Minggu, 14 Agustus 2022

Bersih-bersih di Kemendikbudristek


Oleh : Krismanto Atamou

 

Sekelas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa salah cetak buku? Saya tidak habis pikir. Begitu reaksi saya tatkala merespon postingan teman facebook terkait buku yang viral akhir-akhir ini.

Buku yang viral itu adalah buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) untuk SMP kelas tujuh. Penulisnya ialah Zaim Uchrowi dan Ruslinawati. Editornya ialah Sunan Hasan dan penyelia ialah Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Basan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbudristek, cetakan pertama tahun 2021, dengan ISBN 978-602-244-312-4.

Hal yang disorot dari berbagai postingan di media sosial terkait buku ini ialah kesalahan fatal terkait Tuhan yang disembah oleh agama Kristen Protestan dan Katolik. Sang penulis buku ini menulis Ketritunggalan Tuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan maupun Katolik. Sangat fatal.

Protes terhadap buku ini datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya guru-guru, tetapi juga rohaniawan, dan penulis. Tidak hanya yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, tetapi juga dari agama lainnya.

Sebagai guru, saya sangat menyayangkan induk institusi pendidikan nasional ini. Entah bagaimana, istitusi semulia itu bisa diisi oleh oknum-oknum yang dapat memecah-belah bangsa lewan konten-konten tulisan yang sangat menyinggung agama tertentu.

Tidak seperti kasus Holywings dimana nama tokoh agama dipakai dalam iklan, dalam kasus buku pelajaran PKn ini jelas-jelas menyesatkan ajaran agama. Sesuatu yang keliru dan sesat. Dan sebagaimana komentar saya di awal tadi, saya tidak mengira kesalahan ini bisa terjadi, tapi sudah terjadi, dan kekeliruan soal konten Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) ini bukan baru sekali terjadi.

Meski kemudian Kemendikbudristek menarik peredaran buku tersebut dan merevisinya, bagaimana pun saya rasa para penulis buku dan pihak Kemendikbudristek mesti meminta maaf atas kesalahan tersebut. Dan bila perlu, oknum penulis yang tidak bertanggungjawab tersebut tidak dipakai lagi ke depannya.

Sudah cukup isu SARA berupaya merongrong keharmonisan berbangsa dan bernegara kita selama ini. Sayang sangat disayang, ketika Mendikbudristek sedang menggelorakan kurikulum merdeka untuk kemajuan pendidikan Indonesia, upayanya itu terganggu oleh oknum penulis yang saya duga tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis.

 

Asas Kehati-hatian

Nova Nansie Tiwa, pemosting pertama kekeliruan buku ini di facebook akhirnya mendapatkan jawaban dari Kemendikbudristek. Ada empat poin jawaban Kemendikbudristek. Pertama, Kemendikbudristek mengapresiasi masukan, saran, dan koreksi untuk perbaikan berkelanjutan terkait buku pendidikan. Buku pendidikan yang diterbitkan Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan.

Dua, terkait konten dalam buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMP kelas tujuh terbitan 2021, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek tengah melakukan kajian dan menindaklanjuti dengan memperbaiki sesuai masukan yang diterima, khususnya mengenai penjelasan tentang Trinitas dalam agama Kristen Protestan dan Katolik.

Tiga, dalam proses melakukan perbaikan, Pusat Perbukuan Kemendikbudristek akan melibatkan pakar dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja-gereja Indonesia. Buku yang beredar akan ditarik dan diganti dengan edisi revisi. Untuk versi cetak, Kemendikbudristek sudah menghentikan proses pencetakan versi lama, dan pencetakan selanjutnya akan menggunakan edisi revisi. Kemendikbudristek akan segera mengedarkan suplemen perbaikannya bagi yang sudah menerima buku.

Empat, Kemendikbudristek selalu terbuka untuk menerima masukan, koreksi, dan saran untuk memperbaiki kualitas buku-buku pendidikan. Masukan, koreksi, dan saran dapat dialamatkan kepada penulis atau melalui alamat surel buku@kemdikbud.go.id.

Kejadian buku PKn kelas tujuh yang viral ini ibarat nila setitik, rusak air sebelanga. Ulah satu dua penulis, seluruh Kemendikbudristek terimbas getahnya. Tini Pasrin pada postingan novelis Felix Nesi berkomentar: “Kementerian Riset yang tidak Riset.” Ini hanya salah satu komentar dari berbagai komentar lain di berbagai postingan yang saya ikuti. Beginilah hasilnya jika sekelas Kemendikbudristek kurang berhati-hati.

Untuk itu, saya kira Kemendikbudristek perlu menggunakan asas kehati-hatian dalam merilis produk apa pun, termasuk buku. Dan jika poin tiga dari jawaban Kemendikbudristek di atas telah dilakukan sebelumnya, saya kira hal seperti ini sedapat mungkin bisa dihindari.

Saya menduga bahwa oknum tertentu memanfaatkan disclaimer yang ada juga di laman awal setiap buku produk Kemendikbudristek. Disclaimer itu menyatakan: buku produk Kemendikbudristek merupakan dokumen hidup yang senantiasa diperbaiki dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. Dengan disclaimer ini, membuka peluang oknum nakal yang diduga sengaja menyalah-nyalahkan atau (lebih parah) menyimpangkan isi buku cetakan pertama untuk menguras keuangan negara demi proyek cetakan revisi, atau untuk kepentingan pribadi tertentu, atau untuk kepentingan dan tujuan golongan tertentu.

Untuk itu, Kemendikbudristek perlu mengambil tindakan tegas. Apalagi pada buku-buku yang menyinggung dan mengandung unsur SARA. Isu-isu ini sangat sensitif dan perlu penanganan sangat hati-hati. Oknum-oknum yang terbukti mengambil untung dari “celah disclaimer”, saya kira perlu “dibersihkan” dari tubuh Kemendikbudristek.

Tidak ada komentar: