Senin, 23 Mei 2022

Diskursus Perihal Kerapian Rambut Siswa

Oleh : Krismanto Atamou




Soal tata tertib perihal kerapian rambut siswa kerap menuai polemik dalam penerapannya di sekolah. Hal yang sekian lama adem ayem, sempat memanas di grup Facebook Nadiem Makarim beberapa waktu lalu. Ada kasus di Jawa, dimana seorang guru diancam oleh Undang-undang Perlindungan Anak karena menggunting rambut siswa yang panjang. Kasus ini hanyalah puncak gunung es dari sekian banyak.

Komunikasi antar Warga Sekolah

Sewaktu sekolah dulu, saya sempat pula mengalaminya. Pak Viktor, Guru SMP saya di SMP Protestan kota Makassar menggunting rambut keriting saya. Tak bisa diperbaiki, rambut saya digunting botak oleh paman saya di rumah. Paman maklum dengan tindakan guru dan malah memarahi saya. Tidak ada masalah. Kini, kalau guru salah sedikit saja, bisa saja, tidak berselang lama, nama guru yang diduga berulah telah “ba’bau” alias viral di media sosial.

Begitulah tetangga saya beberapa hari lalu hampir saja termakan hoax lalu nyaris melabrak dan memviralkan guru anaknya di sekolah. Pasalnya, rambut anak lelakinya dipotong oleh guru di sekolah. Sang anak pulang dalam keadaan menangis dan langsung mengurung diri di kamar, dari siang hingga malam. Dari anaknya yang lebih tua, sang tetangga mendapat informasi bahwa guru menggunting rambut anak lelakinya itu karena terlalu ganteng dan menjadi rebutan dua siswi di sekolah. Sang tetangga berang.

Esoknya, saat saya sedang bertamu, sang tetangga bercerita perihal anaknya itu. Tengah bercerita, anak lelakinya itu datang dan mengklarifikasi bahwa rambutnya digunting karena sudah panjang, bukan karena masalah lain. Sang tetangga lalu memarahi anaknya yang menyebarkan hoax. Hoax ini terjadi karena ada komunikasi yang putus antara orang tua, siswa, dan guru di sekolah.

 

Kecerdasan dan Kedisiplinan

Beberapa saat lalu Roni Bani, seorang rekan penulis dari kabupaten Kupang menulis tentang hal ini di blognya (ronibaniblog). Ia menyebut bahwa kedisiplinan dan kerapian rambut siswa, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan. Dan tindakan mendisiplinkan siswa mesti didahului dengan kedisiplinan guru.

Seperti keluhan orang tua pada umumnya, Roni menyampaikan soal tindakan guru yang dinilai melebihi batas dan dapat menyebabkan trauma psikologis pada anak. Beralasan penegakan aturan sekolah, ketika mendapati ada siswa berambut panjang, tanpa himbauan atau peringatan, guru langsung menggunting rambut siswa yang panjang tersebut dengan pola amburadul.

Saya paham bahwa tindakan pendisiplinan rambut siswa sebenarnya bertujuan agar siswa jera berambut panjang (sebagai hukuman). Guru berharap siswa segera menggunting pendek rambutnya. Namun di sisi lain, tindakan guru ini bisa membuat siswa menjadi malu, sulit memperbaiki guntingan guru menjadi potongan yang rapi, siswa trauma atau takut terhadap guru, siswa sulit berkonsentrasi karena memikirkan rambutnya, motivasi belajar siswa menjadi rendah, dan dalam kasus yang fatal dapat menyebabkan penurunan prestasi siswa.

Pada beberapa kasus, karena tidak bisa lagi memperbaiki guntingan guru menjadi potongan yang rapi, siswa terpaksa menggunting botak rambutnya. Ini kemudian berimbas pada rasa percaya diri siswa menjadi rendah, berpeluang dirundung temannya, bahkan kadang tak sengaja rundungan itu justru datang dari guru. Miris bukan? Semisal guru berkata: “Nah, lihatlah anak-anak! Ini akibatnya kalau melawan tata tertib sekolah, rambutnya jadi botak.” Sudah botak, dirundung pula. Apakah itu mendidik? Silakan para pendidik menjawab sendiri.

 

Kemitraan dan Demokrasi

Samuel Eduardo Assan dalam opininya terkait kedisiplinan rambut siswa di Victory News pada Rabu, 18 Mei 2022 berjudul “Rambut Panjang vs Disiplin Sekolah” telah menguraikan dengan cukup jelas. Dimulai dari uraian permasalahan, dasar aturan tata tertib sekolah, hingga menghimbau siswa sadar konsekuensi aturan disiplin saat memilih sekolah. Sayangnya, dalam uraian Samuel, saya rasa ia telah menaruh institusi sekolah seolah berada di menara gading dengan benteng aturan pemerintah dan tata tertib sekolah yang tidak bisa dilawan oleh pihak manapun. Bagi saya ini seperti paham fasisme di negara demokrasi. Cocokkah?

Terkadang asumsi sepihak guru turut masuk dalam kurikulum dan tata tertib sekolah. Ini berbahaya. Guru memproyeksikan keberhasilan siswa dalam standar dan frame yang guru buat sendiri (subjektif). Semisal, berapa centimeter rambut siswa dikategorikan panjang? Bagaimana cara memperingati dan menghukum murid berambut panjang? Jika guru memakai asumsi subjektifnya, praktis dalam posisi ini, guru bukan lagi fasilitator bagi siswa tapi diktator alias fasis.

Untuk itu, saya kira alangkah lebih baik penetapan aturan tata tertib sekolah, mesti melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk orang tua murid dan komite sekolah. Keterlibatan komite sekolah dalam institusi sekolah telah diatur pada pasal tiga Permendikbud No.75 tahun 2016. Di Permendikbud ini jelas menjabarkan fungsi komite sekolah. Salah satunya yaitu memberikan pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan terkait kebijakan dan program sekolah (termasuk tata tertib sekolah).

Sebelumnya, ada juga Permendikbud No.82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dalam pasal enam huruf c Permendikbud ini bahkan menyebutkan salah satu tindak kekerasan ialah penganiayaan, yaitu merupakan tindakan yang sewenang-wenang seperti penyiksaan dan penindasan. Tindakan guru menggunting rambut tanpa aturan yang jelas dan demokratis bisa dikategorikan pelanggaran terhadap pasal ini.

Oleh karena itu, dalam membuat tata tertib perihal kedisiplinan/ kerapian rambut siswa, alangkah lebih baik jika melibatkan semua komponen sekolah. Dengan demikian, dalam penindakan terhadap siswa yang melanggar (telah diberi peringatan bertahap dan sepengetahuan orang tuanya tapi tetap melawan), guru dapat terlindungi karena aturan yang ditegakkan merupakan aturan yang telah diketahui dan disepakati bersama seluruh warga sekolah. Dengan mekanisme seperti ini, ada juga pelajaran berdemokrasi bagi siswa untuk hidup bermasyarakat di negara Indonesia yang demokratis ini, lalu menghapus budaya kekerasan dan suka mencari “kambing hitam” sebagaimana yang ditanyakan Simon Eduardo Assan di akhir paragraf dua opininya tadi.

3 komentar:

Heronimus Bani mengatakan...

Terima kasih telah turut mengulas masalah ini, saya pikir mungkin hanya segelincir orang saja yang peduli akan hal begini. Mayoritas guru lebih suka menghukum, memberi sanksi daripada memberikan contoh pada siswa.

Kris_Atamou mengatakan...

Sepakat Tuan. Di era merdeka belajar saat ini, saya kira sudah saatnya guru tidak lagi anarkis seperti dulu. Permendikbud sudah jelas. Salah2 guru bisa kena pasal

Devh adoe mengatakan...

Hormat Kaka......