Kamis, 21 April 2022

Perjuangan Kartini Masa Kini



Oleh : Samu Rambunita Sandy, S.Pd

Guru SLB Negeri Oelmasi

 

R. A. Kartini di zaman dulu telah meninggalkan teladan baik bagi kaum wanita. Beliau mewariskan semangat emansipasi wanita (perempuan). Bahwa kaum perempuan selayaknya memiliki persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ada kesetaraan gender.

Isu kesetaraan gender yang telah lama dihembuskan. Namun hingga kini, beberapa lini kehidupan belum memberi ruang yang setara kepada kaum perempuan. Persentase keterwakilan perempuan di parlemen saat ini misalnya, belum mencapai 30% sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang.

 

Perjuangan Politik

Memperjuangkan perspektif kebijakan yang mempertimbangkan aspek feminisme di antara dominasi budaya patriarki tentu tidaklah mudah. Masih ada pandangan yang menganggap feminisme sebagai gerakan yang menyangkali dan mengubah kodrat perempuan. Klaim-klaim dogmatis seperti ini perlu dipatahkan dengan perjuangan bersama kaum perempuan (sisterhood).

Semangat perubahan seperti inilah yang telah dirintis oleh R.A.Kartini tempo dulu. Bahwa perempuan harusnya bisa memiliki kedudukan yang sejajar dengan pria dan tidak dianggap rendah.

Hal persentase perempuan 30% di parlemen misalnya, perempuan tidak bisa hanya menunggu kesempatan. Upaya R.A. Kartini agar kaum perempuan bisa mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum pria telah berhasil. Selanjutnya, apakah kaum perempuan mau memanfaatkan peluang itu untuk memantaskan (kapasitas dan kompetensi) diri, lalu mau terlibat dalam pesta demokrasi demi menjadi anggota parlemen?

Saya rasa akan lebih baik jika kaum perempuan terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan di parlemen. Dengan begitu suara perempuan yang selama ini minor, dapat didengar langsung dan bahkan dapat menentukan nasib mereka sendiri. Dan untuk perjuangan feminisme ini, dibutuhkan keterwakilan yang cukup agar suara perempuan memiliki posisi tawar yang baik di parlemen.

Sebuah kutipan mengatakan bahwa kejahatan timbul bukan hanya akibat adanya orang jahat, tetapi juga akibat diam atau pasifnya orang baik. Oleh karena itu, orang baik (feminis) perlu terlibat aktif dalam membela dan mempertahankan nasib mereka di parlemen. Sayangnya, dalam kasus tertentu di pesta demokrasi selama ini, pelibatan perempuan sebagai calon anggota parlemen hanya sekedar memenuhi kuota perempuan yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Kuota perempuan hanya dijadikan syarat formalitas partai peserta pemilu. Perempuan sepertinya pura-pura dicaplok namanya demi administrasi partai politik semata. Seorang teman saya mengalami hal seperti ini dalam dua kali pesta demokrasi terakhir. Bahkan diceritakan suaminya sendiri mengaku tidak mencoblos nomor urut istrinya di surat suara pemilihan calon anggota parlemen. Di titik inilah, semangat sisterhood sangat diperlukan.

 

Perjuangan Pendidikan

Saat ini kaum perempuan perlu bersyukur karena telah disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Ini adalah hasil perjuangan panjang. Meski begitu bukan berarti perempuan telah berada di titik aman. Masih ada hal lainnya yang perlu diperjuangkan.

Satu: perlunya pendidikan politik yang proporsional bagi kaum perempuan. Pendidikan politik ini tidak semata agar perempuan bisa memantaskan diri memasuki lembaga legislatif, tetapi juga terlibat dalam gerakan (pasif/aktif) untuk memperjuangkan dan mempertahankan kesetaraan di berbagai bidang kehidupan.

Pendidikan politik bagi kaum perempuan juga akan bermanfaat untuk mematahkan mitos yang menyatakan bahwa kodrat perempuan hanya sebatas mengurusi urusan dapur dan urusan domestik lainnya. Padahal, perempuan bukanlah pembantu untuk menyelesaikan pekerjaan domestik (dalam rumah tangga). Pekerjaan domestik bukanlah kewajiban perempuan semata, itu juga kewajiban kaum pria.

Dalam ajaran Nasrani, perempuan disebut sebagai penolong bagi pria, yang sepadan dengan pria (bandingkan dengan Kejadian 2:18). Kata “sepadan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti mempunyai nilai (ukuran, arti, efek, dan sebagainya) yang sama; sebanding (dengan); seimbang (dengan); berpatutan (dengan).

Dua: perlunya pendidikan kesetaraan untuk menghadapi bias yang terkadang tidak disadari oleh pelakunya. Bias seperti ini biasanya datang dari pengalaman budaya patriark sebagaimana yang ditulis oleh Cora du Bois, seorang antropolog yang pernah meneliti masyarakat Alor sekira tahun 1930-an.

Dalam bukunya berjudul The People of Alor, Cora du Bois menulis bahwa ternyata kaum perempuan lebih bekerja keras dari pada kaum lelaki. Ia mencatat, setelah melahirkan, seorang perempuan (ibu) suku abui hanya beristirahat sekira dua minggu di rumah. Setelah itu si ibu harus bekerja di ladang, menjaga dan membesarkan anak, dan mengerjakan pekerjaan domestik. Sungguh suatu pekerjaan yang berat bagi kaum perempuan dalam tatanan budaya patriark.

Kondisi seperti catatan Cora du Bois saya kira masih terjadi hingga saat ini. Dan itu menjadi pengalaman pribadi para pendahulu yang cenderung diwariskan secara tidak sadar oleh para pelakunya. Di titik inilah pendidikan kesetaraan menjadi penting untuk melihat tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga (misalnya) sebagai tanggung jawab bersama pria dan wanita.

Sementara itu, di dunia kerja dan jenjang karier perlu juga memahami kesetaraan gender. Semisal perlunya cuti haid dan cuti melahirkan dengan mekanisme yang mudah, sederhana, dan cepat; perlunya ruang menyusui di setiap tempat kerja dan terminal; perlunya mengakomodir perspektif perempuan dalam pengambilan kebijakan tertentu; dan lain-lain.

Masih banyak hal lain yang diperjuangkan oleh Kartini masa kini. Semoga dengan momentum hari Kartini pada 21 April 2022 ini, kaum perempuan dapat berefleksi, menjadi terdidik, lalu tetap memperjuangkan dan mempertahankan kesetaraan.



Tidak ada komentar: