Minggu, 18 Agustus 2019

OBROLAN DI ALAM LAIN

Oleh : Krismanto Atamou

Martin belum selesai meminum segelas teh panasnya. Teh itu masih terasa hangat ketika tubuhnya mulai mendingin. Ia bangun dan mendapati orang-orang panik membopong tubuhnya ke rumah sakit. Sebelum itu, ia sempat mendapat pertolongan pertama. Ada nafas buatan, namun udara yang ditiup ke dalam mulutnya dibalas dengan hembusan udara keluar dari mulutnya lebih deras. Perutnya semakin membesar. Jari-jarinya yang ditusuk mengeluarkan darah kehitaman.
Ia dilarikan ke rumah sakit terdekat, sempat dipasangkan oksigen namun karena kondisi yang kritis, ia langsung dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai. Sesampainya di sana, ternyata pertolongan yang ia terima terlambat. Ia meninggal sebelum tiba di rumah sakit itu. Sang istri menemuinya dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Seperti biasa Martin setiap hari mengendarai sepeda motor ke sekolah yang jaraknya 40 Km  dari rumah. Pulang pergi maka jarak yang ditempuh adalah 80 KM setiap hari. Tangannya bergetar ketika sampai di rumah karena menahan setir sepeda motor yang bergetar sepanjang perjalanan. Jika sudah begitu maka ia meminta istrinya yang setia itu untuk memasak air panas yang akan dipakainya untuk mandi.
"Untuk menjaga kesehatan tubuh." Kata Martin ketika istrinya bertanya manfaat mandi air panas.
Akan tetapi, ritual mandi air panas itu sudah tidak ada manfaatnya lagi ketika ia terlambat diantar ke rumah sakit 15 menit saja. Bahkan sang pencabut nyawa telah tersenyum padanya saat mulai berangkat dari rumah. Senyuman itu perlahan membawanya ke alam lain dan ia bertemu Thomas, teman lamanya.
“Hi, Tom'! Kau juga sudah di sini ya?”
“Ia, Martin. Aku sudah lama di sini.”
“Sejak kapan?”
“Sejak aku berusaha menyelesaikan misi-misi muliaku.”
“Hm ... misi apa itu?”
“Aku merintis berdirinya sekolah baru di kampung-kampung yang belum memiliki sekolah. Aku ingin setiap generasi usia sekolah menikmati pendidikan di sekolah. Bahkan menjelang pensiun, sebagai kepala SD di kampungku, aku merintis pendirian SMP baru. Waktuku bersama keluarga nyaris tersita semua. Pagi, aku mengajar di SD, siang hingga sore mengajar di SMP. Sungguh sangat melelahkan. Aku berjuang hingga SMP itu diresmikan, berstatus negeri, memiliki lahan dan gedung permanen, serta memiliki kepala sekolah sendiri.
“Sampai usia tua, aku tetap fokus pada visi dan misiku. Tidak hanya di sekolah, di masyarakat aku juga melawan segala bentuk penyakit masyarakat, seperti judi dan asusila.
“Oleh karena terlalu militan melawan kejahatan, sering kali aku ingin dibunuh oleh para penjahat itu. Jangan tanya bagaimana mereka berupaya membunuhku sebab ada banyak cara untuk membunuh bukan? Bahkan kata orang, untuk membunuh kehidupan atau menghancurkannya lebih mudah dari pada membangun atau memperbaikinya. Akan tetapi, berkat penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa, aku selalu lolos dari maut.” Tomas bercerita penuh semangat. “Lalu ...”
“Lalu pada akhirnya kau di sini,” potong Martin sambil setengah tersenyum. Ekspresi itu seolah ingin mematahkan kebenaran kalimat Tomas yang terakhir.   
“Ya. Setiap orang pasti mati, Martin. Kau juga kan? Seperti kata Ernest Becker—penulis buku The Denial of Death—kita perlu mencoba semakin bersahabat dengan realita kematian sebagai ‘antidot yang pahit’, kita perlu berdamai dengan diri sendiri saat menatap kematian.”
“Wah, kau terlalu teoritis teman!? Bukankah kematian itu buruk? Aku bahkan belum sempat mendengar anak bungsuku mengucapkan kata pertama dalam hidupnya. Kemarin ia berulang tahun yang pertama. Lusa ulang tahun anakku yang kedua dan minggu depan ulang tahun anakku yang pertama.
“Minggu lalu, aku merayakan ulang tahun pernikahanku yang kesembilan. Dua buah pan kue basa yang dibuat istriku sangat enak terasa. Bahkan masakannya kemarin sangat enak. Aku makan dengan lahap. Dan ...”
“Dan sekarang kau ada di sini bukan?” potong Tomas.
“Ya. Aku belum sempat mengucapkan pesan-pesan terakhir pada istriku tercinta seperti yang ditangisinya saat ini di samping tubuh kakuku. Aku belum sempat menguatkan hatinya untuk berani menjalani kehidupan tanpa aku, seperti yang ditakutkannya saat ini.
“Aku belum puas melanjutkan tawa canda dengan teman, para murid, dan sanak keluargaku. Merangkul dan menepuk pundak mereka untuk memberikan motivasi dan kenyamanan di antara berbagai persoalan dunia yang sulit ini. Menceritakan hal lucu yang mengocok perut mereka saat tertawa terpingkal-pingkal. Memenuhi janji-janji yang pernah kubuat untuk mengunjungi beberapa teman karibku, teman-teman kuliahku.”
“Aku bahkan belum sempat memeluk anak-anakku untuk terakhir kalinya, memberi mereka kehangatan. Sebagai seorang ayah, aku selalu berupaya menyempatkan waktu bersama anak-anakku di tengah kesibukan pekerjaan, tanggung jawab pelayanan di organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Kesibukan yang sangat menguras waktu dan tenaga. Nyaris aku tak punya waktu bersama anak-istriku.”
“Asumsi bahwa kematian itu buruk memang tidak bisa dihindari, teman. Karena itu kita harus menghadapinya sebaik mungkin. Begitu kita merasa nyaman dengan fakta kematian kita sendiri, kita akan mampu memilih nilai kita dengan lebih bebas, tidak dikendalikan oleh pencarian keabadian yang tidak logis, yang tidak kodrati.”
“Jadi, kau mau katakan bahwa dengan menyadari fakta kematian, kita bisa memilih dan menjalani hidup dengan lebih baik, sesuai kodrat?”
“Ya, tentu. Oleh karena itulah aku tidak takut dibunuh saat melawan praktik perjudian, premanisme, dan melawan diskriminasi karena beda pilihan politik di kampung. Aku juga melawan mereka yang lebih suka bermalas-malasan dan mengharapkan bantuan pemerintah.
“Aku rela mengambil risiko ancaman terhadap keselamatan dengan menangani langsung para penjahat itu. Aku tidak takut disihir atau di-suanggi oleh musuh. Aku sadar, nyawaku jadi taruhan perlawanan.”
“Jadi kau ingin seperti Widji Thukul, Munir, dan berbagai aktivis kemanusiaan lainnya yang mati dengan cara yang tak wajar itu? Apa itu kodrat?”
Wajah Martin terlihat tidak sabar menunggu jawaban dari Tomas. Ia yakin temannya itu akan kesulitan menjawab.
“Oh, kalau itu mungkin sudah kodratku untuk tidak menjawabnya. He he ....”
“Ah, kau curang. Aku yakin kau hanya berkelit, bukan? Kau seperti para politikus itu, suka berkelit kalau ditanya tentang komitmen untuk merealisasikan janji kampanyenya. Mereka sudah biasa mengaburkan hal yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat—demi kantong pribadi—dan seolah-olah ahli, bermain kata-kata untuk menjelaskan hal-hal yang kabur—demi elektabilitasnya.”
“Terserah kau saja, Martin. Setiap orang, setiap aliran kepercayaan, setiap agama punya arti dan makna kodrat yang berbeda, mungkin. Tapi bagiku, kodrat itu selalu baik jika dihubungkan dengan kapan dan bagaimana seseorang meninggal. Namun, jika dihubungkan dengan penyebab seseorang meninggal—yang kau katakan tidak wajar itu, Sang Pemberi Nafas Kehidupan tentu tidak menginginkannya. Oleh karena itu, setiap ketidakwajaran pasti ada konsekuensinya, ada ganjarannya, meskipun kelak di akhirat. Sebagaimana kewajaran diganjar pahala.  Aku yakin.
“Bagiku, peristiwa kematian sama dengan peristiwa kelahiran. Semua itu terjadi di bawah kedaulatan Tuhan. Tapi, kau hanya akan percaya ini jika kau bukan seorang ateis, Martin?”
Martin hanya mengangkat bahu. Wajahnya terlihat pasrah. Ia mengingat segala kenangan yang pernah ia lalui di dunia fana. Bahkan beberapa temannya beratmulut untuk mengucapkan belasungkawa karena belum rela melepaskannya pergi, mereka seakan tak percaya bahwa kefanaan dunia telah mengambilnya begitu cepat, saat ini.
“Jangan bersedih kawan. Kehidupan di dunia sudah seperti itu, tak ada yang kekal. Terlepas dari apa pun proyek keabadian yang kau lakukan. Entah kau menulis buku untuk meninggalkan jejak literasi, seperti yang dilakukan dan dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Entah kau menemukan penemuan penting, seperti sang penemu listrik Thomas Alva Edison. Entah apa pun itu jasa kita di dunia fana, semuanya akan tinggal kenangan. Kenangan manis bila baik adanya, dan kenangan pahit bila buruk adanya.
“Semua kenangan itu, hanya akan dikenang bila orang mengingatnya atau kelak orang mempelajari sejarah. He he ... tidak lucu bukan? Kalaupun kau dilupakan, maka tidak perlu bersedih kawan. Amal baktimu menyertaimu di sini.”

Catatan : Cerpen ini dipersembahkan untuk mendiang Bpk. Thomas C. Sandy dan Kakak Kreys Yonior Hauteas, S.Pd.

Tidak ada komentar: