Rabu, 10 Juni 2020

Menghadapi_Tsundoku



Tulisan di bawah adalah milik dosen saya saat kuliah di Prodi Biologi Pendidikan MIPA, FKIP Undana Kupang sekira tahun 2002 lalu, Ibu Doktor Andam Ardan. Setelah mendapat izin dari Ibu Doktor, saya membagikannya dengan menambahkan sedikit ulasan yang berfokus pada bagian #Tsundoku.

Ini link tulisannya:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10220335496930951&id=1635347704

Bagi para pecinta buku mengoleksi buku adalah hal yang istimewa, apalagi untuk buku edisi terbatas (langka). Sebagian lagi suka mengoleksi buku keluaran terbaru (semisal buku serial) atau buku baru yang sesuai identitas dan preferensi diri.

Tujuan mengoleksi buku tentunya adalah untuk dibaca dan menambah pengetahuan. Hal ini wajar mengingat sebagai homo sapiens kita adalah makhluk pemikir. Knowledge konsumer.

Ada sebuah gejala yang menghantui dan membayangi para pecinta buku yaitu Tsundoku. Menumpuk atau mengoleksi buku dalam jumlah banyak namun tidak pernah membacanya atau membacanya namun tidak selesai. Saya pun sekarang mulai merasakan gejala Tsundoku.

Dalam permenungan saya ada beberapa hal penyebab Tsundoku antara lain:

1. Jenuh atau Bosan

Jenuh atau bosan adalah sifat alami manusia mengingat secara alami manusia butuh istirahat atau refreshing. Itulah alasan sehingga para pebisnis menyediakan jasa hiburan bagi yang membutuhkan. pebisnis tahu bahwa pada satu titik manusia pasti jenuh dan membutuhkan hiburan atau membutuhkan sesuatu (wahana dan aktivitas) yang baru.

2. Kepuasan Untuk Sekedar Memiliki

Bagi para pemula isi buku, puncak kepuasan terletak pada berhasil memiliki buku dan mengoleksinya. Membaca buku hasil koleksi tidak lagi menjadi target kepuasan.

3. Terjawabnya Kebutuhan Atas Rasa Penasaran

Sebelum memiliki sebuah buku secara utuh, seseorang yang akan terjebak Tsundoku selalu merasa penasaran terhadap buku yang ingin dicari dan dimiliki. Setelah memiliki buku tersebut atau membaca sebagian isinya rasa penasaran tersebut terjawab. Dengan terjawabnya kebutuhan atas rasa penasaran tersebut maka berakhir sudah segala ekspektasi dari orang yang mengalami Tsundoku. Jika hidup seperti putaran roda maka terjawabnya rasa penasaran adalah titik tertinggi dari roda (Jika tidak mau dikatakan banal).

4. Beratnya materi bacaan

Beberapa buku memang berat untuk dibaca mengingat memerlukan analisis yang tinggi dalam membaca. Tanpa analisis atau daya berpikir yang tinggi materi bacaan tersebut akan sulit untuk dicerna dan dimengerti, apalagi untuk dipahami. Nah, untuk materi bacaan yang berat seperti ini, bagi orang yang tidak terbiasa, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan bacaan dan mengerti isinya.

Sebagai contoh 2 bulan lalu saya membaca buku berjudul PENDIDIKAN karya Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara (KHD). Buku tersebut ditulis beliau pada zaman dulu sehingga menggunakan ejaan dulu. 

Sebagai generasi masa kini yang membaca buku KHD, saya perlu memahami beberapa kosakata yang diberi catatan kaki dan memahami ejaannya. Otak saya mesti bekerja dua kali sebelum memahami buku KHD. Dengan bacaan berat seperti ini otak lebih cepat lelah dan membutuhkan banyak istirahat.

5. Kesibukan

Kesibukan adalah alasan yang paling klasik dan umum untuk menyelesaikan sebuah bacaan (juga agenda lain yang tidak terjamah😀). Alasan ini pun cenderung dicari-cari mengingat bahwa membaca seharusnya menjadi bagian dari kesibukan.

6. Kesempatan membaca (buku atau teks panjang) yang dicuri oleh Mayanisasi.

Digitalisasi dan dunia maya menawarkan tsunami atau badai informasi yang terus menggempur setiap pengakses internet di setiap milidetiknya. Hal ini mengakibatkan fokus untuk membaca sebuah buku terampas.

Sebenarnya digitalisasi dan dunia maya juga menawarkan sangat banyak buku digital untuk dibaca. Ini (membaca buku hingga tuntas) bisa terjadi jika kita tidak mudah teralihkan untuk membaca atau menyaksikan berjibun materi lain yang hadir melalui notifikasi.

Jadi, manajemen waktu di era mayanisasi perlu diatur agar bisa fokus menyelesaikan bacaan teks panjang yang membutuhkan banyak waktu. Jika bacaan itu berupa buku fisik maka kita perlu mengambil jarak dengan internet agar terhindar dari notifikasi yang mungkin membuat kita teralihkan.

***

Apa yang dialami Ibu Doktor (yang juga penulis alami), yaitu tersendatnya membaca buku hingga tuntas tentu perlu ditelisik lebih jauh. Apakah karena keenam alasan di atas, atau ada alasannya yang lain, sebagaimana yang Ibu Doktor duga yaitu faktor usia.

Untuk menghadapi Tsundoku tentu kita mesti menyadari siapa diri kita. Jika kita adalah orang yang suka mengoleksi buku dan menjadikan hobi tersebut sebagai pencapaian tertinggi maka Tsundoku bukanlah masalah. Namun jika kita sebenarnya tidak berniat mengoleksi buku tanpa dibaca maka kenalilah apa penyebab kita tidak menyelesaikan bacaan lalu cari solusinya. Enam hal di atas hanyalah dugaan sementara, bisa jadi ada hal lain sebagai penyebabnya.

Sekian.

Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.

Note: This picture taken from https://www.google.com/amp/s/www.grid.id/amp/04905260/selain-bacaan-kepribadian-kamu-juga-bisa-dinilai-dari-cara-menata-rak-buku

Oleh: Krismanto Atamou
Kupang, 11 Juni 2020

Tidak ada komentar: