Minggu, 24 Juli 2022

Memanfaatkan Teknologi Digital


Oleh: Krismanto Atamou






 

Dalam rapat dewan guru, komite sekolah, dan para orang tua murid hari Rabu, 20 Juli 2022 lalu di sekolah, Kepala Sekolah saya Dapa Ngailo, S.Pd menyampaikan bahwa kini sudah saatnya digitalisasi dunia pendidikan. Begitulah pada ujian semester kali lalu kami sudah menggunakan gawai untuk melaksanakan ujian.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana murid harus menggunakan kertas sebagai lembar jawaban, kali ini murid hanya mengisi data di laman awal mesin pencari di gawai, lalu tampil soal dan pilihan jawaban di aplikasi penilaian. Mudah dan cepat.

Kemajuan teknologi digital dalam dunia pendidikan dimana gawai menjadi alatnya, ternyata juga menyimpan resiko yang dikhawatirkan para orang tua dan guru. Dalam rapat Rabu lalu, teman guru matematika menyampaikan bahwa dari dua puluh lima nomor soal yang harus melalui proses cakar untuk mendapatkan jawaban, ternyata hanya sedikit murid yang mencakar. Hal ini kelihatan melalui lembaran kertas cakar yang dikumpulkan oleh sang guru matematika.

Ketika murid tidak mencakar dalam menjawab soal cakaran, setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, murid tersebut mampu mencakar dalam imajinasi atau pikirannya, tidak perlu menggunakan kertas dan bolpoin. Kedua, murid tersebut malas untuk mencakar karena pada dasarnya tidak suka dengan matematika, alhasil murid hanya menebak jawaban atau menjawab dengan membabi buta.

Untuk menguji murid manakah yang dominan dari kedua kemungkinan tadi, dapat diketahui lewat hasil ujian yang langsung dapat terlihat setelah murid selesai mengerjakan soal. Sayangnya, hanya sebagian kecil anak yang berhasil. Lagu lama terdengar kembali: matematika masih menjadi pelajaran yang menakutkan dan tidak disukai banyak murid.

Sebagai guru IPA yang sebagian besar materi berhubungan dengan matematika, saya pun terkadang harus mengulang pelajaran matematika bagi murid. Di titik ini, untuk meningkatkan motivasi dan daya serap murid terhadap pelajaran yang selama ini momok, perlu kerja sama orang guru dan orang tua. Guru tidak bisa berjalan sendiri.

Semisal di rumah anak dibiasakan dengan game-game matematika untuk anak yang bisa diinstal di gawai. Sebab bagaimana pun, kini sudah zamannya anak-anak menggunakan gawai, tapi dengan catatan ada batasan umur, ada durasi pemakaian, dan ada kontrol orang tua.

Bagaimanapun, informasi di internet tidak bisa dibendung. Daripada anak mencari tahu sendiri lalu tersesat, alangkah lebih baik anak dipersiapkan untuk menjalani era internet ini. Orang tua dan guru bermitra untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam hati dan pikiran anak sehingga anak punya “alat saring” informasi yang diterimanya di internet, termasuk membiasakan anak mengakses konten pembelajaran matematika agar kelak matematika tidak lagi menjadi momok.

 

Hari Anak Nasional

Dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli 2022 ini, dari segi digitalisasi pendidikan, masih ada catatan panjang yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana mendorong anak untuk menggunakan gawai secara efektif dan efisien untuk pendidikan.

Diketahui bahwa saat ini ada banyak aplikasi, platform, dan website yang dapat dipakai untuk kepentingan pendidikan anak. Namun pertanyaannya, seberapa besar gawai tersebut benar-benar dipakai untuk pendidikan? Jangan-jangan hanya dipakai untuk hiburan semata.

Kedua, memenangkan perang atensi demi tenang mengakses konten-konten mendidik di internet. Bahaya terbesar saat ini ialah kita mudah teralihkan dari konten pendidikan kepada konten hiburan, bahkan konten “beracun”. Misalnya saja sedang membaca buku di aplikasi perpustakaan digital I-pusnas lalu muncul notifikasi whatsapp, facebook, dan aplikasi lainnya.

Jika sudah terbiasa merespon notifikasi media sosial, maka biasanya jari kita seolah bergerak sendiri untuk membuka notifikasi-notifikasi tersebut. Di titik inilah perang atensi terjadi. Syukurlah beberapa gawai telah dilengkapi fitur ‘jangan ganggu’ yang jika diaktifkan maka segala notifikasi akan ‘diredam’.

Ketiga, pentingnya pendidikan bermedia sosial bagi anak. Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengusulkan batasan usia untuk memiliki akun media sosial adalah 17 tahun. Mungkin karena belum disahkan, hingga kini anak di bawah 17 tahun ada yang sudah memiliki media sosial.

Bahkan jika RUU PDP ini disahkan, masih ada kemungkinan anak di bawah usia 17 tahun bisa memiliki media sosial dengan memanipulasi data, merengek meminjam gawai orang tuanya saat orang tua sedang berbicara dengan tamu,  dan cara lainnya. Oleh karena itu, saya kira, alih-alih mengontrol anak dari luar dirinya, alangkah lebih baik fungsi kontrol itu ditanamkan di dalam hati dan pikiran anak. Caranya yaitu melalui pendidikan dan pembiasaan oleh orang tua maupun guru, tentu dengan memperhatikan batasan umur anak.

Bagi anak SMP di sekolah saya, beberapa kali kami menyampaikan kiat bermedia sosial yang benar, aman, dan positif. Semisal kiat menghindari konten hoax dan konten dewasa, kiat mengamankan akun media sosial, kiat berkomunikasi di media sosial dan mengakses konten positif yang mendidik.

Selamat Hari Anak Nasional.

Tidak ada komentar: