Rabu, 24 Agustus 2022

Belajar dari Anak-anak



Oleh: Krismanto Atamou

Farel Prayoga, bocah penyanyi itu mendadak viral. Pasalnya ia meramaikan upacara Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia di Istana Merdeka dengan menyanyikan lagu Ojo Dibandingke (victorynews.id, 18/8/2022).

Farel Prayoga sebelumnya adalah pengamen jalanan di kawasan Banyuwangi dan sekitarnya. Ia berhasil memeriahkan momentum proklamasi dengan lagu Ojo Dibandingke. Tampilnya Farel Prayoga dengan lagu ini cukup menghibur di situasi negeri yang sedang “mendung” gegara kasus Sambo.

Presiden Jokowi dan Anak Indonesia

Selama kepemimpinan Presiden Jokowi, saya melihat ada kedekatan beliau dengan anak-anak se-Indonesia. Dalam berbagai kunjungan beliau ke daerah-daerah, kerap beliau menghampiri anak-anak lalu merangkul, berfoto bersama, atau menggendong anak-anak itu. 

Di Papua misalnya, Presiden Jokowi menggendong beberapa anak di Sorong, Papua Barat, tahun 2018 lalu. Videonya dapat disaksikan di channel YouTube CNN Indonesia tanggal 13 April 2018 lalu. Dengan nyamannya anak-anak itu digendong dalam pelukan beliau. 

Masih di tahun 2018, tepatnya 17 Agustus 2018, seorang anak dari perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) akhirnya dipanggil ke istana gegara menyelamatkan bendera Merah Putih. Bocah tersebut adalah Yohanes Ande Kala alias Joni Kala. Ia dipanggil ke istana Negara dan bertemu Presiden Jokowi.

Terkadang pula Pak Jokowi memberikan kuis, lalu menghadiahkan sepeda kepada anak-anak. Melihat fenomena kedekatan Pak Jokowi dengan anak-anak, saya kira, beliau secara tidak langsung mengajak orang dewasa untuk tidak abai memperhatikan anak, dan bahkan bisa belajar dari anak-anak.

Dalam isi kitab Nasrani pada Lukas 18:16 tertulis: “Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: ‘Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Sikap seperti anak kecil, yang percaya sepenuhnya tanpa rasa takut perlu kita miliki supaya kita bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah (e-Santapan Harian). Yesus meminta orang dewasa untuk belajar dari anak-anak.

Pembelajaran

Dari anak, orang dewasa bisa belajar banyak hal. Salah satunya tentang ketulusan mereka dalam kemanusiaan. Semisal yang ditampilkan pada film berjudul “The Boy in the Striped Pajamas”. Film ini diangkat dari novel berjudul sama karya penulis John Boyne asal Irlandia. 

Film dengan akhir menyedihkan ini seolah menampar keangkuhan dan keserakahan orang dewasa. Tokoh utamanya ialah seorang anak Yahudi bernama Schmuel di kamp konsentrasi NAZI. Ia berteman dengan Bruno, seorang anak dari petinggi NAZI. 
Schmuel dan Bruno saling membantu dan bermain bersama. Di akhir cerita Bruno tewas karena membantu Schmuel mencari ayahnya di kamp konsentrasi. Keduanya dimasukkan oleh NAZI ke ruang gas lalu tewas karena proses Holocaust itu. Bruno tak sengaja menjadi korban kekejaman ayah dan kaumnya sendiri.

Demikian pula pada buku kumpulan cerita pendek (cerpen) kemanusiaan karya Fanny J. Poyk berjudul “Tanah Warisan Leluhur”, ada cerpen berjudul “Rumah”. Cerpen ini menggambarkan kondisi ideal sebuah rumah tangga dengan dua orang anak. Keharmonisan rumah tangga itu sayangnya kandas gegara suami istri yang membangunnya mempertahankan ego masing-masing. Alhasil, anak menjadi korban. Namun di akhir cerpen, kedua anak itu bertekad akan membangun kembali suasana harmonis kelak saat mereka dewasa.

Dalam hal kemanusiaan, anak ternyata tidak sungkan-sungkan untuk berteman, berbagi, mengusahakan, dan mencita-citakan kemanusiaan itu. Bahkan meski tidak saling kenal, meski kondisi sekitar tidak memungkinkan atau sulit, anak-anak terus mengupayakan kehidupan yang bahagia bersama sesamanya.

Salah satu sikap yang patut dicontoh dari anak-anak adalah sikap rela berkorban. Joni Kala pada 17 Agustus 2018 lalu misalnya, mengabaikan rasa sakit perutnya dan memanjat tiang bendera demi mengambil ujung tali bendera yang putus. Selain Joni Kala, ada banyak bocah lain yang melakukan penyelamatan bendera, semisal Akhyar, pelajar SMPN 3 Mutiara, Pidie, Provinsi Aceh pada 17 Agustus 2022 lalu.

Dari bocah Farel Prayoga kita dapat belajar bahwa ada kebaikan di balik setiap pengorbanan. Kala ia mengorbankan kesenangan bermain lalu membantu orang tua mencari nafkah dengan mengamen, ia sebenarnya sedang diproses untuk menjadi penyanyi yang baik. Alhasil Tuhan memberkatinya lewat nasib baik. Ia mendapat restu presiden Jokowi untuk ke istana Negara dan tampil pada perayaan 17 Agustus 2022 lalu.

Rosyid H. Dimas pada 24 Juli 2022 lalu menulis sebuah cerpen di harian Kompas. Cerpen berjudul “Lelaki Aneh di Perpustakaan” itu diakhiri dengan kalimat “Ah, la verite sort de la bouche des enfants, kebenaran keluar dari mulut anak-anak.” Begitulah, di titik tertentu dalam kehidupan ini, saya rasa, orang dewasa perlu juga belajar perihal kehidupan dari anak-anak. Kehadiran anak-anak nyatanya dapat menghibur, menghadirkan suasana riang, dan juga dapat mencerahan sekaligus.

Minggu, 14 Agustus 2022

Bersih-bersih di Kemendikbudristek


Oleh : Krismanto Atamou

 

Sekelas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa salah cetak buku? Saya tidak habis pikir. Begitu reaksi saya tatkala merespon postingan teman facebook terkait buku yang viral akhir-akhir ini.

Buku yang viral itu adalah buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) untuk SMP kelas tujuh. Penulisnya ialah Zaim Uchrowi dan Ruslinawati. Editornya ialah Sunan Hasan dan penyelia ialah Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Basan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, cetakan pertama tahun 2021, dengan ISBN 978-602-244-312-4.

Hal yang disorot dari berbagai postingan di media sosial terkait buku ini ialah kesalahan fatal terkait Tuhan yang disembah oleh agama Kristen Protestan dan Katolik. Sang penulis buku ini menulis Ketritunggalan Tuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan maupun Katolik. Sangat fatal.

Protes terhadap buku ini datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya guru-guru, tetapi juga rohaniawan, dan penulis. Tidak hanya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, tetapi juga dari agama lainnya.

Sebagai guru, saya sangat menyayangkan induk institusi pendidikan nasional ini. Entah bagaimana, istitusi semulia itu bisa diisi oleh oknum-oknum yang dapat memecah-belah bangsa lewan konten-konten tulisan yang sangat menyinggung agama tertentu.

Tidak seperti kasus Holywings dimana nama tokoh agama dipakai dalam iklan, dalam kasus buku pelajaran PKn ini jelas-jelas menyesatkan ajaran agama. Sesuatu yang keliru dan sesat. Dan sebagaimana komentar saya di awal tadi, saya tidak mengira kesalahan ini bisa terjadi, tapi sudah terjadi, dan kekeliruan soal konten Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) ini bukan baru sekali terjadi.

Meski kemudian Kemendikbudristek menarik peredaran buku tersebut dan merevisinya, bagaimana pun saya rasa para penulis buku dan pihak Kemendikbudristek mesti meminta maaf atas kesalahan tersebut. Dan bila perlu, oknum penulis yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak dipakai lagi ke depannya.

Sudah cukup isu SARA berupaya merongrong keharmonisan berbangsa dan bernegara kita selama ini. Sayang sangat disayang, ketika Mendikbudristek sedang menggelorakan kurikulum merdeka untuk kemajuan pendidikan Indonesia, upayanya itu terganggu oleh oknum penulis yang saya duga tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis.

 

Asas Kehati-hatian

Nova Nansie Tiwa, pemosting pertama kekeliruan buku ini di facebook akhirnya mendapatkan jawaban dari Kemendikbudristek. Ada empat poin jawaban Kemendikbudristek. Pertama, Kemendikbudristek mengapresiasi masukan, saran, dan koreksi untuk perbaikan berkelanjutan terkait buku pendidikan. Buku pendidikan yang diterbitkan Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan.

Dua, terkait konten dalam buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMP kelas tujuh terbitan 2021, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek tengah melakukan kajian dan menindaklanjuti dengan memperbaiki sesuai masukan yang diterima, khususnya mengenai penjelasan tentang Trinitas dalam agama Kristen Protestan dan Katolik.

Tiga, dalam proses melakukan perbaikan, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek akan melibatkan pakar dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja-gereja Indonesia. Buku yang beredar akan ditarik dan diganti dengan edisi revisi. Untuk versi cetak, Kemendikbudristek sudah menghentikan proses pencetakan versi lama, dan pencetakan selanjutnya akan menggunakan edisi revisi. Kemendikbudristek akan segera mengedarkan suplemen perbaikannya bagi yang sudah menerima buku.

Empat, Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima masukan, koreksi, dan saran untuk memperbaiki kualitas buku-buku pendidikan. Masukan, koreksi, dan saran dapat dialamatkan kepada penulis atau melalui alamat surel buku@kemdikbud.go.id.

Kejadian buku PKn kelas tujuh yang viral ini ibarat nila setitik, rusak air sebelanga. Ulah satu dua penulis, seluruh Kemendikbudristek terimbas getahnya. Tini Pasrin pada postingan novelis Felix Nesi berkomentar: “Kementerian Riset yang tidak Riset.” Ini hanya salah satu komentar dari berbagai komentar lain di berbagai postingan yang saya ikuti. Beginilah hasilnya jika sekelas Kemendikbudristek kurang berhati-hati.

Untuk itu, saya kira Kemendikbudristek perlu menggunakan asas kehati-hatian dalam merilis produk apa pun, termasuk buku. Dan jika poin tiga dari jawaban Kemendikbudristek di atas telah dilakukan sebelumnya, saya kira hal seperti ini sedapat mungkin bisa dihindari.

Saya menduga bahwa oknum tertentu memanfaatkan disclaimer yang ada juga di laman awal setiap buku produk Kemendikbudristek. Disclaimer itu menyatakan: buku produk Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. Dengan disclaimer ini, membuka peluang oknum nakal yang diduga sengaja menyalah-nyalahkan atau (lebih parah) menyimpangkan isi buku cetakan pertama untuk menguras keuangan negara demi proyek cetakan revisi, atau untuk kepentingan pribadi tertentu, atau untuk kepentingan dan tujuan golongan tertentu.

Untuk itu, Kemendikbudristek perlu mengambil tindakan tegas. Apalagi pada buku-buku yang menyinggung dan mengandung unsur SARA. Isu-isu ini sangat sensitif dan perlu penanganan sangat hati-hati. Oknum-oknum yang terbukti mengambil untung dari “celah disclaimer”, saya kira perlu “dibersihkan” dari tubuh Kemendikbudristek.

Bravo POLRI





Oleh: Krismanto Atamou

 

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) saat sedang menghadapi masalah besar. Saking besarnya sehingga menjadi atensi publik, menjadi sorotan media dan para pengamat, bahkan mendapat respon dari Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD.

Tidak main-main, kasus yang menewaskan Brigadir J. ini menyeret banyak oknum petinggi POLRI. Brigadir J. tewas diduga ditembak di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo di kompleks POLRI, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022) sore. Diketahui, Brigadir J merupakan personel kepolisian yang ditugaskan sebagai sopir istri Ferdy Sambo (detik.com, 06/08/2022).

Beberapa hari belakangan ini, di beranda media sosial saya, berseliweran berita mengenai peristiwa tewasnya Brigadir J., juga viralnya Si Pesulap Merah. Namun peristiwa tewasnya Brigadir J. lebih mendominasi postingan teman-teman, tautan media online, reels, juga video-video YouTube. Bagaimana tidak, institusi dimana masyarakat menaruh harapan akan upaya penegakan hukum, justru sedang terjadi kasus hukum.

 

Pertaruhan

Melalui pengusutan kasus tewasnya Brigadir J., saya kira akan menjadi pertaruhan bagi nama baik, kredibilitas, dan profesionalitas institusi POLRI. Dan sebagai salah satu masyarakat Indonesia, saya sangat berharap POLRI dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik dan benar. Bagaimana pun, institusi POLRI sangat dicintai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bukti kecintaan itulah yang disampaikan melalui perhatian yang lebih kepada institusi ini.

Beberapa saat lalu, Iqbal Aji Daryono, mentor menulis saya di Kelas Menulis Online menulis sebuah buku terkait kinerja POLRI. Buku tersebut berjudul: Berjuang di Sudut-sudut Tak Terliput. Menurutnya, buku yang tidak dijual untuk umum ini, isinya adalah dokumentasi kisah-kisah humanis Bapak Ibu personel POLRI yang bertugas di seluruh pelosok Indonesia. Bagaimana dalam kondisi sulit, jauh dari jangkauan liputan media, ternyata Bapak Ibu personel POLRI tetap menjalankan tugas secara humanis, bahkan berkorban bagi pelayanan kemanusiaan di masyarakat.

Meminjam diksi “sudut-sudut tak terliput” dari Iqbal Aji Daryono untuk menjudulkan buku dokumentasi kinerja personel Polisi di pelosok Indonesia, nampaknya kali ini, pada tubuh POLRI di Jakarta juga ada “sudut-sudut tak terliput” yang perlu “diliput” jika tidak berkaitan dengan rahasia tertentu yang perlu dijaga demi kepentingan bangsa dan negara. Tujuannya ialah untuk mengenal lebih dekat bagaimana anggota dan petinggi POLRI di Jakarta menjalankan amanat dalam bekerja bagi masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.

 

Refleksi

Saya yakin, masyarakat Indonesia masih mencintai dan mempercayai institusi POLRI. Ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan positif dari publik, khususnya dari pengguna media sosial Indonesia. Dukungan ini diberikan terutama setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan jabatan Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Kombes Budhi Herdi Susianto, dan sebelumnya menonaktifkan Kadiv Propam POLRI Irjen Ferdy Sambo (Tribun-Medan.com, 20/07/2022).

Melihat apa yang dialami oleh beberapa petinggi POLRI kali ini, saya secara pribadi merasa sedih. Bahkan dalam angan, saya berharap kejadian seperti ini tidak terjadi. Saya membayangkan para petinggi POLRI, juga pejabat tinggi lainnya di negeri Indonesia ini adalah penerus Jenderal Besar Sudirman, yaitu mereka yang rela meninggalkan urusan dan kepentingan pribadi lalu memberi diri bagi bangsa dan Negara.

 

Gugur Bunga

Yonetha Reo Thong, teman facebook saya memosting ulang video dari akun YouTube VIVACOID pada 8 Agustus 2022, dengan tambahan latar suara lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Dalam video itu Irjen Ferdy Sambo berbicara tentang keberadaan Divisi Propam POLRI.

Menghayati lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki dalam keadaan seperti sekarang ini, saya kira, siapa pun warga negara Indonesia, apalagi aparat negara, akan merasa sedih. Pasalnya, kita mesti “kehilangan” prajurit dalam peristiwa yang viral belakangan ini.

 

Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri

 

Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati

 

Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti

 

Jika dulu, para pahlawan gugur di medan pertempuran oleh senjata dan strategi musuh agar Indonesia merdeka, maka kini, para pahlawan (aparatur negara dan petinggi di negeri ini) mesti berhati-hati agar tidak “gugur” gegara urusan dan kepentingan yang menjauhkan diri dari menjalankan amanat yang telah diberikan oleh bangsa dan negara Indonesia.

Untuk itu, melalui peristiwa tewasnya Brigadir J., saya kira POLRI perlu berani berbenah, “mengintrospeksi diri”, bahkan berani “bersih-bersih” di tubuh POLRI. Hingga saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah melakukan langkah maju dalam menangani kasus ini. Langkah Kapolri ini perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh dari masyarakat untuk mengawal kasus ini.

Seiring pengusutan kasus ini, saya rasa POLRI perlu juga berefleksi untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa. Sebab sangat disayangkan bila ada aparat POLRI di negeri ini akhirnya mesti “gugur” gegara hal yang semestinya bisa dielakkan.

Meminjam diksi pada lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki tadi, saya masih percaya bahwa aparat POLRI adalah pahlawan yang gagah perkasa dan pembela bangsa sejati. Bravo POLRI. Salam Presisi.