Senin, 03 Januari 2022

Guru Sebagai Agen Antikorupsi

 

 


 

 

Oleh : Krismanto Atamou   
 
Sebagai refleksi, pada tahun 2021 lalu, ada catatan panjang oknum guru yang diduga terlibat kasus korupsi di Indonesia. Pada Agustus 2021 lalu Mendikbud Nadiem Makarim mengakui masih terjadi praktik korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (detikNews,8/2021).  
Idealnya guru mengambil peran untuk mengajarkan nilai-nilai antikorupsi di sekolah. Namun sayangnya, sekolah terkadang malah menjadi lahan basah bagi guru untuk melakukan korupsi. Alih-alih bersikap antikorupsi, ironisnya guru malah menjadi pelaku korupsi. Untuk itu, saya mengacungi jempol kepada media dan aparat penegak hukum karena telah bergerak cepat dan tegas dalam merespons masalah korupsi di sekolah. Sebab melalui pemberitaan media dan penegakan hukum kasus korupsi di sekolah, publik dapat mengikuti dan mengambil pembelajaran berarti.  
Terkhusus di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan kehadiran Kapolda baru yaitu Brigjen Pol Setyo Budianto yang sebelumnya merupakan Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (Victory News,12/2021), sekiranya menjadi angin segar bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
 
Praktik Korupsi di Sekolah   
 
Sudah lama praktik korupsi terjadi di sekolah dengan banyak modus. Beberapa modus yang terjadi di sekolah yaitu antara lain: gratifikasi, suap, mal administrasi, upaya menghindari pajak, dan mark up harga.  
Setidaknya, ada lima modus kasus korupsi di sekolah yang sering terjadi saat ini. Pertama, gratifikasi pada realisasi dana Program Indonesia Pintar (PIP). Guru mewakili orang tua mencairkan dana dana PIP, setelah pencairan, terjadilah gratifikasi. Orang tua murid memberi sejumlah uang kepada guru yang telah membantu sebagai uang terima kasih.  
Gratifikasi seperti ini tidak selamanya terjadi secara sukarela, tetapi juga dengan paksaan. Ada juga kasus dimana oknum guru berupaya mempersulit syarat administrasi pencairan dana PIP. Alhasil, orang tua murid yang bersikap pragmatis, memilih jalan mudah untuk mendapatkan syarat tersebut. Terjadilah suap. Jadi intinya oknum guru sengaja mempersulit untuk mendapatkan suap.  
Kedua, kepala sekolah memalsukan surat kuasa pencairan dana PIP dari orang tua murid lalu menggelapkan uang hasil pencairan. Dalam kasus lain, surat kuasa pencairan dana PIP dari orang tua murid adalah asli, namun uang hasil pencairan digelapkan begitu saja oleh kepala sekolah.  
Ketiga, tidak ada transparansi pengelolaan dana BOS. Dana BOS dikelola sendiri oleh kepala sekolah tanpa melibatkan tim BOS sekolah. Salah satu anekdot menyebutkan: dana BOS untuk bos (kepala sekolah). Dalam kondisi seperti ini praktis penyelewengan dana dan manipulasi administrasi laporan keuangan pasti terjadi.  
Keempat, kepala sekolah hanya menunjuk orang-orang khusus yang bisa diajak ‘bermain’ dalam mengurus dana BOS. Orang-orang khusus ini biasanya tak tergantikan selama mereka masih hidup dan selama kepala sekolah masih menjabat. Jika sudah begitu, praktis pelayanan pendidikan yang prima kepada murid terbengkalai.  
Kelima, rancangan dan realisasi dana BOS tidak sesuai kebutuhan nyata di sekolah. Salah satu faktor penyebab terjadinya hal ini yaitu proses pengangkatan kepala sekolah tidak sesuai prosedur yang berlaku. Akibatnya, oknum kepala sekolah tidak memiliki kompetensi mengelola dana BOS.   
 
Pencegahan Korupsi Melalui Guru   
 
Pelaku korupsi di sekolah dapat berwujud birokrasi, guru, pegawai, komite, bahkan murid yang sudah terpapar kebiasaan korup dari lingkungannya. Di antara semua itu, posisi guru lebih kuat dan luas pengaruhnya bagi murid. Hal ini karena sebagai pendidik dan pengajar, guru bersentuhan langsung dengan banyak murid. Jika guru kencing berdiri, otomatis murid kencing berlari.  
Untuk itu, mulianya guru bisa menjadi teladan dan memperjuangkan nilai-nilai antikorupsi. Jika peran penting guru ini dilemahkan dengan perilaku koruptif, maka itu sama saja dengan kejahatan luar biasa untuk menghancurkan masa depan bangsa Indonesia, dan itu tidak boleh terjadi.  
Oleh karena itu, demi menghasilkan guru yang bisa menjadi teladan dan mengajarkan antikorupsi, maka mulai dari sistem pendidikan calon guru, nilai antikorupsi wajib ditanamkan. Demikian pula pada sistem rekrutmen guru, sistem pengawasan, dan sistem penindakan bagi guru.  
Guru yang terlibat korupsi secepatnya diberi teguran, pembinaan, dan sanksi tegas yang memberi efek jera. Efek jera tidak melulu dari sanksi hukum, tetapi juga dengan sanksi sosial.
 Ketika guru telah bebas dari perilaku korupsi, maka saya yakin sekolah pun akan kembali kepada marwahnya. Sekolah menjadi wiyata mandala yang mengajar dan mendidik nilai-nilai luhur termasuk nilai antikorupsi. Sekolah berperan sebagai agen transformasi menuju Indonesia yang bebas dari korupsi.  
Guru dengan pengetahuan dan keteladanan antikorupsi, akan tampil Ing Ngarso Sung Tulodo. Ia memberi teladan sikap tindak antikorupsi dan bukan sebaliknya.