tambalan atap yang
dikerjakan seadanya oleh peserta didik tentu tidak sebaik yang dikerjakan oleh
orang tua mereka. Kami memberdayakan beberapa peserta didik yang mampu untuk
menambal atap sekolah cukup beralasan, mengingat kondisi yang mendesak.
Daya dukung pembiayaan
sekolah sangat terbatas untuk bisa membayar gaji pegawai, penjaga sekolah
termasuk tata usaha. Tak jarang kami berutang ke kios untuk kebutuhan sekolah.
Saya pernah menemani teman-teman guru honor pulang ke rumah orang tua mereka
untuk mengambil bekal makanan. Maklum, gaji honor yang mereka terima tidak
cukup untuk biaya hidup sebulan. Walau demikian mereka tetap menjadi guru “Es
i”.
Guru merangkap penjaga
sekolah, guru merangkap tata usaha. Saya dengan basic ilmu IPA diperbantukan mengajar Matematika karena guru
matematika tidak ada. Saat dapodik pertama kali dirilis, saya merangkap tata
usaha dan operator sekaligus. Maklum saat itu saya satu-satunya guru yang
menguasai TIK di sekolah. Pagi sampai siang mengajar. Sore isterahat. Malam
sampai pagi kerja dapodik. Namun karena leptop cuma satu dan listrik pun hanya
ada di pusat kecamatan, maka pagi kami ke sekolah, sore ke kecamatan dengan
jarak tempuh ± 17 Km. Mengingat aspek
kesehatan saya, maka saya melatih teman tata usaha sampai dia bisa mengelola
dokumen tata usaha dan bendahara.
Guru “Es i”, sama seperti
kisah Asnat Bell dari Kab. Timur Tengah Selatan pada tahun 2013. Asnat menjadi
perhatian Nasional karena dibayar Rp.50.000,- / bulan setelah mengajar 182 jam
sebulan atau 7 jam sehari. Kisah-kisah “Asnat” seperti fenomena gunung es.
Banyak terjadi di negeri ini namun tidak dilaporkan bahkan tidak terendus atau
tersorot kamera para pewarta. Mungkin juga guru honor sudah bisa bertoleransi
terhadap situasi sulit seperti itu. Sehingga kesulitan hidup (terlepas dari
normal atau tidak, wajar atau tidak) sudah diterima sebagai keadaan yang biasa
saja.
Tidak bermaksud
menggambarkan betapa miskin atau susahnya keadaan di propinsi NTT. Tidak juga bermaksud
untuk berpersepsi melodramatis tentang keadaan sekolah rintisan baru di NTT.
Gambaran tadi cuma sebagai pembanding antara tantangan pengabdian di daerah
terpencil dan semangat mengabdi yang diistilahkan sebagai guru “Es i”. Toh keadaan yang saya gambarkan tadi
juga sudah terekspos lewat blog dan postingan adik-adik saya yang mengikuti
program SM3T ke daerah NTT. Atau saat media massa lokal dan nasional menyorot
kisah Asnat Bell pada tahun 2013. Tidak hanya NTT tapi beberapa daerah lain di
Indonesia juga kemungkinan masih mangalami hal yang sama.
Walaupun gedung sekolah
darurat, tapi otak guru, pegawai, peserta didik, orang tua dan seluruh stakeholder
pendidikan tidak boleh darurat, demikian kata Bpk Ayub Titu Eki, Bupati Kupang.
Mengikuti konsep sekolah alam, kegiatan belajar mengajar terkadang dilakukan di
luar kelas. Pernah sekali, tidak ada kapur tulis. Saya mengajak peserta didik
keluar mencari batu pelat yang dipakai sebagai buku dan batu kecil lain sebagai
pensilnya. Kami juga memakai potongan kayu dan tanah sebagai media untuk
menulis. Kami belajar berhitung sampai mereka paham.
Berkat kerja keras kepala
sekolah Bpk B.B. Carvalo,S.Pd dan teman-teman guru/ pegawai, dibantu dukungan
pemerintah dan masyarakat, saat ini sekolah kami sudah memiliki bangunan
permanen yang cukup untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar bagi semua
rombongan belajar. Walau belum memiliki Laboratorium IPA, paling tidak situasi
kegiatan belajar mengajar sudah tidak sesengsara dulu.
Juni lalu, saya sempat bertemu
dua orang peserta didik dari angkatan pertama sekolah kami. Ternyata mereka
sudah berwirausaha sendiri. Suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi kami
guru “Es i” yang pernah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada mereka.
Menjadi guru “Es i” di daerah
terpencil kita akan mengalami pengalaman hidup yang sangat dekat dengan alam; Masyarakat
yang yang sangat ramah dan masih mempunyai rasa sosial yang sangat tinggi;
peserta didik yang belum terpengaruh dengan moderenisasi dan belum berbahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Untuk hal yang terakhir
tadi, pernah suatu ketika saya mengajar tentang klasifikasi makhluk hidup.
Salah satu yang saya sebutkan ialah lumut. Saya tanya ke peserta didik apakah
mereka mengenal lumut, namun mereka menjawab bahwa tidak tahu. Saya ingin
mengambil contoh lumut di sekitar sekolah namun tidak ada. Akhirnya saya
mengarahkan mereka untuk mengingat kondisi musim hujan dimana lumut tumbuh
subur di bebatuan dan berwarna hijau, jika terinjak maka licin. Serentak mereka
berkata: “Ooo... naniteijz! (naniteijz adalah lumut dalam bahasa Dawan di Pulau
Timor).
Kondisi peserta didik di
pedalaman pulau Timor pada umumnya sama. Tidak terbiasa dengan budaya bertanya.
Padahal malu bertanya sesat di jalan, termasuk jalan pikiran. Saya sering
menggunakan metode tanya-jawab agar peserta didik dibiasakan bertanya. Dengan
demikian ada umpan balik secara langsung sehingga guru mudah mengukur tingkat
daya serap peserta didik sejak dini. Awalnya mereka hanya mampu bertanya di
level C1 Taksonomi Bloom. Pertanyaan mereka berkisar apa, apa dan apa. Saya
arahkan mereka untuk bertanya tingkat lanjut, yaitu pertanyaan yang dimulai
dengan kata tanya mengapa. Walau sudah dimulai dengan kata mengapa, namun
kerancuan kosakata masih terjadi. Hal ini mungkin karena faktor belum terbiasa
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Mereka merupakan penutur
aktif bahasa Ibu (Dawan). Ketika berbahasa Indonesia, tetap menggunakan standar
kosakata bahasa Dawan. Muncullah dialek bahasa Indonesia versi Dawan. Bagi saya
sebagai guru IPA, hal itu tidak menjadi masalah sebab saya lebih fokus pada
kemampuan pemahaman konsep dan praktik IPA dibanding kemampuan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan. Melalui gerakan
Literasi diharapkan peserta didik mulai terbiasa berbahasa Indonesia dan mudah
menyampaikan pertanyaan di kemudian hari.
Walau kurang unggul di
bidang akademis, namun dari sisi sikap dan keterampilan terutama yang berkaitan
dengan kearifan lokal, peserta didik di pedalaman sangat unggul. Program kebun
sekolah berhasil dijalankan. Mulai dari jati putih, pisang dan sayuran, semua
sukses dilaksanakan. Menjaga kebersihan sekolah dan fasilitas umum di sekitar
sekolah selalu dilaksanakan peserta didik dengan semangat dan sukacita.
Sebagai manusia biasa,
saya juga masih punya kekurangan. Secara tidak langsung kekurangan tersebut sudah
tersirat dalam uraian diatas. Misalnya saja kesibukan karena merangkap tugas
operator dapodik, otomatis persiapan mengajar akan tidak optimal. Sehingga
tidak heran jika pembelajaran tentang klasifikasi makhluk hidup, saya tidak
sempat mencari dan membawa model lumut dari kolam atau tempat lainnya. Namun
untuk solusinya, saya mengkaderkan beberapa teman agar bisa mengurangi beban
kerja tambahan saya. Selanjutnya saya bisa fokus ke tugas pokok guru dan
menjadi guru “es i” bagi peserta didik dan masyarakat.
Masyarakat di pedalaman menyadari
bahwa semua kendala pendidikan apapun bentuknya, membutuhkan guru “es i” untuk
bisa berperan mencari solusinya. Tak jarang guru sering dilibatkan dalam
penyelesaian konflik di masyarakat, menghadiri hajatan dan diposisikan sebagai
tamu terhormat. Guru sebagai tokoh pendidikan diperlakukan sama sebagaimana
tokoh pemerintah, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Selain kompetensi
paedagogik dan keprofesionalan, di pedalaman Timor, guru dituntut memiliki
kompetensi sosial kemasyarakatan untuk bisa memberikan sumbangsih bagi
pembangunan di Desa.
Juli 2013, saya bersama
beberapa teman guru SMP diundang oleh Kepala SD dan Kepala Desa. Agendanya
ialah penyampaian hasil kelulusan SD dan memberikan pertimbangan kepada seorang
siswi lulusan SD yang secara akademik tidak mampu melanjutkan ke sekolah
reguler karena keterbelakangan IQ. Selama siswi tersebut berada di SD, hampir
selalu tidak naik kelas di setiap jenjang kelasnya. Saat itu siswi tersebut
berusia 16 tahun. Siswi ini sebenarnya lebih tepat bersekolah di SLB (Sekolah
Luar Biasa), namun dimasukkan ke sekolah reguler. Mungkin karena orang tua kurang
paham terhadap kondisi anak dan kebutuhan pelayanan khususnya. Atau juga SD
tersebut tidak kompeten untuk memberikan layanan kelas inklusi. Dari pertemuan
tersebut saya memberikan saran agar siswa tersebut jangan putus sekolah tetapi
tetap bersekolah sesuai kebutuhannya, yaitu di SLB.
Guru “es i” adalah guru
yang memberi diri dan hadir di dalam kehidupan pendidikan secara utuh. Tidak
hanya di sekolah tetapi juga pada aspek sosial kemasyarakatan. Guru yang layak
diguguh dan ditiru.
Semoga dengan tulisan ini,
bisa menginspirasi teman-teman guru yang bertugas di pedalaman untuk tetap
setia dan tulus mengabdi. Kitalah agen perubahan dan agen pendidikan dalam
skala lokal namun bisa berdampak global.
Jika berkenan mohon teman-teman berikan komentar atau kritik dan saran. Terimakasih.
Jika berkenan mohon teman-teman berikan komentar atau kritik dan saran. Terimakasih.
7 komentar:
"Es i" kata yg mengugah sya.. Seperti sdg menggelitik hti seorg guru yg prnh mngeluh ketika brada d daerah 3T.. Terima kasih sdh mngingtkn utk ttap mnjdi guru "Es i" demi mencerdaskan anak bangsa.. Tetaplah mengabdi Bpk Kris, krn kisahmu tlh mnjdi inspirasi bgi sy calon pengajar dn pendidik daerah 3T dn kelak pst akn mnginspirasi bxk org dn smoga ini dpt smpi kpda mreka para pemegang kebijakn.. GB Kk Kris..
Mkasih adik Guru, pesan khusus buat Guru di Pedalaman. termasuk SM3T, Indonesia Cerdas dan GGD.
Salam super pak guru
Salam super pak guru
Terima kasih Ibu Anggi, sy Doakan semoga Ibu dan Pak jg sehat selalu.
Pengalaman membanggakan
Posting Komentar