Minggu, 06 Oktober 2019

Ada Cinta di Terminal Kota

Oleh : Krismanto Atamou

Siang itu di terminal kota, Jimi bertemu Maria. Keduanya bertatap, tanpa bicara. Jimi ingin mengungkap rasa namun tak bisa. Jimi sudah menaruh rasa suka pada Maria, bahkan sejak sekolah dasar. Namun, itu hanyalah seberkas rasa yang tak pernah diungkapkan. Jimi malu mengungkapkannya. Rasa itu dibawanya dalam imajinasi, dalam mimpi-mimpi yang berkepanjangan. Tak pernah keluar dari mulutnya, walau sepatah kata pun. 
Maria adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal saat ia masih kecil, masih berusia lima tahun. Maria diadopsi oleh pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru di SD tempat Jimi bersekolah. Itulah awalnya bagaimana Jimi bertemu dengan Maria.
Setelah tamat sekolah dasar, keduanya berpisah. Jimi melanjutkan SMP di kota dan Maria sebagai adik kelasnya harus tetap melanjutkan pendidikan di kampung. Begitulah hingga tujuh tahu berlalu dan mereka tak pernah berjumpa.
Akan tetapi, jodoh memang tak akan ke mana. Siang itu, Jimi terkejut melihat pujaan hatinya berjalan menggunakan seragam putih abu-abu di salah satu lorong terminal kota. Awalnya Jimi tak percaya itu adalah Maria. Ia agak ragu sebab menurut cerita yang didengarnya,  Maria telah mengikuti orang tua angkatnya pindah ke kampung yang lebih jauh lagi. Peluang perjumpaan kembali semakin kecil.
Akan tetapi siang itu, matanya menyaksikan kehadiran sosok yang selama ini menggoncang rasanya sejak kecil. Jimi ingat cara berjalannya, bekas luka cukup besar di kaki kanannya, posturnya, lesung pipinya, keanggunannya. “Ah, Maria. Kau selalu mempesona,” kata Jimi dalam hati.
Saat Jimi masih berdiri terpaku dan menelusuri relung-relung keraguannya, sosok Maria semakin jelas seiring jarak yang semakin mendekat. Maria tak menoleh ke kiri atau kanan. Maria hampir berlalu ketika Jimi mencoba menyapa.
“Maria!”
Maria menoleh mencari sumber suara. Langkah kakinya terhenti. Matanya terpana pada sosok laki-laki yang memanggilnya. Sosok itulah yang pernah tertangkap menatapnya penuh arti pada tujuh tahun yang lalu, saat ia masih bersekolah di sekolah dasar. Mata itu pernah menjadi sumber ketenangan hati ketika sekedar bertatap di sumur umum dekat kompleks sekolah dasar.
Maria pernah bertanya-tanya tentang arti tatapan itu dalam hatinya. Ia pernah merenungi keteduhan yang dipancarkan dari sorot mata itu setiap kali bertemu di sumur. Entah kenapa, saat SD, Maria hampir selalu bertemu Jimi saat menimba air di sumur. Setiap kali bertemu, suasana itu selalu sama. 
Maria pernah menduga bahwa Jimi pasti mengamati dan mengikuti ritme waktunya untuk menimba air. Jimi pasti mengikutinya. Suatu kali, Maria mengubah waktu untuk menimba air. Sepulang sekolah, sehabis makan, Maria tahu itu adalah waktu bagi anak lelaki berkumpul dan bermain. Maria mengambil ember dan berjalan ke sumur.
Dari jauh tidak terlihat ada orang di sumur atau yang sedang berjalan ke sumur. Benar-benar sepi. Betapa terkejutnya Maria saat mendapati Jimi sedang berada di sisi sumur yang terpeleh dari pandangannya tadi. Jimi sedang menunduk memperbaiki tangkai ember yang terlepas dari kaitannya. 
“Ah ..., sorot mata itu lagi,” gumam Maria. Jimi mencuri-curi pandang di antara kekikukkan yang terjadi sementara wajah Maria memerah. Jimi terus memperbaiki tangkai embernya yang lepas, seolah itu suatu pekerjaan besar yang sulit dilakukan. Grogi.
Sorot mata itu masih sama saat kini Maria menatap Jimi di terminal kota. Maria baru saja hendak berangkat ke sekolah untuk mengikuti les sore persiapan ujian akhir kelas dua belas SMA. 
“Hi, Jim,” sapa Maria mengurai kecanggungan.
“Wah, sudah lama kita tidak ketemu,” ujar Jimi mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Seiring usia keberanian Jimi bertambah. Jiwa kejantanannya keluar ingin bertindak sebagai pangeran. 
“Kau mau ke mana, Maria?”
“Aku mau ke sekolah, ikut les sore.”
“Oh, kau tambah cantik, Maria.” Wajah Maria memerah, tepat seperti di sumur tujuh tahun lalu. Hanya saja kali ini wajah yang memerah itu kelihatan lebih keibuan, tirus, tipikal garis muka remaja yang masih segar bugar. Ayu.
Maria seakan tak percaya bahwa sosok lelaki imut dan lugu saat SD dulu kini telah menjadi pria perkasa. Jimi telah menjadi perjaka yang jangkung dan ganteng. Tatapan matanya lebih tajam dari sebelumnya. Bahunya tegak seolah sosok seorang aristokrat.
Begitulah awal mula cinta mereka bersemi di terminal kota. Jimi sudah berkuliah pada salah satu universitas ternama sedangkan Maria masih kelas XII SMA. Maria sedang bergelut dengan persiapan mengikuti ujian nasional sedangkan Jimi sedang menikmati liburan akhir semester.
Setiap siang Jimi selalu menanti Maria di terminal kota. Tiap ada kendaraan yang menurunkan penumpang, kesitu pandangan Jimi tertuju. Ia berharap yang turun ialah kekasih hatinya. Paling tidak beberapa menit perjumpaan diharapkannya setiap hari dari beberapa jam menunggu. Menunggu tak lagi menyebalkan bagi Jimi, sebagaimana menyebalkan bagi kebanyakan orang.
Sudah dua minggu cinta tanpa ungkapan cinta itu berlangsung. Angin berhembus menyusuri setiap sudut kota yang terletak dalam teluk itu. Sebuah daun pohon ketapang jatuh mengenai dahi Jimi yang sedang menunggu Maria. Ia menunggu sambil duduk di bawah pohon ketapang di sudut terminal yang langsung berbatasan dengan laut teluk kota itu. Tangkai daun yang mengetuk tepat di tengah-tengah dahinya itu seakan menyadarkan Jimi tentang hubungannya dengan Maria.
“Kau harus memperjelas statusmu dengan Maria. Apakah hanya sekedar kawan lama yang kau sukai atau kau cintai? Suka dan cinta adalah dua hal yang berbeda, Jimi.” 
“Ah, tapi aku tak berani.”
“Hi, kau bukan anak kecil lagi. Kau pria dewasa sekarang. Seorang pria harus berani jujur dan bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri, meski itu harus melawan diri sendiri.”
“Melawan diri sendiri? Maksudnya?”
“Ya. Melawan ketakutan dirimu sendiri.”
“Tapi kan ketakutan itu positif. Ketakutan membuat kita waspada terhadap hal-hal yang negatif yang mungkin akan terjadi.”
“Ia. Tapi ketakutanmu yang sekarang adalah ketakutan yang berlebihan, mirip paranoid. Ketakutan yang tak beralasan.”
“Nah, justru sekarang kaulah yang ketakutan.”
“Tidak.”
“Ya, kau takut kepada ketakutanku bukan?”
“Tidak. Lebih tepatnya aku khawatir kau menjalani hubungan tanpa status dengan Maria. Atau paling tidak, kalian hanya teman tapi mesra. Bukan pacar atau kekasih.”
“Jadi, kau mau aku harus bagaimana?”
“Kau ungkapkan cintamu lewat kata-kata pada Maria. Selama ini kalian berdua hanya cengar-cengir, tatap-tatapan, dan basa-basi tak karuan.”
“Kapan harus aku ucapkan cintaku padanya?”
“Segera. Sebelum kau ditikung orang lain.”
“Ah, itu tidak mungkin.”
“Mungkin saja. Kau lihat lesung pipinya, wajah keibuannya, tatapannya yang teduh keluar dari bawah alisnya yang tebal dan melebar itu. Wajah seperti dia sangat cukup untuk menggetarkan hati pria mana pun.”
Setelah berpuas diri berbicara dengan diri sendiri, Jimi membulatkan niat dan tekadnya untuk ‘menembak’ Maria. Seperti biasa, Jimi menunggu Maria di terminal kota. Setelah sejam menunggu, Maria tiba. Jimi melampaikan tangan memanggil Maria yang sudah tahu bahwa Jimi pasti menunggu.
“Ada yang ingin aku bicarakan, Maria.”
“Ada apa?” Maria penasaran. 
Maria bersandar pada tiang ruang tunggu terminal kota. Jimi berdiri di depannya sambil tangan kirinya dijulurkan lurus dan menopang pada tiang tempat Maria bersandar. Mereka berhadapan dengan jarak kurang dari setengah meter. 
Jimi menunduk seolah mengumpulkan kekuatan kemudian mengangkat wajahnya. Ditatapnya maria dalam-dalam. Ada hampir setengah menit mereka berdiam, kemudian kata-kata Jimi memecah kebisuan.
“I love you, Maria,” ujar Jimi seiring detak jantung di dada yang semakin bertalu-talu. Jimi terus memandangi Maria tanpa lepas. Tatapan itu seakan ingin meminta jawaban saat itu juga. Maria tetap membisu. “Tolong jawab aku,” lanjut Jimi.
Bibir dan lidah Maria terasa kaku. Tak dapat ia berbicara, mungkin saking senang, grogi, atau apa pun itu. Ia hanya menatap Jimi semakin dalam dan mengangguk perlahan. Jimi menarik badannya dan mengambil nafas dalam-dalam. Keduanya serasa melayang terbang. 
Terminal kota jadi saksinya. Panasnya kota seakan tak terasa. Dunia terasa milik berdua.  Dunia dengan segala pergolakannya. 
Ada pemanasan global, ada perambahan dan kebakaran hutan, ada isu SARA, ada perang idealisme dan makna, ada perang dunia maya, ada isu kemanusiaan, hukum, ekonomi, politik, dan masih banyak lagi. Dunia seperti itulah yang Maria dan Jimi warisi, entah sampai kapan. Pergolakan itu telah menjadi tantangan bagi suatu pihak, menjadi hambatan bagi pihak yang lain, dan menjadi permainan bagi pihak yang lain lagi.
Sebuah mobil membunyikan klaksonnya dengan keras. Maria dan Jimi tersentak dan menoleh. Seorang kakek yang mencoba menyeberang jalan sendiri hampir tertabrak. Maria dengan cekatan berlari menghampiri sang kakek dan membantunya menyeberang. 
"Sungguh mulianya hatimu, Maria," gumam Jimi. Sejak itu, Maria adalah nama yang selalu bertakhta di hati Jimi. Selamanya.

1 komentar:

Marsya mengatakan...

Numpang promo ya Admin^^
ajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856