Oleh : Krismanto Atamou
“Jangan
membuat masalah di atas masalah! Kita tuntaskan dahulu masalah yang sudah ada,”
ucap Bu Meri terlihat tegang. Ia tak setuju dengan ide Pak Lius yang
menganjurkan perubahan format arisan keluarga dari sistem arisan biasa menjadi koperasi
keluarga.
“Masalah
apa yang ibu maksud?”
“Sistem
arisan yang biasa ini saja masih banyak tanggungan, iuran bulanan, bahkan uang
arisan yang belum dibayarkan. Itu jadi masalah. Jika kita rubah formatnya, maka
akan ada masalah baru.”
“Masalah
baru apa?”
“Ya,
tidak semua kita setuju dengan perubahan ini. Jika dipaksakan akan ada masalah.
Mungkin sebagian kita akan memilih keluar dari perkumpulan keluarga yang sudah
berjalan tiga tahun ini.”
Siang
itu matahari seakan berjalan lambat. Suasana ketegangan perdebatan seakan bersaing
dengan panasnya suhu udara. Semilir angin berhembus memasuki gazebo tempat
keluarga arisan itu berkumpul. Dua buah pohon mangga di dekat gazebo menawarkan
kesejukan yang menggiurkan. Ada sekira dua puluh lima orang berkumpul.
“Ah,
begini Bu Meri, justru dengan mengubah format atau pola arisan, kita sedang
mengatasi masalah yang ibu sebutkan. Dengan pola koperasi, saat modal awal
dikumpul, setiap kali arisan, kita tidak membawa pulang uang. Itu sekalian
menguji ketulusan niat kita bersekutu, apakah kita berkeluarga karena uang
sebagai media atau karena uang sebagai yang utama dan sebagai motif kerukunan
keluarga?”
“Waduh,
kita sudah biasa pulang arisan dengan membawa pulang uang, lalu tiba-tiba
dihentikan demi mengumpul modal, rasa-rasanya tidak enak,” timpal Bu Emi.
“Nah,
justru di posisi itu kita mau belajar naik satu tingkat. Pertama apakah fokus
kita dalam membangun kerukunan keluarga ini atau sekedar motif ekonomi,
kerukunan keluarga menjadi prioritas nomor satu saat berkumpul atau uang yang menjadi
prioritas? Kedua, sebagai tindak lanjut dari pertimbangan pertama, jika fokus
kita adalah membangun kerukunan keluarga maka kita mampu menghadapi hal yang
Ibu Emi kuatirkan. Ketiga, jika kita memang niat untuk membangun kerukunan
keluarga maka seharusnya pola apapun yang kita pakai, kita akan tekun
melakukannya. Pola menjadi sarana bukan tujuan.”
Pak Lius
panjang lebar menjelaskan. Sebagai penasihat kerukunan keluarga, ia berusaha
menemukan solusi terhadap kendala eksistensi kerukunan keluarga sekaligus
mensosialisasikannya pada anggota. Setoran iuran, tanggungan, dan uang arisan
yang macet telah menjadi kendala lazim yang ditemukan pada pertemuan arisan
setiap bulan.
Ibu Meri
dan Ibu Emi telah berdiri di garis antitesis terhadap Pak Lius. Ada ketakutan
di dalam protes mereka. Mereka sudah melihat banyak bukti bahwa koperasi
keluarga selalu berakhir kacau. Ketidakdisiplinan dalam menyetor telah menjadi
penyebab utama hancurnya sebuah koperasi keluarga. Belum lagi budaya tepaselira
yang dimaknai dan diterapkan dengan logika terbalik.
Ketika ada
seorang anggota arisan dengan kredit macet, bukannya didampingi untuk didorong
melunasi tunggakan tetapi malah dimaklumi dan dibiarkan berlarut-larut. Ketika
anggota yang menjadi kreditur menyadari bahwa utangnya sudah menumpuk dan
banyak, ia merasa bahwa tak mampu melunasi, ia akan mundur perlahan dan keluar
dari kerukunan keluarga. Itu sudah banyak terjadi dan menjadi lagu lama. Entah
kenapa, selalu ada toleransi terhadap pola tepaselira seperti ini. Bahkan pengurus
kerukunan keluarga malu atau sungkan hati untuk menagih tunggakan kredit macet.
Pak Lius
membetulkan posisi duduknya. Itu seakan ingin menyatakan bahwa dasar
pemikirannya terhadap perubahan pola arisan keluarga yang ditawarkannya sudah
mantap. Ia yakin bahwa dengan umur kerukunan keluarga yang sudah memasuki tahun
keempat, sudah saatnya untuk bertumbuh menjadi lebih maju lagi dengan pola yang
lebih mentereng. Walaupun untuk menjadi lebih maju, tantangannya juga bukan
kaleng-kaleng. Sebagaimana pohon yang semakin tinggi, semakin mendapatkan
terpaan angin yang lebih kencang.
“Tapi
saya takut,” ujar Ibu Emi.
“Selalu
ada dua pilihan dalam menyikapi sesuatu hal. Secara positif atau negatif. Dan
ketakutan adalah negatif, sebuah post-sydrom.
Kalah sebelum berperang. Pada akhirnya membuat kita tinggal dalam zona nyaman
dan tidak berkembang.”
Sebenarnya
Pak Lius ingin menggunakan istilah dewasa atau tidak dewasa dalam
penjelasannya, namun ia mengantisipasi supaya pihak yang berseberangan dengan
idenya tidak tersinggung. Siapapun tentu tiak mau dikatakan belum dewasa hingga
tidak berani mengambil risiko dalam mengembangkan dirinya atau kelompoknya,
walau itu faktanya.
Di sisi
lain, terlihat kalau para ibu-ibu yang tidak setuju menunjukkan sikap sangat
hati-hati dalam mengelola keuangan mereka. Mungkin karena trauma atau uang yang
mereka pertaruhkan merupakan dana darurat yang wajib hukumnya tidak boleh
hilang. Dana yang harus dijamin tetap ada. Mungkin juga mereka pernah punya pengalaman
buruk di kelompok arisan yang lain.
Bayangan
matahari semakin tegak lurus permukaan bumi. Pedaran sinar sang surya itu mendekati
900 menghujam permukaan bumi di kota yang lebih banyak
memperlihatkan batu karangnya. Beberapa anggota kerukunan keluarga itu segera
menghindar dari sengatan cahaya. Kursi-kursi plastik segera digeser mengerumuni
bayangan pohon mangga yang seakan mengecil. Jarak duduk semakin dekat, namun
tak seiring jarak pemahaman anggota tentang pola arisan yang akan dipakai nantinya.
“Kita
voting saja,” kata sang ketua arisan.
Kemudian
diadakan voting. Hasilnya hampir imbang, namun dimenangkan oleh kelompok yang
tidak mau mengubah pola arisan.
Muncullah
debat kusir antara sesama anggota arisan. Tidak ada yang mau mengalah. Semuanya
mempertahankan posisinya masing-masing.
“Memang
mempertahankan kenyamanan adalah lebih nikmat dibanding memilih berkembang
namun penuh dengan risiko.”
“Berhati-hati
mengelola uang lebih baik daripada gopoh lalu tekor.”
“Terlalu
berhati-hati membuat kita lambat untuk melangkah.”
“Biar
lambat asal selamat.”
“Makanya
Amerika sudah sampai di bulan, kita belum.”
“Untuk
apa kita ke bulan? Tuhan ciptakan kita untuk tinggal di bumi. Bukan di bulan!”
“Tuhan
beri kita hikmat dan daya kreativitas untuk dipakai berkembang.”
“Tuhan
juga beri logika dan perasaan agar kita menimbang-nimbang, agar kita waspada
sebelum mengambil keputusan.”
“Kita
harus belajar dari Thomas Alfa Edison. Setelah sangat banyak cara yang salah ia
lakukan, barulah ia mendapatkan satu cara yang benar untuk menghasilkan
listrik.”
“Oh,
jadi uang saya untuk dijadikan percobaan?”
“Bukan
begitu maksudnya! Koperasi kan bukan hal baru. Sejak dicetuskan Pak M. Hatta,
sejak itulah sejarahnya dimulai. Ada yang jatuh-bangun, ada yang sukses, dan
ada juga yang gagal. Kita cukup belajar dari kegagalan orang lain agar sukses
jika tidak ingin ikut gagal. Mudah bukan?”
“Ia,
mudah. Semudah kita asal dan pada akhirnya sesal.”
“Oh,
jadi kamu mau bilang bahwa koperasi itu asal-asalan?”
“Bukan
begitu maksudnya! Kalau koperasi dicanangkan tanpa perhitungan yang jelas, itu
namanya asal.”
“Soal
perhitungan gampang. Yang penting kita sepakat dahulu. Bagaimana kita mau atur
tentang koperasi sedangkan koperasinya sendiri belum disepakati?”
“Bagaimana
pula kami yang lain bisa tergiur dengan koperasi jika tidak ada skema yang
jelas dalam pengelolaannya?”
“Saya
pikir soal sepakat atau tidak sepakat itu hal kedua. Hal pertama ialah perlu
dijelaskan secara gamblang skema atau pola pengelolaan koperasi. Dengan begitu
setiap kita punya alasan yang jelas juga mengapa sepakat atau tidak sepakat.”
“Ia,
betul itu. Koperasi mengelola potensi ekonomi kita yaitu uang. Uang adalah
produk rasional manusia. Oleh karena itu, pertimbangan kita haruslah rasional
pula, bukan sekedar setuju atau tidak secara emosional.”
“Ia,
benar. Alangkah lebih baiknya kita tidak usah menggunakan hasil voting. Jika
kita melaksanakan hasil voting maka anggota yang kontra dengan keputusan yang
diambil untuk bisa saja memendam kecewa dan mengundurkan diri dari kerukunan
keluarga ini.”
“Bukankah
sekarang pilihan untuk bergabung dalam kelompok arisan sudah sangat banyak? Ada
arisan dari pihak keluarga istri, dari pihak keluarga suami, arisan kantor, dan
arisan berdasarkan lingkungan domisili. Selain itu, ada juga arisan dengan
tujuan tertentu, semisal untuk tujuan mencukupi kebutuhan dana pendidikan, dana
pernikahan, dan dana pembangunan rumah tinggal.”
“Saya
pikir, kalau kita berkomitmen dengan kerukunan ini, kita tidak akan labil untuk
mudah berpindah-pindah kelompok arisan.”
“Oleh
karena itu, kita mesti musyawarahkan ini secara terbuka. Jangan ada kesan
pengurus menutupi hal-hal tertentu, termasuk bagaimana jalannya koperasi ini
nanti. Buat saja suatu contoh perhitungan pengelolaan dana. Apa target
akhirnya? Berapa persen keuntungannya? Bagaimana dana itu diputar dalam
anggota? Bagaimana strategi untuk menghadapi kredit macet? Siapa saja
pengelolanya? Semuanya harus gamblang alias terang-benderang.”
“Termasuk
jika koperasi ini berjalan tidak seperti yang diharapkan, bagaimana mekanisme
pemulihannya? Bagaimana mengembalikan modal anggota? Berapa lama modal anggota
bisa dikembalikan jika koperasi macet?”
“Apakah
pengurus koperasi digaji? Kalau digaji, dari mana uangnya?”
Tidak
terasa, waktu pertemuan keluarga arisan itu sudah berjalan cukup lama. Dialog
yang alot membuat setiap anggota tidak sadar waktu. Bayangan pohon mangga mulai
memanjang ke arah timur. Sekali lagi para anggota kerukunan keluarga diperintah
sang mentari untuk memindahkan kursi-kursi mereka mengikuti perpindahan posisi
teduh itu. Mereka seakan wayang yang pelan tapi pasti digerakkan sang alam
sebagai dalangnya.
“Ini
sudah sore,” akhirnya sang ketua arisan angkat bicara. “Ada beberapa di antara
kita yang harus masuk dinas sore atau malam. Kita tunda saja bulan depan untuk
mengambil keputusannya. Sepanjang jeda sebulan ini kita pakai untuk berpikir
jernih hingga bisa memusyawarahkan dan mengambil keputusan yang tepat.”
Kurang
dari tiga jam matahari akan segera ditelan malam. Sisa terangnya dikala senja
akan sirna pula. Entah bagaimana nasib arisan keluarga ini nantinya. Apakah akan
sesuram langit senja ini atau seterang mentari pagi yang akan terbit esok hari?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.
1 komentar:
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.
Posting Komentar