Minggu, 03 April 2022

Guru yang Baik




Guru yang Baik

Oleh : Krismanto Atamou

 

Pendamping yang pintar, akan melahirkan manusia-manusia  yang pintar. Ini salah satu isi closing statement yang sangat menarik dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat pada acara pameran dan bedah buku Sang Mesias karya P. Fritz Meko, SVD. Acara ini digelar di aula hotel Cahaya Bapa pada Sabtu, 2 April 2022 lalu.

Saya tertarik dan mengikuti bedah buku ini setelah membaca Victory News, Kamis, 31 Maret 2022. Judul beritanya ialah Sang Mesias Hadir di Kupang. Mesias dalam ajaran Nasrani dikenal juga dengan sebutan Guru.

 

Guru Penggerak

Saat ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI tengah membuka pendaftaran guru penggerak. Pendaftarannya dibuka hingga 15 April 2022 melalui laman simpkb.id. Program guru penggerak ini seyogyanya menghasilkan guru yang dapat menggerakkan sesama rekan guru, murid, dan semua komponen pendidikan. Tujuannya tidak lain ialah untuk mencapai tujuan pendidikan Indonesia. Dan secara administratif, program guru penggerak juga menjadi salah satu syarat seorang guru bisa diorbit menjadi calon kepala sekolah.

Senada dengan program Kemendikbudristek RI, Gubernur NTT dalam closing statement di acara tadi juga menyebut bahwa Mesias adalah Guru yang Baik. Berefleksi pada buku Limitless Mind karya Jo Boaler yang beliau baca, beliau mengatakan bahwa guru tidak perlu standar tertentu saat awal menerima murid. Apapun kondisi murid, walaupun bodoh, mesti diterima, sebab murid memiliki delapan puluh enam miliar neuron di kepala yang siap dipakai untuk belajar.

Begitulah pun dalam pengalaman saya sebagai guru, anak-anak yang semula dianggap tidak mampu, ternyata bisa distimulasi untuk melampaui tujuan pembelajaran standar di sekolah. Pernah ada seorang anak yang dicap nakal oleh teman-temannya dan oleh beberapa guru. Anak ini sulit berkonsentrasi saat belajar di kelas. Saya lalu merancang pembelajaran praktikum dengan membuat roket air. Pembelajaran ini mengakomodasi anak dengan keunggulan kinestetik. Beberapa anak memang lebih mudah mencerna materi dengan bergerak atau melakukan sesuatu.

Saat melaksanakan kegiatan pembelajaran di luar kelas, ternyata anak tadi lebih aktif dibanding teman-temannya yang lain. Saya melombakan kegiatan pembelajaran roket air dengan menghadiahi kelompok pemenang. Pemenangnya ialah kelompok murid yang roket airnya berhasil meluncur ke titik terjauh.

Setelah mencoba beberapa kali, sang anak yang dicap nakal tadi berinovasi dengan tidak mengisi air dalam roket. Dia memperbaiki desain roket air lalu memompakan angin semata ke dalam roket dan menarik tuas pemicu. Roketnya berhasil meluncur ke titik yang lebih jauh. Meski kemudian di tangan anak ini roket air berubah menjadi roket angin, inisiatifnya berinovasi untuk mencapai target saya apresiasi.

Jadi sebenarnya dalam kegiatan pembelajaran, tidak ada murid yang tidak mampu. Murid hanya perlu pembimbing yang baik. Dalam buku Sang Mesias, Fritz Meko menggambarkan hal ini dengan puisi berjudul Terpilih Tanpa Kriteria, itu terjadi saat Mesias memilih kedua belas rasul. Prof. Yohanes Surya membuktikan ini dengan mengambil anak-anak dari pedalaman Papua yang dianggap terbelakang. Dalam bimbingan beliau, anak-anak Papua itu bahkan berhasil meraih juara olimpiade.

 

Belajar dari Kesalahan

Sang Mesias tetap memilih Petrus, murid yang pernah berubah setia. Dalam buku Sang Mesias, Fritz Meko menulis tentang kondisi Petrus, “Ia pergi membawa tobat di hatinya.” Setelah itu, konon sejarah mencatat nasib Petrus yang bersedia disalib terbalik demi kesetiaannya kepada Mesias.

Belajar dari kesalahan itu baik. Sebagaimana penyampaian Gubernur NTT bahwa ternyata orang yang menjawab salah, saraf otaknya lebih berkembang dari orang yang menjawab benar. Karena otaknya akan bekerja lebih keras untuk mencapai kebenaran yang belum dicapainya.

Fenomena takut salah terkadang membuat orang (murid) terlalu berhati-hati bahkan takut untuk melangkah. Sebagian besar rekan guru saya menyaksikan hal yang sama di kelas saat pembelajaran berlangsung. Setelah penyampaian materi biasanya guru bertanya: Ada pertanyaan?  Tidak ada murid yang bertanya. Lalu guru bertanya lagi: sudah jelas materinya? Murid menjawab: Sudah. Tapi ketika guru meminta murid menjelaskan suatu bagian materi, tidak ada murid yang bisa menjawab. Semuanya diam.

Menghadapi fenomena seperti ini tentu bukan perkara mudah bagi guru. Agar bisa menggerakkan murid dari kondisi seperti ini perlu metode yang berbeda. Semisal dengan metode diskusi kelompok. Membagi murid ke dalam kelompok kecil dapat membuat semua murid lebih aktif dan terlibat dalam pembelajaran, apalagi pasca pembatasan tatap muka karena Covid-19.

Saya menyaksikan di kelas, murid sangat antusias dalam berdiskusi kelompok. Ketika seorang murid melakukan kesalahan, spontan ada murid lain yang membantu. Mungkin berdiskusi menjadi salah satu cara murid memenuhi rasa haus bersosialisasi yang selama ini terkekang oleh pandemi. Setelah melakukan diskusi kelompok, murid bekerja sama mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas. Lalu mereka mempertanggungjawabkan pekerjaan kelompok tersebut dalam sesi diskusi kelas.

Masih banyak metode lain yang dapat dipakai guru agar murid lebih antusias dan belajar dari kesalahan-kesalahannya. Di titik inilah dibutuhkan guru-guru yang baik, yaitu guru yang mau menggerakkan murid mencapai tujuan pembelajaran. Guru-guru yang mau terus belajar, menjadi cerdas untuk mencerdaskan muridnya. Sebab pendamping (guru) yang pintar, akan melahirkan manusia-manusia (murid) yang pintar pula.



Tidak ada komentar: