Selasa, 26 April 2022

Riuh ISBN dan Kualitas Buku



Oleh : Krismanto Atamou

 

International Standard Book Number (ISBN) kini menjadi isu yang riuh di dunia literasi. Hal ini bermula dari tulisan Bambang Trim di media sosialnya pada 14 April 2022 lalu. Bahwa ada pembatasan pemberian ISBN oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Lembaga internasional yang berwenang mengeluarkan ISBN membatasi pemberian ISBN karena kuota untuk Indonesia sudah mulai habis.

Pembatasan ini bermula dari pertumbuhan jumlah buku sangat tinggi di Indonesia. Sayangnya peningkatan jumlah buku ber-ISBN ini tidak diiringi tingkat penjualan buku atau apresiasi terhadap buku, apalagi tingkat membaca buku. Meski tingkat literasi membaca sudah mulai membaik, namun sayangnya itu belum cukup.

Seorang rekan memposting di media sosialnya jawaban ISBN Indonesia terkait pengajuan ISBN bukunya. Isinya: “Berdasarkan rekomendasi dari ISBN Internasional, buku hasil kegiatan belajar siswa dan gerakan literasi tidak diberikan ISBN. Silahkan diterbitkan sendiri tanpa ISBN.” Di bagian keterangan, sang rekan mengeluhkan keputusan ISBN Indonesia itu yang katanya dapat menggundahkan aktivis literasi.

 

Motivasi Berliterasi

Memang benar bahwa gonjang-ganjing terkait ISBN paling tidak, akan berdampak pada laju dan daya literasi masyarakat, terutama bagi mereka yang ingin menjadi penulis buku. Bayangkan jika naskah buku yang susah payah ditulis, diedit, ditulis lagi berulang-ulang, namun ternyata gagal ber-ISBN. Tentu akan membuat penulisnya kecewa. Apalagi jika buku tersebut diproyekkan demi tujuan selain kualitas buku, semisal demi akreditasi atau sertifikasi tertentu, jelas menjadi proyek gagal.

Saya sering diajak oleh komunitas tertentu untuk mengikuti proyek-proyek buku antologi beberapa tahun belakangan ini. Hampir selalu iklannya ialah menghasilkan buku ber-ISBN, dengan syarat naskah tulisan harus begini-begitu, dan harus membeli buku. Awalnya, sebagai penulis pemula saya ada rasa bangga. Punya buku ber-ISBN, siapa tidak mau? Namun lama-kelamaan saya sadar, saya korban proyek buku. Akhirnya, sudah dua tahun ini, saya tidak mau ikut proyek buku antologi lagi.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Penggalan kalimat dari Pramoedya Ananta Toer ini sering dipakai pihak tertentu sebagai iklan sakti untuk mengajak orang harus menulis. Padahal, orang yang diajak belum tentu memiliki minat, ilmu, pengalaman, dan kemampuan menulis yang baik. Alhasil, kualitas buku masih perlu banyak perbaikan.

 

Jalan Sunyi Penulisan Buku

Seyogyanya, ISBN berkaitan dengan rantai industri buku dan selera pasar (nilai jual buku). Hal ini yang terkadang abai dari perhatian penulis pemula. Akhirnya, buku-buku karya mereka dicetak untuk komunitas terbatas, dicetak hanya beberapa eksemplar saja, lalu sisi pemasaran lemah atau diabaikan. Buku-buku itu nantinya hanya menghiasi media sosial penulisnya, tidak laku terjual, dijadikan souvenir kepada orang lain, dan kadang sesama penulis pemula barteran buku. Inilah kerja menghabiskan kuota ISBN dari lembaga ISBN Internasional di Inggris.

Seorang rekan menulis di media sosialnya terkait nasib penulis pemula. “Beginilah proses penulis pemula menghasilkan buku: cari bahan tulisan sendiri, pikir sendiri, tulis sendiri, edit sendiri, kualitas dijamin sendiri, cari penerbit sendiri, bayar penerbit sendiri, buku diterbitkan sendiri, koleksi buku sendiri, menikmati (baca) buku itu pun sendiri, bahkan bangga pun sendiri.

“Karya buku penulis pemula jangan harap dibaca orang. Kalaupun buku diberikan secara gratis, paling-paling sang penerima membawa pulang buku karena tidak enak hati untuk menolaknya. Kelanjutan nasib buku itu sudah bisa ditebak.”

Buku diperlakukan sebagai barang antik. Tidak dibaca, hanya diperhatikan dan diceritakan kala momen tertentu. Fenomena inilah yang membuat beberapa penulis menyebut dunia kepenulisan sebagai jalan sunyi. Hanya sedikit orang yang bisa melawan rasa malas membaca, sabar melakukan riset mendalam, sabar menghadapi proses belajar untuk mengubah tulisan buruk menjadi tulisan bagus, lalu meluaskan lingkaran pergaulan atau jaringan pemasaran demi menjual buku, sabar juga kalau bukunya tidak diapresiasi oleh orang lain.

 

Apresiasi Karya Buku

Berdasarkan sejarahnya, pencipta ISBN dari Inggris W.H. Smith menggunakan penomoran ini dengan fungsi inventarisasi buku. Jadi ISBN bukan soal kualitas atau penjamin mutu buku. Bagaimanapun kualitasnya,  saya kira apresiasi terhadap karya buku tetap perlu. Misalnya dengan memberi kritik yang membangun kepada karya-karya buku yang belum berkualitas agar menjadi lebih baik. Ibarat kata: “Dari pada saling menginjak (menghina) untuk naik ke atas (menghasilkan karya bagus), lebih baik saling menopang (memotivasi) dan bersinergi dalam kerja kebudayaan ini.

Untuk mengapresiasi karya buku, tidak cukup ada proyek-proyek kepenulisan dan tidak cukup ada grup-grup media sosial kepenulisan. Perlu juga ada kelas-kelas kepenulisan agar terjadi mentoring yang baik. Perlu ajang-ajang lomba yang objektif dan akuntabel agar penulis pemula dapat menguji kualitas karyanya. Perlu dibangun budaya baca, diskusi, lalu kritik terhadap karya buku. Dengan demikian, dunia kepenulisan (buku) tidak lagi menjadi jalan sunyi bagi para pelakunya. Dan akhirnya kualitas karya buku penulis pemula sekalipun sekiranya dapat menjadi karya yang baik karena telah melalui proses “mengeram” yang cukup.

Saat ini saya (sebagai penulis pemula) sedang “mengeramkan” novel saya berjudul suanggi. Saya telah memberi naskahnya kepada para pembaca pertama untuk mendapatkan kritik dan saran. Semoga kelak novel yang telah dua tahun saya kerjakan ini, dapat menjadi karya novel sejarah dan budaya lokal yang baik.



Tidak ada komentar: