Jumat, 06 Desember 2019

MENANTI GEBRAKAN MENDIKBUD PERIHAL UJIAN NASIONAL

Oleh : Krismanto Atamou
Wakil Ketua Ikatan Guru Indonesia Provinsi NTT

Gebrakan Mendikbud baru, Pak Nadiem Makarim untuk mempertimbangkan penghapusan UN―ujian nasional―pada tahun 2021 telah santer terdengar.  Ada yang mengapresiasi, tetapi ada juga yang menolak. Sebagai salah satu pegiat pendidikan, saya ingin mengajukan beberapa permasalahan dan solusi kepada Mendikbud Nadiem Makarim yang selama 100 hari kerja pertama ini ia pakai untuk mempelajari kondisi dan kebijakan pendidikan di Indonesia. 
Pertama; UN yang selama ini terjadi merupakan bentuk evaluasi akhir proses pendidikan. Sikap dan keterampilan proses dalam kegiatan belajar mengajar tidak diperhitungkan sebagai penentu kelulusan murid. Padahal, keberhasilan murid sangat ditentukan juga oleh aktivitas murid saat kegiatan belajar mengajar. Apakah murid proaktif atau sebaliknya. 
Penilaian terhadap murid selama proses kegiatan belajar mengajar, terutama dipakai sebagai alat uji keberhasilan pelaksanaan sistem pendidikan. Untuk penilaian proses ini, gurulah yang lebih paham seluk-beluk murid tersebut karena guru selalu bersama murid dalam kegiatan belajar mengajar. Untuk itu, menyerahkan kembali kewenangan evaluasi pendidikan kepada guru dan sekolah merupakan suatu keniscayaan agar evaluasi yang diterima oleh murid lebih bersifat komprehensif. Tidak hanya aspek kognitif semata melainkan juga aspek sikap dan keterampilan. 
Kedua; Sesuai kurikulum 2013, dalam setiap mata pelajaran terdapat empat kompetensi inti yang perlu diperhatikan yaitu sikap religius, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Namun, UN hanya menguji pengetahuan murid sehingga kurang pas untuk bisa dipakai menilai keberhasilan proses pendidikan pada empat kompetensi inti tersebut. Untuk itu, pelaksanaan evaluasi akhir proses pendidikan perlu memperhatikan empat kompetensi inti di setiap mata pelajaran.
Ketiga; Sulit untuk meyakini bahwa rasio kecerdasan intelektual murid yang tercermin dari hasil UN akan selaras dengan tingkah atau perilakunya dalam keseharian. Oleh karena itu, penilaian sikap dan keterampilan tidak semata pendataan nilai, tetapi juga alat untuk mendeteksi, mendiagnosa, dan memberi petunjuk untuk melakukan perlakuan yang tepat kepada murid saat proses pembelajaran agar murid memiliki sikap yang baik dan benar sesuai nilai luhur berbangsa dan bernegara. Untuk itu, penilaian sikap dan keterampilan oleh guru adalah pilihan yang tepat dibandingkan UN yang hanya menjadi evaluasi akhir proses pembelajaran, apalagi tanpa adanya tindak lanjut.
Keempat; Prof. Iwan Pranoto dalam bukunya Kasmaran Berilmu Pengetahuan menyebutkan bahwa sistem UN yang dominan pada kecakapan menghafal informasi semata ini menjadi alasan sahih mengapa para pelajar, juga gurunya, menghindari proses bernalar tingkat tinggi. Siswa dan guru akan bertanya: mengapa perlu memahami bagaimana membuktikan Dalil Pitagoras, jika UN tidak pernah mengujinya? Bukankah UN hanya menuntut memasukkan angka-angka ke rumus a2 + b2 = c2?
Akibatnya, murid menjadi sangat lemah dalam pemahaman matematikanya serta kecakapan bernalarnya. Jika pengasingan budaya bernalar melalui UN bermutu buruk ini dilanjutkan, bangsa kita sangat mungkin akan kesulitan melibatkan diri dalam pembangunan dunia di masa depan. Dampaknya ekonomi kita pun akan hancur. Untuk menyuburkan kembali budaya bernalar, perlu gerakan penyadaran bersama tentang pentingnya bernalar pada era sekarang, kata beliau.
Kelima; Wilayah Indonesia yang sangat berbeda situasi dan kondisi sarana-prasarana pendidikan, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan topografi. Perbedaan itu bahkan ibarat langit dan bumi. Oleh karena itu, sangat tidak adil jika dengan berbagai latar belakang yang berbeda itu, kemudian muridnya diuji menggunakan UN berstandarnya sama dari pusat. Belum lagi masalah tenaga guru yang masih belum selesai, terutama kesejahteraan guru honorer. Beragam kondisi (kesejahteraan, kuantitas, dan kualitas) guru―yang menjadi kunci penggerak pendidikan―tentu akan mempengaruhi kualitas murid yang dihasilkan.
Untuk itu, setarakan dulu sarana-prasarana pendidikan (termasuk guru), barulah setarakan alat evaluasi pendidikannya, kata Pak Sudibio, Dosen FKIP MIPA Biologi Undana. Bagi sekolah di pedalaman yang serba terbatas fasilitas belajarnya tentu sulit mencapai standar nilai yang ditentukan pemerintah. 
Keenam; Pada setiap pembelajaran di kelas, guru perlu mengarahkan murid untuk memiliki kecakapan abad 21 yaitu meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, berpikir kritis atau HOTS (High Order Thinking Skill) dalam menyelesaikan masalah, dan kreatif serta inovatif. Semua kecakapan itu diperlukan murid untuk memasuki dunia kerja ataupun menjalani kehidupan sehari-hari. 
Dalam kehidupan sehari-hari abad 21 memerlukan kecakapan untuk mengolah informasi, tidak sekedar mengetahuinya. Kalau hanya untuk mengetahui informasi, mesin pencarian google pun bisa melakukannya. Oleh karena itu, UN yang hanya menguji kecakapan menghafal informasi semata sudah tidak kompatibel lagi dengan tuntutan abad 21 ini.
Di abad 21, pekerjaan yang menuntut keterampilan rutin dan kecakapan menghafal informasi semata mulai tergantikan dengan komputer, robot, internet, e-commers, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya. Ada fenomena milenial kill yang terjadi hari-hari ini. Jika hal ini tidak diantisipasi sejak dini, maka murid kita akan ketinggalan jauh ke belakang. 
Ketujuh; Pada UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyeleggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Nyatanya, UN tidak terlalu valid untuk dijadikan alat untuk pengendali mutu pendidikan sebab mutu pendidikan tidak hanya berdasar pada jumlah murid yang lulus atau mendapatkan nilai maksimal. Masalahnya, masih ada kejadian yaitu murid yang cerdas tapi tidak lulus, sebaliknya murid yang tidak cerdas namun lulus. Belum lagi bahwa UN hanya mengukur aspek pengetahuan murid.
Maksud menjadikan UN sebagai pengendali mutu pendidikan nasional sesuai UU tersebut di atas kadang terdistorsi menjadi momok yang menakutkan murid. Banyak murid takut tidak lulus UN atau takut nilai UN-nya rendah. Apalagi jika ketakutan tersebut disertai adanya intimidasi dari luar dirinya. Misalnya dari orang tua dan guru. Bahkan kegagalan UN dapat menjadi bahan bully dari teman-temannya, sesuatu yang memalukan atau aib bagi dirinya. 
Komnas Perlindungan Anak mencatat bahwa dampak negatif UN yaitu membuat anak stres saat akan menghadapi UN dan trauma psikologis ketika tidak lulus UN. Bukannya membentuk watak kerja keras, sebaliknya UN seakan memaksa murid harus lulus. Akibatnya, murid dibentuk untuk menghalalkan segala cara agar bisa lulus UN. Hasilnya, banyak kecurangan terjadi. Mirisnya, pada beberapa kejadian, kecurangan saat UN tersebut justru diinisiasi oleh guru yang seharusnya menjadi teladan dalam hal kejujuran. Alhasil, pemerintah menambahkan kalimat: “Saya mengerjakan ujian dengan jujur,” pada lembar jawaban UN yang harus ditulis ulang oleh murid.
Menanggapi itu, pada tahun 2015 lalu pemerintah mengembalikan kewenangan kepada sekolah untuk menentukan kelulusan murid melalui rapat dewan guru. Keputusan pemerintah itu sangat berdampak positif bagi murid. Namun kebijakan ini menimbulkan masalah baru yaitu sekolah dan murid menjadi kurang serius menghadapi UN. Alhasil nilai UN murid cenderung rendah beberapa tahun belakangan ini.
Untuk mengatasinya, pemerintah melalui P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) melaksanakan program PKP (Peningkatan Kompetensi Pembelajaran) yang dimulai pada November 2019 lalu. Melalui PKP diharapkan para guru dapat meningkatkan 0,5 digit hasil nilai UN setiap tahunnya. Harapan itu dituangkan dalam piagam komitmen program PKP yang ditandatangani oleh para guru inti. Apakah PKP ini akan berhasil? Kita lihat saja pada hasil UN tahun depan (2020).
Kedelapan; Skor PISA yang baru dirilis 3 Desember 2019 lalu melaporkan Indonesia berada di posisi 10 terbawah dengan skor membaca ada di peringkat 72 dari 78 negara. Hasil ini berbanding terbalik dengan dana pendidikan yang terus bertambah setiap tahunnya. Selain itu, hasil PISA ini juga merupakan refleksi bagi Kemendikbud dengan program GLN (Gerakan Literasi Nasional) sebagai implementasi Permendikbud No.23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Apa yang masih kurang dari semua program yang sudah dilakukan? Apakah ada hubungannya dengan UN?
Lihat saja format soal UN kita, pilihan ganda. Soal pilihan ganda memungkinkan jawaban spekulasi, kalaupun murid menjawab benar, ada kemungkinan karena kebetulan atau tebakan yang tepat. Dengan soal pilihan ganda, guru tidak bisa mengetahui proses atau langkah murid dalam menyelesaikan soal. Alhasil, ada murid yang tidak merasa perlu memiliki kemampuan membaca karena secara tidak langsung diberi peluang menebak saat menjawab soal pilihan ganda.
Sembilan; Selama ini, hasil UN hanya merupakan sertifikasi bagi murid yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun hasil UN tersebut belum tentu valid jika diuji ulang dengan tes masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bisa saja faktor subjektifitas sangat mempengaruhi hasil UN tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penilaian yang otentik dan komprehensif.
Penilaian yang otentik dan komprehensif merupakan penilaiannya manusia. Segala aspek dinilai dengan saksama dan langsung oleh guru. Menjadikan murid sebagai pribadi seutuhnya. Pribadi yang tidak cuma cerdas akal, tetapi juga cerdas hati, budi pekerti dan keterampilan hidup. Memiliki jiwa dan karakter Pancasila yang dilahirkan dari proses pembentukan, perbaikan dan pembiasaan di sekolah. Inilah hasil dari penilaian yang diharapkan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa seutuhnya. Menjadikan manusia Indonesia yang unggul dan berkepribadian Nasionalis dan Pancasilais.
Salah satu skema penilaian otentik dan komprehensif yang saya tawarkan sebagai solusi dari permasalahan pendidikan nasional ialah sebaiknya mengganti UN dengan e-raport dan e-portofolio proses serta hasil kinerja murid. Ketika murid melamar pekerjaan atau melanjutkan pendidikan, tidak lagi menggunakan angka di atas kertas. Pemberi kerja atau jenjang pendidikan lanjutan hanya perlu melakukan uji petik untuk memvalidasi penilaian pada e-raport dan e-portofolio hasil kinerja murid. Bahkan dengan skema ini, guru dapat mengetahui potensi murid yang bisa disiapkan untuk menciptakan pekerjaannya sendiri sesuai minat dan bakatnya, bukan sebagai pencari kerja.
Jika skema e-raport dan e-portofolio hasil kinerja murid ini dilaksanakan, wajah sekolah asal murid tersebut akan sangat dipertaruhkan dari kualitas kinerja dan sikap lulusannya. Wajah sekolah dan kualitas sistem pendidikan nasional tidak bisa lagi disembunyikan di balik daftar nilai pada lembar tanda kelulusan murid yang dihasilkan dari putusan rapat penentuan kelulusan oleh dewan guru, sebagaimana yang terjadi selama ini. Inilah penilaian otentik, an sich, dan akuntabel yang akan menjadi tantangan bagi setiap guru, sekolah, dan pemerintah agar betul-betul memperhatikan dan meningkatkan kualitas proses pendidikan di Indonesia. 
Semoga dengan masukkan ini dapat menjadi bahan pertimbangan Mendikbud untuk melakukan gebrakan perihal Ujian Nasional nantinya. Saya menanti gebrakanmu, Pak Mendikbud.

Tidak ada komentar: