Minggu, 04 Agustus 2019

TOMAS

TOMAS
Oleh : Krismanto Atamou


Siang itu, Tomas sedang berdiri dan menulis di papan tulis (blackboard) menggunakan kapur tulis. Tetes demi tetes air hujan yang menembusi atap membasahi baju dan tangan serta buku-buku Tomas yang ada di meja guru. Tomas terus menulis dengan pertimbangan bahwa basah sedikit tidak menjadi masalah jika dibanding dengan ilmu yang ia sampaikan kepada murid lewat tulisan di papan tulis.
Hujan semakin besar, Tomas mengarahkan para murid untuk bergeser mencari tempat yang kering sembari terus belajar. Setengah jam berlalu dan hanya tersisa satu meja murid yang lolos tak terkena air hujan. Tomas melihat bagaimana mereka terus bersemangat belajar, walau berdesakan. Hujan semakin deras, suara Tomas tak mampu menandingi riuhnya suara angin dan desau air hujan. Akhirnya, Tomas harus menyerah dengan cuaca yang tak bersahabat.
“Pak, semua meja sudah basah,” ujar Yosua, muridnya. Hampir saja Tomas menangis mendengarnya. Ia tersentak. Berapa lamakah hal ini harus terjadi? Tomas melihat murid-murid berdiri memegang buku dan tas sambil menggigil kedinginan.
Lokasi sekolah yang berada di pegunungan dan dinding gedung sekolah yang tak rapat membuat kabut dengan mudah menyusup masuk dan keluar ruangan kelas. Wajah murid-murid pucat, ada yang sedikit berpelukan dengan temannya sesama jenis agar hangat.
“Ok, kegiatan belajar mengajar kita hentikan sampai di sini. Akan kita lanjutkan di pertemuan mendatang,” jawab Tomas.
***
Garis tangan telah membawa Tomas untuk menjadi guru negeri yang mengabdi di daerah terpencil. Setelah ditentukan lulus menjadi pegawai negeri, euforia kegembiraan Tomas berganti dengan tantangan baru yaitu ia ditempatkan di pedalaman, sangat jauh dari kota, enam jam perjalanan dengan roda dua.
Tempatnya mengabdi merupakan sekolah yang baru dirintis untuk menjadi sekolah negeri. Karena lokasi sekolah ini terlalu terpencil, Widia, seorang guru negeri yang lebih dahulu ditempatkan, meminta mutasi sebelum Tomas ditempatkan kemudian.
Awalnya memang Tomas merasa berat. Bagaimana tidak, ia harus menjalankan tugas sebagai seorang guru Matematika di daerah yang penuh dengan keterbatasan. Sarana dan prasarana tidak memadai. Sekolah itu memiliki sebuah gedung darurat yang beralaskan tanah, berdinding bambu dan beratapkan jerami.
Ketika merintis sekolah baru ini, selain ruang tiga kelas dan kantor, masyarakat desa juga membangun empat buah rumah guru darurat. Oleh Pak Beni, sang kepala sekolah, Tomas diberi sebuah rumah guru. Walaupun rumah tersebut belum memiliki pintu, jendela, perabot termasuk tempat tidur, Tomas sangat senang diberikan tempat menginap langsung di kompleks sekolah. Setidaknya tidak perlu berjalan jauh jika hendak ke sekolah. Soal pintu, jendela, dan perabot bisa diatur kemudian. Namun, yang menjadi tantangan tersendiri ialah akses air minum yang jauh, harus berjalan tiga kilometer.
Lokasi sekolah yang dihibahkan masyarakat merupakan lokasi baru di belakang pemukiman penduduk yang langsung berbatasan dengan hutan. Kesan angker dan tak jarang hewan liar memasuki rumah guru. Ia pernah mendapati ular hijau di dalam rumah, disengat laba-laba, rumah nyaris roboh ditiup angin, bahkan tempat tidur yang bergerak sendiri secara konstan namun ia biarkan hingga ia terlelap di atasnya. Belum lagi, tidak adanya akses sinyal telekomunikasi dan listrik membuat Tomas yang sudah terbiasa dengan kehidupan di kota harus rela dan tulus menyesuaikan diri, menerima keadaan apa adanya.
Dalam acara penyambutan Tomas di sekolah tersebut, Pak Wadu, seorang tokoh agama, sekaligus salah satu perintis sekolah memberikan kata sambutan yang tidak akan pernah Tomas lupakan. Kata-kata tersebut membekas di hatinya hingga saat ini.
“Di pedalaman pulau ini, masyarakat tidak hanya membutuhkan sarjana dengan gelar S.Pd, S.Si, SH, S.Pt dan seterusnya. Tetapi yang lebih dibutuhkan dan diharapkan masyarakat pedalaman ialah seorang sarjana dengan gelar S.I. Jika guru, maka yang dirindukan masyarakat ialah Guru S.I. Guru yang setia pada panggilannya sebagai guru.”
“Apa itu guru Es i, Pak?” Tanya Tomas pada Pak Wadu setelah acara.
“S.I (es i) dalam bahasa lokal berarti ‘di sini’. Guru yang selalu hadir di sini, di lingkungan sekolah dan masyarakat. Guru yang bersedia memberi diri mengabdi bagi masyarakat. Bukan seorang yang cuma menjadikan pekerjaan guru sebagai cara mencari nafkah semata. Guru yang mau berbaur dengan masyarakat dan menjadi tokoh/ agen pendidikan bagi mereka. Itulah kerinduan masyarakat yang luar biasa, sesuai dengan prinsip the right men on the right place,” jawab Pak Wadu panjang lebar. “Mungkin Pak Wadu sedang menyindir pegawai negeri yang makan gaji buta,” renung Erens dalam hati.
Setahun berlalu dan sekolah Tomas dinaikkan statusnya dari filial menjadi sekolah negeri yang mandiri. Gedung permanen yang diusulkan belum juga terealisasi. Sementara gedung darurat sudah mulai bertambah darurat keadaannya.
Memasuki musim hujan, dewan guru mengusulkan kepada orang tua murid dan masyarakat untuk bergotong-royong memperbaiki atap. Usulan diterima, namun susah untuk direalisasikan mengingat hampir 100% mata pencaharian orang tua murid adalah petani, sehingga di saat yang sama mereka sibuk mempersiapkan lahan pertanian. Alhasil, dewan guru meminta murid untuk membawa jerami agar menambal lubang atap yang sudah terlalu lebar karena lapuk dan ditiup angin.
Musim hujan pun tiba. Doa warga sekolah ialah sekiranya hasil tambalan atap tersebut bisa bertahan hingga musim hujan berlalu. Namun di dalam hati masih ada kekhawatiran dan kecemasan. Akhirnya, hal yang dikhawatirkan terjadi. Guru dan murid harus berpindah atau bergeser beberapa kali di dalam kelas untuk menghindari tetesan air hujan yang menembus atap jerami. Untuk opsi berpindah ruangan adalah tidak mungkin, karena semua ruangan mengalami hal yang sama.
Tomas pun tak bisa beranjak dari kelas karena derasnya hujan. Setiap orang berdiri di titik aman masing-masing dan mulai terbawa efek hypnotic bunyi air hujan. Tomas mulai merenung, apakah penderitaan seperti ini harus dialami sekolah rintisan baru? Apakah masyarakat terlalu “bernafsu” membuka sekolah rintisan baru sampai melupakan daya dukung agar tidak terjadi seperti ini? Sebegitu panjang dan lamakah proses birokrasi sehingga sekolah ini belum juga mendapatkan bantuan gedung permanen? Salahkah para guru dan murid yang tidak bisa sedia payung sebelum hujan?
Di antara permenungan mencari “kambing hitam”, Tomas juga berupaya mencari “kambing putih.” Benarkah aspirasi dan usaha masyarakat untuk mendirikan sekolah rintisan baru? Mengingat sekolah terdekat sebelumnya berjarak belasan kilometer. Benarkah proses birokrasi pengadaan gedung sekolah? Mengingat standar pelayanan publik yang sudah ditetapkan peraturannya. Benarkan guru dan murid tidak bisa memprediksi dan memanajemen risiko? Mengingat warga sekolah sudah coba apa yang bisa dilakukan, tapi masalah belum selesai?
Para guru memberdayakan beberapa murid yang mampu untuk menambal atap sekolah cukup beralasan, mengingat kondisi yang mendesak. Tambalan atap yang dikerjakan seadanya oleh para murid tentu tidak sebaik yang dikerjakan oleh orang tua mereka.
Bukan hanya masalah atap gedung, bahkan daya dukung pembiayaan sekolah sangat terbatas untuk bisa membayar gaji pegawai, penjaga sekolah termasuk tata usaha. Tak jarang sekolah berutang ke kios untuk kebutuhan sehari-hari. Tomas pernah menemani teman-teman guru honor pulang ke rumah orang tua mereka—yang jaraknya belasan kilometer—untuk mengambil bekal makanan. Maklum, gaji honor yang mereka terima tidak cukup untuk biaya hidup sebulan. Walau demikian mereka tetap menjadi “Guru Es i”.
Tomas dengan basic ilmu matematika diperbantukan mengajar IPA karena guru IPA tidak ada. Saat sistem DAPODIK (Data Pokok Pendidikan) pertama kali dirilis, Tomas bekerja merangkap tata usaha dan operator sekaligus. Maklum saat itu Tomas satu-satunya guru yang menguasai TIK di sekolah.
Setiap pagi hingga siang Tomas mengajar, sore istirahat, dan malam sampai pagi lagi, ia mengerjakan DAPODIK. Namun, karena laptop cuma satu dan listrik pun hanya ada di pusat kecamatan, maka tiap pagi Tomas ke sekolah, sedangkan sore ke pusat kecamatan dengan jarak tempuh kurang lebih 17 kilometer. Mempertimbangkan kesehatannya, Tomas melatih teman tata usaha sampai bisa mengelola dokumen tata usaha dan bendahara.
Tomas merasa beruntung, kisahnya sedikit lebih baik dibanding kisah Asnat Bell dari Kab. Timur Tengah Selatan. Kisah Asnat seperti fenomena gunung es. Banyak terjadi di negeri ini namun tidak dilaporkan bahkan tidak terendus atau tersorot kamera para pewarta. Mungkin juga para guru honor sudah bisa bertoleransi terhadap situasi sulit seperti itu sehingga kesulitan hidup (terlepas dari normal atau tidak, wajar atau tidak) sudah diterima sebagai keadaan yang biasa saja, pikirnya.
Sore itu Tomas duduk sendiri di balai-balai yang sengaja ia posisikan menghadap Selat Ombai, tempat matahari senja menghilang di ufuk barat. Ia menyeruput kopi sambil mendengarkan radio yang menjadi satu-satunya media di desa. Begitulah yang ia alami tiap Sabtu sore ketika teman-teman guru honorernya pulang mengambil bekal makanan ke orang tua.  Di saat-saat seperti itu, ada banyak ide bermunculan di kepalanya. Semisal, kalau saja ada kompetisi sekolah darurat, tentu dewan jurinya akan kewalahan menentukan juara. Bagaimana tidak, hampir semua sekolah di pedalaman, sekolah rintisan baru, memiliki kondisi darurat yang relatif sama.
Akan tetapi Tomas juga berpikir ulang bahwa seyogyanya kedaruratan sarana prasarana tidak menjadi batasan bagi proses pembelajaran di sekolah. Toh, Green School Bali dan Hotel Nihiwatu Sumba—hotel terbaik di dunia—dibangun dari bahan-bahan alami yang menurut sebagian orang adalah darurat. Padahal, sesungguhnya bangunan yang dikatakan darurat itu menunjukkan kearifan lokal yang mulai ditinggalkan karena tren modernisasi bangunan permanen, karena sumber daya alam yang mulai punah—karena perambahan hutan, pembakaran hutan, dan lain-lain—untuk menyediakan bahan konstruksi alami.
Matahari sudah terbenam sempurna, burung malam mulai bersuara, termasuk burung Baos. Tomas segera masuk ke dalam rumah untuk menyalakan pelita, menyalakan api, dan menyiapkan makan malam. Ia sendiri.
Berbekal sayur kelor dan sambal Lu’at pemberian warga, Tomas menyantap makan malamnya. Sambil berbaring, ia mendengarkan radio yang suaranya nyaris hilang karena baterainya mulai soak. Terdengar lantunan lagu Bolelebo ... “Baik tidak baik, tanah Timor lebih baik.”

Catatan : Cerpen ini dipersembahkan untuk SMP Negeri 3 Amfoang Selatan, Desa Oelbanu.

2 komentar:

wila Bunga mengatakan...

Keren kali, bro....menyentuh sangat buat kitorang yg bersentuhan langsung dlm dunia pendidikan di kisaran area 3T....makasi buat cerita ne....pa guru....

Kris_Atamou mengatakan...

Wila Bunga: Terima Kasih