Senin, 11 Juli 2022

Belajar dari Semesta


Oleh: Krismanto Atamou

 


Memanfaatkan waktu liburan kali ini, saya mengajak anak-anak bermain ke pantai Desa Fanating. Setelah bermain ombak di tepi pantai beberapa saat, Ben, anak saya yang berusia empat tahun berujar: “Ombak adalah air yang kuat.” Saya terkejut. Bagaimana anak sekecil itu sudah bisa menyimpulkan pengalamannya?

Saya lalu teringat teori yang mengatakan bahwa anak adalah orang dewasa muda. Begitulah sehingga dalam beberapa kesempatan, anak-anak membuat orang dewasa terkejut. Pasalnya, kadangkala anak-anak berlaku selayaknya orang dewasa dalam tutur maupun aksinya.

Untuk menguji pemahaman Ben terhadap konsep ombak yang baru saja ia ucapkan, saya bertanya: “Apa itu ombak, Ben?” Dia tidak menjawab. Mungkin dia sedang asyik dan menikmati bermain di pantai yang jarang ia temui. Atau mungkin kesimpulannya tentang ombak itu sebuah spontanitas atau refleks dari lakon hidup. Konteks spontanitas hidup seperti ini saya rasa telah menjadi bagian dari kealamian manusia sebagai makhluk sosial yang bisa berpikir dan merasa.

 

Kurikulum Semesta

Dari pengamatan saya terhadap Ben tadi, saya yakin anak-anak kita dapat memproduksi pengetahuannya sendiri dari pengalaman atau lakon hidup mereka sendiri. Kesimpulan Ben tadi saya kira tidak serta-merta. Sebelum kesimpulan itu muncul, ada rangkaian peristiwa yang melatari.

Sebelumnya, Ben dan kakaknya bermain membangun benteng dari pasir dengan panjang dan lebar sekira setengah meter. Seiring benteng pasir itu mereka bangun di sisi tertinggi pantai, air laut sedang pasang dan ombak terus menghantam pantai. Perlahan-lahan ombak menghantam bangunan benteng pasir yang mereka bangun lalu merobohkannya. Mereka berupaya menutup runtuhan dan membangun kembali benteng pasir.

Melihat bahwa upaya mereka akan sia-sia, bahwa mereka tak akan mungkin mampu melawan kekuatan ombak itu selamanya, saya menyarankan mereka untuk menyerah. Sang kakak menolak tegas. “Tidak!” katanya. Saya menyilakan. Sang kakak lalu membagi wilayah tanggung jawab dia dan adiknya untuk memperbaiki reruntuhan benteng pasir yang telah dihantam ombak.

Ombak mengikuti ketinggian pasang dan seiring waktu semakin memasuki wilayah benteng pasir mereka. Alhasil benteng pasir mereka porak-poranda dan mereka menyerah sendiri. Keduanya kembali membangun benteng pasir lebih ke arah darat dan dilanjutkan bermain air hingga kesimpulan Ben di awal tadi muncul.

Ternyata, apa yang mungkin kita lihat sebagai proses unfaedah (bermain benteng pasir di bawah ancaman terpaan ombak), telah menjadi kurikulum semesta untuk memproduksi pengetahuan anak. Dan ketika saya terkejut, sebenarnya saya telah menafikan proses bagaimana pengetahuan itu diproduksi lewat kolaborasi alam semesta dan alam berpikir anak. Mungkin beberapa orang tua seperti saya, atau bahkan lebih parah: melarang anak untuk mengalami kurikulum semesta.

 

Sisi Negatif Kata Jangan

“Berapa banyak pelajaran dari semesta kepada anak yang harus teranulir karena kata ‘jangan’? Banyak.” Begitu kira-kira kata alm. Munif Chatib, seorang praktisi pendidikan, dalam bukunya berjudul: Orang Tuanya Manusia.

Seringkali orang tua spontan melarang anak dengan kata jangan. Dan sayangnya, kata jangan itu tanpa diikuti penjelasan: mengapa jangan. Dalam posisi seperti ini, aktivitas fisik dan non-fisik anak dihentikan paksa secara tiba-tiba. Kata jangan, apalagi disertai bentakan, akan membuat bangun jalin sel saraf yang mulai terhubung satu sama lain di otak anak terhenti. Padahal bangun jalin sel saraf ini penting bagi anak.

Munif Chatib menjelaskan: kata jangan, apalagi dengan bentakan, membuat inisiatif anak untuk berkreasi melakukan sesuatu terhenti. Situasi ini dalam jangka panjang akan membunuh inisiatif dan kreativitas anak. Dan dapat dibayangkan bagaimana generasi bertumbuh tanpa inisiatif di dalam dirinya.

Setelah membaca beberapa buku karya Munif Chatib, sedapat mungkin saya berupaya menghindari kata jangan. Walaupun dalam kenyataannya sulit, apalagi jika sudah terbiasa, apalagi pola asuh dengan kata jangan sudah menjadi pola asuh warisan.

 

Saran

Memang terasa lebih mudah bagi orang tua berkata ‘jangan’ tanpa penjelasan. Pola asuh seperti ini tidak merepotkan. Namun Munif Chatib menyatakan, pola asuh seperti ini justru akan merepotkan di masa mendatang. Anak yang tumbuh tanpa inisiatif diramalkan akan sulit mandiri, sulit mencoba hal-hal baru, sulit berpikir kritis, sulit berani, sulit berpendapat, dan sulit bertanggungjawab di masa mendatang.

Untuk itu, kata jangan sebaiknya diganti dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Semisal bahasa “Jangan berteriak!” kepada si kecil diganti dengan bahasa “Ayo bercerita.” Bahasa “Jangan mencoret dinding,” diganti bahasa “Kalau kamu coret di buku gambar, pasti hasilnya akan lebih bagus.” Bahasa “Jangan menangis,” diganti bahasa “Mau pilih yang mana? Menangis atau minum susu?”

Dan sebaiknya ruang dan waktu bagi anak untuk bermain dan belajar dari semesta dibuka seluas-luasnya. Ini tidak hanya demi menikmati kurikulum semesta dalam rangka membangun kecerdasan naturalis anak, tetapi juga membangun berbagai kecerdasan lain yang melimpah dari kurikulum semesta kita.

Tidak ada komentar: