Minggu, 31 Juli 2022

Perang Atensi terhadap Reels


Oleh : Krismanto Atamou






 

Perlahan tapi pasti, beberapa musik atau lagu latar dari video-video singkat media sosial (reels) telah terinternalisasi dalam alam bawah sadar saya. Beberapa lagu itu misalnya: entah siapa yang salah …kutak tahu, hiduplah denganku duer … dengarkanlah,  dan masih banyak lagi.

Terekamnya lagu-lagu itu di alam bawah sadar saya membuktikan: telah banyak waktu yang saya lewati untuk menonton reels. Saya kira, terkait hal ini, saya tidak sendiri. Bahkan seorang kerabat saya tidak tahu bahwa konten video itu adalah reels, padahal dia sudah lama menontonnya.

Sadar atau tidak, reels telah menghisap atensi kita dari berbagai hal lain yang perlu juga kita lakukan sehari-hari. Dee Lestari dalam podscad bersama Gita Wirjawan, memiliki istilah khusus untuk konten-konten media sosial seperti reels ini. Dee Lestari menyebutnya seolah “vampir” yang menghisap atensi kita.

Seorang teman menyebut reels sebagai cara membunuh waktu untuk segera tua. Bayangkan kita menonton reels di setiap waktu senggang atau waktu yang “disenggang-senggangkan”, tidak terasa, banyak waktu telah berlalu. Tanpa sadar, umur kita telah bertambah dan melaju begitu cepat.

Tere Liye dalam postingan facebook berjudul “Kita orang tua gagal?” mengkritisi orang tua yang sibuk bermain handphone. “Mending buka HP dulu ah, buka gadget, scroll, scroll, klik, klik. Menatap layar HP. Sibuk nih, banget, mana sempat sih ngurusin anak2,” tulisnya. Dapat dibayangkan, betapa banyak waktu yang semestinya dipakai orang tua untuk mengasuh anak, dirampas oleh media sosial, termasuk oleh reels.

Jika waktu pengasuhan orang tua terhadap anak tersita oleh atensi pada reels, jangan heran kemudian pertumbuhan sikap dan moral anak-anak terabaikan. Lalu muncullah berbagai kasus perundungan terhadap anak yang juga dilakukan oleh sesamanya. Semisal kasus yang menimpa korban anak F (11), siswa kelas V SD di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tragisnya anak itu mengalami depresi hingga meninggal dunia pada 18 Juli 2022 lalu.

 

Manajemen Waktu dan Jari

Saat ini, saya rasa kita sedang berada di medan perang atensi. Kita seolah sedang berperang antara hidup di dunia nyata atau di dunia maya. Hal yang sebenarnya bukan sebuah pilihan ganda untuk dipilih salah satunya. Di era digitalisasi, saya kira kedua dunia ini mesti berjalan beriringan dan saling melengkapi. PR besarnya ialah bagaimana mengatur atensi kita agar sedapat mungkin tidak ada yang dikorbankan.

Semisal dalam keluarga, orang tua tidak mengorbankan waktu pengasuhan anak demi kehidupan di dunia maya. Demikian juga anak, tidak mengorbankan waktu belajar, bersosialisasi, dan waktu berkualitasnya bersama keluarga demi bermain game atau aktivitas dunia maya lainnya. Apakah kita sanggup untuk itu? Saya kira sulit.

Saat tubuh kita sudah terpola untuk lekat dengan gawai dan berkehidupan maya, saat tangan kita sudah refleks untuk meraih gawai setiap sempat, saat kepala dan mata kita sudah refleks tertuju pada gawai daripada melihat kehidupan riil, lalu kita ingin mengubahnya karena sadar ada hal penting lain yang telah abai dari perhatian kita, itu pastinya tidak mudah.

Karena tidak mudah inilah, saya menggunakan kata “perang” untuk menggambarkan betapa sulitnya memenangkan perang atensi kita terhadap konten reels. Apalagi ketika media sosial selalu menawarkan hal-hal baru untuk melayani ketidakpuasan manusia. Format konten reels di facebook yang baru dirilis tahun 2022 ini ternyata diminati oleh banyak netizen.

Beberapa postingan teks panjang saya di facebook setelah seharian baru dilihat dua puluhan orang, tapi ketika saya membuat konten reels, baru beberapa jam sudah ditonton lebih dari 100 orang. Saya terkejut. Kok bisa secepat itu? Ya, mungkin karena rata-rata manusia cepat bosan dan menyukai hal-hal baru, terutama hal-hal yang diminatinya. Dan artifisial inteligensi facebook selalu tahu bahwa kita menyukai hal-hal tertentu itu. Bahkan terkadang, hal-hal yang baru saja kita pikirkan, eh rupa-rupanya sudah nongol di beranda media sosial kita.

Pertanyaannya: bagaimana kita lepas dari jeratan reels, lalu memenangkan perang atensi terhadapnya? Bagaimana tubuh dan pikiran kita dapat terus sadar lalu menghindari gerak refleks yang mengarahkan kita pada reels?  Lalu, apakah reels adalah momok yang perlu kita hindari?

Saya kira jawabannya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah benar-benar reels telah merampok waktu berkualitas kita? Apakah reels telah mengalahkan kita dalam perang atensi terhadap hal-hal lain yang lebih penting dalam hidup kita? Semisal waktu untuk membaca buku, menjalankan ibadah, bersosialisasi, belajar via internet, dan hal-hal positif lainnya?

Sampai di titik ini, saya duga akan ada pembaca yang menyanggah: bukankah di reels pun ada konten-konten mendidik? Ya, benar. Beberapa pembuat konten yang mendidik juga telah memosting konten-konten mereka di reels. Untuk itu, sebaiknya kita mampu menahan refleks jari, yang kemungkinan besar akan melewatkan perhatian kita dari konten-konten mendidik itu.

Tidak ada komentar: