Minggu, 31 Juli 2022

Perang Atensi terhadap Reels


Oleh : Krismanto Atamou






 

Perlahan tapi pasti, beberapa musik atau lagu latar dari video-video singkat media sosial (reels) telah terinternalisasi dalam alam bawah sadar saya. Beberapa lagu itu misalnya: entah siapa yang salah …kutak tahu, hiduplah denganku duer … dengarkanlah,  dan masih banyak lagi.

Terekamnya lagu-lagu itu di alam bawah sadar saya membuktikan: telah banyak waktu yang saya lewati untuk menonton reels. Saya kira, terkait hal ini, saya tidak sendiri. Bahkan seorang kerabat saya tidak tahu bahwa konten video itu adalah reels, padahal dia sudah lama menontonnya.

Sadar atau tidak, reels telah menghisap atensi kita dari berbagai hal lain yang perlu juga kita lakukan sehari-hari. Dee Lestari dalam podscad bersama Gita Wirjawan, memiliki istilah khusus untuk konten-konten media sosial seperti reels ini. Dee Lestari menyebutnya seolah “vampir” yang menghisap atensi kita.

Seorang teman menyebut reels sebagai cara membunuh waktu untuk segera tua. Bayangkan kita menonton reels di setiap waktu senggang atau waktu yang “disenggang-senggangkan”, tidak terasa, banyak waktu telah berlalu. Tanpa sadar, umur kita telah bertambah dan melaju begitu cepat.

Tere Liye dalam postingan facebook berjudul “Kita orang tua gagal?” mengkritisi orang tua yang sibuk bermain handphone. “Mending buka HP dulu ah, buka gadget, scroll, scroll, klik, klik. Menatap layar HP. Sibuk nih, banget, mana sempat sih ngurusin anak2,” tulisnya. Dapat dibayangkan, betapa banyak waktu yang semestinya dipakai orang tua untuk mengasuh anak, dirampas oleh media sosial, termasuk oleh reels.

Jika waktu pengasuhan orang tua terhadap anak tersita oleh atensi pada reels, jangan heran kemudian pertumbuhan sikap dan moral anak-anak terabaikan. Lalu muncullah berbagai kasus perundungan terhadap anak yang juga dilakukan oleh sesamanya. Semisal kasus yang menimpa korban anak F (11), siswa kelas V SD di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tragisnya anak itu mengalami depresi hingga meninggal dunia pada 18 Juli 2022 lalu.

 

Manajemen Waktu dan Jari

Saat ini, saya rasa kita sedang berada di medan perang atensi. Kita seolah sedang berperang antara hidup di dunia nyata atau di dunia maya. Hal yang sebenarnya bukan sebuah pilihan ganda untuk dipilih salah satunya. Di era digitalisasi, saya kira kedua dunia ini mesti berjalan beriringan dan saling melengkapi. PR besarnya ialah bagaimana mengatur atensi kita agar sedapat mungkin tidak ada yang dikorbankan.

Semisal dalam keluarga, orang tua tidak mengorbankan waktu pengasuhan anak demi kehidupan di dunia maya. Demikian juga anak, tidak mengorbankan waktu belajar, bersosialisasi, dan waktu berkualitasnya bersama keluarga demi bermain game atau aktivitas dunia maya lainnya. Apakah kita sanggup untuk itu? Saya kira sulit.

Saat tubuh kita sudah terpola untuk lekat dengan gawai dan berkehidupan maya, saat tangan kita sudah refleks untuk meraih gawai setiap sempat, saat kepala dan mata kita sudah refleks tertuju pada gawai daripada melihat kehidupan riil, lalu kita ingin mengubahnya karena sadar ada hal penting lain yang telah abai dari perhatian kita, itu pastinya tidak mudah.

Karena tidak mudah inilah, saya menggunakan kata “perang” untuk menggambarkan betapa sulitnya memenangkan perang atensi kita terhadap konten reels. Apalagi ketika media sosial selalu menawarkan hal-hal baru untuk melayani ketidakpuasan manusia. Format konten reels di facebook yang baru dirilis tahun 2022 ini ternyata diminati oleh banyak netizen.

Beberapa postingan teks panjang saya di facebook setelah seharian baru dilihat dua puluhan orang, tapi ketika saya membuat konten reels, baru beberapa jam sudah ditonton lebih dari 100 orang. Saya terkejut. Kok bisa secepat itu? Ya, mungkin karena rata-rata manusia cepat bosan dan menyukai hal-hal baru, terutama hal-hal yang diminatinya. Dan artifisial inteligensi facebook selalu tahu bahwa kita menyukai hal-hal tertentu itu. Bahkan terkadang, hal-hal yang baru saja kita pikirkan, eh rupa-rupanya sudah nongol di beranda media sosial kita.

Pertanyaannya: bagaimana kita lepas dari jeratan reels, lalu memenangkan perang atensi terhadapnya? Bagaimana tubuh dan pikiran kita dapat terus sadar lalu menghindari gerak refleks yang mengarahkan kita pada reels?  Lalu, apakah reels adalah momok yang perlu kita hindari?

Saya kira jawabannya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah benar-benar reels telah merampok waktu berkualitas kita? Apakah reels telah mengalahkan kita dalam perang atensi terhadap hal-hal lain yang lebih penting dalam hidup kita? Semisal waktu untuk membaca buku, menjalankan ibadah, bersosialisasi, belajar via internet, dan hal-hal positif lainnya?

Sampai di titik ini, saya duga akan ada pembaca yang menyanggah: bukankah di reels pun ada konten-konten mendidik? Ya, benar. Beberapa pembuat konten yang mendidik juga telah memosting konten-konten mereka di reels. Untuk itu, sebaiknya kita mampu menahan refleks jari, yang kemungkinan besar akan melewatkan perhatian kita dari konten-konten mendidik itu.

Kamis, 28 Juli 2022

Harga Komodo sebagai Keajaiban Dunia


Oleh: Krismanto Atamou

 



“Komodo sebagai salah satu keajaiban dunia kok dihargai murah?” Pertanyaan satir ini dilontarkan seorang pemandu wisata lokal asal Labuan Bajo. Ia mengatakan itu pada tim dari nusaku.id milik PT. Telkom Indonesia pada tahun 2018 lalu.

Kala itu tim nusaku.id menyelenggarakan lomba menulis ulasan tempat wisata alternatif di website nusaku.id. Saya ikut lomba dan menang. Hadiahnya ialah paket perjalanan wisata ke Labuan Bajo dan Wae Rebo selama seminggu. Di Labuan Bajo Tim dari nusaku.id sempat mensosialisasikan aplikasi nusaku.id kepada sebagian pemandu wisata lokal asal Labuan Bajo. Saya pun ikut.

Melalui aplikasi itu, pemandu lokal bisa merancang paket perjalanan wisata dengan rute dan biaya yang bisa mereka tentukan sendiri. Juga pemandu lokal bisa menentukan jumlah peserta perjalanan. Aplikasi nusaku.id hanya akan menarik sekira 5% dari akumulasi biaya perjalanan itu. Besaran penarikan itu ditentukan bersama pemandu lokal di Labuan Bajo. Sayangnya, aplikasi nusaku.id kini telah ditutup.

 Saat membahas tentang biaya aplikasi nusaku.id itulah, pertanyaan di awal tadi terlontar dari seorang perempuan pemandu wisata. Ia juga mengeluhkan beberapa agen yang membanting harga layanan wisata sehingga marjin keuntungan semakin tipis. Begitu juga pendapatan pemandu wisata ikut turun.

Begitulah ketika harga tiket masuk kawasan wisata kini pemerintah tetapkan naik, dan bagi sebagian pihak disebut mahal, ada asa yang terjawab dari beberapa pelaku pariwisata. Pasalnya, menurut Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Timur (NTT), Dr. Zet Soni Libing, biaya masuk Taman Nasional Komodo (TNK) sebesar Rp.3.750.000,- per orang per tahun (jadi tidak hanya untuk sekali datang per tahun) itu, salah satunya juga dimanfaatkan untuk pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia para pelaku pariwisata (merdeka.com, 4/7/2022).

 

Konservasi Komodo

Senada dengan Dr. Zet Soni Libing, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno juga menjelaskan: penerapan kenaikan biaya masuk ke pulau Komodo dan Pulau Padar adalah berkaitan dengan upaya konservasi komodo. Bagaimanapun, upaya konservasi sangat penting untuk menjaga kelestarian habitat dan populasi komodo di TNK.

Upaya konservasi komodo sebenarnya telah lama dilakukan. Sultani di kompas.id menulis bahwa upaya untuk melindungi komodo telah dilakukan sejak tahun 1915 oleh Sultan Bima. Upaya yang sama kemudian dilakukan oleh Residen Manggarai, Residen Flores, Residen Timor. Selanjutnya pada tahun 1938, pemerintah kolonial Belanda menjadikan Pulau Rinca dan Pulau Padar yang berada di sekitar Pulau Komodo sebagai bagian dari kawasan suaka satwa.

Berbagai upaya perlindungan terhadap komodo ini dilakukan dalam rangka menghentikan ekspedisi perburuan komodo. Hingga tahun 1960, akhirnya ekspedisi perburuan komodo hampir tidak dilakukan lagi. Demikianlah hingga 6 Maret 1980 didirikan Taman Nasional Komodo untuk melindungi komodo, juga habitatnya.

Sewaktu saya masih kecil, sekira tahun 1990-an, ada sebuah film tentang perburuan komodo. Judulnya adalah “Menerjang Prahara di Komodo” dengan produser Robert Samara. Dari film ini dapat diketahui betapa serakahnya sekelompok orang yang tega mengeksploitasi komodo demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sebagai hewan liar, upaya konservasi terhadap komodo mesti dengan cara in situ. Untuk itu, saya kira langkah pemerintah membatasi pengunjung dan menaikkan biaya masuk ke dua pulau yang menjadi wilayah konservasi komodo tepat.

 “Harta” yang mahal tentu membutuhkan perawatan yang mahal pula. Demikianlah saya kira, komodo sebagai “harta” yang mahal bagi kita, membutuhkan “perawatan” yang mahal pula. Kemahalan tersebut tidak hanya dalam hal biaya (uang) konservasi, tetapi juga membutuhkan kesadaran dan kerelaan kita untuk menjaga lingkungan hidup sebagai habitat komodo.

Kita bersyukur, komodo telah ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang baru pada tahun 2011 lalu. Untuk mempertahankan keberadaan dan apresiasi terhadap keajaiban dunia ini, perlu upaya konservasi, bahkan mitigasi dari kepunahannya. Membatasi kunjungan wisatawan ialah upaya membatasi beban lingkungan yang perlu ditanggung habitat komodo.

Sewaktu berkunjung ke TNK, saya melihat sendiri bagaimana wisatawan dalam kunjungan ke pulau komodo, lalu mengikuti trayek didampingi petugas jagawana TNK, terkadang keluar jalur jalan dan memasuki kawasan hutan. Meski tindakan yang terlihat sepele, saya kira akan mengancam tumbuh dan kembangnya flora (tumbuhan). Dan dalam jejaring makanan, akan mengancam kelestarian herbivora (semisal rusa), lalu akan mengancam komodo sebagai karnivora (pemakan daging, termasuk rusa). Hal ini tidak boleh terjadi.

Namun di sisi lain, dalam menerapkan pembatasan kunjungan ke pulau Padar dan pulau Komodo ini, pemerintah perlu juga memperhatikan dampaknya kepada ekonomi masyarakat lokal. Setidaknya mereka perlu mendapat kompensasi. Semisal dari biaya konservasi tadi, ada alokasi untuk mengatasi dampak ekonomi yang mereka alami. Atau pemerintah mengambil kebijakan lain yang dapat mengompensasi dampak ekonomi yang dialami warga kedua pulau ini.

Bagaimana pun, ada rupa, ada harga. Demikianlah jika ingin rupa komodo tidak sekadar gambar di kertas, di gawai, atau di komputer, tetapi berupa sosok asli komodo dan yang dapat terus dilihat di habitat aslinya hingga zaman anak cucu kita, maka mesti ada harga yang perlu kita bayar. 

Minggu, 24 Juli 2022

Memanfaatkan Teknologi Digital


Oleh: Krismanto Atamou






 

Dalam rapat dewan guru, komite sekolah, dan para orang tua murid hari Rabu, 20 Juli 2022 lalu di sekolah, Kepala Sekolah saya Dapa Ngailo, S.Pd menyampaikan bahwa kini sudah saatnya digitalisasi dunia pendidikan. Begitulah pada ujian semester kali lalu kami sudah menggunakan gawai untuk melaksanakan ujian.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana murid harus menggunakan kertas sebagai lembar jawaban, kali ini murid hanya mengisi data di laman awal mesin pencari di gawai, lalu tampil soal dan pilihan jawaban di aplikasi penilaian. Mudah dan cepat.

Kemajuan teknologi digital dalam dunia pendidikan dimana gawai menjadi alatnya, ternyata juga menyimpan resiko yang dikhawatirkan para orang tua dan guru. Dalam rapat Rabu lalu, teman guru matematika menyampaikan bahwa dari dua puluh lima nomor soal yang harus melalui proses cakar untuk mendapatkan jawaban, ternyata hanya sedikit murid yang mencakar. Hal ini kelihatan melalui lembaran kertas cakar yang dikumpulkan oleh sang guru matematika.

Ketika murid tidak mencakar dalam menjawab soal cakaran, setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, murid tersebut mampu mencakar dalam imajinasi atau pikirannya, tidak perlu menggunakan kertas dan bolpoin. Kedua, murid tersebut malas untuk mencakar karena pada dasarnya tidak suka dengan matematika, alhasil murid hanya menebak jawaban atau menjawab dengan membabi buta.

Untuk menguji murid manakah yang dominan dari kedua kemungkinan tadi, dapat diketahui lewat hasil ujian yang langsung dapat terlihat setelah murid selesai mengerjakan soal. Sayangnya, hanya sebagian kecil anak yang berhasil. Lagu lama terdengar kembali: matematika masih menjadi pelajaran yang menakutkan dan tidak disukai banyak murid.

Sebagai guru IPA yang sebagian besar materi berhubungan dengan matematika, saya pun terkadang harus mengulang pelajaran matematika bagi murid. Di titik ini, untuk meningkatkan motivasi dan daya serap murid terhadap pelajaran yang selama ini momok, perlu kerja sama orang guru dan orang tua. Guru tidak bisa berjalan sendiri.

Semisal di rumah anak dibiasakan dengan game-game matematika untuk anak yang bisa diinstal di gawai. Sebab bagaimana pun, kini sudah zamannya anak-anak menggunakan gawai, tapi dengan catatan ada batasan umur, ada durasi pemakaian, dan ada kontrol orang tua.

Bagaimanapun, informasi di internet tidak bisa dibendung. Daripada anak mencari tahu sendiri lalu tersesat, alangkah lebih baik anak dipersiapkan untuk menjalani era internet ini. Orang tua dan guru bermitra untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam hati dan pikiran anak sehingga anak punya “alat saring” informasi yang diterimanya di internet, termasuk membiasakan anak mengakses konten pembelajaran matematika agar kelak matematika tidak lagi menjadi momok.

 

Hari Anak Nasional

Dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2022 ini, dari segi digitalisasi pendidikan, masih ada catatan panjang yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana mendorong anak untuk menggunakan gawai secara efektif dan efisien untuk pendidikan.

Diketahui bahwa saat ini ada banyak aplikasi, platform, dan website yang dapat dipakai untuk kepentingan pendidikan anak. Namun pertanyaannya, seberapa besar gawai tersebut benar-benar dipakai untuk pendidikan? Jangan-jangan hanya dipakai untuk hiburan semata.

Kedua, memenangkan perang atensi demi tenang mengakses konten-konten mendidik di internet. Bahaya terbesar saat ini ialah kita mudah teralihkan dari konten pendidikan kepada konten hiburan, bahkan konten “beracun”. Misalnya saja sedang membaca buku di aplikasi perpustakaan digital I-pusnas lalu muncul notifikasi whatsapp, facebook, dan aplikasi lainnya.

Jika sudah terbiasa merespon notifikasi media sosial, maka biasanya jari kita seolah bergerak sendiri untuk membuka notifikasi-notifikasi tersebut. Di titik inilah perang atensi terjadi. Syukurlah beberapa gawai telah dilengkapi fitur ‘jangan ganggu’ yang jika diaktifkan maka segala notifikasi akan ‘diredam’.

Ketiga, pentingnya pendidikan bermedia sosial bagi anak. Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengusulkan batasan usia untuk memiliki akun media sosial adalah 17 tahun. Mungkin karena belum disahkan, hingga kini anak di bawah 17 tahun ada yang sudah memiliki media sosial.

Bahkan jika RUU PDP ini disahkan, masih ada kemungkinan anak di bawah usia 17 tahun bisa memiliki media sosial dengan memanipulasi data, merengek meminjam gawai orang tuanya saat orang tua sedang berbicara dengan tamu,  dan cara lainnya. Oleh karena itu, saya kira, alih-alih mengontrol anak dari luar dirinya, alangkah lebih baik fungsi kontrol itu ditanamkan di dalam hati dan pikiran anak. Caranya yaitu melalui pendidikan dan pembiasaan oleh orang tua maupun guru, tentu dengan memperhatikan batasan umur anak.

Bagi anak SMP di sekolah saya, beberapa kali kami menyampaikan kiat bermedia sosial yang benar, aman, dan positif. Semisal kiat menghindari konten hoax dan konten dewasa, kiat mengamankan akun media sosial, kiat berkomunikasi di media sosial dan mengakses konten positif yang mendidik.

Selamat Hari Anak Nasional.

Selasa, 19 Juli 2022

Kebutuhan Guru SLB di NTT

Oleh : Samu Rambunita Sandy, S.Pd
Guru SLBN Oelmasi – Kab. Kupang

Pemerintah provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan yang telah membuka beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) baru di NTT. Ada SLB baru di Amarasi dan Semau-Kab. Kupang, di Pulau Pantar-Kab.Alor, dan beberapa SLB di tempat lain. Kehadiran SLB ini membuktikan kepedulian pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di NTT. Dan ini patut diapresiasi.

Langkah maju pemerintah ini perlu juga diikuti dengan kehadiran jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) pada Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di NTT. Sebab dari jurusan PLB-lah kelak menghasilkan tenaga guru bagi SLB.

Selama ini, ketersediaan guru berlatar akademik PLB pada SLB di NTT masih terbatas. Datanya dapat dilihat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sementara, kebutuhan guru SLB semakin meningkat karena beberapa faktor, antara lain: pertambahan jumlah penduduk, bertambahnya jumlah murid berkebutuhan khusus, dan bertambahnya jumlah SLB baru tadi.

Anak-anak berkebutuhan khusus idealnya disekolahkan di SLB. Meski di sekolah reguler bisa memiliki kelas inklusi yang dapat menampung mereka, dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Belum lagi, untuk menyelenggarakan kelas inklusi, sekolah reguler perlu memenuhi beberapa syarat. Selain adanya murid berkebutuhan khusus, sekolah reguler juga mesti memiliki izin untuk menyelenggarakan kelas inklusi dari Dinas Pendidikan Provinsi. Diperlukan juga guru reguler yang bersedia dipersiapkan untuk membimbing anak berkebutuhan khusus.

Pada beberapa kasus, sekolah reguler akhirnya memperlakukan anak berkebutuhan khusus sebagaimana anak normal. Ini tentu tidak adil. Setiap ketunaan anak semestinya membutuhkan guru yang sesuai sebagai pembimbing.

Seorang teman guru di sekolah reguler pernah bercerita kepada saya perihal kunjungannya ke rumah orang tua anak tunagrahita. Ia bermaksud mengajak orang tua tersebut untuk mau menyekolahkan anaknya di SLB, pindah dari reguler.

Singkatnya teman saya menjelaskan: “Anak bapak memiliki ketunaan dan sebaiknya disekolahkan di SLB. Jika kelak saat belajar di SLB anak bapak mengalami perkembangan yang baik, anak bapak bisa dipindahkan kembali ke sekolah reguler untuk melanjutkan pendidikannya.”

Sang bapak mengakui ketunaan anaknya kemudian mengatakan: “Anak saya sudah kelas delapan SMP, tinggal setahun lagi selesai SMP. Biarlah dia selesaikan pendidikan di sekolah reguler. Saya pasrah.”

Sebagaimana bapak dari anak tunagrahita ini, saya duga ada banyak orang tua lain yang memasrahkan pendidikan anak berkebutuhan khususnya di sekolah reguler. Mungkin mereka merasa bahwa menyekolahkan anak di SLB seolah membuka aib kekurangan/ ketunaan anak. Itu pemahaman yang salah. Ketunaan anak bukanlah aib yang perlu ditutupi, tetapi adalah keterbatasan anak yang perlu diakui dan ditangani secara baik.

Sayangnya sampai saat ini belum ada data terkait jumlah riil anak berkebutuhan khusus di NTT, selain yang sudah terdata di Dapodik SLB. Apabila dilakukan survei pada anak-anak usia sekolah di NTT, saya menduga kita akan menemukan banyak anak berkebutuhan khusus yang belum tersentuh layanan SLB.

Hal yang lebih miris ialah: anak-anak berkebutuhan khusus ini, oleh oknum tertentu diberi stigma bodoh lalu diterlantarkan, tidak disekolahkan. Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus ini punya kompetensi yang bisa dikembangkan bahkan dilombakan. Semisal di SLBN Oelmasi, ada banyak anak didik yang telah berhasil menjuarai berbagai even pertandingan, baik di tingkat provinsi, nasional, hingga di even internasional.

Kebutuhan PLB di NTT

Setiap SLB idealnya memiliki rasio jumlah guru PLB dan murid berkebutuhan khusus yang ideal. Satu jenis ketunaan, satu jenjang kelas, minimal satu guru pembimbing yang perofesional. Tujuannya ialah agar pelayanan yang diberikan kepada anak didik benar-benar maksimal.

Untuk itu, dengan ketimpangan tenaga guru PLB selama ini, kehadiran jurusan PLB pada LPTK di NTT sangat diperlukan. Sedangkan guru SLB berlatar akademik non-PLB yang sudah mengabdi selama ini, perlu diberi solusi tersendiri, semisal diberi kesempatan kuliah PLB jarak jauh. Dengan begitu, mereka bisa kuliah sambil mengabdi. Setelah kuliah PLB, mereka perlu diberi kesempatan lagi untuk mengikuti Program Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG Daljab).

Secara empiris, dalam mengabdi, guru berlatar non-PLB di SLB tidak terlalu mengalami kesulitan. Mereka secara autodidak ternyata bisa menyesuaikan dengan tuntutan dan tanggung jawab pelayanan sebagai guru di SLB. Akan tetapi dari sisi akademis dan jenjang karier guru (misalnya sertifikasi guru) ke depan tentu tidak mudah.

Untuk menjadi guru bersertifikasi, awalnya guru mesti mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) PLB. Itu jika guru tidak memilih PPG jalur mandiri. Setelah lulus UKG, guru mesti mengikuti PPG Daljab. Setelah PPG guru mengikuti Ujian Tulis Nasional (UTN) sebagai penentu akhir. Jika guru lulus UTN maka akan menjadi guru bersertifikat pendidik. 

Proses ini tidak akan mudah jika guru SLB tidak memiliki kemampuan akademik PLB. Sementara di sisi lain, masyarakat mengharapkan adanya guru-guru profesional di SLB yang bisa menghasilkan anak-anak didik unggul meski dengan ketunaan yang dimiliki.

Oleh karena itu, sekali lagi, kehadiran jurusan PLB pada LPTK di NTT sangat dibutuhkan, termasuk untuk melayani kebutuhan guru berlatar non-PLB yang selama ini telah mengabdi di SLB. Semoga.

Sumber: https://www.victorynews.id/opini/pr-3312662747/kebutuhan-guru-slb-di-ntt

Jumat, 15 Juli 2022

Memberdayakan Potensi Energi di NTT


Oleh: Krismanto Atamou

 


Hukum kekekalan energi menyatakan: energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat berubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Berdasar hukum kekekalan energi ini, sebenarnya dapat dipahami bahwa dalam kehidupan ini, kita tidak akan pernah kehabisan stok energi. Hanya saja, bentuk energi satu bisa habis jika berubah menjadi bentuk energi yang lain.

Demikianlah untuk kondisi di provinsi NTT, saya sependapat dengan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat bahwa NTT memiliki energi terbarukan yang melimpah luar biasa. Berita Victory News pada Selasa, 12 Juli 2022 lalu Gubernur NTT menyampaikan potensi panas bumi, angin, yang mana tidak kalah dengan negara Cina bila dikembangkan.

NTT sebagai daerah kepulauan yang juga berada di cincin api (ring of fire) dunia, sebenarnya memiliki potensi energi berlebih. Lihat saja tiupan angin yang dibiarkan lewat begitu saja, semisal angin di pantai selatan pulau Timor. Lihat saja panas bumi di beberapa daerah yang hanya dijadikan objek wisata, semisal panas bumi di Tuti Adagae pulau Alor. Lihat saja banyaknya air terjun yang juga hanya dijadikan objek wisata, dan terkadang, itu pun tidak dikelola secara baik.

Lihat saja arus laut yang bergerak deras di beberapa titik perairan laut NTT. Semisal arus deras yang keluar masuk laut Mulut Kumbang-Alor. Semisal arus deras di selat Larantuka yang kini dalam proses persiapan pembangunan jembatan Pancasila Palmerah. Jembatan ini akan dilengkapi Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL). Semoga proyek jembatan Pancasila Palmerah ini bisa segera terlaksana setelah sekian lama tahun diwacanakan dan dipersiapkan.

 

Pengembangan dan Pemberdayaan EBT

“Bisnis membelokkan perkembangan teknologi,” kata akun Osmet Osmet di postingan akun Gunawan Wibisono pada 10 Juli 2022 lalu. Dalam postingan facebook itu, Gunawan menyampaikan sejarah mobil listrik di Amerika yang sudah ada sejak awal 1900-an. Namun kemudian mobil berbahan bakar fosil memenangkan bisnis dan kompetensi.

Setelah sekian lama politik bisnis energi fosil menguasai pasar dunia, kini isu energi bersih dan sehat menjadi isu yang urgen bagi kelestarian alam dan penghuni bumi. Isu energi bersih dan sehat “memanggil pulang” pengguna, pelaku bisnis, dan pemangku kebijakan transportasi untuk kembali menggunakan kendaraan listrik atau teknologi ramah lingkungan. Di titik ini, Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi mesti.

Saya mengapresiasi langkah Gubernur NTT dengan semangat keotonomian NTT dalam hal energi. Masih dalam pemberitaan Victory News tadi, Gubernur NTT menyatakan keinginan untuk menggunakan energi terbarukan dengan maksimum penghematan biaya. Saya rasa keinginan ini sangat bisa dilaksanakan mengingat keberlimpahan potensial EBT dan sumber daya manusia NTT yang saya yakin mampu.

Seorang kerabat saya lulusan SMA belajar kelistrikan secara otodidak dan akhirnya mampu bekerja di sektor kelistrikan di Bali. Kini ia sendiri memiliki badan usaha yang bergerak pada bisnis kelistrikan di Bali. Dalam satu kunjungan ke Bali beberapa tahun lalu, saya meminta pendapatnya tentang potensi energi mikrohidro yang ada di kampung kami Desa Padang Alang-Kecamatan Alor Selatan. Air terjun di Desa Padang Alang ada banyak dan tinggi-tinggi. Saya kaget ketika ia menyampaikan bahwa sejak lama ia telah berbicara dengan Kepala Desa.

Agar pembangkit listrik mikrohidro bisa berjalan baik, menurut Timatius Laumai, nama kerabat tersebut, hal yang dibutuhkan ialah debit air yang stabil, saluran air, dan infrastruktur bangunan turbin. Selanjutnya perangkat elektronik untuk menstabilkan arus listrik dan menyalurkannya, itu yang mahal. Juga dibutuhkan tenaga terampil untuk mengontrol kinerja turbin agar bekerja dengan baik. Tenaga terampil itu berperan merawat dan menangani gangguan instalasi listrik bila terjadi. Untuk tenaga terampil, bukankah NTT sudah punya sekolah kejuruan dan jurusan di perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga terampil bahkan tenaga terdidik nan mumpuni?

Pemanfaatan energi alami seperti pembangkit listrik mikrohidro ini tentunya akan menimbulkan kesadaran manusia untuk lebih mencintai lingkungan hidupnya. Pemanfaatan energi alami ini menciptakan hubungan simbiosis mutualisme antara manusia dan alam. Manusia menjaga hutan, hutan “menjaga” debit air, air “memberikan” energi listrik bagi manusia yang menjaga hutan.

 

Energi Murah

Dalam berita Victory News, Gubernur NTT juga menyampaikan bahwa NTT lebih mahal membayar listrik dibandingkan DKI Jakarta. DKI Jakarta membayar 6 sen dollar per kWh sedangkan NTT membayar hingga 28 sen dollar per kWh. Lebih mahal 22 sen dollar per kWh. Untuk itu, saya kira, jika pemerintah pusat bisa mengeluarkan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga, mengapa biaya listrik tidak bisa satu harga? Dimana keadilannya?

Untuk mendapatkan ketersediaan energi yang murah, mungkin sudah saatnya pemerintah pusat memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk membangun, mengembangkan, dan memberdayakan EBT-nya dalam kemandirian (otonomi) atau melalui kemitraan dengan pihak lain. Sekian.

Senin, 11 Juli 2022

Belajar dari Semesta


Oleh: Krismanto Atamou

 


Memanfaatkan waktu liburan kali ini, saya mengajak anak-anak bermain ke pantai Desa Fanating. Setelah bermain ombak di tepi pantai beberapa saat, Ben, anak saya yang berusia empat tahun berujar: “Ombak adalah air yang kuat.” Saya terkejut. Bagaimana anak sekecil itu sudah bisa menyimpulkan pengalamannya?

Saya lalu teringat teori yang mengatakan bahwa anak adalah orang dewasa muda. Begitulah sehingga dalam beberapa kesempatan, anak-anak membuat orang dewasa terkejut. Pasalnya, kadangkala anak-anak berlaku selayaknya orang dewasa dalam tutur maupun aksinya.

Untuk menguji pemahaman Ben terhadap konsep ombak yang baru saja ia ucapkan, saya bertanya: “Apa itu ombak, Ben?” Dia tidak menjawab. Mungkin dia sedang asyik dan menikmati bermain di pantai yang jarang ia temui. Atau mungkin kesimpulannya tentang ombak itu sebuah spontanitas atau refleks dari lakon hidup. Konteks spontanitas hidup seperti ini saya rasa telah menjadi bagian dari kealamian manusia sebagai makhluk sosial yang bisa berpikir dan merasa.

 

Kurikulum Semesta

Dari pengamatan saya terhadap Ben tadi, saya yakin anak-anak kita dapat memproduksi pengetahuannya sendiri dari pengalaman atau lakon hidup mereka sendiri. Kesimpulan Ben tadi saya kira tidak serta-merta. Sebelum kesimpulan itu muncul, ada rangkaian peristiwa yang melatari.

Sebelumnya, Ben dan kakaknya bermain membangun benteng dari pasir dengan panjang dan lebar sekira setengah meter. Seiring benteng pasir itu mereka bangun di sisi tertinggi pantai, air laut sedang pasang dan ombak terus menghantam pantai. Perlahan-lahan ombak menghantam bangunan benteng pasir yang mereka bangun lalu merobohkannya. Mereka berupaya menutup runtuhan dan membangun kembali benteng pasir.

Melihat bahwa upaya mereka akan sia-sia, bahwa mereka tak akan mungkin mampu melawan kekuatan ombak itu selamanya, saya menyarankan mereka untuk menyerah. Sang kakak menolak tegas. “Tidak!” katanya. Saya menyilakan. Sang kakak lalu membagi wilayah tanggung jawab dia dan adiknya untuk memperbaiki reruntuhan benteng pasir yang telah dihantam ombak.

Ombak mengikuti ketinggian pasang dan seiring waktu semakin memasuki wilayah benteng pasir mereka. Alhasil benteng pasir mereka porak-poranda dan mereka menyerah sendiri. Keduanya kembali membangun benteng pasir lebih ke arah darat dan dilanjutkan bermain air hingga kesimpulan Ben di awal tadi muncul.

Ternyata, apa yang mungkin kita lihat sebagai proses unfaedah (bermain benteng pasir di bawah ancaman terpaan ombak), telah menjadi kurikulum semesta untuk memproduksi pengetahuan anak. Dan ketika saya terkejut, sebenarnya saya telah menafikan proses bagaimana pengetahuan itu diproduksi lewat kolaborasi alam semesta dan alam berpikir anak. Mungkin beberapa orang tua seperti saya, atau bahkan lebih parah: melarang anak untuk mengalami kurikulum semesta.

 

Sisi Negatif Kata Jangan

“Berapa banyak pelajaran dari semesta kepada anak yang harus teranulir karena kata ‘jangan’? Banyak.” Begitu kira-kira kata alm. Munif Chatib, seorang praktisi pendidikan, dalam bukunya berjudul: Orang Tuanya Manusia.

Seringkali orang tua spontan melarang anak dengan kata jangan. Dan sayangnya, kata jangan itu tanpa diikuti penjelasan: mengapa jangan. Dalam posisi seperti ini, aktivitas fisik dan non-fisik anak dihentikan paksa secara tiba-tiba. Kata jangan, apalagi disertai bentakan, akan membuat bangun jalin sel saraf yang mulai terhubung satu sama lain di otak anak terhenti. Padahal bangun jalin sel saraf ini penting bagi anak.

Munif Chatib menjelaskan: kata jangan, apalagi dengan bentakan, membuat inisiatif anak untuk berkreasi melakukan sesuatu terhenti. Situasi ini dalam jangka panjang akan membunuh inisiatif dan kreativitas anak. Dan dapat dibayangkan bagaimana generasi bertumbuh tanpa inisiatif di dalam dirinya.

Setelah membaca beberapa buku karya Munif Chatib, sedapat mungkin saya berupaya menghindari kata jangan. Walaupun dalam kenyataannya sulit, apalagi jika sudah terbiasa, apalagi pola asuh dengan kata jangan sudah menjadi pola asuh warisan.

 

Saran

Memang terasa lebih mudah bagi orang tua berkata ‘jangan’ tanpa penjelasan. Pola asuh seperti ini tidak merepotkan. Namun Munif Chatib menyatakan, pola asuh seperti ini justru akan merepotkan di masa mendatang. Anak yang tumbuh tanpa inisiatif diramalkan akan sulit mandiri, sulit mencoba hal-hal baru, sulit berpikir kritis, sulit berani, sulit berpendapat, dan sulit bertanggungjawab di masa mendatang.

Untuk itu, kata jangan sebaiknya diganti dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Semisal bahasa “Jangan berteriak!” kepada si kecil diganti dengan bahasa “Ayo bercerita.” Bahasa “Jangan mencoret dinding,” diganti bahasa “Kalau kamu coret di buku gambar, pasti hasilnya akan lebih bagus.” Bahasa “Jangan menangis,” diganti bahasa “Mau pilih yang mana? Menangis atau minum susu?”

Dan sebaiknya ruang dan waktu bagi anak untuk bermain dan belajar dari semesta dibuka seluas-luasnya. Ini tidak hanya demi menikmati kurikulum semesta dalam rangka membangun kecerdasan naturalis anak, tetapi juga membangun berbagai kecerdasan lain yang melimpah dari kurikulum semesta kita.

Sabtu, 02 Juli 2022

Damai itu Indah




Oleh : Krismanto Atamou

 

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9). Ayat Injil ini mengajak umat untuk hidup berdamai dengan semua pihak, demikian khotbah Pdt. Aristoteles Benyamin Sandy, S.Th di GMIT Jemaat Eklesia Amadoke Semau Selatan beberapa waktu lalu. Pdt. Aristoteles saat ini sudah pindah ke GMIT Jemaat Eklesia Piaklain-Semau.

Setali tiga uang dengan penyampaian Pdt. Aristoteles, beberapa saat lalu di radio Dian Mandiri Alor, Ryla, pembawa acara “Jembatan Kasih” menyinggung ayat ini dalam renungannya. Melalui frekuensi radio 90.5 FM, dengan tagline “Bikin hidup lebih baik”, Ryla menyampaikan bahwa salah satu tujuan Tuhan menciptakan bumi adalah kehidupan yang damai.

Merenungi ayat ini, saya teringat kejadian di awal pandemi Covid-19 pada April 2020 lalu. Kala itu seorang paman saya meninggal dunia mengikuti istrinya yang telah lebih dahulu meninggal dunia pada 2011 lalu. Mendiang suami-istri ini meninggalkan tiga orang anak perempuan yang masih bersekolah di SMP dan SMA.

Satu hari setelah pemakaman, terjadilah perbincangan antara keluarga besar dari mendiang suami-istri. Keluarga mendiang istri menginginkan untuk mengambil dan memelihara seorang anak dari tiga anak yang ditinggalkan almarhum-almarhumah. Tujuannya keluarga mendiang istri ialah agar keeratan hubungan dan keharmonisan antar keluarga, yang telah dibangun selama ini oleh mendiang suami-istri, tetap terjaga melalui anak yang dipelihara oleh dua pihak keluarga.

Untuk menjawab permintaan keluarga mendiang istri ini, saya sebagai salah satu keluarga mendiang suami diberi kepercayaan sebagai juru bicara (jubir) untuk menjawab. Sayangnya permintaan kepada saya itu disertai sebuah tekanan: tidak boleh melepaskan satu anak pun kepada keluarga mendiang istri. Beruntungnya, tekanan itu tanpa rincian sehingga memberi ruang bagi saya untuk berkreasi.

Memperhitungkan win-win solution dan wasiat almarhum paman untuk tidak boleh memisahkan ketiga anaknya, saya menyampaikan: Ketika anak-anak ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, adalah wajar jika tanggung jawab pengasuhan anak-anak diberikan kepada keluarga mendiang suami-istri. Meski begitu, perlu diingat bahwa mendiang suami-istri sebagai pekerja tetap telah mewariskan sebuah tanah, rumah, dan gaji pensiun untuk ketiga anaknya. Di rumah yang berada di tengah kota Kupang ini, ada juga kakak-kakaknya yang menumpang untuk kuliah. Saya kira adalah lebih baik jika ketiga anak ini tetap tinggal di rumah warisan mereka. Mereka dijaga dan diasuh oleh kita kedua belah keluarga, kakak-kakak mereka yang sedang kuliah, dan para tetangga sebagai keluarga terdekat.

Mendengar jawaban itu, adik mendiang istri melalui jubirnya masih ingin mengambil anak yang bungsu. Pembicaraan sedikit memanas. Namun ketika saya menyilakan ketiga anak menyampaikan wasiat mendiang ayah mereka agar tidak boleh hidup terpisah, sontak momen itu menjadi haru. Kedua pihak keluarga tak kuasa menitikkan air mata lalu berdamai dan bersepakat: ketiga anak tetap tinggal di rumah warisan orang tuanya agar tidak terpisah sesuai wasiat mendiang ayah mereka.

 

Asa Perdamaian Rusia-Ukraina

Berangkat dari kisah ketiga anak yatim-piatu tadi, saya yakin harga untuk sebuah perdamaian tidak harus diikuti adanya perpisahan apalagi perang. Semuanya bisa melalui dialog dan saling memahami satu sama lain.

Untuk itu, saya sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang menggunakan jalan dialog sebagai upaya damai kepada Negara Rusia dan Ukraina yang saat ini sedang berperang. Apalagi dengan kerelaan beliau menempuh perjalanan jauh yang menguras stamina untuk hadir langsung di lokasi konflik. Saya yakin itu wujud ketulusan Presiden Jokowi untuk menyadarkan kedua belah pihak tentang dampak negatif perang yang perlu diakhiri.

Presiden Jokowi adalah pembawa damai. Dalam agama atau kepercayaan apa pun, saya kira damai adalah salah satu isu penting yang perlu diperjuangkan dan dipertahankan. Tanpa damai, kehidupan akan sulit.

Konon punahnya sebuah bahasa daerah di Mesir berawal dari permusuhan dua orang pewarisnya. Para pegiat budaya berupaya mendamaikan kedua pewaris bahasa ini agar keduanya bisa berkomunikasi dan bahasa mereka bisa didokumentasikan. Sayangnya upaya mereka gagal. Ketidakdamaian tidak hanya mempersulit, tetapi juga bisa memusnahkan kehidupan dan sendi-sendinya, hal yang sebenarnya tidak diinginkan siapa pun.

Beberapa hari lalu saya bercakap dengan anak tengah dari tiga anak yatim-piatu yang saya ceritakan di awal. Saat ini ia adalah salah satu siswi berprestasi dan mendapat beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM). Ia merasakan bahwa semenjak perang Rusia-Ukraina, harga-harga barang kebutuhannya secara perlahan meninggi. Ia berharap misi Presiden Jokowi untuk mendamaikan Rusia-Ukraina berhasil dan berimbas ke ekonomi yang membaik.

Sebagai umat beragama dan berkepercayaan, saya kira kini saatnya semua warga NKRI berdoa agar upaya damai Rusia-Ukraina yang dilakukan oleh Presiden Jokowi berhasil. Sebab bagaimanapun, damai itu indah.