Minggu, 22 Desember 2019

IBU, PAHLAWANKU

Oleh : Krismanto Atamou

Senja membayang di sudut kota. Bayangan mentari memanjang hingga jauh dan menaungi gerobak ibu yang menjual nasi kuning di sisi timur sebuah bangunan kantor tua. Bangunan itu sudah lama tidak ditempati. Kesan angker dan seram tak mengurangi niat ibu untuk berjualan di situ.
“Lokasinya strategis,” kata ibu suatu kali saat Om Min bertanya apa alasannya bertahan di tempat angker itu.
“Tapi kan masih ada lokasi lain yang juga strategis?” sanggah Om Min.
“Aku sudah nyaman di sini, Dek,” jawab ibu.
Untuk berjualan di situ awalnya gratis oleh petugas keamanan kantor yang lama. Ia kasihan melihat kondisi keluarga ibu, hanya dengan satu syarat: ibu membantunya membersihkan lingkungan kantor. Semenjak meninggalnya petugas yang baik hati itu, ia diganti petugas yang baru. Petugas baru meminta jatah keamanan. Awalnya hanya sukarela jumlahnya. Seiring waktu, ia meminta lebih.
Hasil keuntungan dari jualan ibu tak sanggup untuk membayar petugas. Entah itu petugas benaran atau bukan. Ia tak pernah menggunakan pakaian dinas atau menyerahkan bukti karcis setoran keamanan. Ibu mengeluh, tapi tidak pernah disampaikannya padaku.
Ibuku seorang pembohong. Ia selalu berupaya tampil tegar di hadapanku, serasa semuanya berjalan normal. Namun sesungguhnya ibu menyimpan tekanan yang mendalam. Semenjak sepeninggalan ayah, ibu berupaya menjadi ayah dan ibu bagi aku dan adik-adik.
“Ibu, boleh aku membantu ibu berjualan?” kataku. Aku ingin mengurangi ketergantungan ibu pada lokasi jualan dengan biaya mahal itu. Aku tahu, ibu membutuhkan biaya untuk menghidupi keluarga kecilnya sebagai orang tua tunggal.
Adik-adikku masih kecil-kecil. Ani baru berusia tiga tahun, sedangkan Sarus baru berusia tujuh tahun. Aku sudah kelas tujuh SMP sekarang.
Saat ayah meninggal dunia, aku masih kelas lima sekolah dasar. Itu dua tahun lalu. Sebelum meninggal, ayah mengalami depresi karena pekerjaannya yang penuh dengan tekanan. Sebagai bendahara, ia sering ditekan untuk membuat laporan keuangan fiktif dan menggelapkan dana perusahaan bagi kebutuhan oknum pejabat atau orang-orang atas. Itu sangat bertentangan dengan hati nuraninya sebagai orang tokoh agama yang saleh.
“Biar sedikit penghasilanmu, yang penting halal, Pak,” kata ibu menguatkan ayah yang hampir selalu cemberut ketika pulang dari kantor. Ibu  adalah motivator yang baik, bahkan bagi siapa pun yang membutuhkan. Beruntung ada ibu, yang selalu mendampingi ayah. Namun semua kata motivasi indah itu tidak berdampak lama.
Sebulan kemudian ayah mendengar bahwa ia dipecat secara sepihak dari perusahaan tempatnya bekerja. Berita buruk itu membuat ayah terkena serangan jantung lalu meninggal dunia. Dengan terpaksa ibu menggantikan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga. Segala cara halal ibu pakai untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga.
“Boleh. Tapi kau tidak boleh membawa banyak kue. Cukup sesuaikan dengan tenagamu. Jika usia begini kau sudah memikul beban berat, nanti kau tak bisa bertumbuh lebih tinggi lagi.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena tulang-tulangmu masih dalam masa pertumbuhan. Kalau kau sudah memikul beban berat sejak usia dini, bisa-bisa tulangmu tak bisa bertumbuh lebih tinggi dan kau dianggap stunting.”
“Apa itu stanting?”
“Badan yang tumbuh kerdil, Simon.”
“Biar sajalah ibu, yang penting aku bisa membantu ibu.”
“Ibu masih bisa berjualan sendiri, Nak. Jangan khawatir!”
“Ah ... ibu, biar aku juga belajar berusaha. Jangan memanjakan aku! Pokoknya aku mau bantu ibu,” kataku berkeras.
“Wah ..., kau memang anak yang berbakti. Namun ibu tetap tidak membiarkanmu memikul beban berat. Siapa tahu kelak kau ingin menjadi polisi atau tentara? Itu berarti tubuhmu harus tinggi.”
“Kue, kue ...! Roti goreng balek gula, donat, dan pisang goreng ...!”
Mulailah aku membantu ibu berjualan. Pagi, sebelum ke sekolah dan sore, setelah pulang sekolah aku menjual kue buatan ibu. Itu sudah menjadi kebiasaan harianku. Terkadang Sarus membantuku membawa tempat sambal bagi kue tertentu.
Suatu saat aku berjualan di sekitar terminal kota yang hanya satu kilometer dari rumahku. Ketika akan melewati terminal angkutan kota itu, seorang kakak memanggil dari arah deretan bangku terminal. Setelah aku mendekat, ia menanyakan harga kue lalu mengambil dan memakan langsung kue itu seharga sepuluh ribu rupiah.
Dek, aku sangat lapar. Biarkan aku makan dahulu, nanti aku bayar,” katanya.
Aku senang karena ia pembeli pertamaku sore itu setelah kurang lebih sejam berjualan belum ada yang laku. Setelah makan dan dirasanya sudah kenyang, ia berkata: “Aku pergi ambil uang di sebelah sini. Adek tunggu saja di sini, nanti aku kembali.”
Setelah menunggu sejam, kakak itu belum kembali juga. Aku menyuruh Sarus menjaga jualan agar bisa pergi mencari kakak itu. Kususul dia lewat jalan yang ditempuhnya tadi hingga menerka-nerka arah saat memasuki persimpangan. Hasilnya, nihil. Aku bertanya pada orang-orang sekitar dengan menyebutkan ciri-cirinya, tapi tidak ada yang kenal. Saat itu aku sadar bahwa sudah tertipu.
Aku melanjutkan jualan hingga laku semuanya dan pulang menceritakan dengan polos kesialan yang aku alami. Aku minta maaf karena telah mudah tertipu dan mengakibatkan usaha ibu merugi.
“Tidak apa-apa, Nak'. Yang penting kau telah berusaha. Mungkin orang itu lapar dan tidak punya uang untuk membayar sehingga terpaksa menipu. Kita ikhlaskan saja. Anggap saja kita telah membantu kesulitannya,” kata ibu mantap.
Saat modal dirasanya sudah cukup, ibu membuat kios kecil dan mulai menjual segala bahan kebutuhan pokok rumah tangga. Kios itu didirikan di depan rumah kami. Dari kios sederhana itulah ibu menyekolahkan kami hingga menyelesaikan pendidikan.
Benar bahwa kata-kata adalah doa. Aku berhasil menjadi seorang polisi sebagaimana yang pernah ibu katakan.  Saat makan siang semeja dengan beberapa senior, ada salah satu di antara mereka menceritakan betapa susahnya hidup di kota. Ia mengakui pernah menipu seorang bocah yang berjualan kue supaya bisa makan dan kenyang lalu kabur.
“Kejadian itu terjadi sekitar tahun berapa?” tanyaku penasaran.
“Sekitar sepuluh tahun lalu.”
“Di daerah mana?”
“Di terminal kota.”
“Kakak, makan kuenya berapa banyak?”
“Kira-kira seharga sepuluh ribu rupiah.”
“Ha ..., itu berarti saya yang jual kue itu, Kak.”
“Waduh ..., maaf, maaf .... Ternyata dunia ini sempit dan kita bisa bertemu kembali. Sekali lagi aku minta maaf,” kata kakak itu merasa tidak enak, kikuk, dan malu karena tertangkap. Wajahnya tersipu-sipu.
“Tidak apa-apa, Kak. Untunglah ibuku orang yang sangat baik hati sehingga aku tidak dimarahinya walau tekor. Ia tidak pernah menggunakan kekerasan dalam mendidik anak-anaknya. Hanya nasihat dan motivasi. Dan ternyata ibu benar, saat itu kami telah membantu kakak yang kelaparan hingga kakak bisa bertahan hidup dan menjadi orang yang berguna seperti sekarang.”
“Tapi menipu itu tetap hal yang salah!”
“Benar! Tidak ada manusia sempurna, Kak, asal kita mau berubah jadi lebih baik.” 
“Kau punya ibu yang luar biasa.”
“Ya. Ibu bagiku adalah pahlawan kehidupan bahkan sejak kita masih berada di dalam kandungan.”
*Dipersembahkan kepada Ibu Maria Jenmakani-Atamou dan Johana Sely-Sandy. Selamat Hari Ibu tanggal 22 Desember 2019.

Tidak ada komentar: