Kamis, 26 Mei 2022

Novel Orang-Orang Oetimu




Oleh : Krismanto Atamou

 

Setelah mendapatkan izin dari penulisnya, saya tertantang untuk sedikit mengulas novel berjudul Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Novel ini menjadi pemenang I sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018 lalu.

Ada banyak kisah dalam novel yang diterbitkan oleh CV. Marjin Kiri pada Juli 2019 lalu ini. Di bagian pertama novel ini saja, ada sekelebat kisah yang mesti diikuti secara perlahan agar tidak melewati bagian-bagian pembuka yang penting. Bagian-bagian awal ini seolah sebuah “cungkilan” terhadap uraian panjang di bagian seterusnya. Jadi ada alur campuran (maju-mundur) yang dimainkan sehingga pembaca akan mengonstruksi sendiri keutuhan cerita di kepala masing-masing.

Kisah bermula dari bahagianya Sersan Ipi, seorang anggota polisi muda di kampung Oetimu. Pasalnya ia berhasil mendapatkan cinta Silvy, gadis SMA nan cantik dan pintar. Kisah sukacita ini kemudian berkelindan dengan euforia pertandingan bola memperebutkan piala dunia tahun 1998, berkelindan dengan keadaan sosial, ekonomi, budaya, dan sejarah di kampung Oetimu.

Novel ini memiliki berpuluh latar belakang kisah yang diramu menjadi satu. Kerja seni seperti ini saya rasa bukanlah perkara mudah. Apalagi memadatkan seluruh kisah itu dalam 220 halaman saja. Dibutuhkan keuletan agar untaian cerita tidak saling mengangkangi tetapi justru saling mendukung.

 

Karakter

Berlatar pendidikan Psikologi Universitas Merdeka Malang, adalah masuk akal ketika Felix mampu menampilkan karakter berbagai tokoh dalam cerpen ini secara kontras. Semisal Silvy Hakuak Namepan sebagai gadis SMA yang kritis dan cerdas. Ini tercermin dari penggalan paragraf di halaman 109: “Anak-anak pun lama-kelamaan lebih mempercayai Silvy daripada gurunya. Setiap kali sang guru bicara, mereka menoleh kepada Silvy seolah ingin bertanya apakah benar seperti itu?” Alih-alih dengan banal menampilkan nilai laporan hasil belajar Silvy, dalam hal ini, Felix memakai ekspresi batin teman sekelasnya menjadi “cermin” bagi karakter Silvy tadi.

Felix juga menampilkan karakter yang unik dan menarik dalam cerpen ini yaitu Sersan Ipi. Tokoh Sersan Ipi berperan semacam terminal untuk mempertemukan berbagai rangkaian cerita dalam novel ini. Sersan Ipi seolah terminal untuk hadirnya gerbong cerita masa lalu terkait gejolak politik dan keamanan di daerah Timor Timur maupun Timor Barat. Di sisi lain, Sersan Ipi juga terminal untuk gerbong cerita masa kini terkait kisah orang-orang Oetimu, termasuk salah satunya ialah Silvy, siswi pindahan dari kota Kupang.

Seperan dengan Sersan Ipi, tokoh Silvy juga berperan sebagai terminal untuk mengumpulkan berbagai gerbong cerita. Semisal gerbong cerita persekolahan di sekolah berasrama pada bagian delapan novel ini, gerbong cerita kehidupan beberapa rohaniawan, gerbong cerita kaum marhaen, dan masih banyak lagi.

Kehadiran Tokoh Linus Atoin Alekot sungguh mengagetkan. Ia seolah tiba-tiba hadir di tengah cerita seolah tanpa hubungan apapun bagi jalan cerita lainnya. Saya duga, Felix menaruhnya setelah kisah Yosef sebagai tokoh laki-laki pembanding ke arah yang entah. Tokoh Linus ditampilkan sebagai pria penjahat kelamin bagi ratusan perempuan namun “berjasa” bagi negara.

                                                                                                                      

Apresiasi

Keberadaan novel ini dan penulisnya saya ketahui dari rekan penulis asal pulau Sumatera. Ini mirip dengan kisah Dicky Senda, penulis kumpulan cerpen “Kanuku Leon” asal Mollo Kab. Timor Tengah Selatan yang saya ketahui dari rekan penulis asal pulau Jawa. Begitulah kejadian seperti ini mengingatkan saya pada sebuah ayat Kitab Suci: “seorang nabi tidak dihormati di tempat asalnya sendiri.” Kata “nabi” dan “dihormati” dari ayat tersebut dalam konteks ini saya padankan dengan kata “penulis” dan “diapresiasi atau dikenal”.

Begitulah dalam berkarya di “wilayah kita sendiri” terkadang sulit mendapatkan apresiasi bahkan dikenali oleh “orang kita sendiri”. Namun demikian, saya bangga dengan Felix, juga berbagai penulis asal NTT lainnya yang berhasil menyuarakan “suara minor dari kawasan Timur Indonesia” di ajang nasional, bahkan internasional.

Setelah membaca novel ini, ada banyak kosakata baru yang pembaca temukan. Ada beberapa kosakata bahasa Indonesia yang saya rasa jarang dipakai, ada bahasa daerah (Uab Meto) di pulau Timor provinsi NTT, ada Slang Kupang, Melayu Timor, dan bahasa Tetun.

Akan ada rasa yang tidak sama saat merasakan bahasa dari Felix dalam novel ini dan rasa dari bahasa Andrea Hirata dalam novel-novelnya. Felix dari kawasan timur Indonesia dan Andrea Hirata dari kawasan barat Indonesia. Dalam hal ini saya tidak sedang membandingkan sebab tidak perlu. Saya memaparkan ketidaksamaan rasa bahasa kedua novelis ini sebagai bagian dari kekayaan berbahasa di Indonesia.

Felix sangat unik dalam mengolah novel ini. Bagi beberapa penulis novel, ada upaya fokus ke konflik utama, lalu konflik pendukung berupaya diminamilisir. Namun dalam novel Orang-orang Oetimu, pemikiran itu terabaikan. Felix menampilkan segala konflik dengan saling kelindan. Begitulah dalam satu tulisan, Pramoedya Ananta Toer pernah menyampaikan bahwa hal menyangkut kehidupan manusia sangatlah kompleks. Tidak sederhana. Ada banyak faktor kehidupan terlibat. Dan saya kira itulah yang (sebagiannya) sedang Felix K. Nesi sampaikan melalui novel Orang-orang Oetimu.

Tidak ada komentar: