Senin, 09 Mei 2022

Gong Smash

Gong Smash

Oleh : Krismanto Atamou

 






Tulisan ini adalah sebuah resensi terhadap buku berjudul “Gong Smash”. Penulisnya ialah Gol A Gong. Saat ini beliau adalah Duta Baca Indonesia hingga tahun 2025 nanti.

Buku Gong Smash terbitan Epigraf Bandung 2021 ini saya dapatkan dari Ibu Julie Sutrisno Laikodat. Ibu Julie adalah Bunda Baca Provinsi NTT saat ini. Ia memberikan buku ini dalam acara Safari Literasi yang dilakukan oleh Duta Baca Indonesia di aula Kantor Bupati Kupang 8 April 2022 lalu. Ibu Julie memborong seluruh buku “Gong Smash” yang tersedia lalu membagikannya ke pelajar, mahasiswa, dan beberapa orang lain, termasuk saya.

Buku “Gong Smash” bagi saya merupakan autobiografi Gol A Gong. Dalam buku ini ia menggunakan nama Heri, nama panggilannya sehari-hari sejak kecil. Sedangkan nama lengkapnya ialah Heri Hendrayana Harris.

Dalam buku ini, Heri mengisahkan kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya diamputasi hingga karirnya sebagai penulis profesional dimulai. Mengambil setting waktu tahun 1974 hingga 1980-an, Heri menceritakan kehidupan masa anak-anak, remaja, hingga menjadi pemuda yang berpetualang menuju Indonesia Timur.

Petualangan Heri bertujuan untuk menikmati “sekolah kehidupan” dari saudara-saudari sebangsa dan setanah air Indonesia. Materi yang didapat dari “sekolah kehidupan” tersebut nantinya akan disusun menjadi “skripsi” berbentuk novel, juga buku memoar ini.

 

Menghindari Bias Konfirmasi

Dalam buku “You Are Not So Smart” karya David McRaney, menjelaskan bahwa mayoritas orang menghabiskan waktu untuk membaca sebuah tulisan tertentu jika argumen yang ditulis sesuai dengan pendapat mereka. Jadi seringkali pembaca tidak belajar informasi baru, tapi hanya membenarkan kepercayaan pembaca yang sudah ada. Kisah Heri adalah semacam antitesis dari buku David McRaney ini. Upaya Heri mencari data primer (riset) referensi tulisan bagi saya merupakan upaya menghindari bias konfirmasi.

Heri rela pergi dari rumah, hitchhiking, menjelajah negeri Indonesia, menikmati beberapa kemudahan di perjalanan sebagai rezeki anak soleh, menikmati sekolah kehidupan secara langsung untuk membaca alam semesta. Hal ini kelihatan dari kalimat yang ia tulis : “Melihat tentu berbeda dengan mengalami. Jika mengalami, maka aku bisa merasakan. Dengan banyak merasakan, aku jadi mudah menemukan kata dan merangkainya menjadi kalimat.”

Heri berbeda. Dia membuka diri untuk “riset bertahun-tahun hingga berdarah-darah.” Dia tidak “melamun di toilet sambil merokok” untuk menghasilkan karya, sebagaimana yang ia tulis di halaman 254. Bahkan Bapak dan Emaknya secara perlahan menanamkan sikap terbuka dan mau menerima apa adanya (hal. 160). Jadi, Heri terbuka kepada realitas kehidupan yang mungkin sangat berbeda dengan pendapat dan kepercayaannya sebelumnya. Heri menghindari bias konfirmasi.

 

Bukan “Buku Putih”

Pada usia yang masih anak-anak, setelah amputasi tangan kiri, sikap Heri sudah seperti orang dewasa. Ia tampak kuat dan tidak sedih terhadap “kehilangan beberapa kilo daging” dari tubuhnya itu. Padahal orang-orang di sekitarnya sangat prihatin dan meneteskan air mata. Mungkin sikap ini merupakan bentukan dari ayahnya untuk menjunjung sportivitas dalam hidup: Jika kalah, berjuang lagi hingga menang. Jika menang, hormati lawan. Namun sikap ini terkesan terlalu baik untuk menjadi kenyataan.

Oleh karena itu, dalam dunia kepenulisan, ada semacam penilaian dimana buku biografi dianggap sebagai “buku putih” pemiliknya. Semua isi buku biografi adalah upaya “memutihkan” sejarah hidup yang mungkin juga terselip dengan kisah-kisah kelam. Bagi saya, buku “Gong Smash” ini tidaklah demikian. Heri juga menyajikan beberapa kisah kelam atau kisah badungnya. Misalnya, ia pernah mencoba obat terlarang (demi riset), ia bolos sekolah/ kuliah, ia berontak dari pakem sukses versi kakak perempuan dan orang tuanya, ia memilih putus kuliah, dan lain-lain yang mungkin belum dituliskan di buku ini.

 

Beda Nasib

Saya tergugah untuk membandingkan buku “Gong Smash” dengan novel berjudul “Aimuna dan Sobori” karya Hanna Rambe. Saya tahu bahwa membandingkan buku fiksi dan non fiksi adalah tidak aple to aple. Namun jika dilihat dari nasib tokoh utama dari kedua buku ini, sangat berbeda. Tokoh Heri pergi untuk kembali, sedangkan tokoh Aimuna dan Subori pergi dan tidak kembali lagi.

Novel “Aimuna dan Sobori” pernah saya resensi dengan judul “Menjadi Orang Lain” dan dimuat di Victory News pada Agustus 2021 lalu. Jika novel “Aimuna dan Sobori” bercerita orang berupaya menyembunyikan identitasnya demi nyawa saat perang, maka buku “Gong Smash” bercerita tentang Harris yang menjadi dirinya sendiri di zaman orde baru.

Saya menduga jejak perjalanan Heri di buku Gong Smash mungkin pernah beririsan dengan jejak perjalanan Aimuna dan Subori. Dugaan ini tampaknya benar karena Heri pernah menyusuri wilayah Maluku (hal. 235), tempat Hanna Rambe meriset sejarah perang secara mendalam. Berdasarkan riset itu lalu Hanna Rambe memfiksikan (menovelkan) kisah Aimuna dan Subori yang mungkin memang berasal dari kisah nyata.

Aimuna dan Subori bermusafir untuk mempertahankan denyut jantung mereka lebih lama di bumi dan ingin mengecap negeri yang tenteram. Sedangkan Heri bermusafir untuk aktualisasi diri menjadi penulis profesional, sukses dalam karier menulis, lalu ingin melakukan seperti yang Ali Sadikin lakukan di Pasar Senen dan Bulungan. Aimuna dan Subori hanya ingin memenuhi kebutuhan dasar manusia, sedangkan Heri ingin memenuhi tingkat kebutuhan tertinggi manusia.

Perbedaan nasib tokoh pada kedua buku ini dapat dipahami mengingat perbedaan suasana yang melatari cerita. Dari situ, kita bisa paham betapa tidak enaknya perang, dan betapa baiknya suasana damai.

Akhir kata, masih banyak pesan kemanusiaan dari buku Gong Smash. Membaca buku Gong Smash, sebagaimana dianalogikan penulisnya, dapat “men-smesh” kesulitan hidup pembacanya.

 

Tidak ada komentar: