Minggu, 27 Oktober 2019

RUMAH CINTA

Oleh : Krismanto Atamou

Senja akan segera berakhir ditelan malam sunyi. Gubuk kecil di pinggir desa terpencil pedalaman pulau Timor itu seakan benteng pertahanan terakhir pasangan muda yang selalu dirongrong oleh godaan orang ketiga. Belum lagi sifat sang suami, Ardi, yang selalu curiga terhadap istrinya, Rini. 
Sejak menikah tiga tahun silam, sudah tiga kali mereka terancam bercerai. Untunglah sampai pada taraf sampai bercerai yang berarti nyaris bercerai. Masih ada sedikit sekali harapan untuk tidak bercerai. Meski harapan itu sangat kecil nilainya, nilai itu sangat penting untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka.
***
“Rin, ini ada telepon untukmu,” Ardi menyodorkan telepon rumah sambil menunjukkan ekspresi marah, lebih tepatnya cemburu. Hal itu karena suara yang didengar Ardi dari seberang telepon adalah suara laki-laki.
“Halo, ini siapa?” Rini meninggalkan cucian yang sedang dicucinya di ruang cuci dan memulai percakapan.
“Rin, ini aku Dani.”
“Dani siapa ...?”
“Ah, kamu jangan sengaja lupa ya...? Aku Dani, teman SMP-mu... yang kupu-kupu kertas itu, masih ingat tidak?”
“Oh, iya, kupu-kupu kertas. Iya, aku ingat. Kamu yang selalu buatkan aku kupu-kupu kertas kalau aku lagi malas-malasan di kelas kan ...?”
“Iya benar. Dan kamu paling suka itu kan ...?”
Tak lama berselang, ruang keluarga itu terdengar tawa riang Rini bersama teman obrolannya di telepon. Mereka bercerita tentang masa SMP yang begitu menyenangkan.
Bruk ....
Tiba-tiba ada suara benda jatuh di belakang Rini. Rini menengok ke belakang. Tampak Ardi membanting laptop Apple miliknya yang sedang dipakainya mengetik. Ardi memang seorang pekerja keras, sering rumah dijadikannya seperti kantor. Sangat sedikit waktu yang ia sisihkan untuk keluarga, termasuk istrinya. Mungkin karena itulah Rini sangat gembira mendapat telepon dari teman lamanya, ia bisa mendapatkan perhatian yang nyaris tidak ia  dapatkan dari suami.
“Kamu kenapa ...?”
“Kenapa ...? Heh, harusnya kamu selesaikan cucian itu dahulu. Setelah itu barulah kau mau telepon sampai telinga panas  atau  telinga terbakar, terserah kamu....  Satu lagi. Itu siapa yang telepon kamu...? Selingkuhanmu kan ...?”
“Sembarang saja kamu menuduh. Ini teman aku saat SMP dulu!” 
“Ah ..., jangan tipu! Katakan saja kalau itu mantan kamu. Iya kan ...?”
“Terserah kamulah!” Rini membanting telepon ke lantai dan melangkah kembali ke tempat cucian. 
Prak ...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rini. Tak percaya dengan itu, Rini melihat Ardi keheranan. Ia seakan belum yakin Ardi menamparnya. Sepanjang mereka pacaran selama tujuh tahun, tunangan setahun dan menikah hingga memasuki usia pernikahan yang hampir setahun, Ardi belum pernah berkata-kata kasar, apalagi sampai bertindak kasar. Selama ini, justru Rini yang kadang memperlakukan Ardi dengan kasar. Maklum Rini berasal dari keluarga berada sehingga ia menganggap rendah Ardi yang hanya PNS (Pegawai Negeri Sipil) bergolongan rendah.
“Hei, Ardi kamu pukul aku, hah ...? Kamu pukul aku? Aku tidak parcaya, Ardi. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini!”
Perkelahian tak terhindarkan. Suasana kompleks perumahan Bea Cukai yang biasanya sepi itu, tiba-tiba ramai. Para tetangga datang menonton rumah dinas Ardi yang untuk sementara berubah menjadi ring tinju bervariasi, yaitu tinju bercampur pencak silat dan gulat. Kadang Ardi di atas menindih tubuh Rini, kadang sebaliknya. 
Seperti biasa, menyaksikan hal bombastis seperti itu, bukannya melerai, sebagian orang malah merekam dengan kamera genggam masing-masing. Bahkan ada warga kompleks yang menyiarkan secara langsung di akun Facebook-nya, ada pula yang membagikan siaran itu di grup publik yang beranggota ribuan warga net. Seketika kejadian dalam rumah tangga itu pun viral. 
Hanya berselang lima menit, Pak RT tahu kejadian itu, bukan dari laporan warga tetapi dari media sosial. Ia segera datang melerai. Beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu turut membantu Pak RT. Ardi mendapat teguran dan peringatan untuk tidak mengulangi lagi. 
“Sebagai kepala keluarga, kamu harus bertanggung jawab. Jika ada masalah, harus diselesaikan dengan baik-baik,” kata Pak RT.
“Iya, Pak RT. Maaf tadi saya terbawa emosi,” kata Ardi.
“Makanya, jangan ambil keputusan di saat sedang emosi. Lihat hasil dari tindakan emosi kalian, barang rumah tangga kalian hancur berantakan. Lebih dari pada itu, keadaan keluarga kamu yang memalukan ini, jadi konsumsi publik. Apa tidak malu?” kata Pak Paul―ayahnya Ardi―yang segera datang setelah mendengar pertengkaran anaknya viral di media sosial.
“Kalau begini, lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku saja ...!” ujar Rini sambil menangis tersedu-sedu.
“Nak’ Rini, Bapak sudah bilang, jangan ambil keputusan di saat sedang emosi,” ujar Pak Paul.
“Sudalah, kami pulang dulu, kalian tenangkan hati dan pikiran. Jangan gegabah!”
Pak RT pamit, ia membubarkan kerumunan orang yang masih bergosip ria di depan rumah dinas Ardi. Pak RT bahkan sempat memarahi beberapa orang tua yang tidak segera merelai perkelahian Rini dan Ardi.
Pak Metu dan istrinya, Ibu Meri―orang tua Rini―datang setelah kerumunan orang bubar. Mereka turut mendukung Pak Paul untuk menasihati Rini dan Ardi. Sekalipun mereka orang berada, mereka sadar anaknya sudah menjadi tanggung jawab suaminya, Ardi. Mereka tak bisa mengintervensi rumah tangga anaknya. Ibu Meri memeluk Rini, anak bungsunya.
“Rin, mama sudah bilang kan ..., kalau kau sudah menikah, kau harus dewasa dalam mengambil keputusan, jangan gunakan emosi sesaatmu!” ujar Ibu Meri. “Bila perlu, kalian berdua temui Tim Konsultan Keluarga di tempat ibadah kita, semoga mereka bisa membantu. Mama hanya bisa mendukung kau dalam doa,” lanjut Ibu Meri.
***
Semenjak kejadian itu, Rini dan Ardi rajin berkunjung ke Tim Konsultan Keluarga. Mereka diberi penguatan agar menjaga keharmonisan rumah tangga. Untuk sementara mereka akur-akur saja. 
Akan tetapi, ketika Ardi tugas ke luar kota, ia memasang kamera pengintai rahasia berbentuk jam weker yang diarahkan ke arah telepon rumah. Bahkan, telepon genggam Rini juga dipasangi aplikasi call recorder. Sifat cemburu Ardi memang susah hilang karena sudah menjadi gambar dirinya. Perkelahian terjadi lagi, saat Ardi pulang ke rumah. Bukan cuma sekali, tetapi dua kali.
Atas kejadian itu, Kepala Kantor memindahkan Ardi ke pos perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Negara Republik Demokratik Timor Leste. Ia diberi tugas administratif dan rumah dinas tanpa sambungan telepon. Jaringan seluler di tempat itu pun tidak ada. Satu-satunya alat komunikasi yang bisa dipakai ialah telepon satelit milik kantor yang ada di pos perbatasan.
Dengan kebijakan itu, tak ada lagi pertengkaran atau perkelahian gara-gara komunikasi Rini dengan orang lain. Tak ada lagi alasan Ardi untuk menghakimi Rini lantaran komunikasi lewat pesawat telepon.
Suara jangkrik terdengar jelas. Suara yang nyaris, bahkan mungkin tak pernah di dengar Rini dan Ardi di Kota Kupang, tempat mereka lahir, bertumbuh, berpacaran dan mulai membangun mahligai rumah tangga. Dari depan rumah dinas terpampang hutan savana, jejeran kayu putih yang tumbuh jarang-jarang. Ada gembala menuntun ternak sapi dan kambing.
Rini dan Ardi bercerita di teras rumah hingga malam menghampiri dan menutup pemandangan di depan mereka. Rini segera beranjak menyalakan lampu tenaga surya. Panel surya berukuran kecil itu hanya mampu memberi penerangan 12 jam sehari dengan empat buah bola lampu. 
Meski hidup sederhana, mereka berdua mulai memperbaiki kesalahan mereka dalam berumah tangga. Ardi mulai berupaya mengatasi rasa cemburunya sendiri. Ia berupaya untuk tidak langsung menghakimi Rini, ia mengelola stres dan emosi, ia langsung menyampaikan uneg-uneg pada Rini, hal yang susah dilakukan di Kota Kupang karena kebanyakan phubbing.
Rini membantu Ardi mengatasi rasa cemburunya. Rini mulai banyak terbuka tentang semua relasinya dengan pria-pria yang dicurigai Ardi. Rini berupaya untuk tidak mudah tersinggung atau marah, ia berupaya meyakinkan Ardi bahwa ia benar-benar mencintai Ardi. Rini tak lagi memandang rendah Ardi karena golongan pekerjaannya. Apapun pekerjaan Ardi, yang penting halal, itu sudah cukup bagi Rini. 
Dengan kondisi tanpa sinyal seluler, Rini menyediakan banyak waktu untuk Ardi. Rini berjanji, jika ada kesempatan mengakses media sosial, ia akan mengumumkan bahwa ia sudah bersuami dengan mengubah status media sosial menjadi menikah. Ardi juga menjanjikan hal yang sama.
Rini dan Ardi bahkan menetapkan batas-batas yang jelas dalam pergaulan dengan orang lain. Salah satunya, berhenti berkomunikasi dengan mantan apalagi sampai merencanakan bertemu dengan mantan. Pokoknya tak boleh ada orang ketiga, titik.
Rini dan Ardi bersyukur punya Kepala Kantor yang pengertian. Keduanya berencana tinggal lebih lama di pos perbatasan. Pos perbatasan yang telah membangun keutuhan rumah tangga mereka yang nyaris sirna. Mereka menikmati cinta di pos perbatasan yang mereka istilahkan sebagai rumah cinta. Ya, rumah cinta untuk keluarga bahagia.

1 komentar:

Marsya mengatakan...

Numpang promo ya Admin^^
ajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856