Minggu, 22 Desember 2019

SIO MAMA

Oleh : Krismanto Atamou

Brapa puluh tahun lalu, beta masih kecil’e, beta ingat tempo itu, Mama gendong-gendong beta’e .... Sambil Mama bakar sagu, Mama manyanyi buju-buju, la sampai basar bagini, beta seng lupa Mama’e ....
Lagu Sio Mama ciptaan Melky Goeslaw itu tiba-tiba terngiang di kepalaku. Tak sadar aku ikut menyanyikannya. Tanganku sedang mengetikkan seabrek tugas laporan di kantor. Memang itulah rutinitasku di akhir tahun ini. Meski liburan natal semakin dekat namun seakan pekerjaan-pekerjaan ini terus mengikat kakiku untuk tidak pergi berlibur.
“Sio Mama’e ... beta rindu mau pulang’e ...,” tak sadar aku pekikkan suara di ruang kerjaku.
“Makanya segera selesaikan laporan itu kalau mau segera berlibur,” kata Ryla, teman kerja yang duduk di sebelahku.
“Ini juga sudah cepat, tapi kerja belum selesai,” jawabku.
“Jangan lupa bernafas,” kata Ryla.
“Maksudmu?”
“Tubuh butuh istirahat.”
“Jadi, bagaimana? Pekerjaan ini masih banyak, Ryla.”
“Ya, kan kau bisa akal-akali agar bisa menyerap semua dana yang tersedia. Dari pada kau kembalikan ke kas negara? Seolah buruk kinerja kantor kita ini, tidak bisa menyerap anggaran yang disediakan pemerintah. Disclaimer. Kau mau?”
“Jadi, apa kau mau aku aku buat laporan fiktif agar segera selesai padahal merugikan keuangan negara? Agar aku punya uang banyak hasil korupsi untuk kuhambur-hamburkan saat liburan, mendermakannya seolah aku tokoh yang peduli gerakan sosial? Atau kupakai sebagai uang persembahan seolah-olah bisa menyogok Tuhan untuk mengurangi dosa-dosaku?”
“Yaelah ...! Jangan sok’ suci kamu! Semua manusia berdosa, Rambu.”
“Ya, tapi bukan berarti kita harus terus tinggal dalam dosa, Ryla! Jika kau Nasrani, ingat Natal sudah dekat. Momen kelahiran Kristus harusnya jadi pengingat bahwa ada Karya Besar Nan Agung dari Sang Pencipta untuk menyelamatkan umat manusia dari jerat dosa. Sebuah pengorbanan besar dari Sang Pencipta agar kita selamat dan memiliki hidup yang damai sejahtera. 
Kalau pun kau bukan Nasrani, bukankah semua agama atau kepercayaan mengajarkan tentang kebaikan? Bahkan negara, kerajaan, atau tatanan kehidupan mana pun menganjurkan agar manusia berbuat baik. Jika melanggar maka ada ganjaran yang menanti. Itu lumrah di mana pun.”
“Ya, kalau ketahuan pasti ada ganjaran. Tapi kalau tidak, maka akan aman-aman saja. Apalagi hasil korupsi itu kau bagi juga dengan orang-orang atas, maka kau akan terus dipercaya mengelola lahan basah itu selamanya, Rambu.”
“Silakan kalau kau mau seperti itu, Ryla. Aku tidak!”
“Terserahmulah!”
“Ah, kau membuat aku lupa pada Mama.”
“Memangnya ada apa dengan Mama kamu?”
“Ingatan padanya mendorongku untuk segera menyelesaikan laporan keuangan ini. Aku rindu Mama.” 
“Kau tak rindu Bapakmu?”
“Bapakku sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu, Ryla.”
“Aku turut berdukacita, Rambu.”
“Terima kasih.”
Suasana panas tetap terasa di dalam kantor meski beberapa kipas angin sudah berupaya memeranginya. Gerah terasa. Kata para aktivis peduli lingkungan, itulah bagian dari kejadian yang disebut pemanasan global. 
Meski pekerjaan kantor terus menumpuk seiring menumpuknya gas karbon di atmosfir bumi, aku tetap ingat tempo itu di kampung Puntaru, kampung di pinggiran pantai yang terkenal dengan pasir tiga warna. Sejak kecil Mama mengajarkanku untuk tidak malas-malasan tetapi menjadi pekerja keras yang bertanggung jawabku. Pelajaran dari Mama itulah yang ternyata sangat bermanfaat dalam hidupku.
“Rambu ..., Eu Samu Lau e ...!” begitu Mama memanggilku sejak kecil. Nama resmi yang tercatat di akta kelahiran dan nama dari suku pun dipakai mama untuk memanggil namaku. Suara panggilan Mama itu menggelegar ke seluruh penjuru kampung. Kata orang, suara orang-orang pantai selalu begitu. Menggelegar dan sangat besar untuk mengalahkan suara deru ombak saat berbicara di pantai. Jika sudah begitu, aku segera berlari pulang ke rumah.
“Ya, Mama,” sahutku begitu sampai di depan Mama.
“Cepat kau masak, cuci piring, dan bersihkan rumah.”
Seperti biasa, perintah itu aku sambut dengan menggerutu. Kadang Mama memarahiku kalau aku berlambat-lambat. Saat itu memasuki usia remaja.
“Bagaimana kalau Mama yang masak, aku cuci piring? Biar cepat selesai masakannya dan kita cepat makan malam,” kataku mencoba menawar perintah mama.
“Aih ... kau jangan banyak protes, Samu. Kelak kau akan hidup mandiri. Kalau kau terus berharap pada Mama, sampai kapan kau bisa hidup mandiri?”
“Mama e ..., anak lain saja orang tuanya manja, kenapa Mama tidak?”
“Eu Samu, kau jangan melawan! Mama buat begini semua untuk kebaikanmu, sayang. Kelak kau akan bersyukur bahwa Mama telah mengajarkanmu dengan keras agar tidak bermalas-malasan, bahkan terus berusaha dan bekerja meski belum berhasil.”
Beras aku tampi dari persediaan yang tinggal sedikit di tempat beras. Kalau sudah begitu tandanya akan ada pekerjaan berat yang segera menghampiriku. Menumbuk padi ladang yang merupakan hasil kebun Mama.
Mama seorang petani ladang yang sangat rajin. Jika musim berkebun tiba, Mama mengajak kerabatnya untuk berkebun. Mereka bekerja secara gotong royong. Hasilnya lumayan banyak. Biasanya Mama menganyam semacam bakul besar dari daun lontar dengan ukuran sekitar tiga ribu liter, bahkan lebih besar lagi. Untuk satu kebun saja, hasilnya bisa mencapai enam bakul besar yang kemudian dimasukkan ke dalam lumbung. Bapak akan membantu Mama jika sudah pulang dari mengajar di sekolah dasar. Sebagai guru, Bapak juga pekerja keras.
Aku menyusun kayu api di tungku dengan kesal. Mulutku terus komat-kamit dengan gerutu. Walau begitu, aku tak berani melawan Mama. Kata pepatah: hilang Bapak hilang kehormatan, hilang Mama hilang kasih sayang. Oleh karena itu, biar bagaimana pun aku tak berani melawan orang tua. 
Mama adalah sumber kasih sayang bagiku. Meski didikannya keras, tapi sebenarnya itu adalah wujud kasih sayangnya. Kasih sayangnya bukanlah kasih sayang yang kejam yaitu membiarkanku hidup tergantung padanya dan akhirnya potensi diriku sendiri tidak berkembang.
Pagi itu ketika kokok ayam subuh belum juga terdengar. Jangkrik masih ribut mungkin sedang bersukacita karena makanan yang melimpah setelah datangnya musim hujan. Orang-orang sekampung masih menikmati bunga tidurnya. “Samu Lau ...! Rambu ....” Mama sudah memanggil tepat jam setengah empat pagi. Aku disuruh bangun, sembahyang, kemudian bekerja untuk mempersiapkan makanan dan minuman pagi.
Sebagai guru, Bapak harus makan pagi agar punya tenaga menghadapi murid-muridnya di kampung. Terkadang Bapak harus mencari mereka di rumah, di pantai, atau di kebun untuk mengajak mereka ke sekolah dan belajar. Sedangkan Mama harus makan pagi sebelum ke kebun. Selain itu, Mama juga membawa bekal untuk makan siangnya di kebun. Sejak memasuki masa remaja, pekerjaan masak-memasak di rumah sudah menjadi tanggung jawabku. Itulah ritual yang mulai aku lakukan untuk seterusnya.
Begitulah aku nyaris tak pernah dimanja untuk bermalas-malasan. Mungkin Mama ingin aku mengikuti jejaknya sebagai wanita tangguh dengan segudang keterampilan yang dikuasainya. Mama bisa mengurus rumah tangga dengan baik, petani yang rajin, bisa menjahit pakaian dengan rapi, menganyam tikar, nyiru, hingga berbagai perabot dari anyaman daun lontar.
Terkadang Mama membuat roti bakar yang lezat dan gurih untuk dijual di dalam kampung. Selalu laris. Terutama oleh anak sendiri, hehe .... Mama juga tukang urut bagi anak-anak dan orang dewasa. Sudah banyak orang yang ia urut dan sembuh dari sakit badan.
Di sela-sela pekerjaanku memasak dan membereskan rumah, terkadang aku berpikir betapa beratnya pekerjaan Mama. Bagaimana mungkin Mama bisa membagi waktu antara mengurus rumah, bekerja di kebun, berkerajinan tangan, namun tetap memperhatikan suami dan anak-anak? Sungguh Mama yang luar biasa.
Sebelum kelahiranku, Mama menghadapi peristiwa duka. Anak sulungnya dipanggil oleh Tuhan. Meninggal dunia. Tidak berapa lama, saat rasa duka itu belum hilang, anak laki-laki bungsunya pun meninggal dunia. Peristiwa duka ini membuat Bapak dan Mama sangat terpukul. 
Bagaimana mungkin Bapa dan Mama bisa bertahan menahan kesedihan yang mendalam? Mata mereka harus menyaksikan anak yang dilahirkan dan dibesarkan hingga menjadi remaja dan seorang pemuda, ternyata pergi lebih dahulu menghadap Sang Pencipta. Hati orang tua mana yang kuat untuk menyaksikan penguburan anaknya sendiri? Anak yang diharapkan kelak menjadi penerus keluarga.
Tangisan dan air mata tak mampu mengurangi rasa duka. Kata-kata penghiburan dari handai taulan tak mengurangi rasa perih di hati yang tidak rela kehilangan orang tersayang, sebagus apa pun kata-kata itu diberikan. Bahkan sanak keluarga pun tak kuat menahan haru.
Berpulangnya kedua kakak lelakiku ke hadapan Pencipta telah menjadi tragedi bagi Mama. Tragedi itu membuat Mama sampai mengalami depresi berat. Bapak pernah bercerita bahwa menurut pendapat orang-orang sekampung, Mama sudah dianggap gila. Saban hari, Mama berjalan ke sana kemari tak tentu arah hingga malam. Itulah titik terendah dalam hidup Mama. Demi keselamatan, seorang saudarinya merelakan diri untuk mengikuti dan menjaga ke mana saja Mama berjalan. Itu terjadi beberapa tahun hingga akhirnya aku dilahirkan.
Begitu aku lahir, aku diberi nama Rambunita. Singkatnya Rambu. Nama Rambu bagi masyarakat Sumba tidak boleh digunakan sembarangan. Nama itu hanya berhak digunakan oleh kaum bangsawan. Aku pernah bertanya pada Bapak dan Mama, apa arti nama Rambu, namun tak pernah dijawab hingga aku berusia 25 tahun. 
“Kau anak hasil pergumulan Bapak dan Mama. Kelahiranmu adalah penghiburan bagi kami. Itulah alasan namamu adalah Rambunita sebagai akronim dari ramuan penghibur bagi hati yang berduka cita,” kata Bapak yang meninggal dua tahun kemudian.
“Sio Mama’e, beta rindu mau pulang’e ... Sio Mama’e ... Mama su liat kurus lawang’e, beta balom balas Mama, Mama pu cape sio dolo’e ... sio tete manis’e, jaga beta pung Mama’e ....”
Refrain dari Lagu Sio Mama itu kudengungkan selalu sebagai energi bagi jiwa agar terus menyelesaikan pekerjaan akhir tahun. Ah, Mamaku, Mama Sandy .... Tak akan mampu kubalas segala kebaikanmu, gumamku dalam hati. 
*Selamat hari Ibu tanggal 22 Desember 2019 bagi Mama Maria Jenmakani di Kalabahi dan Mama Johana Sely-Sandy di Oebufu serta seluruh Ibu di mana pun berada.

Tidak ada komentar: