Sabtu, 27 Juli 2019

Dia Telah Pergi

DIA TELAH PERGI
Oleh : Krismanto Atamou

Senja akan pergi, malam mulai menghampiri. Sang induk ayam berwarna hitam segera menghimpun anak-anaknya, sayapnya dilebarkan untuk menaungi semua anak-anaknya yang baru berusia dua hari. Instingnya bekerja sebagai penjaga. Sang induk terkenal sebagai induk ayam terbaik peliharaan tuannya. Bahkan anjing pemakan anak ayam pun tak berani mendekat. Pernah seekor anjing berbadan besar lari tunggang-langgang sambil kesakitan akibat dihajar cakaran kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara anak ayam dari arah kandang. Telinga sang tuan yang belum tuli mendengar suaranya.
Kiuk ... kiuk ... kiuk ... suara kecil itu terdengar menggelegar seantero kandang. Suara dari anak ayam kecil itu seakan ingin menandingi kumpulan suara gawai dari orang-orang yang sedang ber-phubbing ria di sebelah rumah—orang-orang itu sedang menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Sementara anak ayam itu hanya ingin melihat induknya saat pertama kali keluar cangkang dan membuka matanya. Ia merindukan tatapan lembut dan penuh kasih dari induknya. Namun, itu hanyalah mimpi.
Anak ayam itu terus bersuara seakan ingin berkata, “Hi, dengarkan aku. Aku baru saja keluar dari tempat terbaik dan teraman. Sebenarnya, aku tak ingin keluar, karena kata malaikat bahwa di luar sana banyak kekejaman. Akan tetapi, malaikat berkata bahwa akan ada malaikat lain yang menjagaku di luar, yaitu induk dan tuanku.” Itulah kata malaikat yang anak ayam itu yakini hingga ia rela keluar dari tempat ternyamannya.
Anak ayam itu terlambat keluar dari cangkangnya selama dua hari. Saudara-saudarinya telah lebih dahulu berlari-lari, kaki mungilnya masih lunglai dan tertatih-tatih. Sang tuan mengambil dan menaruh anak ayam itu di bawah sayap induknya. Semalaman ia menikmati kehangatan tubuh induknya bersama anak ayam yang lain. Saat itu ia merasakan bahwa kata malaikat benar adanya.
Pagi hari, seperti biasa, sang induk keluar kandang, namun dengan penambahan satu anak ayam. Anak ayam itu sangat berbeda dari yang lainnya. Bulu-bulunya yang masih sangat halus itu berwarna kuning—mirip pakaian tradisional orang Botswana atau orang Monbang di Alor, mengkilap memancarkan corak warna yang sangat indah—seindah menguningnya padang sabana di atas Pulau Sumba, Pulau Timor, Pulau Padar dan sekitarnya. Ada bintik-bintik berwarna cokelat membentuk pola-pola mirip corak warna bulu Hyena di gurun Kalahari.
Sayang sangat disayang, sang induk mulai mencium ada yang berbeda. Bulu-bulu anak-anaknya yang lain berwarna hitam semua, namun yang ini berbeda? Rasa curiganya mulai ada. Sang induk mulai mengamati dengan saksama.
Perbedaan jadi bencana. Ia mulai ditotok oleh induknya sendiri. “Anak ayam yang malang,” kata tuannya. Berkali-kali ia ditotok, namun ia hanya bisa tertatih berdiri dengan wajah polos tanpa dosa.
“Aku salah apa? Apakah nasibku sama dengan nasib para guru honorer itu, yang katanya mau diangkat dengan skema P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) namun dipersulit dengan persyaratan harus punya sertifikat profesi yang belum dan sulit untuk dimiliki? Apakah nasibku sama dengan bayi korban aborsi? Bayi yang dengan suka rela dan tanpa malu dibuat namun kelahirannya tidak rela dan malu untuk diterima?”
Wajah polos tanpa dosa hanya bisa terpana. Sebuah patokan mengenai punggungnya. Alhasil, sebuah luka besar menganga. Luka di tubuhnya itu dirasa tak lebih sakit dibanding luka di hati oleh karena tertolak oleh induknya sendiri. Hak asasinya untuk dilindungi oleh sang induk justru berbuah petaka. Sang induk hanya melindungi anak ayam berwarna hitam, sedangkan yang berwarna selain hitam tidak dilindunginya, malah haknya diabaikan.
Sang tuan sedih dan berpikir bagaimana agar ayam dengan bulu berbeda bisa hidup bersama. Paling tidak, mereka bisa bertoleransi dengan perbedaan dan tak menjadikan perbedaan sebagai biang permusuhan. Tidak seperti oknum tertentu yang menjadikan isu perbedaan identitas sebagai senjata untuk melegalkan kepentingan pribadinya.
Sang tuan mengambil spidol hitam. Bulu-bulunya yang berwarna indah dipandang mata mulai diubah warnanya. Spidol hitam mulai menari-nari di atas tubuhnya mengikuti tarian jari-jemari sang tuan. Mulai dari bulu sayap, kepala, punggung, dan kaki, hingga warnanya menyerupai warna bulu saudara-saudarinya. Hitam.
Sang tuan tersenyum lega. “Ah, sekiranya kali ini ia bisa aman tenteram dan sejahtera. Sang induk pasti bisa terkecoh dan tak lagi mengenalinya sebagai ‘yang berbeda’ seperti sebelumnya,” gumam sang tuan.
Ia kemudian dilepaskan di sekitar sang induk. Sang tuan berharap-harap cemas. Beberapa saat berlalu tanpa masalah. Untuk sesaat sang induk menerimanya. Sesaat ia seperti Yakub yang memakai pakaian Esau untuk mendapatkan berkat dari Ishak ayahnya.
Ketika warna hitam palsunya mulai pudar, sekalipun masih ada hitam-hitamnya, ia mulai terlihat berbeda oleh induknya sendiri. Ia mulai ditolak, ditotok, dan diusir lagi sebagaimana sedia kala.
Sang tuan mulai emosi. Induk ayam dipukulnya berkali-kali, namun tetap rasa benci sang induk tak mau pergi. Ketika dilepas, induk ayam menyerangnya lagi bertubi-tubi. Sang tuan mengambilnya dan membiarkan sang induk pergi.
Sang tuan terpaksa melakukan hal yang tak diinginkannya, bahkan tak diinginkan sang anak ayam. Ia dipisahkan dari sang induk. Ia dibiarkan sendiri, padahal usianya belum genap sehari. Ibarat pernikahan usia dini, belum bisa mandiri secara ekonomi, belum siap secara fisik dan psikologi, namun sudah dipaksa mengambil risiko yang buruk.
Sang tuan berupaya menyuapnya dengan beberapa butir nasi, mengingat lambungnya belum pernah terisi. Akan tetapi, ia menutup mulutnya rapat sekali. Mungkin ia sedang depresi karena ditinggalkan seekor diri, sendiri. Sang tuan tak kehabisan akal, dengan sedikit paksaan akhirnya tiga butir nasi berhasil masuk ke dalam mulutnya.
Belum satu jam ia memakan nasi, ajalnya datang cepat sekali. Langkah kaki sang nyonya yang tak melihat ke sana ke mari menginjak tubuhnya yang bahkan belum bisa berdiri, yang bahkan usianya belum genap sehari. Sebagian isi perutnya terburai keluar, ia mengejan-ngejan untuk terakhir kali, sebelum mati.
Sang tuan tak sampai hati melihatnya sengsara bertubi-tubi. Sang tuan segera mengambil linggis dan mulai menggali lubang kecil yang cukup untuk menguburkan tubuhnya. Ia dikuburkan tanpa basa-basi. Lebih parah dari lagunya grup Black Sweat, yaitu Pusara Tak Bernamanya, kuburannya tak diberi tanda apa pun. Hanya ada sebercak darah segar membekas di tanah dekat lubang kuburnya. Itulah tanda sementara bahwa ia pernah ada di dunia. Dunia yang fana. Dunia yang ia rasa nyaris tanpa rasa iba, nyaris tanpa cinta dari induknya jika tanpa naluri untuk melindungi saudara-saudari tuanya. Mengapakah perbedaan adalah petaka? Bukankah seharusnya perbedaan adalah karunia dari Yang Kuasa, yang tak pernah diminta-minta?
Sang anak ayam bersemayam di pusara. Ia bahagia tak melihat dunia yang sengsara lebih lama. Ia tak melihat dunia yang penuh pura-pura, dunia yang penuh panggung sandiwara. Dunia dengan kesenjangan di mana-mana, miskin dan kaya sangat berbeda. Yang kaya dan berkuasa berfoya-foya tiada habisnya, yang miskin dan lemah menderita ditindas dan dikibuli selamanya. Tokoh yang murni hatinya dan lurus kerjanya dianggap ancaman semata. Sebaliknya, tokoh yang cuma jago bersilat kata dianggap mulia bak utusan surga.
Kini sang anak ayam telah beristirahat dengan tenang di alam baka. Ia bersyukur, pernah melintas di alam fana walau hanya sesaat saja. Ia tidak protes ketika yang dikatakan malaikat tidak terpenuhi semua, karena di dunia fana, terkadang damai hanya dimiliki yang sewarna saja. Sulit memang untuk bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan. Ia mengerti bahwa dunia fana bukanlah surga, tempat dimana perbedaan warna adalah karunia yang patut dibangga.
Salam damai.  

Biodata :
Krismanto Atamou, Guru IPA SMP Negeri 2 Amabi Oefeto Timur di Desa Oenunutono-Nefoteas, Kab. Kupang.

Selasa, 16 Juli 2019

Cerita Sepasang Sandal Tua

Cerita Sepasang Sandal Tua
Oleh: Krismanto Atamou

Sudah termakan usia, sepasang sandal tua, masih tersimpan rapi. Ia terimpit di antara sepatu-sepatu yang tersusun di rak sepatu. Sandal tua sudah berdebu, beberapa serangga yaitu tawon pot bersarang di bagian tersembunyi.
“Hi, kenapa kau ditaruh di antara kami? Kau kan sandal, bukan sepatu?” ujar sepasang sepatu angkuh.
“Aku tak tahu teman. Tuanku sudah lama tak datang dan memakaiku. Entah dia ke mana?”
“Siapa yang membawamu ke sini?”
“Aku tak tahu teman. Orang itu wajahnya mirip tuanku, namun lebih muda usianya.”
“Kasihan sekali nasibmu sandal. Kau ditinggalkan. Kau sudah tidak dipakai lagi. Kau tidak berharga lagi. Kau lihat kami. Tiap hari kami dipakai, tiap seminggu kami dicuci. Kami dipakai ke tempat kerja sang Tuan. Di tempat kerja itu, ada banyak saudara kembar kami. Saat bertemu, kami saling bercerita tentang kondisi jalan yang kami lalui. Ada jalan berdasar semen, ada jalan beraspal, dan ada lantai ruangan kantor yang terbuat dari tegel atau keramik. Kami merasa terhormat berada di tempat-tempat itu.”
“Wah, hidupmu enak sekali, sepatu,” ujar sandal lirih.
“Ya, iyalah! Aku menduga, jalan hidupmu adalah di jalan berlumpur dan penuh debu. Iya kan?” olok sepatu.
“Ia, itu memang benar. Tuanku sering memakaiku menyusuri jalan setapak berdebu dan berlumpur. Itu sudah menjadi jadwal harianku. Aku hampir tak pernah lepas dari kakinya. Kadang kala, dasarku yang sudah licin karena termakan usia, membuatku tak mampu mencengkeram kuat permukaan tanah berlumpur yang licin. Akibatnya, aku terpeleset dan Tuanku jatuh ke dalam kubangan. Untunglah berkas penting yang dibawanya, telah dibungkusi plastik, walaupun jatuh di atas lumpur, isinya aman, tidak basah. Usia Tuanku yang tak lagi muda, membuatnya kesulitan melihat tempat pijakan yang tak berpotensi jatuh akibat licin.
“Para seniorku menceritakan, selagi muda, Tuanku orang yang energik. Ia merintis berdirinya sekolah dasar baru di kampung-kampung yang belum memiliki sekolah. Ia tak mau ada generasi usia sekolah yang tidak bersekolah. Ia berdebat dengan para pejabat yang berupaya menghalangi niat mulianya itu. Ia berupaya menghimpun dukungan dan bantuan dari masyarakat untuk mendirikan gedung sekolah darurat.
“Menjelang masa pensiun, ia kembali mengabdi sebagai kepala SD di kampungnya. Sambil mengemban jabatan itu, ia merintis pendirian SMP Negeri. Waktunya bersama keluarga nyaris tersita semua. Pagi, ia mengajar di SD, siang hingga sore mengajar di SMP. Sungguh sangat melelahkan. Ia berjuang hingga SMP itu diresmikan, berstatus negeri, memiliki lahan dan gedung permanen, serta memiliki kepala sekolah sendiri.
“Jika ada murid yang alpa, Tuanku akan mencari ke rumah, kebun, hingga ke pantai. Ia sudah hafal betul aktivitas keseharian anak muridnya. Jika tidak di rumah, berarti sedang di kebun atau mencari ikan di laut. Ia tak segan-segan mengejar anak murid yang alpa untuk dibawa ke sekolah.
“Sampai usia tuanya, Tuanku tetap fokus pada visi dan misi pendidikannya. Tidak hanya di sekolah, di masyarakat ia juga melawan segala bentuk penyakit masyarakat, seperti judi dan asusila. Oleh karena kiprahnya yang terlalu militan melawan kejahatan, sering kali ia ingin dibunuh oleh para penjahat itu. Akan tetapi, berkat penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa, ia selalu lolos dari maut.
“Oleh karena militansinya itu, ia dipercayakan menjadi kepala desa setelah memasuki masa pensiun. Selama menjabat sebagai kepala desa, ia banyak membantu warga masyarakat. Mulai dari membereskan data kependudukan, memfasilitasi pelaksanaan pernikahan masal bagi pasangan yang belum menikah, mendata objek pajak dan memfasilitasi pembayaran pajak. Bahkan, orang yang selama ini memusuhinya pun ia bantu. Tidak menunggu warga di kantor desa, Tuanku lebih memilih blusukan ke rumah-rumah warganya. Sambil minum kopi bersama, ia mendengarkan keluh-kesah warga dan membantu menjawab kebutuhan warga.
“Ia hampir dibunuh karena melawan praktik perjudian dan premanisme di kampungnya. Orang-orang dikampungnya lebih suka bermalas-malasan dan mengharapkan bantuan pemerintah.
“Di kampungnya, marak terjadi kasus pencurian hasil kebun. Saat musim menjual biji jambu mete, anehnya orang yang tidak memiliki kebun jambu mete juga menjual biji jambu mete seolah-olah mereka memiliki kebun jambu mete. Demikian pula dengan musim menjual buah fanili.
“Jika sudah memiliki uang, mereka berjudi sambil minum mabuk di pinggir jalan. Mereka merasa diri hebat jika dilihat orang yang melintas, apalagi jika orang yang melintas menyapa nama samaran mereka. Ada yang memakai nama samaran bocor karena bangga pernah memukul kepala orang hingga bocor. Ada yang memakai nama samaran bongkar karena berhasil membongkar rumah orang dan merampok hartanya, atau berhasil membongkar keperawanan anak perempuan orang. Demikianlah hingga nilai luhur tradisi nenek moyang dan kesantunan agama tak lagi menjadi kebanggaan.
“Praktik-praktik negatif inilah yang tuanku tentang. Ia membawa sebilah kayu dan pergi membubarkan kerumunan para penjahat yang nongkrong di pinggir jalan desa itu. Hal ini ia lakukan karena telah berulang kali ia menegur pelaku tapi tak dihiraukan. Ia memerintahkan hansip tapi hansip tak berani mengamankan pelaku, bahkan seorang pelaku adalah hansip juga.
“Tuanku berdialog dengan pihak terkait, termasuk para orang tua pelaku untuk mencari, menemukan, dan melaksanakan aksi solutif, namun hasil dialog itu seakan konsep belaka tanpa realisasi. Seakan ada pembiaran atau pemakluman terhadap aksi kejahatan pelaku, namun tidak dengan tuanku, ia sangat menentang kejahatan-kejahatan itu. Itulah alasan ia rela mengambil risiko ancaman keselamatan dengan menangani langsung para penjahat itu, termasuk ancaman disihir atau di-suanggi oleh musuhnya. Ia sadar, nyawanya jadi taruhan perlawanannya.
“Semasa aktif sebagai kepala desa itulah, ia jatuh sakit. Aku tahu ia sakit karena hampir setiap minggu, ia memakaiku pergi ke rumah sakit. Ada bau obat, darah, dahak dan nanah kucium saat melewati lantai ruangan rumah sakit.
“Meski berada di rumah sakit, ia tetap memikirkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Suatu kali, aku mendengar ia menelepon pegawai kecamatan yang mengurus pembagian beras untuk rakyat miskin atau RASKIN.
“Selamat siang, Pak. Tolong bantuan RASKIN untuk desa saya jangan ditahan. Mohon disalurkan saja sesuai permintaan dan data yang saya berikan,” kata Tuanku.
“Tapi, Pak, untuk penyaluran bantuan kali lalu, belum ada laporannya hingga saat ini. Menurut kesepakatan kita sebelumnya, penyaluran berikut akan terealisasi jika sudah ada laporan penyaluran sebelumnya,” kata pegawai kecamatan.
“Ia, benar, Pak. Saya sudah perintahkan bawahan saya untuk mengerjakan laporan tersebut. Saya jamin laporannya akan disampaikan ke kecamatan. Suara saya ini jadi jaminannya,” kata Tuanku.
***
“Entah penyakit apa yang dideritanya? Aku merasakan beban dari tubuhnya semakin memberat setiap hari. Jika sudah terlalu berat, ia ke rumah sakit untuk mengeluarkan cairan yang tertimbun di perutnya dan membuat perutnya membesar. Setelah itu, aku merasakan beban dari tubuhnya ringan kembali seperti semula. Begitulah yang terjadi berulang kali, hingga orang muda yang mirip tuanku itu membungkusku dengan plastik hitam dan membawaku ke sini.”
“Di mana tuanmu sekarang?”
“Aku tak tahu di mana dia, yang jelas, aku rindu padanya. Rindu mendengar idealisme dan menyaksikan bagaimana ia menuntaskan misi-misi mulia tanpa pamrih. Firasatku mengatakan; orang muda yang mirip tuanku itu adalah anaknya. Anak yang sering ditinggalkan demi karier sehingga aku tak mengenal anaknya.

Biodata :
Krismanto Atamou yang lahir di Sungai Kelik-Kalimantan Barat dan saat ini berdomisili di pedalaman Kab. Kupang, Provinsi NTT. Ia dapat dihubungi melalui WA: 082247867208,  E-mail: krismanto124@gmail.com.