Jumat, 27 Maret 2020

MENYIKAPI BATALNYA UJIAN NASIONAL 2020


Oleh : Krismanto Atamou
Wakil Ketua Ikatan Guru Indonesia Provinsi NTT

Gebrakan Mendikbud untuk meniadakan ujian nasional (UN) pada tahun 2021 ternyata berubah menjadi lebih cepat. Wabah Covid-19 telah menjadi penyebabnya. Jumlah korban wabah Covid-19 yang semakin melonjak mau tidak mau membuat pemerintah harus mengambil kebijakan lock down.
Pertemuan warga dibatasi demi memutus mata rantai penyebaran atau tranmisi Covid-19. Hajatan atau perkumpulan massa pun dilarang atau dibatalkan, termasuk yang akan dilaksanakan oleh pemerintah semisal pelaksanaan UN 2020. Ada pihak yang mengapresiasi pembatalan UN, tetapi ada juga yang menolak. Terkait pembatalan UN ini, sebagai salah satu pegiat pendidikan, saya ingin mengajukan beberapa catatan di bawah ini. 
Pertama; Bagi sebagian SMK yang telah menyelenggarakan UN, mungkin merasa diperlakukan tidak adil. Namun dalam keadaan darurat, tentu kebijakan Mendikbud ini perlu diapresiasi apalagi demi kemaslahatan bersama. 
Sebelumnya, pada 10 Desember 2019, Mendikbud telah menandatangani Permendikbud No. 43 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional. Ujian Nasional sendiri dipandang sebagai penguji kinerja pemerintah dibanding penentu kelulusan murid sebagaimana yang selama ini terjadi. Untuk itu, bagi SMK yang sudah melaksanakan UN tahun ini tidak perlu merasa didiskreditkan karena hasil UN tersebut hanyalah untuk pemetaan sebagaimana disebut pada pasal 10 ayat 1 Permendikbud No. 43 tahun 2019 tadi.
Kedua; Pada UN sebelumnya hanya menguji pengetahuan murid. Padahal pada kurikulum 2013―yang masih berlaku―jelas harus mencakup empat kompetensi inti yang diringkas menjadi sikap religius, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kehadiran Permendikbud No. 43 tahun 2019 telah menjawab persoalan ini pada bagian keempat tentang kelulusan murid. 
Pada pasal 6 ayat 2 melimpahkan penetapan kelulusan murid pada satuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa satuan pendidikan diberikan otoritas untuk menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pendidikannya. Untuk itu, ada tidak adanya UN harusnya tidak menjadi masalah bagi satuan pendidikan manapun. Hal ini tentu sesuai dengan gerakan merdeka belajar yang mulai dicanangkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim.
Ketiga; Sulit untuk mempercayai bahwa rasio kecerdasan intelektual murid yang tercermin dari hasil UN akan selaras dengan perilakunya dalam keseharian. Oleh karena itu, penilaian sikap dan keterampilan oleh guru pada satuan pendidikan adalah pilihan yang tepat dibandingkan UN format lama yang hanya menjadi evaluasi akhir proses pembelajaran, apalagi tanpa adanya tindak lanjut.
Keempat; Adanya perbedaan situasi dan kondisi sarana-prasarana pendidikan, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan topografi di Indonesia. Perbedaan itu bahkan ibarat langit dan bumi. Sangat tidak adil jika dengan berbagai latar belakang yang berbeda itu, kemudian muridnya diuji menggunakan UN berstandarnya sama dari pusat. Ini menjadi PR besar bagi pemerintah untuk menyetarakan sarana-prasarana pendidikan―termasuk kualitas, kuantitas, dan sebaran guru di Indonesia. Jika tidak, maka bagi sekolah-sekolah di pedalaman yang serba terbatas fasilitas belajarnya tentu sulit mencapai standar nilai yang ditentukan pemerintah. 
Kelima; Di abad 21, ada fenomena milenial kill dimana pekerjaan yang menuntut keterampilan rutin dan kecakapan menghafal informasi semata mulai tergantikan dengan komputer, robot, internet, e-commers, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya. Ini perlu  diantisipasi sejak dini agar murid tidak ketinggalan jauh ke belakang. 
Murid perlu disiapkan dengan kecakapan abad 21 yang meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, berpikir kritis atau HOTS (High Order Thinking Skill) dalam menyelesaikan masalah, dan kreatif serta inovatif. 
Untuk itu, keberadaan UN yang hanya menguji kecakapan menghafal informasi semata sudah tidak kompatibel lagi dengan tuntutan abad 21 ini. Perlu ada pembaruan format ujian. Patut disyukuri bahwa Permendikbud No. 43 tahun 2019 telah memberi ruang dan legal standing bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan ujian atau evaluasi yang sesuai tuntutan abad 21 ini.
Keenam; Format soal UN kita selama ini adalah pilihan ganda (PG). Bentuk soal PG memberi ruang pada jawaban yang spekulatif. Jawaban murid yang benar atau salah bisa jadi merupakan suatu kebetulan atau tebakan yang tepat. Guru tidak bisa mengetahui proses atau langkah murid dalam menyelesaikan soal. 
Beberapa murid bahkan tidak merasa perlu memiliki kemampuan membaca karena secara tidak langsung diberi peluang menebak dalam menjawab soal PG. Maka jangan heran bila skor PISA yang baru dirilis 3 Desember 2019 lalu melaporkan Indonesia berada di posisi 10 terbawah dengan skor membaca ada di peringkat 72 dari 78 negara. Padalah Kemendikbud sedang mencanangkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai implementasi Permendikbud No.23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. 
Untuk itu, kiranya melalui berbagai pembaruan dan program merdeka belajar yang dilaksanakan oleh Mendikbud Nadiem Makarim sekarang sekiranya juga menggugah organisasi penggerak, sekolah penggerak, dan guru-guru pengerak untuk mengampanyekan dan membuat suatu format soal ujian yang betul-betul menguji seluruh kompetensi murid secara valid, komprehensif, dan akuntabel. Termasuk di dalamnya menguji kemampuan membaca murid.
Ketujuh: Pada tanggal 24 Maret 2020 lalu Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Poin dalam SE ini jelas menyatakan: 1) pembatalan UN 2020; 2) pembelajaran daring dengan evaluasi kualitatif; 3&4) ujian sekolah dan ujian kenaikan kelas tidak dilakukan dengan mengumpulkan siswa; 5) PPDB tanpa berkumpul di sekolah dan mengikuti protokol kesehatan; 6) penggunaan dana BOS/ BOP disesuaikan dengan situasi dan kondisi termasuk pencegahan pendemi covid-19.
SE ini tentu bagi guru yang menuntut masteri learning akan limbung sebab sebagian materi semester genap ini belum tuntas. Solusinya ialah pembelajaran daring tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum (poin 2a). 
Pembelajaran daring kemudian menjadi tantangan bagi guru yang selama ini  belum menguasai teknologi informasi karena faktor internal guru atau eksternal seperti sarana prasarana. Solusinya ialah guru mesti belajar meningkatkan kompetensinya mengikuti tuntutan zaman era disrupsi 4.0 ini. Usaha guru ini kemudian didukung dengan pengalokasian dana BOS/ BOP sesuai kebutuhan pembelajaran daring (poin 6).
Akhir kata, ada plus minus pembatalan UN, US, UAS gegara pendemi Covid-19 yang menyebabkan lock down dan pembelajaran daring sesuai SE Mendikbud tadi. Mungkin sebagian murid dan guru senang karena merasa liburan di rumah, padahal sebenarnya tidak libur karena pembelajaran tetap berlangsung secara daring demi menghadapi tuntutan zaman yang menanti hari esok. Mungkin sebagian pihak merasa tidak maksimal dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasinya sebagaimana yang telah saya ulas tadi. Akan tetapi inilah keadaan darurat. Sebuah pilihan bijak harus diambil pemerintah demi kemaslahatan bersama. Saya yakin badai pasti berlalu. Dari badai kita belajar mengambil hikmah untuk hari esok yang lebih baik.
*Penulis adalah guru IPA pada SMP N. 2 Amabi Oefeto Timur-Kab. Kupang.