Minggu, 09 Februari 2020

Pelajaran dari Ayah dan Ibuku

Pelajaran dari Ayah dan Ibuku
Oleh : Krismanto Atamou
Aku masih mengingat suatu kali di pedalaman Kalimantan dengan hutannya yang sangat lebat. Saat itu musim hujan. Kami tinggal di desa yang perumahan penduduknya tersusun di sepanjang sisi sungai. Tanahnya kekuningan.

Siang itu hujan deras turun. Ketika hujan itu reda sore harinya, banjir hampir ada di mana-mana, termasuk di depan rumahku yang langsung menghadap sungai. Hanya beberapa tempat di ketinggian yang tidak banjir. Banjir mengalir dari pedalaman hutan di belakang rumah dan masuk ke sungai. Di sepanjang bibir sungai ke arah depan rumah warga terdapat jalanan desa yang membentang sepanjang perkampungan desa. 
Banjir masih setinggi lutut orang dewasa ketika ayah mengajakku berjalan ke kios yang berjarak sekira 100 meter dari rumah. Ayah berjalan di depan tanpa memegang tanganku. Aku dibiarkannya berjalan sendiri. 

Ketika akan melewati jalan yang berbanjir, aku mulai ragu. Saat itu aku masih berusia lima tahun. Ketika berada di tengah-tengah banjir yang paling dalam airnya, kakiku mulai gemetar. Langkahku mulai gontai. 

Aku terisak dan mau menangis, namun ayah di depanku hanya menoleh ke belakang dan memberi semangat. Tangannya terulur padaku, namun tidak memberi jarak yang bisa kuraih. Bahkan setiap langkah majuku, diikuti dengan langkahnya yang menjauhiku. Aku mempercepatkan langkah hingga akhirnya melewati lembah berbanjir itu.
Sejak itulah aku mulai berpikir, mengapa ayah tega membiarkanku menghadapi banjir seorang diri? Pertolongannya hanyalah memberi semangat dan uluran tangannya seakan hanya memberi harapan palsu. 

Pemikiran itu terendap di dalam alam bawah sadarku hingga kini. Aku tak pernah mengungkapkannya pada ayah. Seakan ada godaan untuk memprotes tindakan ayah saat itu dan menilai bahwa ayahku jahat, namun semua itu kupendam. Aku hanya memikirkannya.

Begitulah waktu berlalu hingga aku telah dewasa dan lepas dari pengawasan orang tua secara langsung karena tinggal terpisah dengan mereka. Aku tinggal di Kupang, Kota Karang untuk menuntut ilmu sedang kedua orang tuaku tinggal di kampung.
“Di antara hiruk-pikuknya kota dan kesibukan kuliah, kau harus bisa menjaga diri.” Begitu nasihat ayah ketika aku melepaskan diri dari pelukannya di dermaga saat akan berangkat ke kota Kupang.

Wajah ayah terlihat tegar, namun aku tahu, ayah sedang menyembunyikan kekhawatirannya padaku. Aku tahu itu dari pancaran matanya. Mata beralis tebal di atas bola mata berwarna coklat itu terlihat tenang namun tak bisa menyembunyikan getaran saat aku mengangkat tas dan hendak membalikan badan.

Sejenak aku menghentikan langkah dan membalas pandangan itu dengan memberikan tatapan yang teduh seakan ingin mengatakan: “Tenang saja, ayah! Aku akan memegang teguh segala nasihatmu.”

Kuberikan ayah senyuman terbaik. “Doakan aku, ayah,” kataku sambil membalikkan badan dan berjalan menuju tangga kapal. Saat membalikkan badan itulah aku merasa seluruh tantangan dan hambatan dunia yang berat sedang menantiku di seberang sana.
Seolah ada hujan tanda tanya di kepalaku. Apa yang akan terjadi? Bagaimana aku menyikapi semua rintangan atau hambatan itu? Untuk pertanyaan terakhir aku tak begitu khawatir karena didikan orang tua selama ini, bekal nasihat, dan ajaran menurutku sudah sangat cukup.

“Rambu, bangun!” Begitulah ibu dan ayah setiap pagi membangunkanku untuk memulai hari dengan berdoa bersama kala di rumah. Biasanya jam empat pagi aku sudah dibangunkan untuk bekerja di dalam rumah. Mulai dari memasak, mencuci, hingga membersihkan rumah. Kebiasaan itu kubawa hingga hidup berpisah dari mereka. 
Sesampainya di kota karang, aku langsung menuju rumah keluarga sebagaimana petunjuk ayah. Di rumah keluarga aku menumpang selama pendaftaran kuliah, ikut tes masuk perguruan tinggi, dan mengawali semester satu. 
Ayah belum berani melepaskanku tinggal sendiri di kos-kosan. Ia mau aku benar-benar mengenal keadaan kota sebaik mungkin sebelum tinggal sendiri. Alhasil aku harus bersabar tinggal bersama keluarga. 

Saban hari aku bangun subuh sekali, mengerjakan tugasku di rumah hingga selesai agar punya cukup waktu mempersiapkan diri ke kampus. Belum lagi jarak kampus dan rumah keluarga cukup jauh. Aku harus berjalan kaki ke jalan utama untuk menunggu kendaraan umum. Rutinitas harian itu membuat aku mulai hafal nama jalanan, trayek kendaraan umum, dan juga nama-nama tempat di kota. 

Suatu kali ada seorang bapak menumpak angkutan umum bersamaku. Sesampainya di suatu titik dalam perjalanan itu, ia meminta supir berhenti dan marah-marah. “Stop-stop, Pak Supir! Kamu pasti mau tipu saya.”

“Saya orang jujur, Pak. Mana mungkin menipu.”
“Alaah ..., mengaku saja. Kalau pencuri jujur pasti penjara sudah penuh. Sekarang penjara belum penuh karena kamu tidak mengaku. Ayo, kamu mau menipu saya, kan?”
“Tipu apa, Pak?”

“Kemarin di sini tidak ada laut. Selama perjalanan saya lihat tidak ada laut. Lha sekarang, kenapa ada laut di sini? Kalian jelas-jelas menipu.”
Mendengar itu, Pak Supir pusing tujuh keliling. Wajah di antara mata hingga dahinya mengkerut. Matanya yang lebar itu menyipit dan bola matanya naik ke arah kiri atas. Mungkin ia sedang mengingat-ingat perihal bapak yang membingungkan ini. Matanya mengikuti gerture bapak itu.

Menyaksikan kebingungan si bapak dan kegalauan si supir, aku berupaya menolong dengan menjelaskan keadaan sesuai pemahamanku. Sikap suka menolong ini kupelajari dari ayah. Karena kebaikan ayah, selalu saat ditawari imbalan dari orang lain selalu ditolaknya.
“Pak Supir, bolehkan aku bantu menjelaskan?”
“Boleh, silakan.”

“Bapak mau ke mana?” tanyaku kepada bapak itu.
“Saya mau ke Naikoten, nona. Saya dari terminal Kupang tadi. Sudah dua hari saya di Kota Kupang untuk urusan dinas. Kemarin saya numpang mikrolet tidak pernah melihat laut, sekarang ada. Ini supir pasti tipu saya!”

“Maaf, Bapak. Sebenarnya Bapak yang salah menumpang mikrolet. Harusnya Bapak menumpang mikrolet lampu satu atau dua. Bukan mikrolet jurusan kampus-penfui ini. Jalur mikrolet ini memang sudah benar, melewati daerah dekat pinggir pantai. Makanya kita bisa lihat laut sekarang,” kataku pada bapak itu. 

“Mikrolet ini juga lampunya satu, kan? Kenapa arahnya lain?” Bapak itu menyanggahku keheranan sambil tangannya menunjuk lampu yang ada di atas depan bodi mikrolet, tepat di atas kiri kepala Pak Supir.

“Oh, yang dimaksud lampu satu bukan itu, Bapak. Petunjuk lampu satu adalah tulisan angka yang ada di bagian atas depan bodi mikrolet. Kalau mikrolet jurusan ini tidak pakai lampu, hanya tulisan di depan.” Aku berupaya menjelaskan dengan lemah lembut agar bapak itu tidak tersinggung dan marah lagi. Kelemah lembutan aku pelajari dari ibu.
“Wah, berarti aku yang salah.” Akhirnya bapak itu bisa menerima penjelasanku. Ketegangan mereda dan bapak itu menumpang kendaraan lain kembali ke terminal Kupang untuk mencari kendaraan ke arah Naikoten.

Mengingat kepadatan tugas-tugas kuliah, rasa-rasanya aku sulit membagi waktu antara mengerjakan tugas kampus dan tugas harian di rumah. Aku sampaikan keluhanku pada ayah lewat telepon. Ayah menyarankan agar aku menyampaikan keluhan dan keinginan langsung pada keluarga.

Saran itu kuikuti. Aku langsung menyampaikan pada keluarga perihal kesulitanku membagi waktu dan keinginanku untuk mengekos dekat kampus. Aku juga meminta bantuan mereka agar mencari kos-kosan yang aman bagi perempuan dan ada pengawasan ketat. Aku ingin tetap hidup disiplin terutama terhadap diri sendiri, sebagaimana ajaran ayah dan ibu. Keluarga memahami dan menerima permintaanku. Akhirnya aku mulai tinggal di kamar kos.
Tidak mudah memang menjadi anak perawan dan tinggal sendiri di kamar kos pilihan aku dan keluarga. Ada banyak tawaran dari teman-teman sekampus agar tinggal sekos dengan mereka. Katanya agar lebih bebas.

“Tidak,” jawabku tegas. Ketegasan itu aku pelajari dari ayah. 
Semester satu aku lewati dengan banyak penyesuaian. Lingkungan baru, teman baru, komunitas belajar yang baru, hingga dialek yang baru. Beberapa kata dari bahasa Kupang aku harus pelajari untuk memudahkan berinteraksi dengan pemilik kios dekat rumah kos, dengan supir, dengan penjaga konter pulsa, atau juga dengan teman-teman yang berasal dari kota.

“Jagalah nama baik keluarga,” kata ayah melalui telepon. Setiap minggu sekali ayah menelepon, hanya untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Setiap nasihat diselip menjelang akan mengakhiri sambungan telepon. 
Nasihat itulah yang aku pegang terus hingga menyelesaikan kuliah dan diwisuda dengan masih tetap berstatus single alias jomblo. Beberapa temanku berperilaku ibarat rusa lepas kandang, begitu bebas tanpa batas pergaulan mereka. Mungkin karena jauh dari orang tua dan tidak ada pengawasan. Ya, setiap orang punya kehendak bebas untuk memilih jalan hidupnya. Aku memilih menuruti nasihat orang tua.
Aku sendiri harus puas dianggap aneh oleh teman-teman karena dinilai kaku dalam bergaul. Penilaian itu kudapatkan setelah menolak tawaran menginap di kosan teman hingga pagi, menolah minuman keras, menolak menonton dan mengakses pornografi, menolak pacaran, dan menolak mengobrol ngidul atau menghabiskan waktu dengan bergosip yang tidak penting.

“Bodoh amat dengan segala gemerlap kehidupan bebas itu,” kataku dalam hati. Bagiku waktu adalah kesempatan mempersiapkan diri dan berkarya. Aku tak mau membuangnya sia-sia. 
Segala pelajaran dari ayah dan ibu itu sangat bermanfaat hingga aku melewati segala tantangan dan rintangan selama kuliah. Aku bahkan meraih nilai yang baik dan dipercaya menjadi asisten dosen.

Dalam acara wisuda ayah dan ibu tidak hadir. Agak sedih karena aku berharap mereka berdua datang dan menyaksikan hasil jerih lelahku.  Nyaris aku tanpa pendamping wisuda jika keluarga tidak hadir. Alih-alih merajuk, aku justru menyadari bahwa ayah dan ibu sedang melepaskanku ke dalam kehidupan orang dewasa untuk bisa mandiri tanpa mereka.
“Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda,” kata kitab Mazmur 127: 4. Dari ayat ini aku tahu, sebagai anak panah, aku sedang dilepas oleh orang tua untuk berjalan sendiri. Bahkan secara perlahan ayah sudah mulai melepaskanku saat aku berjalan menyusuri banjir ketika berusia lima tahun.
Pelajaran ini mirip dengan induk burung rajawali. Pada suatu ketika ia sengaja merusak sarang dan menjatuhkan anaknya agar anaknya itu bisa belajar terbang. Dari sini aku tahu bahwa saat aku melewati banjir dulu, ayah bukanlah bermaksud jahat ketika membiarkanku berjalan sendiri.

Setelah bertahun-tahun fokus kuliah dan tidak pulang bertemu ayah dan ibu, aku sangat rindu. Aku mengemasi barang bawaanku dan terutama ijazah untuk pulang ke kampung.
Sesampainya di rumah aku turunkan jinjingan dan memeluk ayah dan ibu erat-erat. Mereka juga memelukku erat. “Hehehe ...,” aku dengar ayah tertawa senang, sementara ibu meneteskan air mata bahagia. 

Kini aku berdiri di hadapan ayah dan ibu dengan perasaan lega. Uang tabungaku dari hasil beasiswa dan menjadi asisten dosen ternyata lumayan untuk membuka usaha baru di kampung. Aku ingin membangun kampung dan berada di dekat orang tua di usia senja mereka.

Sebuah artikel yang aku baca dari internet tentang usaha alternatif rumahan menampilkan beberapa tawaran. Ada usaha lele, tanaman hidroponik, kerajinan tangan, laundry, minimarket, juga berbagai waralaba. Ada waralaba makanan, minuman, toko kelontong, dan apotik.

Untuk sementara aku menaruh tabunganku di koperasi. Lumayan, dari bunga satu persen saja cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama sebulan dan membantu membiayai kebutuhan rumah. 

Di suatu sore aku menanyakan kondisi kesehatannya ayah. Ia bercerita bahwa minggu lalu adalah waktu kontrolnya di dokter. Dokter menyatakan bahwa ia sudah sehat untuk bisa berkendara lagi. Dari nada bicaranya aku tahu, ayah berbohong.
Dalam beberapa hal ayahku memang berbohong. Ketika ayah mengatakan bahwa ia baik-baik saja di telepon saat aku berada di kota yang jauh, aku tahu ayah sedang berbohong agar aku tidak mengkhawatirkan kondisinya. 

Ketika aku akan berhenti kuliah karena mengetahui kondisi keuangan orang tua tidak memungkinkan, ayah justru memotivasi agar menyelesaikan kuliah. Katanya, ayah masih ada tabungan yang cukup. Aku tahu ayah berbohong karena sebagai pensiunan, bahkan gajinya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Aku tahu, pasti ayah berutang untukku.

Ibuku juga pernah berbohong. Ibu bekerja sama dengan ayah untuk mengatakan bahwa mereka selalu dalam keadaan sehat-sehat saja. Padahal firasatku mengatakan bahwa salah satu dari mereka pasti sakit. Dan itu terbukti benar. Beberapa saat kemudian adikku keceplosan mengupload di media sosialnya bahwa ayah sakit. Postingan itu segera dihapus. Aku yakin itu atas perintah ibu.

Meski ayah dan ibu berbohong, aku tahu, itu karena mereka tak ingin mengganggu konsentrasiku dalam belajar. Mereka berbohong demi kebaikan. Ibarat beasiswa atau program afirmasi, yaitu sebuah ketidakadilan yang dilakukan demi keadilan. Aneh bukan?
Ayah dan ibu begitu baik padaku. Aku ingat semasa aku kecil ayah menggendongku, menyuapiku, membelaiku saat aku menangis, menungguiku saat aku tantrum, dan memandikanku saat ibu sibuk memasak di dapur. Demikian juga ibu. Ah, rasa-rasanya lembaran ini tidak akan cukup untuk menceritakan semua kebaikan mereka. 
Ayah, ibu, aku mencintaimu.

*Dipersembahkan kepada Bpk. Paulus Atamou dan Ibu Maria Jenmakani yang berdomisili dekat Paroki Yesus Gembala Yang Baik, Lipa, Kalabahi-Alor.