Rabu, 24 Agustus 2022
Belajar dari Anak-anak
Minggu, 14 Agustus 2022
Bersih-bersih di Kemendikbudristek
Oleh : Krismanto Atamou
Sekelas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa salah cetak buku? Saya tidak habis pikir. Begitu reaksi saya tatkala merespon postingan teman facebook terkait buku yang viral akhir-akhir ini.
Buku yang viral itu adalah buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) untuk SMP kelas tujuh. Penulisnya ialah Zaim Uchrowi dan Ruslinawati. Editornya ialah Sunan Hasan dan penyelia ialah Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Basan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, cetakan pertama tahun 2021, dengan ISBN 978-602-244-312-4.
Hal yang disorot dari berbagai postingan di media sosial terkait buku ini ialah kesalahan fatal terkait Tuhan yang disembah oleh agama Kristen Protestan dan Katolik. Sang penulis buku ini menulis Ketritunggalan Tuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan maupun Katolik. Sangat fatal.
Protes terhadap buku ini datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya guru-guru, tetapi juga rohaniawan, dan penulis. Tidak hanya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, tetapi juga dari agama lainnya.
Sebagai guru, saya sangat menyayangkan induk institusi pendidikan nasional ini. Entah bagaimana, istitusi semulia itu bisa diisi oleh oknum-oknum yang dapat memecah-belah bangsa lewan konten-konten tulisan yang sangat menyinggung agama tertentu.
Tidak seperti kasus Holywings dimana nama tokoh agama dipakai dalam iklan, dalam kasus buku pelajaran PKn ini jelas-jelas menyesatkan ajaran agama. Sesuatu yang keliru dan sesat. Dan sebagaimana komentar saya di awal tadi, saya tidak mengira kesalahan ini bisa terjadi, tapi sudah terjadi, dan kekeliruan soal konten Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) ini bukan baru sekali terjadi.
Meski kemudian Kemendikbudristek menarik peredaran buku tersebut dan merevisinya, bagaimana pun saya rasa para penulis buku dan pihak Kemendikbudristek mesti meminta maaf atas kesalahan tersebut. Dan bila perlu, oknum penulis yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak dipakai lagi ke depannya.
Sudah cukup isu SARA berupaya merongrong keharmonisan berbangsa dan bernegara kita selama ini. Sayang sangat disayang, ketika Mendikbudristek sedang menggelorakan kurikulum merdeka untuk kemajuan pendidikan Indonesia, upayanya itu terganggu oleh oknum penulis yang saya duga tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis.
Asas Kehati-hatian
Nova Nansie Tiwa, pemosting pertama kekeliruan buku ini di facebook akhirnya mendapatkan jawaban dari Kemendikbudristek. Ada empat poin jawaban Kemendikbudristek. Pertama, Kemendikbudristek mengapresiasi masukan, saran, dan koreksi untuk perbaikan berkelanjutan terkait buku pendidikan. Buku pendidikan yang diterbitkan Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan.
Dua, terkait konten dalam buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMP kelas tujuh terbitan 2021, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek tengah melakukan kajian dan menindaklanjuti dengan memperbaiki sesuai masukan yang diterima, khususnya mengenai penjelasan tentang Trinitas dalam agama Kristen Protestan dan Katolik.
Tiga, dalam proses melakukan perbaikan, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek akan melibatkan pakar dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja-gereja Indonesia. Buku yang beredar akan ditarik dan diganti dengan edisi revisi. Untuk versi cetak, Kemendikbudristek sudah menghentikan proses pencetakan versi lama, dan pencetakan selanjutnya akan menggunakan edisi revisi. Kemendikbudristek akan segera mengedarkan suplemen perbaikannya bagi yang sudah menerima buku.
Empat, Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima masukan, koreksi, dan saran untuk memperbaiki kualitas buku-buku pendidikan. Masukan, koreksi, dan saran dapat dialamatkan kepada penulis atau melalui alamat surel buku@kemdikbud.go.id.
Kejadian buku PKn kelas tujuh yang viral ini ibarat nila setitik, rusak air sebelanga. Ulah satu dua penulis, seluruh Kemendikbudristek terimbas getahnya. Tini Pasrin pada postingan novelis Felix Nesi berkomentar: “Kementerian Riset yang tidak Riset.” Ini hanya salah satu komentar dari berbagai komentar lain di berbagai postingan yang saya ikuti. Beginilah hasilnya jika sekelas Kemendikbudristek kurang berhati-hati.
Untuk itu, saya kira Kemendikbudristek perlu menggunakan asas kehati-hatian dalam merilis produk apa pun, termasuk buku. Dan jika poin tiga dari jawaban Kemendikbudristek di atas telah dilakukan sebelumnya, saya kira hal seperti ini sedapat mungkin bisa dihindari.
Saya menduga bahwa oknum tertentu memanfaatkan disclaimer yang ada juga di laman awal setiap buku produk Kemendikbudristek. Disclaimer itu menyatakan: buku produk Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. Dengan disclaimer ini, membuka peluang oknum nakal yang diduga sengaja menyalah-nyalahkan atau (lebih parah) menyimpangkan isi buku cetakan pertama untuk menguras keuangan negara demi proyek cetakan revisi, atau untuk kepentingan pribadi tertentu, atau untuk kepentingan dan tujuan golongan tertentu.
Untuk itu, Kemendikbudristek perlu mengambil tindakan tegas. Apalagi pada buku-buku yang menyinggung dan mengandung unsur SARA. Isu-isu ini sangat sensitif dan perlu penanganan sangat hati-hati. Oknum-oknum yang terbukti mengambil untung dari “celah disclaimer”, saya kira perlu “dibersihkan” dari tubuh Kemendikbudristek.
Bravo POLRI
Oleh: Krismanto Atamou
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) saat sedang menghadapi masalah besar. Saking besarnya sehingga menjadi atensi publik, menjadi sorotan media dan para pengamat, bahkan mendapat respon dari Presiden Jokowi dan Menko Polhukam Mahfud MD.
Tidak main-main, kasus yang menewaskan Brigadir J. ini menyeret banyak oknum petinggi POLRI. Brigadir J. tewas diduga ditembak di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo di kompleks POLRI, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022) sore. Diketahui, Brigadir J merupakan personel kepolisian yang ditugaskan sebagai sopir istri Ferdy Sambo (detik.com, 06/08/2022).
Beberapa hari belakangan ini, di beranda media sosial saya, berseliweran berita mengenai peristiwa tewasnya Brigadir J., juga viralnya Si Pesulap Merah. Namun peristiwa tewasnya Brigadir J. lebih mendominasi postingan teman-teman, tautan media online, reels, juga video-video YouTube. Bagaimana tidak, institusi dimana masyarakat menaruh harapan akan upaya penegakan hukum, justru sedang terjadi kasus hukum.
Pertaruhan
Melalui pengusutan kasus tewasnya Brigadir J., saya kira akan menjadi pertaruhan bagi nama baik, kredibilitas, dan profesionalitas institusi POLRI. Dan sebagai salah satu masyarakat Indonesia, saya sangat berharap POLRI dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik dan benar. Bagaimana pun, institusi POLRI sangat dicintai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bukti kecintaan itulah yang disampaikan melalui perhatian yang lebih kepada institusi ini.
Beberapa saat lalu, Iqbal Aji Daryono, mentor menulis saya di Kelas Menulis Online menulis sebuah buku terkait kinerja POLRI. Buku tersebut berjudul: Berjuang di Sudut-sudut Tak Terliput. Menurutnya, buku yang tidak dijual untuk umum ini, isinya adalah dokumentasi kisah-kisah humanis Bapak Ibu personel POLRI yang bertugas di seluruh pelosok Indonesia. Bagaimana dalam kondisi sulit, jauh dari jangkauan liputan media, ternyata Bapak Ibu personel POLRI tetap menjalankan tugas secara humanis, bahkan berkorban bagi pelayanan kemanusiaan di masyarakat.
Meminjam diksi “sudut-sudut tak terliput” dari Iqbal Aji Daryono untuk menjudulkan buku dokumentasi kinerja personel Polisi di pelosok Indonesia, nampaknya kali ini, pada tubuh POLRI di Jakarta juga ada “sudut-sudut tak terliput” yang perlu “diliput” jika tidak berkaitan dengan rahasia tertentu yang perlu dijaga demi kepentingan bangsa dan negara. Tujuannya ialah untuk mengenal lebih dekat bagaimana anggota dan petinggi POLRI di Jakarta menjalankan amanat dalam bekerja bagi masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
Refleksi
Saya yakin, masyarakat Indonesia masih mencintai dan mempercayai institusi POLRI. Ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan positif dari publik, khususnya dari pengguna media sosial Indonesia. Dukungan ini diberikan terutama setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan jabatan Brigjen Pol Hendra Kurniawan, Kombes Budhi Herdi Susianto, dan sebelumnya menonaktifkan Kadiv Propam POLRI Irjen Ferdy Sambo (Tribun-Medan.com, 20/07/2022).
Melihat apa yang dialami oleh beberapa petinggi POLRI kali ini, saya secara pribadi merasa sedih. Bahkan dalam angan, saya berharap kejadian seperti ini tidak terjadi. Saya membayangkan para petinggi POLRI, juga pejabat tinggi lainnya di negeri Indonesia ini adalah penerus Jenderal Besar Sudirman, yaitu mereka yang rela meninggalkan urusan dan kepentingan pribadi lalu memberi diri bagi bangsa dan Negara.
Gugur Bunga
Yonetha Reo Thong, teman facebook saya memosting ulang video dari akun YouTube VIVACOID pada 8 Agustus 2022, dengan tambahan latar suara lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Dalam video itu Irjen Ferdy Sambo berbicara tentang keberadaan Divisi Propam POLRI.
Menghayati lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki dalam keadaan seperti sekarang ini, saya kira, siapa pun warga negara Indonesia, apalagi aparat negara, akan merasa sedih. Pasalnya, kita mesti “kehilangan” prajurit dalam peristiwa yang viral belakangan ini.
Betapa hatiku
takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini
pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur
pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Jika dulu, para pahlawan gugur di medan pertempuran oleh senjata dan strategi musuh agar Indonesia merdeka, maka kini, para pahlawan (aparatur negara dan petinggi di negeri ini) mesti berhati-hati agar tidak “gugur” gegara urusan dan kepentingan yang menjauhkan diri dari menjalankan amanat yang telah diberikan oleh bangsa dan negara Indonesia.
Untuk itu, melalui peristiwa tewasnya Brigadir J., saya kira POLRI perlu berani berbenah, “mengintrospeksi diri”, bahkan berani “bersih-bersih” di tubuh POLRI. Hingga saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah melakukan langkah maju dalam menangani kasus ini. Langkah Kapolri ini perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh dari masyarakat untuk mengawal kasus ini.
Seiring pengusutan kasus ini, saya rasa POLRI perlu juga berefleksi untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa. Sebab sangat disayangkan bila ada aparat POLRI di negeri ini akhirnya mesti “gugur” gegara hal yang semestinya bisa dielakkan.
Meminjam diksi pada lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki tadi, saya masih percaya bahwa aparat POLRI adalah pahlawan yang gagah perkasa dan pembela bangsa sejati. Bravo POLRI. Salam Presisi.